anemia defesiensi besi

31
ANEMIA DEFESIENSI BESI 1. DEFINISI Anemia defisiensi besi ialah anemia yang secara primer disebabkan oleh kekurangan zat besi dengan gambaran darah yang beralih secara progresif dari normositer normokrom menjadi mikrositik hipokrom dan memberi respon terhadap pengobatan dengan senyawa besi (WHO). 1 Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin atau hematokrit kurang dari batas normal sesuai usia (bayi dan anak) atau jenis kelamin (dewasa). Akibatnya, berkurangnya kemampuan menghantarkan oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh yang optimal. 2,3 Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang. 4,5 2. EPIDEMIOLOGI Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan anak pra remaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5 %, anak pra remaja 2,6 % dan remaja 26 %. Di Amerika Serikat sekitar 6 % anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan besi, lebih kurang 9% remaja wanita kekurangan besi, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat 1

Upload: rucelia-michiko-piri

Post on 27-Dec-2015

118 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Anemia defisiensi besi ialah anemia yang secara primer disebabkan oleh kekurangan zat besi dengan gambaran darah yang beralih secara progresif dari normositer normokrom menjadi mikrositik hipokrom dan memberi respon terhadap pengobatan dengan senyawa besi (WHO)

TRANSCRIPT

ANEMIA DEFESIENSI BESI

1. DEFINISI

Anemia defisiensi besi ialah anemia yang secara primer disebabkan oleh kekurangan zat

besi dengan gambaran darah yang beralih secara progresif dari normositer normokrom

menjadi mikrositik hipokrom dan memberi respon terhadap pengobatan dengan senyawa

besi (WHO). 1

Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin atau hematokrit kurang dari batas normal sesuai

usia (bayi dan anak) atau jenis kelamin (dewasa). Akibatnya, berkurangnya kemampuan

menghantarkan oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh yang optimal. 2,3

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya

cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi

untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb)

berkurang. 4,5

2. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan

anak pra remaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5

%, anak pra remaja 2,6 % dan remaja 26 %. Di Amerika Serikat sekitar 6 % anak berusia 1-2

tahun diketahui kekurangan besi, lebih kurang 9% remaja wanita kekurangan besi, sedangkan

pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas.  Prevalensi ADB

lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan

dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah. 1,5

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalensi ADB pada

anak balita sekitar 25-35 %. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalensi ADB pada anak balita

di indonesia adalah 55,5 %. Pada tahun 2002 prevalensi anemia pada usia 4-5 bulan di Jawa

Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa 37% bayi memiliki kadar Hb di

bawah 10 gr/dl, sedangkan untuk kadar Hb di bawah 11 gr/dl mencapai angka 71 %. RSU.

Fatmawati Jakarta tercatat selama kurun waktu 2001-2003 sekitar 2 juta ibu hamil menderita

anemia gizi dan 8,1 juta anak menderita anemia. Selain itu data menunjukkan bahwa bayi

dari ibu anemia dengan berat bayi normal memiliki kecenderungan hampir dua kali lipat

1

menjadi anemia dibandingkan bayi dengan berat lahir normal dari ibu yang tidak menderita

anemia. Berdasarkan data prevalensi anemia defisiensi gizi pada ibu hamil di 27 provinsi di

Indonesia tahun 1992, Sumatera Barat memiliki prevalensi terbesar (82,6 %) dibandingkan

propinsi lain di Indonnesia.2,3,5,6

3. ETIOLOGI

Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan oleh faktor nutrisi, dimana asupan

makanan yang mengandung besi heme kurang, seperti daging sapi, ayam, ikan, telur sebagai

protein hewani yang mudah diserap. Kurangnya asupan besi non heme seperti sereal,

gandum, jagung, kentang, ubi jalar, talas, beras merah, beras putih, kismis, tahu, sayuran,

kacang-kacangan, buah-buahan (kurma, apel, jambu, alpukat, nangka, salak). Selain itu anak

