analisis yuridis pertimbangan hakim mahkamah …/analisis... · kata kunci: peninjauan kembali,...
TRANSCRIPT
1
ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG
DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN
PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM
PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI
(STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
MEGAFURY APRIANDHINI
NIM E 1106149
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS KEWENANGAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DITINJAU DARI ASAS KEPASTIAN
HUKUM DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA
(SEBUAH TELAAH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 12
PK/PID.SUS/2009 DALAM KASUS BANK BALI)
Oleh
MEGAFURY APRIANDHINI
NIM. E1106149
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 11 Maret 2010
Dosen Pembimbing
EDY HERDYANTO, S.H., M.H. NIP. 1957 0629 198503 1 002
3
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG
DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN
PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM
PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI
(STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009)
Oleh
MEGAFURY APRIANDHINI
NIM. E1106149
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 23 Maret 2010
TIM PENGUJI
1. Kristiyadi, S.H., M.Hum. ( ................................. ) NIP. 1958 1225 198601 1 001 Ketua 2. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. ( .................................. ) NIP. 1962 0209 198903 1 001 Sekretaris 3. Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( ................................. ) NIP. 1957 0629 198503 1 002 Anggota
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum
NIP. 1961 0930 198601 1 001
4
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Untuk:
Ayahanda Eko Kuswanto, Ibunda Siti Rumilah, Adinda Arwinda Arisundara
Aku bersyukur karena Skripsi ini adalah sesuatu yang sangat
menyenangkan untuk dikerjakan dan ku pelajari keindahan-keindahan dalam setiap prosesnya
sehingga dapat terselesaikan dengan mudah dan lancar. Sungguh benar bahwa ALLAH memberikan apa yang benar-benar dibutuhkan
oleh hambaNya dan tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Segala sesuatunya melebihi dari apa yang aku harapkan.
5
ABSTRAK
MEGAFURY APRIANDHINI, E.1106149, ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian Hukum ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim Mahkamah Agung untuk menemukan hukum dalam memeriksa dan memutus terhadap pengajuan peninjauan kembali perkara korupsi BLBI Bank Bali. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : jenis penelitian normatif, metode penelitian kualitatif, pendekatan studi kasus, sifat penelitian deskriptif dan analitis, jenis data yang digunakan adalah data sekunder, sumber data adalah sumber data sekunder yang masih relevan dengan permasalahan yaitu bahan hukum primer (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009), bahan hukum sekunder (buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, koran, makalah, dan majalah), dan bahan hukum tersier (kamus dan internet), teknik pengumpulan data deduksi sosiologisme. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, Bentuk penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali kasus korupsi bank Bali dengan terpidana Djoko S. Tjandra adalah dalam manafsirkan Pasal Pasal 263 ayat (1) KUHAP bahwa peninjauan kembali adalah upaya hukum yang hanya diperuntukkan terpidana dan ahli warisnya dan dengan tidak adanya larangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali maka diartikan dapat mengajukan permohonan. Perbedaan penafsiran lain oleh hakim Mahkamah Agung dan berdasarkan yurisprudensi putusan sebelumnya adalah tidak sesuai dengan kepastian hukum di Indonesia.
Kata kunci: peninjauan kembali, putusan, yurisprudensi.
6
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
berkah, rahmat dan hidayah serta kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul : ANALISIS YURIDIS
PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM
MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN
PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM
PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12
PK/PID.SUS/2009)
Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta untuk
memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tidaklah berlebihan bahwa
penulisan hukum ini penulis kerjakan dengan ketekunan dan telah mencurahkan
segala kemampuan yang ada, namun karya ilmiah ini sangat sederhana dan
mungkin masih banyak kekurangan-kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf
apabila dalam penulisan hukum ini banyak kekurangan serta penulis mohon saran
dan kritk yang membangun dari pembaca sekalian.
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis menyadari bahwa untuk
terselesaikannya penulisan hukum ini, banyak pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan yang berupa bimbingan, saran-saran, nasehat-nasehat,
fasilitas, serta dukungan moril maupun materiil. Oleh karena itu dalam
kesempatan yang baik ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
UNS yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Bapak Edi Herdyanto, S.H., M.H., selaku pembimbing penulisan hukum
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dengan sabar untuk
memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum ini.
7
3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum., selaku pembimbing dosen penguji
dan pembimbing magang dan yang dalam penulisan hukum ini telah banyak
membantu dan memberi masukan positif.
4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji yang banyak
membantu dalam penulisan hukum ini.
5. Bapak Hernawan Hadi, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang
telah membimbing penulis selama proses perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Bapak Harjono, S.H, M.H selaku Ketua Program Non Reguler yang banyak
mengarahkan dan memberi nasehat selama masa kuliah.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam
penulisan hukum ini.
8. Bapak dan Ibu staf karyawan dan dengan semua penghuni kampus Fakultas
Hukum UNS yang telah membantu dan berperan dalam kelancaran kegiatan
proses belajar mengajar dan segala kegiatan mahasiswa di Fakultas Hukum
UNS.
9. Bapak Sholeh, sebagai pemberi ide, pendapat dan informasi yang sangat
berguna sehingga penulisan hukum ini dapat saya kerjakan dengan lancar
dan penuh semangat.
10. Ayahanda Eko Kuswanto dan Ibunda Siti Rumilah tercinta, yang tiada
hentinya mencurahkan kasih sayangnya dan tidak pernah lelah berdoa,
mendorong dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa kuliah
dan menyelesaikan penulisan hukum ini. Terima kasih untuk kasih sayang,
doa serta segenap pengertian, fasilitas, dukungan dan kepercayaan atas segala
jalan yang saya pilih dan keputusan yang saya buat, hanya dengan Ridho
kalian saya dapat berada di sini hingga saat ini.
11. Adikku tersayang, “dek Winda a.k.a. A“ yang selalu memberi keceriaan dan
dukungan dalam segala hal.
8
12. Keluarga di rumah, Mbah Ti, Mbah Kung, Bulik Anok, Paklik Tajab, Dek
Entot, Dek Yaya, Mbah Tro dan segenap keluarga besar Kasreman yang
selalu memberi dukungan dan kasih sayang dalam bentuk apapun.
13. Elsya, sahabatku yang selalu menemani dan menguatkanku dalam
menghadapi segala tantangan hidup ini dengan segala nasehat, dorongan,
kesabaran, keyakinan, kasih sayang bahkan cacian yang sangat berarti bagiku
untuk aku melangkah memilih jalan hidupku.
14. “Gank Ulet Bulu”, Kiki (bestfriend forever), Grecy dan Anik, kalian tidak
pernah tergantikan meski jarak dan kesibukan memisahkan kita, namun
semua itu tidak akan cukup membuat kita goyah.
15. Teman-teman kos “Wisma Endah”, Neneh (kakak, sahabat, teman, dan Ibuku
selama di Solo), Ipung, Nita, Mbak Dyan, Mbak Luky, Mbak Rizky, Vita,
Iies, Ana, yang selalu menjadi keluarga keduaku selama masa kuliahku ini, 4
tahun bersama dengan formasi yang berubah-ubah namun semakin seru dan
menjadi pelepas segala kepenatan selama kuliah.
16. Fibry, yang membuat ceritaku menjadi bermakna, dengan segala kebaikan
dan kesalahan bersamamu, membuatku banyak mengerti dan dapat
mengambil hikmah dari segala pilihan hidup.
17. Nana dan dewi yang selalu membantu, mengingatkan dan memberi
dorongan, tanpa kalian aku tidak akan pernah mampu mengerti akan
kemampuanku dan dapat berada disini.
18. Sahabatku Johan, atas kesabaran, kekompakan, kesediaan, kesetiaan dan
segala kebaikan dengan tulus dan yang pasti terimakasih atas tebengan ke
kampus selama kuliah.
19. Teman-teman kuliah, Ayuk, Lina, Oos, Melly, Devi, Gembong, Ditya, Dyan,
Damar, semua teman-teman, kakak dan adik tingkat Non Reguler yang
dengan kebersamaannya sangat membantu dan membuat kampus sangat
menyenangkan dan berwarna.
20. Teman-teman senasib seperjuangan dalam mengerjakan penulisan hukum
dengan segala informasi dan kesetiannya mendukung dan membantu.
9
21. Teman-teman Magang Mandiri di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
sebulan bersama, marantau dan merasakan bagaimana perjuangan hidup dan
bekerja di ibukota.
22. Pembela KORFaH, Qomar, Bedu, Ndemek dan spesial kepada team basket
FH UNS, Puput dkk (pa) dan Uthe dkk (pi) serta seluruh anggota KORFaH,
segalanya terasa menyenangkan bersama kalian, semoga KORFah dapat
hidup dan bertahan kembali bersama penerus kita.
23. Almamaterku, seluruh para penghuni Fakultas Hukum UNS yang beragam,
yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang indah dan
membuatku sangat bersyukur bisa mengenal kalian semua dan kuliah di
fakultas hukum.
Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat dan faedah kepada pembaca khususnya dan bagi dunia pendidikan pada
umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, 11 Maret 2010
Penulis
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. iv
ABSTRAK................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian.................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian.................................................................. 5
E. Metode Penelitian................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum................................................ 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ....................................................................... 12
1. Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan
Kehakiman ....................................................................... 12
a. ......................................................................... Pengerti
an Hakim ................................................................ 12
b. ......................................................................... Pengerti
an Kekuasaan Kehakiman ...................................... 12
c. ......................................................................... Tugas,
Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim................ 13
2. Tinjauan Tentang Pembuktian ......................................... 14
a. Pengertian dan Jenis Putusan Hakim ...................... 14
b. Formalitas yang Harus Dipenuhi dalam Putusan
Hakim ..................................................................... 16
11
c. Pertimbangan Hakim dalam Putusan ...................... 16
3. Tinjauan Tentang Putusan Bebas (Vrijspraak)................. 16
4. Tinjauan Umum Tentang Peninjauan Kembali ............... 17
a. ......................................................................... Pengerti
an Peninjauan Kembali........................................... 17
b. ......................................................................... Proses
Acara Peninjauan Kembali dalam KUHAP ...........
................................................................................ 18
5. Tinjauan Umum Tentang Hak Penuntut Umum
Mengajukan Peninjauan Kembali.................................... 24
6.................................................................................... Pengatu
ran Tentang Peninjauan Kembali dalam
Perundang-Undangan di Indonesia ................................... 27
a. ......................................................................... Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP .................................................................. 27
b. ......................................................................... Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
............................................................................31
c. ......................................................................... Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman ........................................... 36
B. Kerangka Pemikiran................................................................ 36
12
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung yang Memberi
Kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengajukan
Peninjauan Kembali Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor
12 PK/Pid.Sus/2009 terkait Kasus Bank Bali ............................... 38
A. Kasus Posis ............................................................................ 38
B. Identitas Terdakwa ................................................................ 40
C. Dakwaan ................................................................................ 40
D. Tuntuttan ................................................................................ 41
E. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
156/PID.B/2000/PN.Jak.Sel., tanggal 28 Agustus 2000 ........ 42
F. Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI
Nomor 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 ..................... 42
G. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa
Penuntut Umum ..................................................................... 42
H. Bentuk Penemuan Hukum dalam Pemeriksaan Perkara
Peninjauan Kembali ............................................................... 83
I. Amar Putusan Mahkamah Agung dalam Pemeriksaan
Peninjuan Kembali ................................................................ 94
J. Pembahasan ........................................................................... 95
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................ 105
B. Saran....................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3), telah
dijelaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas
hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dari keterangan tersebut
dapat diartikan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang demokratis
dan menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 (Prabandari Tri Hapsari, 2007: 1). Hukum itu sendiri mempunyai
arti sebagai suatu norma atau kaidah yang memuat aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun
masyarakat. Dengan adanya hukum dimaksudkan untuk menciptakan
keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagai negara hukum, negara melalui alat negara penegak hukum dan
menjalankan tugas dan kewenangan harus berdasarkan hukum atau dapat
dipertanggung jawabkan secara hukum. Dalam penegakan hukum di Indonesia
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang terdiri dari Kepolisian yang
bertindak sebagai penyelidik dan penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut umum
dan pengadilan yang memutus perkara. Peradilan dengan pemutus perkara
pidana akan ditentukan dengan adanya lembaga upaya hukum. Upaya hukum
terdiri dari upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi, dan upaya hukum
luar biasa yaitu Peninjauan Kembali dan Kasasi demi kepentingan hukum.
Lembaga peradilan disebut baik, apabila prosesnya berlangsung secara
jujur, bersih dan tidak memihak, selain itu juga harus memenuhi prinsip-
prinsip yang sifatnya terbuka, korektif, dan rekorektif. Dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) telah diatur upaya hukum banding dan kasasi sebagai upaya hukum
biasa dan upaya hukum terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
berupa kasasi demi kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali. Hal ini
dikarenakan bahwa aparatur hakim sebagai manusia biasa juga tidak lepas dari
kesalahan dan kekurangan, maka negara kita melengkapi upaya hukum
14
terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dengan kasasi
demi kepentingan hukum yang pengaturannya terdapat di dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 dalam bab XVIII bagian kesatu Pasal 259 ayat
(1) yang menyatakan bahwa “Demi kepentingan hukum terhadap putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali perohonan kasasi oleh
Jaksa Agung” dan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang memberikan hak kepada terpidana
atau ahli warisnya, pengaturannya terutama dapat ditemui dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Bab XVIII bagian kedua
mengatur mengenai lembaga Peninjauan Kembali.
Sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau
warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali, maka
menimbulkan suatu pertanyaan bagaimanakah pihak lain selain terpidana
dapat mengajukan upaya hukum tersebut. Pihak lain tersebut diantaranya
adalah jaksa, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan,
yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah putusan
yang salah. Oleh karena itu berbagai celah digunakan untuk mewujudkan
keadilan yang dicari oleh semua pihak.
Sikap aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum akan
berpengaruh terhadap kepastian hukum di Indonesia ke depan dan rasa
keadilan dalam masyarakat. Masalah Peninjauan Kembali dipandang perlu
adanya pengaturan lebih jelas dan tegas dalam iusconstituendum, bagaimana
kedudukan adanya novum (bukti baru) sebagai syarat limit apabila
dimungkinkan pihak selain terpidana atau ahli warisnya akan menggunakan
upaya hukum novum seperti lembaga kejaksaan baik Penuntut Umum atau
Jaksa Agung.
Dalam hal ini penulis mencoba melihat lagi ke belakang pada kasus
Muchtar Pakpahan yang dalam pertimbangan hukum yang diberikan
15
Mahkamah Agung yang tertuang dalam putusannya disebut-sebut telah
menjadi yurisprudensi yang akan menjadi sumber hukum bagi penyelesaian
peristiwa konkrit hukum sejenis. Mahkamah Agung dalam putusan bernomor
55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Agustus 1996 mengabulkan permohonan
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Agung. Kasus ini sejenis
dengan kasus yang penulis angkat sebagai bahan kajian penulisan hukum
yaitu dalam kasus BLBI Bank Bali dengan terpidana Djoko S. Tjandra,
dimana setelah dikeluarkannya putusan berkekuatan hukum tetap jaksa
penuntut umum mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung yang kemudian permohonan tersebut diterima.
Dalam hal penerimaan permohonan peninjauan kembali terhadap kasus
Djoko S. Tjandra oleh Mahkamah Agung telah menimbulkan suatu
pertanyaan, apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim mengabulkan
permintaan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali
dengan berpegang pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah mengatur
secara tegas dan limitatif bahwa yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali
adalah terpidana atau ahli warisnya, kemudian bagaimana putusan Peninjauan
Kembali tersebut dikabulkan terhadap putusan bebas terhadap terdakwa, yang
telah berkekuatan hukum tetap.
Berbagai pertanyaan yang timbul menyebabkan adanya suatu telaah
bahwa telah terdapat suatu tumbukan permasalahan hukum yaitu adanya
kesalahan persepsi dalam melaksanakan suatu upaya hukum. Karena sesuai
dengan tujuan hukum acara dalam KUHAP yaitu untuk mencari kebenaran
materiil dalam suatu peradilan pidana, yaitu hukum acara (pidana formil)
mengatur tentang bagaiamana negara melalui alat-alatnya melaksanakan
haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, atau terdapat pada
Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman
sebagai berikut:
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebernaran materiil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
16
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut
Umum dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan kata lain
dari perspektif empiris, adanya keinginan untuk keluar dari sifat limitasi yang
dikandung dalam KUHAP telah menjadi kenyataan yang patut dicermati
secara sungguh-sungguh. Kemudian bagaimana analisis terhadap hal tersebut,
apa yang menjadi alasan yuridis, dan bagaimanakah terhadap penerapan
kepastian hukum di Indonesia, maka penulis mencoba untuk membahas
masalah ini dengan mengangkat judul:
”ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH
AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP
PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM
DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN
NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009)”.
B. Rumusan Masalah
Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk
mengidentifikasikan persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak
dicapai menjadi jelas, terarah serta mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bagaimanakah pertimbangan Mahkamah Agung yang memberi kewenangan
Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali pada Putusan
Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 terkait kasus Bank Bali?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas
yang hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam
17
melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin
dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui pertimbangan hakim dan penemuan hukumnya,
sehingga dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 12
PK/Pid.Sus./2009.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan
dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan
pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan
praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis.
c. Untuk melatih kemampuan dan ketrampilan penulisan hukum penulis.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan
kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang
didapat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data
sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk
mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu
hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya.
c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalm mengadakan penelitian
sejenis berikutnya disamping itu sebagai pedoman bagi peneliti yang
lain di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi jawaban atas masalah yang diteliti.