terkadang sering mengkonsumsi makanan yang menghambat absorpsi besi seperti polifenol,

kalsium dan protein kedelai.7,16

Penyebab utama anemia defisiensi pada anak di negara berkembang merupakan

infeksi cacing. Setiap cacing dapat mengakibatkan perdarahan kronis dan dapat

menyebabkan anemia defisiensi besi. Infestasi cacing tambang dapat mengisap darah

sebanyak 0,03 ml/hari/ekor (Necator americanus) dan 0,15 ml/hari /ekor (Ancilostonum

duodenaltinale). Jumlah kehilangan darah pada gangguan ringan diperkirakan kurang lebih

2-3 ml/hari, sedangkan pada gangguan berat dapat sampai 100 ml/hari. 3,8

Pemakaian obat-obatan yang dapat mengganggu agregasi trombosit, misalnya aspirin

dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal yang akan berakhir menjadi anemia

defisiensi besi. Penyebab lain perdarahan gastrointestinal dan malaria terutama di daerah

endemik. Pada masa pubertas terutama perempuan perdarahan karena haid yang berlebihan

(>80 ml/hari) dapat juga menyebabkan anemia defisiensi besi. 3,6

Beberapa keadaan yang mengakibatkan gangguan fungsi maupun perubahan anatomi

saluran pencernaan menyebabkan malabsorbsi besi seperti malnutrisi energi protein, infeksi

usus, pasca bedah usus. 6,8

Pertumbuhan yang sangat cepat disertai dengan penambahan volume darah yang

banyak akan meningkatkan kebutuhan akan besi. Pada akhir tahun pertama berat badan anak

mencapai 3 kali berat badan lahir. Pertumbuhan yang pesat dijumpai juga pada bayi lahir

prematur dan pada masa pubertas. 9,10

2

Berdasarkan keterangan di atas, anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh

rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan

menahun. 1,3,7

4. PATOFISIOLOGI

a. Pembentukan Hemoglobin

Sel darah merah manusia dibuat dalam sumsum tulang. Dalam keadaan normal, sumsum

tulang memproduksi 500 x109 sel dalam 24 jam. Hb merupakan unsur terpenting dalam

plasma eritrosit. Molekul Hb terdiri dari globin, protoporfirin dan besi (Fe). Globin dibentuk

sekitar ribosom sedangkan protoporfirin dibentuk sekitar mitokondria. Besi didapat dari

transferin. 10,11

Dalam keadaan normal 20% dari sel sumsum tulang yang berinti adalah sel berinti

pembentuk eritrosit. Sel berinti pembentuk eritrosit ini biasanya tampak berkelompok-

kelompok dan biasanya tidak masuk ke dalam sinusoid.10

Pada permulaan sel eritrosit berinti terdapat reseptor transferin. Gangguan dalam

pengikatan besi untuk membentuk Hb akan mengakibatkan terbentuknya eritrosit dengan

sitoplasma yang kecil (mikrositer) dan kurang mengandung Hb di dalamnya (hipokrom).3,10

Tidak berhasilnya sitoplasma sel eritrosit berinti mengikat Fe untuk pembentukan Hb

dapat disebabkan oleh rendahnya kadar Fe dalam darah. Hal ini dapat disebabkan oleh :

kurang gizi,

gangguan absorbsi Fe (terutama dalam lambung),

kebutuhan besi yang meningkat akan besi (kehamilan, perdarahan dan dalam masa

pertumbuhan anak). Sehingga menyebabkan rendahnya kadar transferin dalam darah.

Hal ini dapat dimengerti karena sel eritrosit berinti maupun retikulosit hanya memiliki

reseptor transferin bukan reseptor Fe.10,11

b. Metabolisme Besi

Pengangkutan besi dari rongga usus hingga menjadi transferin merupakan suatu ikatan besi

dan protein di dalam darah yang terjadi dalam beberapa tingkatan. Besi dalam makanan

3

terikat pada molekul lain yang lebih besar di dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi

ion feri oleh pengaruh asam lambung (HCl). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi

ion fero oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa

usus, sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian lagi masuk ke

peredaran darah yang berikatan dengan protein, disebut transferin. Selanjutnya transferin ini

dipergunakan untuk sintesis hemoglobin.11,12

Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile iron pool.

Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makan mengandung

vitamin atau fruktosa yang akan membentuk suatu kompleks besi yang larut, sedangkan

fosfat, oksalat dan fitat menghambat absorpsi besi.3,12

Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan

hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan akan

dipergunakan lagi untuk sintesis hemoglobin. Jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan

akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang

terkelupas dan karena perdarahan sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang

berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis.10,11,12

Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin

Proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:

Fase Luminal

Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi

heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi

non heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi

dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena

pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero

(Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.

Fase Mukosal

Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal.

Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi

4

heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush

border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri

direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2), mungkin dimediasi oleh

protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh

divalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian

disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam

kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase

(antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam

kapiler usus.

Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin

membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa

dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke

dalam lumen usus.

Gambar 1. Absorbsi Besi di Usus Halus

5

Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral

diatur oleh “set point” yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta (Gambar 1).

Kemudian pada saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi

sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu,

regulator dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik.

Gambar 2. Regulasi Absorbsi Besi

Fase Korporeal

Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus. Kemudian

dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat

mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan

berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada

permukaan sel, terutama sel normoblas (Gambar 2).

6

Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh

klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk

endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi pelepasan

besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan

DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke

permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.

Gambar 3. Siklus Transferin

Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan

sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk pembentukan

heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4

gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal

fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase.

Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang

mengandung satu atom besi fero ditengahnya.

7

Kebutuhan rata-rata zat besi per hari : 13

- 0-6 bulan 3 mg

- 7-12 bulan 5mg

- 1-3 tahun 8 mg

- 4-6 tahun 9 mg

- 7-9 tahun 10 mg

- 10-12 tahun: pria: 14 mg, wanita : 14 mg

- 13-15 tahun: pria: 17 mg, wanita: 19 mg

- 16-19 tahun: pria: 23 mg, wanita: 25 mg

- hamil : + 20 mg

- menyusui : 0-12 bulan + 2 mg

Jumlah zat besi pada bayi kira-kira 400mg yang terbagi sebagai berikut : 12

- massa eritrosit 60%

- feritin dan hemosiderin 30%

- mioglobin 5-10%

- hemenzim 1%

- besi plasma 0,1%

Pengeluaran besi dari tubuh yang normal adalah :

- bayi 0,3-0,4 mg/hari

- anak 4-12 tahun 0,4-1mg/ hari

- wanita hamil 2,7 mg/hari

8

Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebih besar dari pengeluarannya, karena besi

dipergunakan untuk pertumbuhan. 12

c. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang

berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan

menyebabkan cadangan besi terus berkurang. tahap defisiensi besi, yaitu:1,3,10

1) Tahap pertama

Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya

cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya

masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum

menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.

2) Tahap kedua

Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron

limitederythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang

eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan

saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat

dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.

3) Tahap ketiga

Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang

menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari

gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini

telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.

9

Tabel 1. Tahapan kekurangan besi 1

Hemoglobin Tahap I

(Normal)

Tahap II

(sedikit menurun)

Tahap III

(menurun jelas)

Mikrositik

hipokrom

Cadangan besi (mg) <100 0 0

Fe serum (ug/dl) Normal <60 <40

TIBC (ug/dl) 360-390 >390 >410

Saturasi transferin

(%)

20-30 <15 <10

Feritin serum

(ug/dl)

<20 <12 <12

Sideroblas (%) 40-60 <10 <10

FEP (ug/dl

eritrosit)