18
b. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai
bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang
terkait dengan masalah yang diteliti dan berguna bagi para pihak yang
berminat pada masalah yang sama.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah berdasarkan pada
metode, sistematis dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa. (Soerjono
Soekanto, 1986:43). Selain dari apa yang tercantum dalam pengertian tersebut,
dalam penelitan hukum juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap
fakta hukum tersebut, kemudian mengusahakan pemecahan terhadap
permasalahan-permasalahan yang timbul pada gejala yang bersangkutan.
Peneliti hukum dalam penelitian hukum melakukan aktivitasnya untuk
mengungkapkan kebenaran hukum dilakukan secara terencana dan
metodologis, sistematis dan konsisten. (Bambang Sunggono, 2003: 38). Oleh
karena itu di dalam suatu penelitian hukum merupakan suatu faktor yang
penting dan menunjang proses pembahasan suatu permasalahan, dapat
dikatakan bahwa metode merupakan cara uatam yang digunakan dalam
mencapai tujuan penelitian.
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau
penulisan hukum kepustakaan. Yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yaitu data yang
diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka. Bahan-
bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Penelitian
hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
19
meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka (Soerjono Soekanto &
Sri Mamudji, 2006:13-14).
2. Metodologi
Penelitian ini menggunakan jenis metodologi kualitatif, dimana
dengan mendasarkan pada data yang dinyatakan secara lisan maupun
tulisan, dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai
suatu yang utuh ( Soerjono Soekanto 1986:250).
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini dimaksudkan
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek
penelitian, misalnya perilaku, persepsi, tindakan, secara holistik dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
3. Pendekatan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kasus (case approach), yaitu bertujuan untuk mempelajari penerapan
norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang
dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi
fokus penelitian. Jelas kasus-kasus yang telah terjadi bermakna empiris,
namun dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari
untuk memeperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam
suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil
analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplansi hukum (Johnny
Ibrahim, 2005: 321).
Dalam penelitian hukum ini yang menjadi fokus penelitian adalah
putusan Mahkamah Agung No. 12 PK/Pid.Sus/2009. Yaitu bagaimana
penerapan hukum atau penormaan terhadap putusan Mahkamah Agung
tersebut.
4. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dan analitis, dimana penelitian ini
disamping bermaksud untuk memberikan gambaran mengenai objek baik
20
dalam teori maupun dalam studi kasus juga bermaksud melakukan analisa
secara yuridis. Penelitian deskriptif itu sendiri mempunyai pengertian
sebagai suatu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan tentang
keadaan dan gejala-gejala lainnya dengan cara mengumpulkan data,
menyusun, mengklarifikasi, menganalisa, serta mengintrepretasikannya
(Soerjono Soekanto, 1986: 10).
Putusan Mahkamah Agung yang menjadi penelitian hukum ini
dianalisis secara yuridis, guna untuk mencari bagaimana pertimbangan
hakim dalam pengambilan putusan dengan cara mengumpulkan data,
menganalisa dan mengintreprestasikannya.
5. Jenis Data
Berkaitan dengan jenis penelitian yang dilakukan penulis yang
merupakan penelitian normatif, maka jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah jenis data sekunder. Data sekunder adalah data yang
diperoleh melalui studi kepustakaan. Data sekunder didapat dari sejumlah
keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu
melalui studi kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku
literatur, laporan hasil penelitian, literatur, peraturan perundang-undangan
dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
6. Sumber Data
Sumber data adalah tempat dimana penelitian ini diperoleh.
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu
tempat dimana diperoleh data sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini, meliputi :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat
mengikat (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006:13). Yang
menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini adalah:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
21
3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
4) Putusan hakim Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009
dalam kasus Bank Bali.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer (Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, 2006:13). Bahan hukum sekunder ini meliputi: jurnal,
literatur, buku, koran, laporan penelitian dan lain sebagainya yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
c. Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
(Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006:13). Bahan hukum tersier
yang digunakan adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus
Hukum.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil
penelitian menjadi suatu laporan. Di dalam sebuah penelitian hukum
normatif, pengelolaan data hakekatnya merupakan kegiatan untuk
mengadakan sistematika terhadap bahan hukum tertulis. Sistematika
berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk
memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi (Soerjono Soekanto, 1986:
251-252).
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah dengan metode deduksi. Sebagaimana silogisme yang diajarkan
oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari
pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua
premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Selanjutnya
Hadjon dalam pemaparannya mengemukakan bahwa di dalam logika
silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor adalah
22
aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2005: 47). Sehingga dalam penelitian hukum ini yang
menjadi premis minornya adalah pertimbangan hakim Mahkamah Agung
dalam menerima permohonan peninjauan kembali oleh penuntut umum
dan yang merupakan premis mayornya adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP terutama dalam Pasal 263 ayat (1).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan,
penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun
sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka
teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis
akan menguraikan tinjauan umum tentang hakim dan kekuasaan
kehakiman, putusan hakim, putusan bebas, peninjauan kembali,
hak penutut umum mengajukan peninjauan kembali, asas
kepastian hukum, dan penerapan KUHAP. Sedangkan dalam
kerangka pemikiran penulis akan menampilkan bagan kerangka
pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai analisis
kewenangan pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut
Umum ditinjau dasri asas kepastian hukum dalam perspektif
KUHAP terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 12
PK/Pid.Sus/2009 dalam kasus Bank Bali.
BAB IV : PENUTUP
23
Dalam bab ini akan diuraikan simpulan mengenai hasil penelitian
yang telah diuraikan dalam Bab III dan juga berisi saran
sehubungan dengan hasil penelitian yang telah didapat.
DAFTAR PUSTAKA
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman
Aparat penegak hukum yang melaksanakan penegakan hukum
adalah kepolisian sebagai penyidik, Jaksa Penuntut Umum sebagai
penuntut umum dan hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan
putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan
integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan.
a. Pengertian Hakim
Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP
yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara
yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Selain
di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
undang-undang.
b. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka,
seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu
bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan
pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam
Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti
bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang.
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang
memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi
kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat
25
hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada
penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil
akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala
yang diputuskannya.
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan
masalah bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan
keyakinannya dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim
dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum.
Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada
yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal yang biasa disebut
dengan doktrin.
Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak
menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian,
menurut hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah,
misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam
KUHAP (Andi Hamzah, 2005: 99-101).
c. Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim
Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim
adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga
keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan
masyarakat Indonesia.
Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim
mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum.
Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan
tertuang dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung
jawab profesi. Tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu :
1) Tanggung jawab moral
26
Adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi
yang bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun
bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan
wadah para hakim bersangkutan.
2) Tanggung jawab hukum
Adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk
dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-
rambu hukum.
3) Tanggung jawab teknis profesi
Adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk
melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria
teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan,
baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam
lembaganya.
2. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim
a. Pengertian dan Jenis Putusan Hakim
Pengertian putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan
Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI tahun 1985
adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan
sebagai terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan
perkara di sidang pengadilan. (Evi Hartanti, 2006: 52)
Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP diatur bahwa putusan
sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan
permufakatan yang bulat, kecuali hal itu telah diusahakan sungguh-
sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara:
1) Putusan diambil dengan suara terbanyak.
27
2) Jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh
putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling
menguntungkan bagi terdakwa.
Jenis-jenis putusan hakim dalam perkara pidana,
diklasifikasikan menjadi dua,yaitu :
1) Putusan yang bukan putusan akhir
Dalam praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan
putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela. Putusan
jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat
(1) KUHAP, yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan
apabila terdakwa dan atau penasihat hukumnya mengajukan
keberatan/eksepi terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum
(Lilik Mulyadi, 2007: 125). Putusan yang bukan putusan akhir,
antara lain :
a) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili.
b) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi
hukum.
c) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat
diterima.
2) Putusan akhir
Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah
“putusan” atau “eind vonnis” dan merupakan jenis putusan
bersifat materiil. Pada hakikatnya putusan akhir dapat terjadi
setelah Majelis Hakim memeriksa terdakwa yang hadir di
persidangan sampai dengan “pokok perkara” selesai diperiksa.
(Lilik Mulyadi, 2007 : 124). Bentuk dari putusan akhir, antara
lain :
a) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala
tuntutan hukum (Onslag van alle rechtsvervolging).
b) Putusan bebas (vrijspraak).
c) Putusan pemidanaan (veroordeling).
28
b. Formalitas yang Harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim
Secara umum formalitas yang harus ada dalam suatu putusan
hakim baik terhadap putusan permohonan Peninjauan Kembali
dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP. Dari ketentuan tersebut sedikitnya
10 (sepuluh) buah elemen harus terpenuhi. Dan menurut ayat (2)
pasal tersebut, apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi kecuali
yang tersebut pada huruf g dan i, maka putusan batal demi hukum
(van rechtswege nietig ).
c. Pertimbangan Hakim dalam Putusan
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu :
1) Pertimbangan yang bersifat yuridis
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan
hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap
dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai
hal yang harus dimuat di dalam putusan.
2) Pertimbangan yang bersifat non yuridis.
Pertimbangan yang tidak berdasarkan Undang-Undang
atau pertimbangan yang berdasarkan peraturan di luar Undang-
Undang.
3. Tinjauan Tentang Putusan Bebas (Vrijspraak)
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi “ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa
diputus bebas ”.
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup
terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
29
4. Tinjauan Umum Tentang Peninjauan Kembali
a. Pengertian Peninjauan Kembali
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak
memberikan definisi mengenai Peninjauan Kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, oleh
karena itu pengertiannya harus dicari baik di dalam penjelasannya.
Disamping itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan praktek turut
pula menunjang di dalam mencari pengertian tersebut. Dalam pasal
263 Ayat (1) KUHAP, dijelaskan bahwa terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau
ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali
kepada Mahkamah Agung. Dalam penjelasan Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP hanya menyebutkan bahwa pasal ini memuat alasan secara
limiatif untuk dapat dipergunakan meminta Peninjauan Kembali
suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dalam penjelasan tersebut tidak dijelaskan mengenai
pengertian Peninjauan Kembali. Hal tersebut memberikan arti bahwa
pembuat undang-undang menganggap bahwa para pembaca KUHAP
telah mengerti maksud pembuat undang-undang.
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan memberikan definisi:
Peninjauan Kembali, yaitu hak terpidana untuk meminta
memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai
akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam menjatuhkan
putusannya. Subyek pengaju/ pemohon Peninjauan Kembali
merupakan hak semata dari terpidana manurut pengertian tersebut
atau hak bahwa Peninjauan Kembali bukan merupakan hak Jaksa
Penuntut Umum, apalagi upaya jaksa tersebut memohonkan
Peninjauan Kembali seseorang yang telah diputus pengadilan secara
tanpa pemidanaan.
30
Berdasar uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa Peninjauan
Kembali memiliki unsur-unsur yang sangat limitatif sebagai berikut:
a. Meninjau Kembali
b. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
c. Tidak merupakan putusan bebas atau putusan lepas
d. Ditujukan untuk terpidana atau ahli warisnya
b. Proses Acara Peninjauan Kembali dalam KUHAP
1) Putusan pengadilan yang dapat dimintakan Peninjauan Kembali,
yaitu:
a) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Upaya hukum Peninjauan Kembali baru dapat
dipergunakan setelah upaya hukum biasa (banding dan
kasasi) telah tertutup. Tahap proses upaya hukum Peninjauan
Kembali adalah tahap proses yang telah melampaui upaya
hukum biasa.
b) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan
Upaya hukum Peninjauan Kembali dapat diajukan
terhadap semua putusan pengadilan, dapat diajukan terhadap
putusan Pengadilan Negeri, apabila putusan tersebut telah
berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap putusan
Mahkamah Agung, dapat diajukan permintaan Peninjauan
Kembali, setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan
hukum tetap.
c) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas terhadap semua
tuntutan hukum
Terpidana yang sudah dibebaskan dari pemidanaan
atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak mungkin
mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang
menguntungkan dirinya.
31
2) Para ahli yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menegaskan mengenai pihak
yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali, yakni terpidana
atau ahli warisnya. Dari penegasan tersebut, Jaksa Penuntut
Umum tidak berhak mengajukan permintaan Peninjauan
Kembali. Dapat dilihat dari ketentuan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP, undang-undang tidak memberi hak kepada Jaksa
Penuntut Umum karena upaya hukum ini bertujuan untuk
melindungi kepentingan terpidana. Hak mengajukan permintaan
Peninjauan Kembali adalah merupakan hak timbal balik yang
diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan
ha mengajukan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan
undang-undang kepada Penuntut Umum melalui Jaksa Agung
seperti diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang
selengakapnya berbunyi “Demi kepentingan hukum terhadap
semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dari pengadilan lain selain Mahkamah Agung, dapat diajukan
satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung”.
3) Alasan Peninjauan Kembali
Ketentuan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 263 ayat (2):
a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan tuntutan pidana yang lebih ringan.
Bukti baru atau disebut juga novum merupakan satu dari
alasan limitatif untuk pengajuan Peninjauan Kembali.
32
b) Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
c) Apabila putusan itu telah dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata.
d) Apabila dalam suatu putusan, suatu perbuatan yang
didakwakan telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti
oleh suatu pemidanaan. Ketentuan ini terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP Pasal
263 ayat 93).
4) Tata cara mengajukan Peninjauan Kembali
a) Permintaan diajukan kepada panitera
Pemohon mengajukan permintaan kepada penitera
Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu pada tingkat
pertama. Pengadilan negeri selanjutnya akan meneruskan
permintaan itu kepada Mahkamah Agung. Permintaan
Peninjauan Kembali pada prinsipnya diajukan secara tertulis
dan boleh juga diajukan secara lisan, dengan menyebutkan
alasan-alasan yang mendasari permintaan Peninjauan
Kembali.
b) Panitera membuat Akta permintaan Peninjauan Kembali
Untuk pertanggungjawaban yuridis panitera Pengadilan
Negeri yang menerima permohonan permintaan mencatat
dalam sebuah surat keterangan yang lazim disebut “akta
permintaan Peninjauan Kembali”. Akta atau surat keterangan
ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian akta
tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.
c) Tenggang waktu mengajukan permintaan Peninjauan
Kembali
33
Mengenai tenggang waktu mengajukan permintaan
Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 264 ayat (93) yang
menegaskan bahwa permintaan adalah ada atau tidak alasan
yang mampu mendukung permintaan Peninjauan Kembali.
5) Pemeriksaan permintaan di sidang Pengadilan Negeri
a) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan
memeriksa
Setelah menerima permintaan Peninjauan Kembali,
ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan
penunjukan hakim. Hakim yang ditunjuk tidak boleh yang
dulu memeriksa dan memutus perkara yang diajukan
Peninjauan Kembali tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga netralitas dan objektivitas terhadap pemeriksaan
permohonan Peninjauan Kembali tersebut, dan tetap
mengingat bahwa hakim atau majelis yang ditunjuk harus
hakim yang tidak terlibat dalam pemeriksaan perkara
semula. (M. Yahya Harahap, 2002: 625-626).
b) Objek pemeriksaan sidang
Pemeriksaan sidang hanya pada alasan permintaan
Peninjauan Kembali dan tidak di luar hal yang menjadi
alasan permohonan Peninjauan Kembali. Hakim meneliti
dan menguji apakah alasan pengajuan sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Pasal 263 ayat (2). Hakim hanya berwenang menilai secara
formal yang akan dituangkan dalam berita acara pendapat.
Sedangkan dari segi materiil merupakan wewenang
Mahkamah Agung dalam melakukan penilaian terhadap
alasan Peninjauan Kembali yang diajukan.
c) Sifat pemeriksaan persidangan resmi dan terbuka untuk
umum
34
Pasal 265 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang KUHAP mengatakan bahwa Jaksa Penuntut
Umum dan pemohon lkut hadir dalam menentukan
pendapatnya. Berdasarkan Pasal 265 tersebut dapat dilihat
bahwa sifat pemeriksaannya resmi dan terbuka untuk umum,
hanya saja pemeriksaan berbeda dengan sidang biasanya.
d) Berita acara pemeriksaan
Pasal 265 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang KUHAP mengatakan “Atas pemeriksaan
tersebut dibuat pemeriksaan tersebutdibuat acara
pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa,
pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara pendapat
yang ditandantangani oleh hakim dan panitera”. Ketentuan
dalam Pasal 265 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang KUHAP ini berbeda dan merupakan
penyimapangan terhadap Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan
bahwa berita acara sidang ditandatangani oleh hakim dan
penitera.
e) Berita acara pendapat
Terdapat dua berita acara dalam pemeriksaan
pengajuan Peninjauan Kembali di sidang Pengadilan Negeri,
yaitu berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat.
Jadi berita acara pendapat merupakan pendapat dan
kesimpulan yang berisi penjelasan dan saran Pengadilan
Negeri yang disampaikan kepada Mahkamah Agung agar
menerima atau menolak pengajuan Peninjauan Kembali
tersebut karena sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 263 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP; juga dapat perumusan dari berita
pemeriksaan sesuai ketentuan Pasal 265 ayat (3).
35
f) Pengadilan Negeri melanjutkan permintaan Peninjauan
Kembali kepada Mahkaah Agung
Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 264
ayat (5) dan Pasal 265 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP. Namun ketentuan dalam pasal
yang pertama tidak efektif dan mubazir, karena dalam Pasal
265 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP ketentuannya lebih terperinci yang berbunyi “Ketua
pengadilan segera malanjutkan permintaan Peninjauan
Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara
pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada mahkamah
Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan
kepada pemohon dan jaksa.