>30 >100 >200

MCV Normal Normal Menurun

5. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh penderita dan

keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari temuan laboratorium

saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl

terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar

Hb turun berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Namun kadang-

kadang pada kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi, sehingga beratnya gejala ADB

10

sering tidak sesuai dengan kadar Hb. 1,3,9 Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi

akibat kekurangan besi seperti:3,8,14,15

a. Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk kuku konkaf atau

spoon-shaped nail), atrofi papila lidah, postcricoid oesophageal webs dan perubahan

mukosa lambung dan usus halus.

b. Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh

c. Termogenesis yang tidak normal: terjadi ketidakmampuan untuk mempertahankan

suhu tubuh normal pada saat udara dingin

d. Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi leukosit

yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai kemampuan untuk

fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan S aureus menurun.

e. Gejala iritabel berupa berkurangnya nafsu makan dan berkurangnya perhatian terhadap

sekitar tapi gejala ini dapat hilang setelah diberi pengobatan zat besi beberapa hari.

f. Pada beberapa pasien menunjukkan perilaku yang aneh berupa pika yaitu gemar makan

atau mengunyah benda tertentu karena rasa kurang nyaman di mulut yang disebabkan

enzim sitokrom oksidase yang mengandung besi berkurang.

6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium yang

meliputipemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan

indeks entrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC,

saturasi transferin, FEP, feritin), dan apus sumsum tulang.1,8

Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb dan atau PCV merupakan hal

pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis

ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan

kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya

meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik,

anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel

fragmen).1,3,4

11

Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama dapat terjadi

granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infestasi cacing sering ditemukan eosinofilia. Jumlah

trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal. Trombositosis hanya terjadi pada penderita

dengan perdarahan yang masif. Kejadian trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang

sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan

anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositopenia 28%.4,8

Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan TIBC

meningkat. Pemeriksan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang terikat pada

transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam sirkulasi

darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan

cara menghitung Fe serum/TIBC x 100%, merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai

besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi

antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Bila saturasi transferin (ST) < 7% dapat dipakai

untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan

lainnya.1,4,8

Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang

dapatdiketahui dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte Protoporphyrin (FEP). Pada

pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme.

Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin didalam

sel. Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat

mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan

tanda ADB yang progresif. Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar

feritin serum. Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang khas

ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui

ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.1,8

12

7.  DIAGNOSIS

Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik

dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak

khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB: 1,3,,8

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO :

a. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia.

b. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31%

c. Kadar Fe serum < 50

d. Saturasi transferin (ST) < 15%

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:

a. Anemia hipokrom mikrositik

b. Saturasi transferin <16%

c. Nilai FEP >100 ug/dl

d. Kadar feritin serum < 12

Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, Feritin serum, FEP) harus

dipenuhi.

Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:

a. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar

MCV,MCH, dan MCHC yang menurun.

b. FEP meningkat

c. Feritin serum menurun

d. Fe serum menurun, TIBC meningkat,ST <16%

e. Respon terhadap pemberian preparat besi

Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian preparat besi. Kadar

Hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 gr/dl perhari atau PCV meningkat 1% perhari

f. Sum-sum tulang

13

Tertundanya maturasi sitoplasma. Pada pewarnaan sum-sum tulang tidak ditemukan besi atau

besi berkurang

Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat

besi.Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat

responshemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Prosedur ini sangat mudah, praktis,

sensitif dan ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita ADB. Bila

dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan

kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.1,3,8

8. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia hipokrom

makrositik lain (Tabel 2). Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium hampir

sama dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Sedangkan lainnya

adalah lead poisoning/ keracunan timbal dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya

diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium. 1,5

Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara

sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlah sel darah

merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel

darah merah menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat

memperoleh dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya

menunjukkan talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia

minor didapatkan basophilic stippling, peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan

kadar HbA2.1,3,9

Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya normokrom

mikrositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya anemia pada penyakit kronis

disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC

menurun meskipun cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin noral

atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor transferin receptor (TfR)