6) Putusan Peninjauan Kembali, yang berupa:
a) Putusan pemidanaan, yaitu putusan yang berisi penjatuhan
pidana atau putusan yang berisi penghukuman atau putusan
yang berupa pernyataan salah terhadap terdakwa, yang
terdapat dalam Pasal 193 Ayat (1) KUHAP jo. Pasal 183
KUHAP.
b) Putusan bebas, hakim akan memutus bebas jika kesalahan
terdakwa tentang melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, yang
terdapat dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP.
c) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan ini
dijatuhkan jika perbuatan terdakwa yang terbukti itu bukan
merupakan suatu tindak pidana, atau hilang sifat melawan
hukumnya perbuatan karena dibenarkan oleh UU (pasal 191
Ayat (2) KUHAP.
7) Asas yang ditentukan dalam Peninjauan Kembali, yaitu:
a) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.
36
Asas ini bermaksud membuka kesempatan bagi
terpidana untuk membela kepentingan, agar bisa terlepas dar
ketidakbenaran penegakan hukum.
b) Permintaan Peninjauan Kembali tidak mengguhkan putusan.
Asas ini menghendaki sikap dan kebijakan yang
matang dan beralasan serta mengaitkan dengan jenis tindak
pidana maupun dengan sifat dan kualitas alasan yang menjadi
landasan permintaan Peninjauan Kembali.
c) Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu
kali.
Sesuai yang terdapat dalam Pasal 268 Ayat (3) yang
berbunyi “permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan
hanya dapat dilakukan satu kali saja”.
5. Tinjauan Umum Tentang Hak Penuntut Umum Mengajukan
Peninjauan Kembali
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1
Ayat (6) huruf a menyebutkan Jaksa adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Ketentuan ini juga dinyatakan dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kajaksaan RI Pasal 1 menyebutkan jaksa
adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (2)
menyebutkan Penuntut Umum adalah jaksa yang diberian wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
Dalam pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
menyatakan bahwa Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan
atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
37
Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti
yang sah. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa
senantiasa bertindakan berdasarkan hukum dengan menindahkan norma-
norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat,
serta senantiasa menjadi kehormatan dan martabat profesinya. Kejaksaan
merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan yang merupakan kesatuan dan tidak terpisah-pisah
dalam melakukan penuntutan. Pelaksanaan kekuasaan negara
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dilaksanakan oleh Kejaksaan
Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.
Penegakan kepastian hukum dengan mengorbankan rasa keadilan
masyarakat lantaran putusan pengadilan yang mengandung kekhilafan
hakim merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita hukum khususnya
KUHAP itu sendiri. Tetapi di lain pihak mengorbankan kepastian hukum
demi mementingkan rasa keadilan masyarakat juga akan menimbulkan
runtuhnya wibawa hukum yang berakibat lebih jauh timbulnya anarki
dan kekacauan maka usaha untuk menemukan hukum dalam
peneyelesaian masalah dimungkinkannya Peninjauan Kembali oleh Jaksa
Penuntut Umum harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tetap
mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam
hal ini KUHAP. Oleh karena itu hukum sering dikatakan adalah apa yang
menjadi perilaku para penegaknya khususnya khususnya hakim melalui
putusannya.
Dengan lahirnya putusan Nomor 55 PK/Pid/1996 (tanggal 25
Oktober) yang menerima secara formal permintaan peninjauan kembali
penuntut umum dalam kasus Muchtar Pakpahan, telah menimbulkan
suatu pandangan atau telah menjadi preseden Jaksa Penuntut Umum
untuk melakukan peninjauan kembali. Putusan tersebut telah menjadi
38
yurisprudensi baru, dimana memperbolehkan pihak selain terpidana atau
ahli warisnya mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.
Istilah yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia yang berasal
dari bahasa latin, yang dalam bahasa Indonesianya berarti pengetahuan
hukum. Istilah lainnya adalah yurisprudentie dalam bahasa Belanda dan
juridprudence dalam bahasa Perancis yang berarti peradilan-tetap atau
hukum-peradilan.
Sesuai pasal 263 ayat (3) KUHAP bahwa atas dasar alasan yang
sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu pemidanaan, maka menurut Prof. Dr. Andi Hamzah
SH, hanya berarti untuk rehabilitasi nama terdakwa belaka.
Menurut Al. Wisnubroto dalam keadaan normal, aturan bahwa
PK adalah hak terpidana dan ahli warisnya adalah prinsip yang harus
ditegakkan. Namun bila keadaannya bersifat anomaly seperti extra-
ordinary crimes (misal: Kejahatan Lingkungan, Korupsi, Pelanggaran
HAM berat) harus ada sebuah pengecualian guna membuka kebuntuan
hukum dalam pencapaian keadilan. Prinsip progresif dalam pengecualian
PK kontroversial ini berlaku pula untuk PK atas PK dan PK yang
diajukan lebih dari dua kali. Bila pengecualian yang berupa terobosan
hukum (rule breaking) tersebut dipandang bisa memberikan keadilan
yang substansial, maka ke depan seyogyanya pengecualian tersebut bisa
diintegrasikan pada penyempurnaan aturan PK dalam hukum positif
(KUHAP), agar tidak ada persoalan lagi pada kepastian hukumnya.
Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan prinsipnya peninjauan
kembali oleh jaksa memang tidak dibolehkan. Kecuali jaksa bisa
membuktikan dan meyakinkan hakim agung ada kepentingan umum dan
kepentingan negara yang lebih besar yang harus dilindungi. Karenanya,
MA tak sembarangan mengabulkan PK yang diajukan jaksa. Dua syarat,
39
adanya kepentingan umum dan kepentingan negara, harus benar-benar
terpenuhi.
Sedangkan menurut M. Yahya Harahap SH, seseorang yang telah
dijatuhi putusan bebas, harus dihormati dan dijunjung tinggi hak asasi
atas pembebasan kesalahan yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan
landasan Hak Asasi Manusia yang demikian, terhadap putusan
pembebasan, jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan peninjauan
kembali. Lagi pula Pasal 263 KUHAP, menutup pintu bagi penuntut
umum untuk mengajukan peninjauan kembali.
6. Pengaturan Tentang Peninjauan Kembali dalam Perundang-
Undangan di Indonesia
Dalam aturan tentang Peninjauan Kembali dalam KUHAP ini
terdapat pada berbagai pasal, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Pasal 1
12) Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan
atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 263
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
40
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b) apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c) apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2)
terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan
kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang
didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti
oleh suatu pemidanaan.
Pasal 264
1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera
pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat
pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 245 ayat (2)
berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.
3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu
jangka waktu.
4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang
kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima
permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah
alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera
membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan
peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada penjauan
41
kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung,
disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 265
1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan
kembali sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (1)
menunjukkan hakim yang tidak memerisa perkara semula yang
dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah
permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (2).
2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1),
pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan
pendapatnya.
3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang
ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan
berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang
ditandatangani oleh hakim dan panitera.
4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan
kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara
pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah
Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada
pemohon dan jaksa.
5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali
adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat
pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara
pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaiakan
kepada pengadilan banding yang bersangkutan.
Pasal 266
1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana tersebut pada pasal 263 ayat (2),
Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan
kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya.
42
2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan
peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a) Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan
pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan
peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan
yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku
disertai dasar pertimbangannya;
b) Apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang
dapat berupa:
1) putusan bebas;
2) putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan.
3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak
boleh melebihi pidana yag telah dijatuhkan dalam putusan
semula.
Pasal 267
1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali
beserta berkas perkaranya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang
melanjutkan permintaan peninjauan kembali.
2) Ketentuan sebagiamana dimaksudkan dalam Pasal 243 ayat (2),
ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan
Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.
Pasal 268
43
1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan
tersebut.
2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima
oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal
dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali
tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja.
Pasal 269
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan
Pasal 268 berlaku begi acara permintaan peninjauan kembali
terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung
Pasal 34
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan
kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-
alasan yang diatur dalam Bab IV bagian keempat undang-undang ini.
Pasal 66
1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu)
kali.
2) Permohonan peninjauan kembali tidak mengangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum
diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan
kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Pasal 67
44
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dijukan hanya berdasarkan
alasan-alasan sebagai berikut.
a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus
atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim
pidana dinyatakan palsu;
b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat yang
bersidat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak
dapat ditemukan;
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih dari pada yang dituntut;
d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal
yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama
atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan
satu dengan yang lain;
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kakhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pasal 68
1) Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh
para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang
wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
2) Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal
dunia, permohona dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Pasal 69
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang
didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67
adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk:
45
a) Yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu
muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan
hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang
berperkara;
b) Yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti,
yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah
sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c) Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada parapihak
yang berperkara;
d) Yang tersebut pada huruf e sejak putusan terakhir dan
bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Pasal 70
1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada
Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama dengan mambayar
biaya perkara yang diperlukan.
2) Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali
pada tingkat pertama dan terakhir.
Pasal 71
1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara
tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang
dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan
Pengadilan Negeri.
2) Apabila permohonan tidak dapat menulis, maka ia menguraikan
permohonannya cesara lisan di hadapan Ketua Pengadilan
Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim
yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan yang akan membuat
catatan tentang permohonan tersebut.
Pasal 72
46
1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan perkara
dalam tingkat pertama menerima permohonan peninjauan
kembali, maka Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya
dalam waktu 14 (empat belas) hari memberikan atau
mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan
pemohon, dengan maksud:
a. Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas
alasan sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 huruf a atau ba
agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk
mengajukan jawabannya;
b. Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan
salah satu alasa yang tersebut Pasal 67 huruf c sampai
dengan huruf f agar dapat diketahui.
2) Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan
jawabannya sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a adalah
30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan
permohonan peninjauan kembali.
3) Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan
yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat
jawaban itu oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal
diterimanya jawaban tersebut, yang salinannya disampaikan atau
dikirimkan pihak pemohon untuk diketahui.
4) Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta
biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
5) Untuk permohonan peninjauan kembali tidak dapat diadakan
surat menyurat antara pemohon dan/ atau pihak lain dengan
Mahkamah Agung.
Pasal 73
1) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pangadilan
Negeri yang memeriksa perkara dalam Tingkat Pertama atau
47
Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara dalam Tingkat
Pertama ata Pengadilan Tingkat Banding mengadakan
pemeriksaan tambahan, atau meminta segala keterangan serta
pertimbangan dari Pengadilan yang dimaksud.
2) Mahkamah Agung dapat meminta pemeriksaan dari Jaksa
Agung atau dari pejabat lain yang diserahi tugas penyidikan
apabila diperlukan.
3) Peengadilan yang dimaksud ayat (1), setelah melaksanakan
perintah Mahkamah Agung tersebut segera mengirimkan berita
acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana
dimaksudkan ayat (1), kepada Mahkamah Agung.
Pasal 74
1) Dalam hal Mahakmah Agung mengabulkan permohonan
peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan
yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya
memeriksa dan memutus sendiri perkaranya.
2) Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali,
dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan
itu tidak beralasan.
3) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan ayat (1)
dan ayat (2) disertai pertimbangan-pertimbangan.
Pasal 75
Mahkamah Agung mengirim salinan putusan atas permohonan
peninjauan kembali kepada Pengadilan Negeri yang memutus
perkara dalam Tingkat Pertama dan selanjutnya Panitera Pengadilan
Negeri yang bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu kepada
pemohon serta memberitahukan putusan itu kepada pihak lawan
dengan memberikan salinanya, selambat-lambatnya dalam waktu 30
(tiga puluh) hari.
Pasal 76
48
Dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan
perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
digunakan secara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Pasal 23
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat
hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-
undang.
2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan an
peninjauan kembali.
B. Kerangka pemikiran
Putusan berkekuatan hukum tetap
Upaya hukum
Peninjauan Kembali (PK)
Praktek peradilan/ yurisprudensi MA
Teoritik pasal 263ayat (1) KUHAP
Jaksa Penuntut Umum Terpidana/Ahli warisnya
Analisis kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan
Peninjauan Kembali
49
Suatu putusan Hakim yang sudah berkekuatan hukum
tetapdimungkinnya diajukannya suatu upaya hukum. Upaya hukum
teralhir yang dapat dilakukan adalah Peninjauan Kembali. Pengaturan
mengenai pengajuan peninjauan kembali secara teoritik terdapat dalam
pasal 263 ayat (1) KUHAP yaitu pihak yang dapat mengajukan peninjauan
kembali adalah terpidana atau ahli warisnya yang memperoleh
pemidanaan. Sedangkan dalam putusan bebas tidak dapat diajukan suatu
peninjauan kembali, karena upaya hukum ini diperuntukkan sebagai upaya
hukum terakhir terpidana apabila merasa belum tercapainya suatu keadilan
kepadanya. Namun dalam praktek peradilan di Indonesia sekarang ini,
jaksa penuntut umum dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap
terdakwa yang sifatnya memberatkan. Hal ini berdasarkan atas
yurisprudensi Mahkamah Agung yaitu sejak dikeluarkannya putusan
Nomor 55 PK/Pid/1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. Hal ini
menimbulkan suatu analisis mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum
dalam mengajukan Peninjauan Kembali dan bagaimanakah dengan
kepastian hukum menurut KUHAP. Berdasarkan permasalahan tersebut di
atas penulis mengangkatnya sebagai sebuah penelitian hukum.
50
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung yang Memberi Kewenangan Jaksa
Penuntut Umum untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Pada Putusan
Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 terkait Kasus Bank Bali.
Pada bab ini peneliti akan menyajikan data yang diperoleh selama
melakukan penelitian, data tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan dan
analisa kasus yang telah menjadi berkas perkara. Berkas perkara disini yang
dipelajari adalah berkas perkara yang telah diputus pada pengadilan tingkat
Peninjauan Kembali yaitu di Mahkamah Agung Jakarta Selatan. Kasus atau
berkas perkara tersebut diperoleh dengan cara pengambilan data dari dokumen
putusan perkara yang tercatat di Mahkamah Agung Jakarta Selatan.
Adapun kasus tersebut di atas dapat didefinisikan sebagai berikut, yaitu
putusan perkara Mahkamah Agung Nomor : 12 PK/Pid.Sus./2009 dalam perkara
Peninjauan Kembali dengan terdakwa Djoko S. Tjandra. Untuk mengetahui lebih
rinci dan mendalam tentang berkas perkara tersebut, maka berikut ini peneliti
akan menguraikan hasil penelitian yang telah diperoleh.
A. Kasus Posisi
Kasus Skandal Bank Bali bermula ketika Djoko S. Tjandra ditahan polisi
karena melakukan korupsi pengalihan hak tagih piutang (Cessie) Bank Bali
yaitu pada 11 Januari 1999, ada perjanjian cessie Bank Bali ke BDNI (Bank
Dagang Nasional Indonesia) sebesar Rp 598 miliar dan BUN (Bank Umum
Nasional) sebesar Rp 200 miliar antara Bank Bali dan PT EGP (Era Giat
Prima). Selanjutnya, 3 Juni 1999 BPPN (Badan Penyehatan Perbankan
Nasional) menginstruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di Bank
Indonesia ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan.
Rinciannya, Rp 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274
miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, dan Rp120 miliar ke
rekening PT EGP di BNI Kuningan. Setelah tagihan itu cair, PT EGP menulis
surat ke BPPN. Isi surat itu adalah permintaan agar kewajiban PT BUN
kepada Bank Bali sebesar Rp 204 miliar dan bunga sebesar Rp 342 miliar
51
dibayarkan kepada PT EGP. Lalu, PT EGP mendapat fee tadi, sebesar
Rp546,468 miliar. Namun karena kemudian kasus ini mencuat ke permukaan
dan Direktur Utama EGP Djoko S. Tjandra dimeja-hijaukan, akhirnya PT
EGP mengembalikan dana tersebut ke Bank Bali. Setelah melalui jalannya
persidangan, pada 28 Agustus 2000 Majelis Hakim tingkat pertama
(Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) yang memeriksa perkara menjatuhkan
vonis bebas (Putusan Nomor 156/PID.B/2000/PN.JAK-SEL) kepada terdakwa
korupsi Djoko S. Tjandra. Kemudian dikarenakan putusan dari Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan adalah lepas dari segala tuntutan hukum, maka
terhadapnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi dan
Majelis Hakim di tingkat Kasasi menjatuhkan putusan pada 28 Juni 2001
(Putusan Nomor 1688 K/Pid/2000) yaitu menolak permohonan Kasasi dari
Pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum. Terhadap putusan Makamah Agung
tersebut maka Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 3 September 2008
mengajukan Peninjauan Kembali. Kemudian Mahkamah Agung melalui
putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus./2009, mengabulkan
Peninjauan Kembali dari Jaksa Penuntut Umum dan menyatakan terdakwa
Djoko S. Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan
tindak pidana korupsi dan dik.nai vonis dua tahun penjara dan denda 15 juta
rupiah. Namun Djoko S. Tjandra dan kuasa hukumnya OC Kaligis
menganggap ada kesalahan fatal dalam putusan Majelis Hakim yang
mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum atas
kasus cessie Bank Bali, bahwa dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP
menyebutkan Peninjauan Kembali itu hanya kepentingan terpidana, kemudian
putusan MK pada 2008, menyatakan secara normatif Pasal 263 ayat (1)
tersebut tidak bisa diubah. Untuk itu kuasa hukum Djoko S. Tjandra
mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung atas putusan
Nomor 12 PK/Pid.Sus./2009 tersebut, dalam permohonannya menyebutkan
bahwa putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan Peninjauan Kembali
dari Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pengalihan hak tagih piutang Bank
Bali adalah kesalahan fatal dalam sejarah tindak pidana di Indonesia, putusan
52
itu memperlihatkan kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata karena
melampaui kewenangan Mahkamah Agung. Dalam KUHAP, tidak ada satu
ketentuan pun yang memberikan hak bagi jaksa mengajukan Peninjauan
Kembali (http://antikorupsi.org/indo). Namun dalam sidang yang dipimpin
Ketua Majelis Hakim Hari Sasangka, pengajuan Peninjauan Kembali oleh
Djoko S. Tjandra tak dibenarkan. Bahwa berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) 10/2009, hanya satu kali pengajuan Peninjauan
Kembali untuk perkara yang sama.
B. Identitas Terdakwa
Nama : Joko Soegiarto Tjandra
Tempat lahir : Sanggau, Kalimantan Barat
Umur/Tanggal lahir : 49 tahun/27 Agustus 1950
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Jl. Simprug Blok I Kav 89 Rt 03/08 Grorol Selatan,
Jakarta Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Direktur PT. Era Giat Prima
C. Dakwaan
Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra diajukan ke persidangan Mahkamah
Agung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dakwaan melanggar :
1. Primair
Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang Undang Nomor 3
Tahun 1971 jo Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1)
ke – 1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang Undang
Hukum Pidana.
2. Subsidair
53
Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 Undang Undang Nomor 3
Tahun 1971 jo Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum
Pidana.
3. Lebih Subsidair Lagi
Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang
Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Pasal 55 ayat (1) ke –1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) Kitab
Undang Undang Hukum Pidana.
4. Lebih Lebih Subsidair Lagi
Pasal 480 ke-1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
D. Tuntutan
Agar Majelis Hakim yang mengadili perkara ini menyatakan JOKO
SOEGIARTO TJANDRA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana kejahatan : “Turut serta melakukan tindak pidana
korupsi dan berturut-turut sebagai perbuatan berlanjut”. Sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam pasal 1 ayat (1) sub a Jo pasal 28 Jo pasal 34 c
Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 Jo Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 Jo Pasal 55ayat (1) ke 1 Jo Pasal 64 ayat (1) Jo Pasal 1 ayat (2) KUHP
dan untuk kesalahannya tersebut mohon agar JOKO SOEGIARTO TJANDRA
dijatuhi :
1. Pidana penjara selama1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dengan ketentuan
bahwa pidana tersebut akan dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan sementara dan pidana denda sebesar Rp 30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
2. Merampas untuk negara barang bukti berupa dana sebesar
Rp.546.468.544.738,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus
enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga
puluh delapan rupiah);
54
3. Sedangkan barang bukti berupa surat-surat sebagaimana tersebut dalam
daftar barang bukti digunakan untuk perkara lain;
4. Mohon agar Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp 7 500,- (tujuh
ribu lima ratus rupiah).
E. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
156/PID.B/2000/PN.Jak.Sel., tanggal 28 Agustus 2000:
1. Menyatakan perbuatan Terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA
tersebut diatas sebagaimana dalam dakwaan Primair terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan perbuatan pidana;
2. Menyatakan Terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA dilepas dari
segala tuntutan hukum (Onslag van rechtverfolging);
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya;
4. Membebankan biaya perkara kepada Negara;
5. Memerintahkan barang bukti berupa dana yang ada dalam Escrow
Account Bank Bali No.0999.045197 sejumlah Rp.546.166.116.369,-
dikembalikan kepada PT. Era Giat Prima;
6. Sedangkan barang bukti berupa dana yang ada pada BNI 46 Rasuna Said
Jakarta Selatan sejumlah Rp.28.756.160,- dikembalikan kepada Terdakwa
JOKO SOEGIARTO TJANDRA;
7. Menyatakan barang bukti lainnya berupa surat-surat sebagaimana dalam
daftar barang bukti digunakan dalam perkara lain;
F. Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No.1688 K/Pid/2000
tanggal 28 Juni 2001:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : JAKSA
PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA
SELATAN, tersebut;
2. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada
Negara.
G. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum:
55
1. Terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan pemidanaan.
Adapun keadaan baru yang dimaksud dalam memori ini adalah:
a. Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Peninjauan Kembali
TUN Nomor : 21.PK/TUN/2003 tanggal 6 Oktober 2004 yang
amarnya: Menolak Permohonan Peninjauan Kembali dari Drs.Setya
Novanto dengan salah satu pertimbangannya di hal. 24 menyatakan :
"bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena pembatalan
perjanjian pengalihan (cessie) tagihan No.002/ PEGP/I-99 tanggal 11
Januari 1999 merupakan masalah perdata, seharusnya permasalahan
yang berkaitan dengan surat keputusan BPPN No.SK.423/BPPN/1999
tanggal 15 Oktober 1999 diselesaikan terlebih dahulu ke peradilan
umum/perdata."
Dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara
Peninjauan Kembali TUN tersebut di atas, maka masalah sah atau
tidaknya pembatalan Cessie oleh BPPN harus diselesaikan melalui
peradilan umum/perdata.
b. Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Peninjauan Kembali
Perdata Nomor : 59 PK/Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007 yang amarnya :
Menolak Permohonan Peninjauan Kembali dari PT.Era Giat Prima
dengan salah satu pertimbangannya di hal. 21 menyatakan:
1) bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,oleh karena alasan-
alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tidak
cukup beralasan karena pertimbangan-pertimbangan putusan kasasi
sudah benar dan tepat tidak terdapat kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata ;
2) bahwa berdasarkan keputusan Gubernur Bank Indonesia No.
1/14/Kep.DP.S/1999 tanggal 23 Juli 1999, Tergugat/Termohon
56
Peninjauan Kembali I (PT.Bank Bali Tbk) telah diserahkan kepada
BPPN untuk dilakukan program penyehatan;
3) bahwa dalam melaksanakan program penyehatan tersebut dan
sesuai dengan kewenangannya seperti yang diatur dalam pasal 37
A ayat (3) huruf d UU No.1 Tahun 1998 jo pasal 19 PP.No.17
Tahun 1999, BPPN pada tanggal 15 Oktober 1999
No.SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan Perjanjian Pengalihan
/Cessie No.002/P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999";
4) bahwa putusan TUN No.148/G.TUN/1999/PT.TUN Jakarta
tanggal 2 Maret 2004 (yang membatalkan SK.BPPN
No.SK.423/BPPN/1999) yang dijadikan dasar dari Judex Facti
untuk mensahkan Perjanjian cessie dan perjanjian-perjanjian
lainnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya
No.447 K/TUN/2000 tanggal 4 Maret 2002;
Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Agung tersebut diatas
maka BPPN berwenang untuk membatalkan cessie antara PT.Bank
Bali,Tbk dan PT.Era Giat Prima maka dengan sendirinya
perjanjian cessie tersebut adalah batal dan tidak sah karena telah
dibatalkan dengan SK Ketua BPPN No. SK/423/BPPN/1999;
Dengan demikian, apabila putusan Mahkamah Agung RI dalam
perkara Peninjauan Kembali Nomor : 59 PK/Pdt/2006 yang
menyatakan bahwa cessie antara PT.Bank Bali,Tbk dan PT. Era
Giat Prima adalah batal, dan tidak sah, telah diketahui pada saat
proses persidangan oleh Judex Juris perkara atas nama terdakwa
JOKO SOEGIARTO TJANDRA, maka dalam putusannya unsur
melawan hukum dalam perkara tersebut seharusnya terbukti dan
dinyatakan bersalah serta dihukum, bukan diputus lepas dari segala
tuntutan (onslag van recht verfolging);
2. Pada pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
57
dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang
lain.
Bahwa dalam perkara pencairan klaim PT.Bank Bali Tbk yang diajukan ke
persidangan sebagai terdakwa antara lain adalah JOKO S.Tjandra dan
Pande N Lubis yang diajukan secara terpisah (splitzing) namun
pertimbangan putusan mengenai unsur turut serta dari ke-2 perkara
tersebut adalah saling bertentangan yaitu :
a. Bahwa Putusan Pidana dalam perkara an. JOKO S. Tjandra
Nomor:1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 Judex Juris dalam
pertimbangan mengenai unsur "Turut serta" menyebutkan:
"Terdakwa tidak berperan apapun dalam hal pencairan tagihan PT.
Bank Bali terhadap PT. BDNI, dan tidak pula terbukti telah
mempengaruhi pejabat BI, BPPN, Depkeu atau pejabat lainnya yang
berkaitan dengan program penjaminan sesuai dengan Keppres No. 26
tahun 1998".
b. bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara pidana an.
Pande N Lubis Nomor : 380 K/Pid/2001 tanggal 10 Maret 2004 Judex
Juris dalam pertimbangan mengenai unsur "Turut serta" menyebutkan
dalam hal 83:
"bahwa unsur turut serta melakukan tersebut menurut pendapat
mahkamah Agung telah dipenuhi oleh perbuatan terdakwa karena
dipersidangan telah terbukti bahwa terdakwa dalam mempersiapkan
pencairan klaim PT. Bank Bali tersebut telah terlebih dahulu
membicarakannya dengan A. A. Baramuli, Tanri Abeng, Joko S
Tjandra, Drs.Setya Novanto, Syahril Sabirin, Firman Soetjahya dan
Irvan Gunardwi".
Bahwa pertimbangan Judex Juris dalam perkara Joko S.Tjandra dan Pande
N Lubis telah menimbulkan pertentangan dalam menafsirkan unsur "turut
serta" walaupun dalam ke-2 putusan tersebut terdapat fakta hukum yang
sama. Fakta hukum tersebut adalah sebagai berikut:
58
a. Bahwa pada tahun 1997 PT. Bank Bali,Tbk telah melakukan transaksi
SWAP' dengan PT. BDNI sebanyak 8 (delapan) kali yang dilakukan
antara tanggal 1 Desember 1997 s/d tanggal 20 Mei 1998 dengan
jumlah total Rp.436.717.230.723,- dan US$ 45.000.000, dimana pada
saat itu (sampai dengan 30 Desember 1997) saldo giro PT. BDNI pada
Bank Indonesia dalam keadaan over draft/saldo debet sebesar
Rp.8.463.711.000.000,- sehingga pada saat transaksi tersebut jatuh
tempo, karena sudah tidak memiliki dana yang cukup PT. BDNI tidak
dapat memenuhi pembayaran kepada PT. Bank Bali atas transaksi
SWAP dan money market tersebut;
b. Bahwa Presiden mengeluarkan Keppres Nomor : 26 Tahun 1998
tanggal 26 Januari 1998 tentang jaminan terhadap kewajiban
pembayaran bank umum di mana PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI
ikut program penjaminan pemerintah;
c. Bahwa PT. Bank Bali,Tbk mengajukan klaim kepada BPPN sebanyak
10 (sepuluh) kali antara tanggal 10 Maret 1998 s/d 12 Februari 1999
terhadap transaksi dengan PT. BDNI, namun ditolak oleh Bank
Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan administrasi
sebagaimana ditentukan dalam SKB.I karena transaksi tersebut
terlambat didaftarkan;
d. Pada tanggal 11 Januari 1999 PT. Bank Bali,Tbk mengalihkan
piutangnya tersebut dengan perjanjian cessie kepada PT. Era Giat
Prima (JOKO SOEGIARTO TJANDRA), namun ternyata tidak diikuti
dengan penyerahan surat-surat berharga dari PT. Era Giat Prima
kepada PT. Bank Bali,Tbk sebagaimana yang dipersyaratkan dalam
perjanjian Cessie tersebut;
e. Ketidakmampuan PT. Era Giat Prima menyerahkan surat-surat
berharga senilai Rp.798.091.770.000,- kepada PT. Bank Bali, Tbk
diketahui dengan adanya surat pernyataan No.002/SP.EGP/I-99
tanggal 11 Januari 1999 dan No.005/SPEGP/IV-99 tanggal 12 April
59
1999 yang ditandatangani JOKO SOEGIARTO TJANDRA selaku
Direktur PT.Era Giat Prima;
f. Terjadi beberapa kali pertemuan antara JOKO SOEGIARTO
TJANDRA, A. A. BARAMULI, SETYA NOVANTO dan beberapa
orang lainnya dengan
g. Berdasarkan surat kuasa No.02/SK.EGP/III-99 tanggal 29 Maret 1999,
PT. Era Giat Prima memberi kuasa kembali kepada PT. Bank Bali,Tbk
untuk dan atas nama PT. Era Giat Prima menagih kepada PT.BDNI
(yang sudah di ambil alih BPPN).
h. Tanggal 16 Mei 1999 diterbitkan SKB II No. 32/46/KEP/DIR
181/BPPN/0599 Yang memberi hak kepada Bank Kreditur untuk mengajukan klaim,
sehingga PT. Bank Bali, Tbk berhak mengajukan klaim atas transaksi
SWAP dan Money market dengan Bank BDNI;
i. Dalam menentukan apakah transaksi SWAP dan money market antara
PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI tersebut termasuk transaksi yang
dijamin atau tidak dalam program penjaminan pemerintah, Bank
Indonesia tidak melakukan verifikasi on site terhadap PT.BDNI selaku
bank debitur;
j. Pada tanggal 1 Juni 1999, PT. Bank Bali telah menerima pencairan
dana dari Bank Indonesia sebesar Rp.904.642.428.369,- melalui
rekening PT. Bank Bali,Tbk yang ada di Bank Indonesia Nomor :
523.013.000;
k. Bahwa kemudian dana yang berasal dari Bank Indonesia karena
program penjaminan pemerintah tersebut oleh PT. Bank Bali,Tbk
sebagian diserahkan kepada PT. Era Giat Prima sebesar
Rp.546.466.166.369,-
Bahwa masing-masing fakta persidangan tersebut di atas adalah
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, sehingga untuk
membuktikan perbuatan para terdakwa haruslah berdasarkan fakta-
60
fakta tersebut sebagai kesatuan bukan dari masing-masing fakta
sebagai fakta yang berdiri sendiri;
Bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan tersebut terlihat
adanya kesadaran/niat bersama-sama dari para terdakwa (JOKO S.
TJANDRA, PANDE N LUBIS DAN SYAHRIL SABIRIN) untuk
mewujudkan tujuan bersama yaitu agar transaksi SWAP dan money
market antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali,Tbk adalah termasuk
dalam transaksi yang dijamin oleh pemerintah sehingga klaim PT.
Bank Bali,Tbk tersebut dapat diproses dan dibayar oleh Pemerintah;
Bahwa dengan adanya kesadaran/niat bersama tersebut masing-
masing terdakwa mempunyai peran/tugas yang berbeda-beda untuk
mewujudkan tujuan bersama tersebut, sehingga menurut doktrin
tentang ajaran "turut serta" perbuatan dari masing-masing terdakwa
tersebut walaupun tidak memenuhi seluruh unsur delik, namun dengan
kerja sama secara sadar perbuatan masing-masing terdakwa tersebut
menjadi sebuah peristiwa yang memenuhi semua unsur delik sehingga
perbuatan tersebut selesai (voltooid) sebagaimana yang didakwakan;
Tetapi kenyataannya putusan dari masing-masing terdakwa
tersebut saling berbeda yaitu:
1) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 380 K/Pid/2001 tanggal 10
Maret 2004 atas nama terdakwa PANDE NASORAHONA LUBIS,
Judex Juris menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah
dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana "KORUPSI
YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN
SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT". Dimana dalam
pertimbangannya halaman 83 disebutkan bahwa unsur "turut serta"
telah terbukti bersama-sama dengan AA. BARAMULI, TANRI
ABENG, JOKO SOEGIARTO TJANDRA, Drs. R. SETYA
NOVANTO, SYAHRIL SABIRIN, FIRMAN SOETJAHJA DAN
IRVAN GUNARDWI;
61
2) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1688 K/Pid/2000 tanggal
28 Juni 2001 atas nama terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA
menyatakan perbuatan terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA
sebagaimana dakwaan primair terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan perbuatan pidana sehingga terdakwa JOKO
SOEGIARTO TJANDRA dilepas dari segala tuntutan hukum
(onslag van recht verfolging).
Seharusnya masing-masing terdakwa yang diajukan oleh
penuntut umum dalam persidangan kasus ini telah terbukti melakukan
tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan para pelakunya dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana, karena peristiwa yang mendasari
adanya kasus ini adalah satu yaitu Klaim PT.Bank Bali,Tbk kepada
Pemerintah atas kewajiban PT.BDNI dalam transaksi SWAP dan
money market senilai Rp.904.642.428.369,-.;
Bahwa masing-masing fakta persidangan tersebut di atas adalah
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, sehingga untuk
membuktikan perbuatan para terdakwa haruslah berdasarkan fakta-
fakta tersebut sebagai kesatuan bukan dari masing-masing fakta
sebagai fakta yang berdiri sendiri;
3. Terdapat kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan
Hakim.
Judex Juris tidak melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
peradilan dibawahnya dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
sesuai dengan pasal 11 ayat (4) UU No.4 Th.2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan :
"Mahkamah Agung bertugas melakukan pengawasan tertinggi atas
perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di
bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang"
62
dan pasal 32 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985 yang telah diubah dan
ditambah dengan Undang-undang No.5 Th.2005 tentang Mahkamah
Agung yang berbunyi :
"Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman"
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas seharusnya Mahkamah Agung RI
sebagai muara terakhir peradilan (the last corner stone) melakukan
pengawasan dan pembinaan terhadap peradilan dibawahnya dan
Mahkamah Agung RI selaku Judex Juris disamping memeriksa penerapan
hukum juga dapat mengadili sendiri berdasarkan fakta-fakta persidangan,
sehingga tidak timbul dualisme putusan pengadilan lebih-lebih dalam
kasus yang sama atau berkaitan satu sama lain.