14

sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia karena penyakit kronis. Pada anemia karena

penyakit kronis kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan

pada ADB kadarnya menurun. Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.1,9

Table 2: Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB

Pemeriksaan

Laboratorium

Anemia

defisiensiBesi

Thalasemia

Minor

Anemia

PenyakitKronis

MCV N/

Fe serum N

TIBC N

Saturasi transferin N

FEP N

Feritin serum N

Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan ADB

tetapididapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP

meningkat.Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam darah. Anemia

sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis heme, bisa didapat atau

herediter. Pada keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom mikrositik dengan peningkatan

kadar RDW yang disebabkan populasi sel darah merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST

biasanya meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan sel darah merah

berinti yang mengandung granula besi (agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed

sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada dewasa.1,5,9

15

9. PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta

memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB

dapatdiketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat

Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan

sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan.

Pada penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak

dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan. 1,3,8,9

a. Pemberian preparat besi

Pemberian preparat besi peroral

Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat yang

tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous sulfat

karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorpsi

sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop).1,3

Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi/ kgBB/hari.

Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada dalam garam ferous. Garam ferous

sulfat mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek

samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat.

Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan

tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut

pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan

mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan

tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan

penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita

teratasi. Respons terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan

dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel di bawah ini.1,8,9

16

Preparat terapi besi per oral : 3

- Fe sulfat (20 % Fe)

- Fe fumarat (33 % Fe)

- Fe succinate (12 % Fe)

- Fe gluconate (12 % Fe)

Respons terhadap pemberian besi pada ADB

Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang dewasa

dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang bersifat sementara dapat dihindari

denganmeletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan. 1,8

Tabel 3: Respons pemberian besi

Waktu setelah Pemberian besi Respons

12-24 jam Penggantian enzim besi intraselular,

keluhan subjektif berkurang, nafsu

makan bertambah

36-48 jam Respons awal dari sumsum tulang

hiperplasia eritroid

48-72 jam Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5-7

b. Pemberian preparat besi parenteral

Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal.

Dapatmenyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan

kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran

besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan:1,8

Dosis besi (mg) — BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5

Transfusi darah

Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan

anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi.

Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan

17

karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan

secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman

sambil menunggu respon terapi besi. Jika terdapat gagal jantung yang nyata

dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.1,8,9

10. PROGNOSIS

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan

diketahuipenyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia

danmanifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.

Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa

kemungkinan sebagai berikut: 1,3,8

a. Diagnosis salah

b. Dosis obat tidak adekuat

c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa

d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung menetap

e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti: infeksi,

keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena

defisiensi vitamin B12, asam folat)

f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada

ulkuspeptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi)

11. PENCEGAHAN

Pencegahan merupakan tujuan utama dalam penanganan masalah anemia defisiensi besi,

untuk itu diperlukan pendidikan tentang pemberian makanan dan suplementasi besi. 3,8

a. Makanan

Pemberian ASI minimal 6 bulan.

Hindari minum susu sapi yang berlebih.

Tambahan makanan/bahan yang meningkatkan absorpsi besi (buah-buahan, daging,

unggas)

Hindari peningkatan berat badan yang berlebihan.

Pemberian Fe dalam makanan (iron Fortified Infant Cereal)

18

b. Suplementasi besi

Kebutuhan perhari untuk bayi hingga 1 tahun 2 mg Fe/kgBB.

Bayi prematur membutuhkan Fe dua kali lebih banyak (4mg Fe/kgBB)

Suplementasi besi juga dibutuhkan pada bayi yang minum ASI lebih dari 6 bulan.

Untuk menurunkan frekuensi ADB di Indonesia pemerintah memberikan

suplementasi zat besi sebanyak 60 mg besi elemental tiap minggu selama 16 minggu

dalam setahun kepada anak sekolah, buruh pabrik dan ibu-ibu hamil.

Penyuluhan mengenai perbaikan gizi terutama mengenai pentingnya makanan yang

banyak mengandung zat besi untuk pertumbuhan dan peningkatan prestasi belajar

pada anak remaja.

Iron fortified milk mengandung 11-12 mg Fe perliter dan yang diserap tubuh hanya

4% (0,48 mg Fe). ASI mengandung 0,3 mg Fe/liter dan yang dapat diserap tubuh sebanyak

50% (0,15mg Fe). Unfortified milk mengandung 0,8 mg Fe/liter dan yang diserap tubuh

sebanyak 10% (0,08 mgFe). 3

19

KESIMPULAN

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang

diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita

anemia, dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi.

Anemia defisiensi besi pada anak akan memberikan dampak yang negatif terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak, antara lain dapat menurunkan sistem kekebalan

tubuh sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Defisiensi besi juga dapat

mengakibatkan gangguan pertumbuhan organ tubuh akibat oksigenasi ke jaringan

berkurang. Dan yang paling penting adalah bila defisiensi besi ini sudah berlangsung lama,

akan menurunkan daya konsentrasi dan prestasi belajar pada anak.

Penyebab utama anemia defisiensi besi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup

dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan

menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang memperberat

keadaan anemia yang diderita pada daerah–daerah tertentu terutama daerah pedesaan

menyatakan bahwa anemia defisiensi besi juga dipengaruhi oleh faktor–faktor lain seperti

sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan,

daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor tersebut saling berkaitan

Anemia ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling sering tcrjadi pada bayi

dan anak. Pencegahan dapat dilakukan melalui asupan makanan dan suplementasi zat

besi.Anemia defisiensi besi hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang

mendasarinya, sehingga koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari

pengobatan.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Raspati H, Reniarti L, dkk. 2006. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Hematologi

Onkologi Anak. Cetakan ke-2 IDAI pp 30-42. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

2. Syamsi, BR. 2007. Hubungan defisiensi besi dengan perkembangan fungsi kognitif.

Yogyakarta: MEDIKA Fakultas kedokteran UGM.

3. Soegijanto,S. 2006. Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Jakarta :IDI

4. Behrman Kliegman, Arvin. 2006. Anemia Defisiensi Besi. Nelson’s Textbook of

Pediatrics. Edisi 18 pp 1691-1694. Jakarta. EGC.

5. Soemantri,AG. 2007. Epidemiology of iron deficiency anemia. Yogyakarta: Medika

Fakultas Kedokteran UGM

6. Dwiprahasto,I. 2008. Terapi anemia defisiensi besi berbasis bukti. Yogyakarta.

Medika Fakultas Kedokteran UGM

7. Abdussalam,M. 2006. Diagnosis, pengobatan pencegahan anemia defisiensi besi

pada bayi dan anak. Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM

8. Wahyuni AS. 2007. Anemia Defisiensi Besi Pada Balita.

9. Reksodiputro, H. 2010. Mekanisme anemia defisiensi besi.

10. Negara, NS. 2007. Bioavailibilitas zat besi. Yogyakarta: MEDIKA Fakultas

Kedokteran UGM

11. Hasan, Alatas. 2009. Anemia defisiensi besi. Ilmu kesehatan anak jilid 1. Jakarta.

Penerbit: Bagian Ilmu kesehatan anak FKUI.

12. Almatsies, S. 2007. Penuntun diet. Jakarta.Penerbit: PT.Gramedia Pustaka Utama.

13. Ursula, PR. 2007. Neurodevelopment and cognitives in children with iron deficiency

anemia.  Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM

14. Riswan M. 2008. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil di Beberapa

Praktek Bidan Swasta Dalam Kotamadya Medan.

15. Ridwan,A. 2007. Anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di Indonesia.

16. Andrews, N.C. 2008. Understanding Heme Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9.

21