Judex Juris yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi
atas nama JOKO SUGIARTO TJANDRA dalam pemeriksaan tingkat
Kasasi, dalam perkara a quo keliru menafsirkan antara lain unsur
"perbuatan melawan hukum" dan unsur "turut serta melakukan" sehingga
menyatakan perbuatan terdakwa JOKO SUGIARTO TJANDRA terbukti
tetapi bukan merupakan tindak pidana, putusan ini menimbulkan
ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terhadap masing-masing
terdakwa lainnya yaitu :
a. SYAHRIL SABIRIN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya sehingga membebaskan
terdakwa dari segala dakwaan (Vrijspraak);
b. PANDE N. LUBIS terbukti secara sah dan meyakinkan telah
melakukan tindak pidana "KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA
BERSAMA-SAMA DAN SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT";
Disamping putusan pengadilan yang menimbulkan ketidakadilan
terhadap para terdakwa dan menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai
status barang bukti uang negara sebesar Rp.546.468.544.738,- (lima ratus
empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta lima ratus
63
empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah) karena di
satu sisi dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa JOKO
S.TJANDRA barang bukti tersebut dikembalikan kepada PT. Era Giat
Prima dan dalam perkara terpisah atas nama terdakwa SYAHRIL
SABIRIN barang bukti tersebut dikembalikan pada rekening
penampungan (Escrow Account) nomor 999045197 atas nama PT. Bank
Bali qq PT.Era Giat Prima sedangkan dalam perkara terpisah lainnya atas
nama terpidana PANDE NASORAHONA LUBIS putusan Mahkamah
Agung RI Nomor : 380 K/Pid/2001 tanggal 10 Maret 2004 (telah
berkekuatan hukum tetap) tidak menentukan status barang bukti berupa
uang sebesar Rp. 546.468.544.738,- hanya menetapkan barang bukti
berupa surat-surat supaya tetap terlampir dalam berkas perkara ini untuk
dipergunakan dalam perkara lain, seharusnya barang bukti berupa uang
dirampas dan dikembalikan kepada negara karena terpidana dinyatakan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
"KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN
SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT";
Dengan demikian pertimbangan Judex Juris yang telah
membenarkan pertimbangan Judex Facti seperti yang tercantum dalam
putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000 adalah merupakan
kekhilafan atau kekeliruan yang nyata, yaitu :
a. Salah dalam penafsiran unsur Melawan Hukum
Judex Juris yang mengambil alih pertimbangan Judex Facti mengenai
unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut adalah :
1) Bahwa pertimbangan Judex Juris mengenai transaksi PT. BDNI
dan PT. Bank Bali Tbk pada halaman 182, menyatakan :
"bahwa transaksi SWAP dan money market antara PT. Bank
Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan
64
perundang-undangan perbankan karena itu apa yang telah
dipertimbangkan Judex Facti sudah tepat dan benar"
dan pada halaman 214,
"bahwa dalam proses transaksi SWAP dan money market oleh PT.
Bank Bali,Tbk dalam hubungannya dengan Bank BDNI adalah
tidak melawan hukum".
serta pada halaman 281 s/d 285 menyebutkan:
"bahwa transaksi SWAP dan money market yang dilakukan antara
PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI (sebelum BBO) telah dicatat
dalam pembukuan dan telah didokumenkan PT. Bank Bali,Tbk,
tidak pernah adanya teguran dari Bank Indonesia baik secara lisan
maupun tertulis serta telah dilakukannya verifikasi on site ternyata
tidak ditemukan ketidakwajaran dan ketidakbenaran dalam
transaksi antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI sehingga tidak
melanggar asas demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian serta
tidak melanggar tingkat kesehatan bank sebagaimana diatur dalam
pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992
yang diubah dengan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998".
2) Hakim Judex Juris dalam pertimbangannya mengenai Program
Penjaminan Pemerintah halaman 214:
"Judex Facti telah mempertimbangkan bahwa dalam proses
transaksi SWAP dan money market oleh PT. Bank Bali,Tbk dalam
hubungannya dengan PT. BDNI adalah tidak melawan hukum,
karena sudah didasarkan kepada peraturan hukum positif yang
berlaku, juga berdasarkan keterangan saksi-saksi ahli dari Bank
Indonesia selaku pemegang kendali kegiatan perbankan, yaitu Iwan
R. Prawiranegara, Subarjo Joyosumarto, Adnan Djuanda, Erman
Munzir, Hifni Arkian, Miranda S. Goeltom, Syahril Sabirin,
Bambang Subianto, R.Dody Rushendra, Desmi Demas dan RC.
Eko Santoso Budiarto, tidak terdapat seorang saksi pun yang telah
menyatakan transaksi dimaksud sebagai melawan hukum"
65
dan halaman 290 menyebutkan :
"bahwa dari kewajiban PT. BDNI (BBO) kepada PT.Bank Bali
diatas Rp 10 milyar, adanya dokumen dan kewajaran transaksi
SWAP dan money market serta tidak dilanggarnya prinsip kehati-
hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan
kesehatan bank, maka transaksi tersebut dengan nilai pokok Rp.
904.642.428.369,- termasuk transaksi yang dijamin oleh
pemerintah sesuai Keppres nomor 26 tahun 1998, Keputusan
Menkeu nomor 26/KMK.017/98, SKB I tanggal 6 maret 1998 dan
SKB II tanggal 14 Mei 1999".
3) Hakim Judex Juris dalam pertimbangannya mengenai Perjanjian
Pengalihan/Cessie menyebutkan pada halaman 177, bahwa:
"beralasan tidaknya pengalihan piutang tersebut telah
dipertimbangkan Judex Facti dengan mendengar keterangan
sejumlah saksi dan pada akhirnya Judex Facti berkesimpulan dan
berpendapat pengalihan piutang (cessie) tersebut sebagai perbuatan
perdata";
Juga pada halaman 210,
"bahwa baik dengan keterangan saksi ahli hukum pidana atau tanpa
keterangannya, penilaian keabsahan tersebut yang mengacu dan
telah terbukti bahwa dilakukan atas kesepakatan bebas dari para
pihak, dengan kecakapan para pihak, mengenai hal tertentu yaitu
pengalihan hak dan pengalihan hak itu bukan merupakan hal yang
terlarang, maka cessie sudah sah menurut hukum".
4) Hakim Judex Juris dalam pertimbangannya mengenai peranan
terdakwa dalam pencairan klaim halaman 182 disebutkan:
"bahwa Judex Facti tidak salah menafsirkan pengertian "turut
Serta" karena Judex Facti telah mempertimbangkan peranan
terdakwa dan yang terungkap di depan persidangan terdakwa
hanya melakukan cessie dengan Bank Bali dan perjanjian cessie
sendiri adalah perbuatan perdata.
66
dan halaman 216 disebutkan :
"bahwa tidak terdapat alat bukti yang telah membuktikan bahwa
pribadi-pribadi Rudy Ramly, Pande N Lubis, Syahril Sabirin, dst
telah melakukan tindak pidana korupsi dan dilakukannya bersama-
sama atau dengan ikut serta atau dengan disuruh melakukan hal
tindak pidana itu oleh terdakwa".
serta halaman 325-326 disebutkan:
"bahwa masalah transaksi SWAP dan Money market antara PT.
Bank Bali, Tbk dan PT. BDNI (BBO) dan masalah pengajuan
klaim PT. Bank Bali atas tagihannya terhadap PT. BDNI kepada
BPPN adalah permasalahannya sendiri PT. Bank Bali, Tbk dan PT.
BDNI dan terdakwa tidak tahu menahu dan tidak berperan apapun
dalam masalah transaksi tersebut dan pengajuan klaim yang
diajukan PT. Bank Bali, Tbk.
Bahwa terdakwa tidak pernah terbukti telah mempengaruhi pejabat
Bank Indonesia, BPPN, Departemen Keuangan atau pejabat
lainnya (pejabat pemegang otoritas moneter) yang berkaitan
dengan pencairan klaim PT. Bank Bali,Tbk. Bahwa dalam proses
pencairan klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI para
pejabat pemegang otoritas moneter tidak mengetahui adanya cessie
PT. Bank Bali,Tbk kepada PT. Era Giat Prima karena cessie
tersebut tidak merupakan syarat untuk pencairan klaim tersebut".77
juga pada halaman 310 menyatakan:
5) "Bahwa sepanjang para pihak in casu PT. Bank Bali,Tbk sebagai
cedent dan PT. Era Giat Prima (EGP) sebagai Cessionaris merasa
tidak adanya dwang (paksaan), dwaling (kekhilafan/kekeliruan)
atau bedrog (penipuan) dalam melakukan perjanjian cessie di satu
pihak dan di pihak lain sepanjang Cessionaris dan cedent merasa
adanya unsur kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian telah
melakukan perjanjian cessie serta sepanjang pula Cessionaris atau
cedent tidak merasa dirugikan dan tidak mengajukan pembatalan
67
perjanjian cessie ke Pengadilan Negeri dengan alasan wanprestasi
dan atau melawan hukum (onrechtmatige daad) maka menurut
ketentuan pasal 1338 KUHPerdata perjanjian pengalihan cessie,
tagihan berikut instrumennya mengikat dan berlaku sebagai
undang-undang (pacta sunt servanda) bagi PT. Bank Bali,Tbk dan
PT. Era Giat Prima".
Tanggapan Jaksa Penuntut Umum:
Ad.1. Mengenai transaksi PT.BDNI dengan PT.Bank Bali Tbk.
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut adalah keliru dan
merupakan kekhilafan yang nyata karena hanya mempertimbangkan
verifikasi on site yang dilaksanakan hanya terhadap PT. Bank
Bali,Tbk ( Bank kreditur) tanpa melakukan verifikasi on site terhadap
PT. BDNI (Bank Debitur), seharusnya verifikasi on site dilakukan
terhadap bank kreditur dan bank debitur;
Berdasarkan rapat antara Direksi Bank Indonesia dan BPPN (Risalah
Rapat Direksi Nomor: 31.00.08 tanggal 24 September 1998),
ditentukan bahwa dalam proses penjaminan yaitu dari klaim yang
masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank Indonesia kemudian
apabila klaim tersebut dapat diterima maka akan diberitahukan
kepada BPPN untuk mendapatkan otorisasi pembayaran;
Bahwa rekonsiliasi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI yang
dilakukan oleh BPPN bukanlah dalam pengertian verifikasi on site
seperti yang dimaksud dalam program penjaminan ini, sehingga
seharusnya BPPN tidak perlu membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk
tersebut;
Bahwa yang dimaksud oleh verifikasi on site adalah melakukan
penelitian terhadap saldo giro bank, fasilitas over draft, BLBI yang
diterima dari Bank Indonesia yang dilakukan terhadap bank debitur;
Apabila verifikasi on site tersebut dilakukan juga terhadap PT. BDNI
maka akan diketahui bahwa kondisi keuangan PT. BDNI dalam
keadaan over draft, sehingga sebenarnya transaksi (8 transaksi SWAP
68
dan 2 transaksi money market) antara PT. BDNI dengan PT. Bank
Bali, Tbk sudah melanggar prinsip kehati-hatian bank (prudential
principle) sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 jo pasal 29 ayat (2)
Undang - Undang Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah dengan
Undang Undang Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
Sesuai dengan "prinsip kehati-hatian" dalam usaha perbankan
seharusnya PT. BDNI dalam menjalankan usahanya seharusnya
memperhatikan rambu-rambu kesehatan bank dalam rangka
pengendalian risiko. Prinsip kehati-hatian seperti yang ditentukan di
dalam pasal 2 Undang-Undang Perbankan dijabarkan di dalam
patokan-patokan yang bersifat operasional. Salah satu rambu prinsip
kehati-hatian adalah Giro Wajib Minimum di mana diatur di dalam
Surat Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/KEP/DIR tanggal 30
Oktober 1997. Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia
dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam
rupiah;
Berdasarkan data dari Bank Indonesia saldo giro PT. BDNI yang ada
di Bank Indonesia pada tanggal 27 November 1997 telah over draft
sebesar Rp.1.715.690.000.000,- dan pada tanggal 30 Desember 1997
telah over draft sebesar Rp.8.463.711.000.000,-, dan hal ini pernah
dilakukan teguran oleh Bank Indonesia kepada PT. BDNI yaitu:
a. Nomor : 30/301/UPB2/AdB2 tanggal 3 November 1997. b. Nomor : 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997. c. Nomor : 30/2166/UPB2/AdB2 tanggal 2 Desember 1997. d. Nomor : 30/2540/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997.
sehingga PT. BDNI tidak sepatutnya melakukan transaksi SWAP dan
money market dengan PT. Bank Bali.Tbk.
Ad.2 Tentang Program Penjaminan Pemerintah
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut adalah merupakan
kekhilafan atau kekeliruan yang nyata, karena hanya menilai
kewajaran dari transaksi antara PT.Bank Bali,Tbk dengan PT.BDNI
69
namun Judex Juris tidak mempertimbangkan apakah transaksi
tersebut dijamin atau tidak dijamin.
Untuk menjadi transaksi yang dijamin oleh pemerintah, berdasarkan
pasal 2 ayat (2) KEPPRES Nomor : 26 Tahun 1998 tentang
Kewajiban Pembayaran Bank Umum yang menyatakan:
"Kewajiban pembayaran yang dijamin pemerintah meliputi kewajiban
dalam mata uang rupiah dan mata uang asing" Sedangkan menurut
Kep.Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998
kewajiban bank yang dijamin oleh pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 yaitu:
"Kewajiban yang dijamin oleh pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam KEPPRES Nomor 26 Tahun 1998 meliputi seluruh kewajiban
pembayaran dari bank umum, baik dalam mata uang rupiah maupun
dalam mata uang asing yang timbul sebelum, pada atau sesudah hari
pertama dari jangka waktu berlaku dan jatuh tempo pada atau
sebelum hari terakhir dari jangka waktu berlaku termasuk tetapi tidak
terbatas pada giro, tabungan, deposito berjangka dan deposito on call,
obligasi, surat berharga, pinjaman antar bank, pinjaman yang
diterima, SWAPS/hedgesfuture, derivatives dan kewajiban-kewajiban
kontinjen (off balance sheet) lainnya, seperti bank garansi, standby
letter of credit, performance bonds dan kewajiban-kewajiban yang
sejenis selain yang dikecualikan dalam keputusan ini".
Sedangkan kewajiban bank umum yang tidak dijamin diatur dalam
pasal 4 huruf e juga menyebutkan:
"Pemerintah tidak menjamin pembayaran Kewajiban-kewajiban yang
diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan praktek-praktek
perbankan yang sehat atau kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh
kreditur yang tidak beritikad baik".
Bahwa berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan SKB I tanggal 6 Maret
1998 dan Petunjuk Pelaksanaan SKB II tanggal 14 Mei 1999,
disebutkan bahwa kewajiban-kewajiban bank umum yang dijamin
70
adalah seperti yang disebutkan di dalam KEPPRES Nomor : 26
Tahun 1998 dan Kep. Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28
Januari 1998, sedangkan tentang jenis-jenis kewajiban bank yang
tidak dijamin antara lain disebutkan:
"Kewajiban-kewajiban yang diperoleh dengan cara yang bertentangan
dengan praktek-praktek perbankan yang sehat atau kewajiban-
kewajiban yang oleh kreditur yang tidak beritikad baik".,
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas transaksi SWAP
maupun money market yang dilakukan antara PT. BDNI dan PT.
Bank Bali,Tbk yaitu:
a. Transaksi SWAP tanggal 1 Desember 1997 sebesar
Rp.64.754.250.000,- jatuh tempo tanggal 2 Maret 1998.
b. Transaksi SWAP tanggal 3 Desember 1997 sebesar
Rp.48.060.000.000,- jatuh tempo tanggal 3 Maret 1998.
c. (3) Transaksi SWAP tanggal 12 Desember 1997 sebesar
Rp.51.600.000.000,- jatuh tempo tanggal 12 Maret 1998.
d. Transaksi SWAP tanggal - Desember 1997 sebesar
Rp.1.131.250.000,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998.
e. Transaksi SWAP tanggal 15 Desember 1997 sebesar
Rp.81.225.000.000,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998.
f. Transaksi Money market tanggal 2 Maret 1998 sebesar
Rp.66.139.271.458,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998.
g. Transaksi SWAP tanggal 12 September 1997 sebesar
Rp.61.830.000.000,- jatuh tempo tanggal 24 Maret 1998.
h. Transaksi Money market tanggal 20 Mei 1998 sebesar
Rp.61.977.459.265,- jatuh tempo tanggal 12 Juni 1998.
i. Transaksi SWAP tanggal 5 Desember 1997 sebesar
US$40.000.000,- jatuh tempo tanggal 5 Juni 1998.
j. Transaksi SWAP tanggal 12 Desember 1997 sebesar
US$5.000.000,- jatuh tempo tanggal 12 Juni 1998.
71
bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh pemerintah karena telah
melanggar prinsip kehati-hatian yaitu pada waktu melakukan
transaksi SWAP maupun money market PT. BDNI keadaan saldo giro
PT. BDNI yang ada di Bank Indonesia dalam keadaan over
draft/saldo debet sejak 15 Oktober 1997 serta CAR kurang dari 5%.
Dengan kondisi demikian seharusnya PT. BDNI tidak melakukan
transaksi SWAP dan money market sebagaimana diatur dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 30/266/KEP/DIR tanggal
27 Pebruari 1998 tentang Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian yang
Menyangkut Kewajiban Antar Bank, Pengambilalihan Tagihan Suku
Bunga Simpanan dan Penyedia Dana, pasal 2 ayat (1) jo pasal 9 huruf
a, b dan c jo pasal 11, yaitu,
pasal 2 ayat (1):
"Bank dalam menerima kewajiban antar bank dari bank lain wajib
dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan memenuhi batasan yang
ditetapkan".
pasal 9:
"Bank dapat menetapkan sendiri pertumbuhan penyediaan dana
dengan ketentuan:
Pasal 9 huruf a:
"Telah mempertimbangkan aspek kehati-hatian dan semua risiko
usaha dan"
Pasal 9 huruf b:
"Memenuhi ketentuan kehati-hatian yang meliputi Rasio Modal
(CAR), Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan tidak
mempunyai kewajiban kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) dan"
Pasal 9 huruf c:
"Tidak terdapat pelanggaran kewajiban antar bank sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2"
72
Bahwa PT. Bank Bali sebelum melakukan transaksi SWAP dan
money market dengan PT. BDNI seharusnya menerapkan prinsip
kehati-hatian dengan indikator awal antara lain berupa Capital
Adequate Ratio (Rasio Kecukupan Modal) dan Giro Wajib Minimum
PT. BDNI pada Bank Indonesia seperti yang diatur dalam Surat
Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/KEP/DIR tanggal 30 Oktober
1997, di mana disebutkan:
"Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam rupiah
ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam rupiah.
Sedangkan Giro Wajib Minimum dalam valuta asing adalah 396 dari
dana pihak ketiga dalam valuta asing".
Oleh karena transaksi antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali
tersebut dilakukan pada saat saldo giro PT. BDNI pada Bank
Indonesia dalam keadaan over draft berarti telah melewati batas
minimum Saldo Giro Wajib pada Bank Indonesia sebesar 5%.
Dengan demikian transaksi tersebut telah melanggar prinsip kehati-
hatian bank dan bertentangan dengan praktek-praktek perbankan yang
sehat sehingga transaksi tersebut tidak dijamin sebagaimana diatur
dalam program penjaminan oleh pemerintah (vide pasal 4 huruf e
Kep. Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998
tanggal 28 Januari 1998 dan SKB I Nomor : 30/270/KBP/DIR
1/BPPN/1998
tanggal 6 Maret 1998 serta SKB II Nomor : 32/46/KEP/DIR
181/BPPN/0599
tanggal 14 Mei 1998).
Bahwa di samping itu pada SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR
1/BPPN/1998
tanggal 6 Maret 1998 diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Pemberian
Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum
pada angka "II" poin 3 huruf b nomor 2) disebutkan bahwa :
73
"pendaftaran dimaksud dilakukan oleh bank yang bersangkutan
kepada BPPN dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari sejak timbulnya kewajiban tersebut bagi kewajiban yang
ada setelah Surat Keputusan Bersama di atas";
Sedangkan pada angka "IV" Tata Cara Pengajuan Klaim dan
Pembayaran Jaminan dalam poin 1 huruf b disebutkan bahwa:
"Dalam hal Bank memperkirakan tidak akan mampu membayar, bank
yang bersangkutan akan memberitahukan kepada BPPN sesuai
dengan contoh pada lampiran 6, yang harus disampaikan selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebelum kewajiban tersebut jatuh
tempo".
Dari fakta yang ada PT. BDNI mengajukan klaim kepada BPPN
dengan alamat Bank Indonesia baru diajukan pada tanggal 23 Juni
1998 (sebanyak 7 (tujuh) surat klaim) dan 20 Juli 1998, begitu pula
PT. Bank Bali mengajukan klaim transaksi tersebut kepada BPPN
pada tanggal 10 Maret 1998, 3 Juni 1998, 8 Juni 1998, 19 Juni 1998,
6 Agustus 1998, 28 September 1998, 5 Oktober 1998, 21 Oktober
1998, 23 Desember 1998 dan terakhir tanggal 12 Pebruari 1999.
Dengan demikian pengajuan klaim baik oleh PT. BDNI (sebagai
debitur) dan PT. Bank Bali (sebagai kreditur) secara administrasi
telah melewati batas waktu yang ditentukan di dalam SKB I Nomor
30/270/KEP/DIR
1/BPPN/1998
tanggal 6 Maret 1998, sehingga permohonan klaim tersebut ditolak
oleh Bank Indonesia dengan suratnya yang ditujukan kepada Tim
Pemberesan PT.BDNI (BBO) dengan tembusan antara lain ketua
BPPN dan Direksi PT.Bank Bali,Tbk dengan surat Nomor:
a. Nomor : 31/632/UPPB/AdB tanggal 23 September 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
b. Nomor : 31/635/UPPB/AdB tanggal 24 September 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
74
c. Nomor : 31/653/UPPB/AdB tanggal 28 September 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
d. Nomor : 31/697/UPPB/AdB tanggal 5 Oktober 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
e. Nomor : 31/713/UPPB/AdB tanggal 13 Oktober 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
f. Nomor : 31/738/UPPB/AdB tanggal 16 Oktober 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
g. Nomor : 31/775/UPPB/AdB tanggal 20 Oktober 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
Dari uraian tersebut di atas, klaim PT. Bank Bali,Tbk kepada BPPN
dan Bank Indonesia baik secara administrasi (pendaftaran transaksi
dan klaim terlambat diajukan) maupun secara substansi/materi yaitu
transaksi tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian bank adalah
transaksi yang tidak termasuk dalam program penjaminan pemerintah.
Ad.3 Tentang Perjanjian Pengalihan/Cessie
Bahwa pertimbangan Judex Juris yang mengatakan bahwa cessie
adalah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang antara PT. Era
Giat Prima dan PT. Bank Bali,Tbk adalah merupakan kekeliruan
karena tidak mempertimbangkan pasal-pasal lain dalam KUHPerdata
yang berkaitan dengan sah atau tidaknya Cessie tersebut.
Dalam KUHPerdata Cessie diatur antara lain dalam Buku II pasal 613
KUH Perdata yang menyebutkan :
"Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak
bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta
otentik atau di bawah tangan dengan mana hak-hak atas kebendaan itu
dilimpahkan kepada orang lain.
Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya
melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau
secara tertulis disetujui atau diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang
75
karena surat atas bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu,
penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan
penyerahan surat disertai endosemennya".
Berdasarkan pasal 584 KUH Perdata disebutkan bahwa sahnya cessie
tergantung dari sahnya perjanjian obligatornya, berarti dalam
perjanjian cessie harus diikuti dengan penyerahan jaminan sebagai
kompensasi telah dialihkannya piutang tersebut. Bahwa perjanjian
obligator yang mendasari cessie disini adalah penyerahan (levering)
aset/surat-surat berharga dari PT. Era Giat Prima kepada PT. Bank
Bali untuk memenuhi prestasi atas pengalihan tagihan/cessie
sebagaimana yang diperjanjikan dalam surat perjanjian
No.002/P.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 antara JOKO
SOEGIARTO TJANDRA selaku direktur PT. Era Giat Prima dan
RUDY RAMLY selaku direktur PT. Bank Bali,Tbk dimana JOKO S.
TJANDRA membuat surat pernyataan No.002/SP.EGP/I-99 tanggal
11 Januari 1999 berjanji akan menyerahkan surat-surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank Bali,Tbk dan bank-bank pemerintah atau
BUMN sebesar Rp. 798.091.770.000,- (tujuh ratus sembilan puluh
delapan milyar sembilan puluh satu juta tujuh ratus tujuh puluh ribu
rupiah) paling lambat pada tanggal 11 April 1999. Namun ternyata
JOKO SOEGIARTO TJANDRA selaku Direktur PT. Era Giat Prima
tidak pernah menyerahkan aset/surat berharga tersebut, dan dengan
surat pernyataan Nomor : 005/SP-EGP/IV-99 tanggal 12 April 1999,
penyerahan surat-surat berharga di atas diperpanjang menjadi paling
lambat tanggal 11 Juni 1999. Karena perjanjian obligatoir yang
mendasari cessie tersebut adalah tidak sah dan secara otomatis
perjanjian cessie tersebut adalah tidak sah.
Berdasarkan fakta di persidangan, bahwa PT. Era Giat Prima selaku
Cessionaris menguasakan kembali kepada PT. Bank Bali,Tbk untuk
mengajukan klaim kepada BPPN, dan hal yang demikian (dikuasakan
76
kembali kepada cedent/PT.Bank Bali) bertentangan dengan asas
kepatutan dan kelaziman.
Seperti pendapat Suharnoko,SH,MLI,dkk dalam bukunya "Doktrin
Subrogasi, Novasi dan Cessie" halaman 122-123
"bahwa terjadi keganjilan karena jika Bank Bali menerima
pembayaran dari debitornya atau dari BPPN maka tidak ada
kewajiban bagi Bank Bali untuk membayar kepada PT. Era Giat
Prima. Menurut pendapatnya tersebut jika PT. Era Giat Prima
kesulitan untuk menagih kepada BDNI, maka lebih baik dilakukan
retro cessie".
Bahwa yang dimaksud dengan retro cessie adalah "penyerahan hak
kembali" berdasarkan Kamus Hukum Yan Pramadya Puspa, penerbit
CV. Aneka Semarang, 1977, halaman 736;
Dari uraian di atas, bahwa cessie tersebut hanyalah pro forma
(sekedar untuk memenuhi tata cara/semu/pura-pura) dan itu
merupakan alat/modus untuk melakukan perbuatan melawan hukum
bagi JOKO SOEGIARTO TJANDRA untuk mendapatkan
keuntungan dari klaim PT. Bank Bali, Tbk terhadap PT. BDNI;
Judex Juris hanya mempertimbangkan kebenaran formil dari fakta-
fakta yang ada yaitu tentang keabsahan cessie, seharusnya dalam
persidangan perkara pidana Judex Juris harus mencari kebenaran
materiil, yaitu seperti yang telah kami uraikan di atas bahwa cessie
tersebut adalah pro forma dan merupakan alat/modus bagi JOKO
SOEGIARTO TJANDRA.
Ad.3 Tentang peranan terdakwa dalam pencairan klaim
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut merupakan suatu
kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata karena hanya melihat
peran JOKO SOEGIARTO TJANDRA sebatas pembuatan Akta
Cessie, seharusnya juga mempertimbangkan peran JOKO
SOEGIARTO TJANDRA dalam memfasilitasi pertemuan antara
pejabat-pejabat moneter dalam membahas klaim PT. Bank Bali,Tbk
77
dan adanya perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA/PT.EGP yang
menguasakan kembali hak menagih kepada PT. Bank Bali.
Berdasarkan SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret
1/BPPN/1998
1998 PT. Bank Bali,Tbk pernah beberapa kali mengajukan klaim
kepada Bank Indonesia terhadap tagihan kepada PT. BDNI namun
ditolak dengan alasan bahwa klaim tersebut terlambat didaftarkan
maupun terlambat pengajuan klaimnya.
Atas dasar penolakan tersebut PT. Bank Bali,Tbk melakukan
pengalihan tagihan dengan memberikan cessie kepada JOKO
SOEGIARTO TJANDRA (PT. Era Giat Prima) untuk mencairkan
klaim terhadap PT. BDNI tersebut yang dilakukan pada tanggal 11
Januari 1999 dengan Cessie No.002/P.EGP/I/99. Setelah menerima
pengalihan tagihan (cessie) dari PT. Bank Bali,Tbk tersebut JOKO
SOEGIARTO TJANDRA mulai melakukan perbuatan-perbuatan
yang bertujuan agar klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI
tersebut dapat dicairkan oleh BPPN, diantaranya adalah
mempengaruhi pemegang otoritas moneter. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya beberapa kali pertemuan para pejabat pemegang
otoritas moneter (Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan BPPN)
dengan pihak PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI yang dilakukan di
kantor Menteri Keuangan, Hotel Mulia dan di rumah Menteri
Keuangan;
Bahwa klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI yang semula
selalu ditolak oleh Bank Indonesia, setelah pertemuan tanggal 11
Februari 1999 bertempat di Hotel Mulia yang diprakarsai dan
difasilitasi oleh JOKO SOEGIARTO TJANDRA yang dihadiri oleh
JOKO SOEGIARTO TJANDRA sendiri, AA. Baramuli, Tanri
Abeng, Syahril Sabirin, Pande Lubis, Firman Sutjahya dan Setya
Novanto untuk membahas klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT.
BDNI, kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan mencari jalan untuk
78
mengatasinya, PT. Bank Bali,Tbk mengajukan kembali klaim tersebut
kepada BPPN dengan surat Nomor : 012/CL.02/99 tanggal 12
Februari 1999 yang merupakan hasil pertemuan tanggal 11 Februari
1999 tersebut di atas. Kemudian seluruh proses pencairan klaim PT.
Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI tersebut oleh PANDE
NASORAHONA LUBIS yang mempunyai kewenangan untuk
memproses klaimnya, diproses hingga dapat dicairkan.
Selain tanggapan kami tersebut di atas, kami kemukakan doktrin-
doktrin mengenai unsur "melawan hukum" yaitu: Penjelasan umum
Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa dalam undang-undang
tersebut "unsur melawan hukum" adalah mengandung pengertian
formil maupun materiil, dimaksudkan agar supaya lebih mudah
memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum.
Menurut Prof. MR. Roeslan Saleh,
"Bahwa melawan hukum dalam pendapat yang formil apabila telah
memenuhi semua unsur-unsur yang disebutkan dalam rumusan delik
dan tidak perlu diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat
adalah betul-betul telah dirasakan tidak patut".
Sedangkan menurut Prof. Moeljatno,
"Menurut ajaran yang materiil disamping memenuhi syarat-syarat
formil, yaitu memenuhi semua unsur-unsur yang disebutkan di dalam
rumusan delik, maka perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut
dilakukan, karena bertentangan dengan atau menghambat
terwujudnya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan
oleh masyarakat itu".
Dengan adanya kata-kata "agar lebih mudah memperoleh
pembuktian" dalam penjelasan Undang-Undang Nomor : 3 Tahun
1971 tersebut maka dapat dilihat bahwa Undang-Undang Nomor.3
Tahun 1971 tersebut menerapkan sifat melawan hukum materiil
79
dalam arti yang positif, yaitu perbuatan yang melanggar asas
kepatutan dan tercela di dalam masyarakat adalah bersifat melawan
hukum sehingga dapat dihukum.
Berdasarkan uraian dari poin 1 sampai dengan poin 4 di atas,
perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA yaitu menerima cessie yang
menurut Judex Facti adalah sah, sebenarnya hanya merupakan alat/
modus/ sarana bagi JOKO SUGIARTO TJANDRA untuk dapat
menikmati keuntungan atas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT.
BDNI yang diajukan kepada pemerintah Cq.BPPN.
Walaupun perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA menerima
sejumlah dana yang dilandasi oleh perjanjian cessie, namun perjanjian
cessie itu sendiri merupakan perbuatan yang tidak patut atau tercela
karena hanya dimaksudkan agar JOKO SUGIARTO TJANDRA dapat
mengikatkan diri ke dalam masalah klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap
PT. BDNI sehingga terdakwa dapat menikmati keuntungan dari
pembayaran klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI oleh Bank
Indonesia yang sebenarnya tidak termasuk dalam transaksi yang
dijamin oleh pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa transaksi
SWAP dan money market antara PT. BDNI dan PT.Bank
Bali,Tbk adalah sudah tidak benar karena PT. BDNI sudah
overdraft sehingga transaksi tersebut tidak termasuk dalam
program penjaminan pemerintah sedangkan cessie tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata.
Dengan demikian sejak terjadi transaksi SWAP dan money market
antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. BDNI hingga
pengiriman/transfer dana pembayaran klaim yang berasal dari
pemerintah melalui PT. Bank Bali ke rekening PT. Era Giat Prima
dilakukan dengan secara melawan hukum.
b. Unsur yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut
80
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara;
Pertimbangan Judex Juris pada halaman 182 menyatakan bahwa
tentang kerugian keuangan negara telah dipertimbangkan oleh Judex
Facti dengan benar.
dan halaman 215 menyatakan
“ ..............maka pembayaran klaim tersebut tidak merupakan tindakan
yang merugikan keuangan atau perekonomian negara karena uang
yang dibayarkan untuk membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk
merupakan uang dan hak yang sah dari PT. Bank Bali sendiri. Dengan
tidak terbukti terjadi perbuatan yang merugikan keuangan negara,
maka juga tidak terbukti terjadi perbuatan yang merugikan
perekonomian negara".
Judex Facti dalam pertimbangannya halaman 341-342 :
"bahwa benar negara pada tanggal 1 Juni 1999 telah mengeluarkan
dana talangan sebesar Rp. 904.462.428.369,- untuk membayar tagihan
PT.
Bank Bali, Tbk terhadap PT. BDNI (BBO) tetapi uang tersebut adalah
sah milik PT. Bank Bali sehingga PT. Bank Bali bebas untuk
menggunakan uangnya".
Tanggapan Jaksa Penuntut Umum
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan
suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya
mempertimbangkan bahwa uang sebesar Rp. 904.462.428.369,- adalah
hak PT.Bank Bali,Tbk karena adanya transaksi antara PT.Bank
Bali.Tbk dengan PT.BDNI, seharusnya mempertimbangkan apakah
transaksi tersebut dijamin oleh Pemerintah sesuai aturan yang ada.
Bahwa sesuai dengan penjelasan pasal 1 ayat (1) sub a
Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971 yang dimaksud dengan
keuangan negara adalah :
81
“ ...........meliputi juga keuangan daerah atau suatu
badan/badan hukum yang mempergunakan modal atau kelonggaran-
kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang
diperoleh dari masyarakat tersebut".
Bahwa dana yang dibayarkan kepada PT. Bank Bali,Tbk
sebesar Rp.904.462.428.369,- adalah berasal dari Obligasi dalam
rangka penjaminan pemerintah terhadap kewajiban dari Bank-bank
Umum yang pelaksanaannya diserahkan kepada BPPN untuk dibayar
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Surat Menteri
Keuangan Nomor : SK-176/MK.01/1999 tanggal 31 Mei 1999 perihal
Surat Kuasa Umum dalam rangka pembayaran Jaminan Pemerintah
terhadap kewajiban Bank sebesar Rp.53.779.000.000.000,- (lima puluh
tiga trilyun tujuh ratus tujuh puluh sembilan milyar rupiah);
Bahwa berdasarkan uraian pada unsur melawan hukum
(hal.22-28 diatas) bahwa transaksi antara PT. BDNI dan PT. Bank
Bali, Tbk tidak boleh dilakukan karena melanggar prinsip kehati-hatian
sesuai pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sehingga sesuai ketentuan,
transaksi tersebut bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh
pemerintah;
Bahwa berdasarkan uraian pada unsur melawan hukum poin
3) bahwa cessie antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. Era Giat Prima
adalah tidak sah sesuai ketentuan pasal 613 ayat (2)KUH Perdata dan
pasal 584 KUH Perdata. Sehingga cessie tersebut hanya merupakan
pro forma untuk digunakan sebagai alat/sarana bagi JOKO
SUGIARTO TJANDRA untuk dapat menikmati dana penjaminan
pemerintah terhadap klaim PT. Bank Bali,Tbk secara melawan hukum;
Karena transaksi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI tersebut
bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh pemerintah maka
pemerintah tidak perlu membayar klaim tersebut;
82
Oleh karena cessie antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. Era
Giat Prima adalah tidak sah sehingga uang yang dibayarkan oleh PT.
Bank Bali Tbk kepada PT.Era Giat Prima sebesar Rp.
546.466.166.369,- tersebut adalah bukan uang PT. Bank Bali, tetapi
merupakan uang negara.
Dengan demikian uang sejumlah Rp. 546.466.166.369,-
sebagai uang hasil dari tindak pidana korupsi yang dilakukan JOKO
SUGIARTO TJANDRA secara bersama-sama dengan terdakwa
lainnya (vide putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 380 K/Pid/2001
tanggal 10 Maret 2004 atas nama terpidana PANDE NASORAHONA
LUBIS), sudah seharusnya uang tersebut dirampas untuk Negara
sebagai pemulihan terhadap kerugian Negara sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang No.3 Tahun 1971.
c. Unsur perbuatan turut serta (pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dihukum
sebagai orang yang melakukan tindak pidana
Judex Juris dalam pertimbangan halaman 182 menyatakan:
"Judex Facti tidak salah menafsirkan pengertian turut serta dst karena
Judex Facti telah mempertimbangkan peranan terdakwa dan yang
terungkap dalam persidangan terdakwa hanya melakukan cessie
dengan Bank Bali".
Dan pada halaman 216 menyatakan:
"Tidak terdapat alat bukti yang membuktikan bahwa pribadi-pribadi
Rudy Ramli dst telah melakukan tindak pidana korupsi dan
dilakukannya bersama-sama atau dengan ikut serta atau dengan
disuruh melakukan hal tindak pidana itu oleh terdakwa".
Pertimbangan Judex Facti pada halaman 343 menyatakan antara lain
bahwa:
"Dari pengertian tersebut kalau terdakwa ditempatkan sebagai orang
yang turut melakukan tindak pidana siapakah sebenarnya subyek
pelaku tindak pidana yang bertalian dengan dana pencairan klaim
tagihan PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI (BBO) sehubungan
83
transaksi SWAP dan money market. Bahwa terdakwa tidak berperan
apapun dalam hal kelahiran SKB II, tidak berperan dalam hal verifikasi
on site, tidak berperan dalam pencairan tagihan, dan tidak pula terbukti
telah mempengaruhi pejabat otoritas moneter yang berkaitan dengan
program penjaminan sesuai dengan Keppres Nomor : 26 Tahun 1998".
Tanggapan Jaksa Penuntut Umum
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu
kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya
mempertimbangkan bahwa untuk terjadinya "turut serta" seorang
pelaku harus melakukan semua unsur delik dan harus ada "pelaku
pokok" seharusnya mempertimbangkan doktrin ataupun yurisprudensi
lain tentang ajaran "turut serta".
Menurut Hoge Raad, medepleger selain sebagai pelaku penuh juga
semua pelaku tindak pidana (bila pelaku lebih dari satu orang) yang
salah satu dari mereka memunculkan fakta hukum sementara yang
lainnya hanya mewujudkan sebagian dari fakta hukum tersebut.
Pendapat ahli hukum/doktrin
Menurut Prof.Jan Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana,
Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia:
"Hubungan accessoir hanya berlaku untuk bentuk pembujukan
(uitlokking) dan pembantuan (medeplichtigheid), dengan demikian
dalam "turut serta" pelaku tidak harus melaksanakan semua unsur
delik".
Selanjutnya Remmelink menyatakan bahwa menurut Hoge Raad:
"Untuk mengatakan adanya suatu medeplegen atau turut serta
disyaratkan adanya kerja sama yang disadari dengan kata lain
kesengajaan untuk melakukan kerja sama yang harus dibuktikan
keberadaannya. Hal ini mengimplikasikan bahwa harus dibuktikan
adanya dua bentuk kesengajaan dalam delik-delik kesengajaan yang
84
dilakukan secara bersama-sama untuk sejumlah pelaku :
(1)Kesengajaan (untuk memunculkan) akibat delik; dan
(2)Kesengajaan untuk melakukan kerja sama. Tidak perlu ada rencana
atau kesepakatan yang dibuat terlebih dahulu. Sebaliknya yang perlu
dibuktikan hanya adanya saling pengertian diantara sesama pelaku dan
pada saat perbuatan diwujudkan masing-masing pelaku bekerja sama
untuk mencapai tujuan bersama".
Menurut Prof. Mr. D. Simon dalam bukunya "leerboek van het
Nederland strafrecht" (yang dikutip dari buku Hukum Pidana
Indonesia, Drs. P.A.F. Lamintang, SH, C.Djisman Samosir, SH)
mengatakan bahwa :
"Orang lain yang turut serta melakukan kejahatan itu dapat dianggap
sebagai pelaku, maka disitu dapat terjadi medepleger atau turut serta
melakukan. Mededaderschap itu menunjukkan tentang adanya kerja
sama secara fisik untuk melakukan suatu perbuatan, kerja sama
secara fisik itu haruslah didasarkan pada kesadaran bahwa mereka itu
bekerja sama".
Bahwa Judex Facti telah melakukan kekeliruan yang nyata dalam
menafsirkan arti kata "pelaku" (pleger) dan "turut serta" (medepleger)
karena dalam putusan tersebut Judex Facti menafsirkan dalam suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang harus diketahui
dahulu mana pelaku pokoknya (dader) dan mana pelaku "turut
serta"(medepleger), sehingga seharusnya tidak perlu dicari pelaku
pokoknya terlebih dahulu karena masing-masing pelaku telah
mempunyai niat yang sama walaupun perannya berbeda beda,
sehingga dari peran masing-masing pelaku tersebut terselesaikanlah
perbuatan pidana tersebut.
Dalam kasus ini, kerja sama secara sadar dengan adanya saling
pengertian antara JOKO SUGIARTO TJANDRA dengan para
terdakwa lain yang disidangkan secara terpisah antara lain PANDE
85
NASORAHONA LUBIS, Drs. R. SETYA NOVANTO dan RUDY
RAMLY dapat dilihat dalam hal :
1) Berdasarkan SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1/BPPN/1998
1998 PT. Bank Bali,Tbk pernah beberapa kali mengajukan klaim
kepada BPPN terhadap tagihan kepada PT. BDNI namun ditolak
dengan alasan bahwa klaim tersebut terlambat didaftarkan.
2) Atas dasar penolakan tersebut PT.Bank Bali,Tbk melakukan
pengalihan tagihan kepada JOKO SUGIARTO TJANDRA (PT.
Era Giat Prima) untuk mencairkan klaim terhadap PT. BDNI
tersebut yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 1999.
3) Setelah menerima pengalihan tagihan (cessie) dari PT.Bank
Bali,Tbk tersebut JOKO SUGIARTO TJANDRA mulai melakukan
perbuatan-perbuatan yang bertujuan agar klaim PT. Bank Bali,Tbk
terhadap PT. BDNI tersebut dapat dicairkan oleh BPPN,
diantaranya adalah mempengaruhi pemegang otoritas moneter. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa kali pertemuan para
pejabat pemegang otoritas moneter (Bank Indonesia, Departemen
Keuangan dan BPPN) dengan pihak PT. Bank Bali,Tbk dan PT.
BDNI yang dilakukan:
a) Tanggal 11 Februari 1999 malam bertempat di Hotel Mulia
Jakarta JOKO SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan
yang dihadiri oleh AA. Baramuli, Tanri Abeng, Syahril Sabirin,
Pande Lubis, Firman Sutjahya dan Setya Novanto untuk
membahas klaim PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI.
b) Tanggal 1 April 1999 PT.Bank Bali,Tbk mengajukan klaim
terhadap PT. BDNI
c) Awal Mei 1999 bertempat di rumah Tanri Abeng, JOKO
SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan dengan AA.
Baramuli dan Setya Novanto untuk membahas klaim PT. Bank
Bali terhadap PT. BDNI.
86
d) Bulan Mei 1999 bertempat di rumah AA. Baramuli, JOKO
SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan dengan Tanri
Abeng, Setya Novanto dan Marimutu Manimaren untuk
membahas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI.
e) Tanggal 26 Mei 1999 JOKO SUGIARTO TJANDRA bersama-
sama dengan Rudi Ramly dan Marimutu Manimaren bertemu
Menteri Keuangan (Bambang Subiyanto) di rumah Menteri
Keuangan untuk membahas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap
PT. BDNI.
4) Bahwa klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI yang semula
telah ditolak oleh BPPN dengan alasan tidak sesuai dengan SKB I
Nomor 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1998
1/BPPN/1998 karena berdasarkan SKB I tersebut yang berhak untuk mengajukan
klaim hanyalah bank debitur (PT. BDNI), setelah diadakan
pertemuan-pertemuan tersebut BPPN bersama-sama dengan Bank
Indonesia mengeluarkan SKB II Nomor : 32/46/KEP/DIR tanggal
181/BPPN/0599
14 Mei 1999 di mana disebutkan bahwa bank kreditur (dalam hal
ini PT.Bank Bali,Tbk) dapat mengajukan klaim kepada BPPN.
Dengan adanya SKB II tersebut klaim dari PT.Bank Bali,Tbk
diproses oleh BPP hingga akhirnya dibayar oleh Bank Indonesia.
5) Walaupun pertemuan-pertemuan tersebut diabaikan oleh Judex
Facti sebagaimana pertimbangannya pada halaman 318 yang
menyatakan:
"Hanya ada 1 (satu) saksi yaitu saksi Firman Sutjahya yang
menerangkan benar pada tanggal 11 Februari 1999 ada pertemuan
di hotel Mulia yang dihadiri oleh Syahril Sabirin, AA.Baramuli,
Tanri Abeng, Joko Soegirato Tjandra, Setya Novanto dan Pande N.
Lubis yang dibantah oleh terdakwa (Joko Soegirato Tjandra) dan
87
tidak dibenarkan oleh kesaksian-kesaksian di bawah sumpah
lainnya"
Yang dibenarkan oleh Judex Juris dengan pertimbangan pada
halaman 180 yang menyatakan:
"Judex Facti tidak salah menerapkan hukum pembuktian khusus
tentang pengertian unus testis nulus testis karena hanya saksi
Firman Soetjahja yang menerangkan ada pertemuan di Hotel Mulia
pada tanggal 11 Pebruari 1999"
dan pada halaman 212 yang menyatakan:
"Keterangan Firman Soetjahja satu-satunya yang menerangkan
terdapat pertemuan pada tanggal 11 Februari 1999 untuk
membicarakan percepatan pencairan tagihan PT. Bank Bali,
memenuhi kriteria hukum sebagai unus testis nulus testis.
6) Bahwa pertimbangan Judex Juris yang demikian terdapat
kekhilafan dan kekeliruan yang nyata, karena dari fakta di
persidangan karena ada keterangan saksi-saksi lainnya antara lain
Bambang Subiyanto (Menteri Keuangan), Rudy Ramly, Irvan
Gunardwi, Marimutu Manimaren, Firman Sutjahja dan beberapa
saksi lainnya, bila dikaitkan keterangan masing-masing saksi
tersebut satu sama lain terdapat hubungan yang erat, sehingga
dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk yang membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu sebagaimana tersebut
dalam pasal 185 ayat (4) KUHAP, yaitu adanya
pertemuanpertemuan antara JOKO SOEGIARTO TJANDRA
dengan pemegang otoritas moneter antara lain Syahril Sabirin dan
Pande N. Lubis dan Bambang Subianto dalam membahas klaim
PT.Bank Bali hingga dapat dibayarkan klaim tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat peran JOKO SOEGIARTO
TJANDRA dalam pencairan klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT.
BDNI walaupun perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA tidak
memenuhi semua unsur delik yang didakwakan namun terlihat adanya
88
kerja sama dengan terdakwa lain (PANDE NASORAHONA LUBIS
dan SYAHRIL SABIRIN), sebagaimana kami uraikan dalam
pengertian unsur "turut serta" menurut doktrin ilmu hukum pidana dan
Yurisprudensi. Dengan adanya kerja sama dan niat yang disadari
(bewuste samenwerking) antara para terdakwa tersebut sehingga unsur
pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu "turut serta melakukan" telah
terbukti dan para terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
d. Unsur perbuatan berlanjut sebagaimana dalam pasal 64 ayat (1) KUHP
Pertimbangan Judex Facti pada halaman 346 menyatakan :
Bahwa beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya yaitu
agar dikwalifisir sebagai suatu perbuatan yang diteruskan dalam
praktek peradilan harus memenuhi syaratsyarat:
1) Harus timbul dari satu niat, kehendak atau keputusan atau harus
ada kesatuan tekad.
2) Perbuatan harus serupa atau sejenis.
3) angka waktu diantara terjadinya perbuatan tidak boleh terlalu lama.
Menurut Judex Facti perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur
tersebut, namun tidak ditemukan unsur sifat "melawan hukum" atas
perbuatan terdakwa baik materiil maupun formil.
Dan juga menyatakan:
"Bahwa setelah PT. Bank Bali menerima dana tagihan terhadap PT.
BDNI (BBO) sejumlah Rp.904.642.428.369,- tanggal 1 Juni 1999
yang berasal dari dana talangan pemerintah sehubungan dengan
program penjaminan sesuai dengan Keppres Nomor 26 tahun 1998,
pada tanggal 3 Juni 1999 dari dana sebesar Rp.904.642.428.369,- yang
Rp.404.642.428.369,- dikreditkan oleh PT. Bank Bali (cedent) ke
rekening PT.Era Giat Prima (Cessionaris) A/C 0701026934 di Bank
Bali selanjutnya pada tanggal 10 Juni 1999 PT. Bank Bali selaku
cedent mentransfer sejumlah Rp.141.826.116.369,- ke rekening PT.
Era Giat Prima selaku Cessionaris".
Dan pada halaman 348 menyatakan bahwa:
89
“....dana yang diterima oleh PT.Era Giat Prima selaku Cessionaris dari
PT.Bank Bali selaku cedent sejumlah Rp.546 milyar adalah
pelaksanaan perjanjian pengalihan/cessie tagihan Nomor : 002/P-
EGP/1-99 tanggal 11 Januari 1999 antara cedent PT.Bank Bali dengan
Cessionaris PT.Era Giat Prima yang hanya mengikat bagi cedeht dan
Cessionaris".
yang dibenarkan oleh Judex Juris dalam pertimbangannya halaman
210 dimana Judex Juris menyatakan :
"bahwa cessie sebagai produk perdata memenuhi kriteria sebagai
perjanjian yang sah menurut hukum perdata, sehingga perbuatan
JOKO SOEGIARTO TJANDRA menerima dana dari PT. Bank
Bali,Tbk adalah dalam kapasitasnya sebagai Cessionaris dan PT. Bank
Bali,Tbk yang menyerahkan dana kepada PT. Era Giat Prima tersebut
adalah dalam kapasitasnya sebagai cedent sehingga tidak terdapat
perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Tanggapan Jaksa Penuntut Umum
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu
kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya
mempertimbangkan bahwa perbuatan JOKO SOEGIARTO
TJANDRA dalam kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian yang
bersifat keperdataan (sebagai Cessionaris) seharusnya juga
mempertimbangkan peran JOKO SOEGIARTO TJANDRA dalam
pencairan klaim PT. Bank Bali yang bersifat melawan hukum.
Bahwa sifat melawan hukum dari perbuatan JOKO SOEGIARTO
TJANDRA yang dilakukan bersama-sama dengan SYAHRIL
SABIRIN dan PANDE NASORAHONA LUBIS dapat dilihat dari
rangkaian peristiwa sebagai berikut:
1) bahwa transaksi SWAP dan money market antara PT. Bank
Bali,Tbk dengan PT. BDNI adalah transaksi yang tidak termasuk
transaksi yang dijamin oleh pemerintah karena pada waktu itu PT.
90
BDNI dalam kondisi over draft sehingga transaksi tersebut telah
melanggar "prinsip kehati-hatian".
2) adapun Cessie antara PT.Bank Bali,Tbk dengan PT.Era Giat Prima
(EGP) adalah Cessie yang tidak sah karena landasannya yaitu
perjanjian obligatornya tidak sah karena tidak diikuti dengan
levering sesuai dengan pasal 584 KUH Perdata.
3) Sehingga dana yang dibayarkan oleh Bank Indonesia kepada PT.
Bank Bali,Tbk sebesar Rp.904.642.428.369,- bukan milik PT.
Bank Bali,Tbk karena transaksi SWAP dan Money market antara
PT. BDNI dan PT. Bank Bali, Tbk bukan termasuk transaksi yang
dijamin sehingga dana sebesar Rp.546.468.544.738,- yang
ditransfer kepada PT. Era Giat Prima masing-masing pada tanggal
3 Juni 1999 sebesar Rp.404.642.428.369,- dan pada tanggal 10 Juni
1999 sebesar Rp.141.826.116.369,- adalah uang negara.
(Sebagaimana yang telah diuraikan dalam tanggapan Jaksa mengenai
unsur melawan hukum diatas)
Dengan demikian rangkaian perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA
yang dilakukan bersama-sama dengan SYAHRIL SABIRIN dan
PANDE NASORAHONA LUBIS tersebut adalah bersifat "melawan
hukum", maka dengan terbuktinya sifat melawan hukum dari
perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA tersebut seharusnya
perbuatan berlanjut seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum
terbukti.
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah
Agung berpendapat :
Bahwa sebelum mempertimbangkan alasan-alasan peninjauan kembali perlu terlebih dahulu dibatasi makna pengajuan peninjauan kembali oleh Penuntut umum dalam kapasitasnya mewakili negara dan kepentingan umum dalam penyelesaian perkara pidana bukan untuk kepentingan pribadi penuntut umum ataupun lembaga Kejaksaan, dan makna kepentingan umum dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 49 Undang Undang nomor 5 tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
91
menjelaskan “Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat bersama atau kepentingan pembangunan”, demikian juga dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung yang mengartikan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan masyarakat luas ;
Dari makna ketentuan diatas dihubungkan dengan permohonan peninjauan kembali aquo terlihat bahwa kepentingan bangsa dan negara maupun masyarakat luas lebih menonjol, sehingga permohonan aquo mempunyai sifat yang eksepsional telah memenuhi makna dari kepentingan umum dan makna kepentingan umum ini pula yang harus membatasi Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana, karenanya tidak dapat serta merta seluruh perkara pidana Jaksa Penuntut umum dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali ;
Bahwa Alasan-alasan Peninjauan Kembali yang diajukan
Jaksa bertalian dengan dasar diajukan permohonan Peninjauan
Kembali sebagaimana disebut dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c
KUHAP, yaitu putusan itu jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, dapat dibenarkan berdasarkan
pertimbangan dan alasan-alasan sebagai berikut:
1) ALASAN ad. A dan ad. B;
a) Alasan tersebut dapat dibenarkan karena tentang sah atau
tidaknya suatu perjanjian i.c. “ pembatalan perjanjian
pengalihan tagihan (cessie) nomor : 002/P-EGP/I-99 tanggal 11
Januari 1999 “ adalah wewenang dari peradilan perdata, namun
pada kasus a quo yang menjadi dasar sah atau tidaknya
merupakan putusan TUN yang semestinya secara absolut tidak
berwenang untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian yang
mengikat para pihak ;
b) Selain itu berdasarkan wewenang yang dimiliki oleh BPPN
sebagai lembaga pemberesan mewakili pemerintah dalam
penyelesaian bank bank BBKU maupun BBKO, berdasarkan
suratnya nomor : SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan
92
perjanjian cessi antara PT Bank Bali dengan PT. Era Giat
Prima dan dengan batalnya perjanjian itu semestinya BPPN
tidak perlu melakukan pembayaran atas tagihan dimaksud,
namun karena adanya intervensi dari pihak pihak yang
mempunyai otoritas pencairan tagihan itu terjadi, sehingga
pencairan itu bertentangan dengan ketentuan Kepres 26 tahun
1998 dan BPPN sendiri telah pernah pula menolak permohonan
klaim dimaksud ;
c) Bahwa ternyata secara sadar Terdakwa bersama sama dengan
Pande N. Lubis, Syahril Sabirin, Setyo Novanto dan yang lain
lain berupaya untuk mewujudkan agar perjanjian cessie antara
PT Bank Bali dengan PT. EGP yang bersumber dari transaksi
Swap dan Money market antara PT. BDNI dengan PT Bank
Bali yang telah dibatalkan BPPN sebagai transaksi yang
dijamin dalam Kepres 26 tahun 1998 dan atas upaya upaya
yang dilakukan dengan mempengaruhi para pemegang otoritas
maupun bersama sama dengan pemegang otoritas terwujud
dengan diproses dan dibayarkannya tagihan dimaksud ;
2) Judex Juris yang mengambil alih pertimbangan Judex Facti
mengenai unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut adalah :
a) Pertimbangan Judex Juris mengenai transaksi PT. BDNI dan
PT. Bank Bali Tbk pada halaman 182, menyatakan :
"bahwa transaksi SWAP dan money market, antara PT. Bank
Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan perbankan karena itu apa yang telah
dipertimbangkan Judex Factie sudah tepat dan benar"
dan pada halaman 214,
"bahwa dalam proses, transaksi SWAP dan money market oleh
PT. Bank Bali,Tbk dalam hubungannya dengan Bank BDNI
adalah tidak melawan hukum".
93
serta pada halaman 281 s/d 285 menyebutkan :
"bahwa transaksi SWAP dan money market yang dilakukan
antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI (sebelum BBO) telah
dicatat dalam pembukuan dan telah didokumenkan PT. Bank
Bali,Tbk, tidak pernah adanya teguran dari Bank Indonesia
baik secara lisan maupun tertulis serta telah dilakukannya
verifikasi on site ternyata tidak ditemukan ketidakwajaran dan
ketidakbenaran dalam transaksi antara PT. Bank Bali,Tbk dan
PT. BDNI sehingga tidak melanggar asas demokrasi ekonomi
dan prinsip kehati-hatian serta tidak melanggar tingkat
kesehatan bank sebagaimana diatur dalam pasal 2 jo pasal 29
ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah
dengan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998".
b) Pertimbangan Judex Facti tersebut diatas adalah keliru dan
merupakan kekhilafan yang nyata karena hanya
mempertimbangkan verifikasi on site yang dilaksanakan hanya
terhadap PT. Bank Bali,Tbk ( Bank kreditur) tanpa melakukan
verifikasi on site terhadap PT. BDNI (Bank Debitur),
seharusnya verifikasi on site dilakukan terhadap bank kreditur
dan bank debitur.
c) Berdasarkan rapat antara Direksi Bank Indonesia dan BPPN
(Risalah Rapat Direksi Nomor: 31.00.08 tanggal 24 September
1998), ditentukan bahwa dalam proses penjaminan yaitu dari
klaim yang masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank
Indonesia kemudian apabila klaim tersebut dapat diterima maka
akan diberitahukan kepada BPPN untuk mendapatkan otorisasi
pembayaran.
d) Bahwa rekonsiliasi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI yang
dilakukan oleh BPPN bukanlah dalam pengertian verifikasi on
site seperti yang dimaksud dalam program penjaminan ini,
94
sehingga seharusnya BPPN tidak perlu membayar klaim PT.
Bank Bali,Tbk tersebut.
e) Bahwa yang dimaksud oleh verifikasi on site adalah melakukan
penelitian terhadap saldo giro bank, fasilitas over draft, BLBI
yang diterima dari Bank Indonesia yang dilakukan terhadap
bank debitur.
f) Apabila verifikasi on site tersebut dilakukan juga terhadap PT.
BDNI maka akan diketahui bahwa kondisi keuangan PT. BDNI
pada tanggal 27 September 2007 dalam keadaan overdraft
senilai Rp.1,7 triyun lebih bahkan pada akhir Desember
mencapai Rp.8,4 triyun lebih, sehingga sebenarnya transaksi (8
transaksi SWAP dan 2 transaksi money market) antara PT.
BDNI dengan PT. Bank Bali, Tbk sudah melanggar prinsip
kehati-hatian bank (prudential principle) sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang
Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang
Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
g) Sesuai dengan "prinsip kehati-hatian" dalam usaha perbankan
seharusnya PT. BDNI dalam menjalankan usahanya seharusnya
memperhatikan rambu-rambu kesehatan bank dalam rangka
pengendalian risiko. Prinsip kehati-hatian seperti yang
ditentukan di dalam pasal 2 Undang-Undang Perbankan
dijabarkan di dalam patokan-patokan yang bersifat operasional.
Salah satu rambu prinsip kehati-hatian adalah Giro Wajib
Minimum yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi BI
Nomor : 30/89A/ KEP/DIR tanggal 30 Oktober 1997.
Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam
rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam
rupiah.
h) Berdasarkan data dari Bank Indonesia saldo giro PT. BDNI
yang ada di Bank Indonesia pada tanggal 27 November 1997
95
telah over draft sebesar Rp.1.715.690.000.000,- dan pada
tanggal 30 Desember 1997 telah over draft sebesar
Rp.8.463.711.000.000,-, dan hal ini pernah dilakukan teguran
oleh Bank Indonesia kepada PT. BDNI yaitu :
Nomor : 30/301/UPB2/AdB2 tanggal 3 November 1997,
Nomor : 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997,
Nomor : 30/2166/UPB2/AdB2 tanggal 2 Desember 1997,
Nomor : 30/2540/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997.
sehingga PT. BDNI tidak sepatutnya melakukan transaksi
SWAP dan money market dengan PT. Bank Bali. Tbk.
i) Bahwa berdasarkan pada uraian uraian diatas dapat
disimpulkan telah terjadi perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh terdakwa bersama sama dengan Syahril Sabirin
maupun Pande N. Lubis ;
Bahwa dengan telah terbuktinya perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh terdakwa dan mengambil alih pertimbangan yudex
facti (Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) ternyata apa yang telah
dilakukan oleh terdakwa dengan cara pencairan dana talangan
berdasarkan Kepres 26 tahun 1998, bendaharawan negara telah
membayarkan uang atas klaim transaksi Swap dan Money market dari
Bank Bali sebesar Rp. 904.462.428.369,- dan uang mana semestinya
tidak dapat dibayarkan, sehingga atas pembayaran itu telah merugikan
keuangan negara sebasar Rp. 904.462.428.369,- yang secara langsung
ataupun tidak langsung mempengaruhi perekonomian negara yang
sedang berusaha untuk memulihkan krisis moneter, dan oleh karenanya
atas barang bukti yang telah disita dan saat ini tersimpan dalam Escrow
Acount Bank Bali pada rekening nomor : 0999.045197 sejumlah
Rp.546.468.544.738 (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus
enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus
tiga puluh delapan rupiah) haruslah dirampas untuk dikembalikan pada
negara.
96
H. Bentuk Penemuan Hukum dalam Pemeriksaan Perkara Peninjauan
Kembali.
Menimbang, bahwa terlebih dahulu perlu dipertimbangkan, apakah
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum secara
formal dapat diterima, mengingat pasal 263 ayat 1 KUHAP menentukan yang
berhak mengajukan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya
dan putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali tidak
boleh merupakan putusan bebas atau putusan dilepaskan dari segala tuntutan
hukum;
Menimbang, bahwa mengenai hal tersebut Mahkamah Agung akan
memperhatikan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996
No.55 KK/Pid/1996, yang secara formal telah menerima permintaan
peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
merupakan putusan bebas, yang telah diikuti oleh putusan Mahkamah Agung
tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001, berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
a. Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak
diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan
dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri,
guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang
Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan
Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana;
b. Dalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut maka
Mahkamah Agung meneliti dan menafsirkan beberapa peraturan Undang-
undang sebagai dasar pertimbangan yuridisnya, yaitu :
1) Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak
dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal
244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan
97
bebas mumi tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak mumi
dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi
tetap Mahkamah Agung;
2) Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan
pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat
dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang
mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang
berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut
ditafsirkan adalah, Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon
pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung;
3) Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah
Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut
Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan
hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan
terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti
pemidanaan terhadap terdakwa;
4) Berdasarkan asas Legalitas serta penerapan asas keseimbangan Hak
Asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan
kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping
perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili
kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan kembali
(PK);
5) Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara
Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar
Semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat, adil,
karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum
acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi
perkara pidana yang ternyata ada hal-hal.yang belum diatur oleh
KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri
(yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum serta
98
mengakomodir kepentingan yang belum diatur di dalam Hukum
Acara Pidana;
6) Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas
maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal
permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap
putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 395 K/Pid/1995 tanggal 29
September 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga
dapat diperiksa kembali;
Menimbang, bahwa untuk memelihara keseragaman putusan
Mahkamah Agung (consistency in Court decision), maka Mahkamah Agung
dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana
tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya
tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung
tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung
tanggal 25 Januari 2008 No. : 109 PK/Pid/2007 tersebut di atas, yang secara
formal telah mengakui hak/wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk
mengajukan permintaan peninjauan kembali;
Menimbang, bahwa pendirian Mahkamah Agung tersebut selain untuk
memelihara keseragaman putusan, karena menurut pendapat Mahkamah
Agung, dalam putusan-putusan tersebut, terkandung "penemuan hukum" yang
selaras dengan jiwa ketentuan perundang-undangan, doktrin dan azas-azas
hukum, sebagaimana dapat disimpulkan dari hal-hal sebagai berikut :
a. Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; "Terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan ,hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, apabila, terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam
undang-undang" tidak menjelaskan tentang "siapa saja yang dimaksud
pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan
kembali" tersebut.
99
Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang
berbunyi : "Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang
ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana
oleh pihak-pihak yang berkepentingan", tidak menjelaskan "tentang
siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan
yang dapat mengajukan peninjauan kembali" dan terhadap ketidakjelasan
tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55
PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3
PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 No.
: 109 PK/Pid/2007 telah memberikan jawaban dengan menggunakan
penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud "pihak-pihak yang
berkepentingan dalam perkara pidana" selain terpidana atau ahli warisnya
adalah Jaksa;
b. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21
Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas,
yaitu:
1) Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut
Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab
logikanya terpidana /ahli warisnya tidak akan mengajukan Peninjauan
Kembali .atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging.
Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut
Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP;
2) Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3
KUHAP yang pokoknya menentukan "Atas dasar alasan yang sama
sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan" tidak mungkin dimanfaatkan
100
oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang
bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum
diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;
c. Bahwa sehubungan dengan adanya ketidakjelasan dalam Pasal 263
KUHAP tersebut, perlu dikemukakan pendapat-pendapat sebagai berikut:
1) Bahwa penganut Doktrin "Sens-clair (la doctrine du sensclair)
berpendapat bahwa "penemuan hukum oleh hakim" hanya dibutuhkan
jika :
a) Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau
b) Peraturannya sudah ada tetapi belum / tidak jelas;
2) Bahwa LIE OEN HOCK berpendapat : " Dan apabila kita
memperhatikan Undang-undang, ternyata bagi kita, bahwa undang-
undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi
seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus
melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian
undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan
sendiri maknanya kententuan undang-undang itu atau artinya suatu
kata jang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan
hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang secara
gramatikal atau historis, baik "recht maupun wetshistoris"; (Lie Oen
Hock Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, pidato diucapkan pada
Peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Besar Luar Biasa dalam limu
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di
Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11);
3) Bahwa M. YAHYA HARAHAP berpendapat : " Akan tetapi
sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong
hukum publik yang bersifat imperative, dimungkinkan untuk
melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk
mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek
kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta
101
manusiawi atau disebut according to the principle of justice; Bahkan
berkembang pendapat umum yang mengatakan : tanpa penafsiran atau
diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat
penyidik, penuntut dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara
pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan public memang diakui
"imperative", tetapi tidak seluruhnya absolute. Ada ketentuan yang
dapat "dilenturkan" (flexible), dikembangkan (growth) bahkan
disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa
keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep : to improve the quality
of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak
dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan
KUHAP, kasus Natalegawa dalam perkara No.275 K/Pid/1983 (10
Desember 1993). Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah
mewujudkan case law yang telah menjadi stare decisis melalui
“extensive interpretation". Dalam kasus ini walaupun pasal 244
KUHAP "tidak memberikan hak" kepada penuntut umum
mengajukan kasasi terhadap "putusan bebas" ( terdakwa atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas); Akan tetapi,
ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang melekat pada
ketentuan ini "dilenturkan", bahkan disingkirkan (overruled) dengan
syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan pembebasan
murni. Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap
putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung,
berarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap
putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas
bersifat contra legem atau " bertentangan dengan undang-undang"
(dalam hal ini bertentangan dengan pasal 244 KUHAP). Jika
pertimbangan yang tertuang dalam putusan perkara ini diperas,
intisari atau esensinya : to improve the quality of justice and recitduce
in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa;
102
Motivasi tersembunyi yang paling dalam mengcontra legem Pasal
244 KUHAP, bertujuan untuk “mengoreksi dan meluruskan putusan
bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan, dianggap
sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu
menghukum orang yang bersalah”. Sangat bertentangan dengan
keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan
pada alasan "non yuridis". Dalam kasus yang seperti itu sangat
beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu
dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan
bebas demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan
semaksimal ,mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah
yang mendorong Majelis peninjauan kembali dalam kasus Muchtar
Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan pasal 263
KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan
hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum
mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara
memberi kesempatan kepada penuntut umum membuktikan bahwa
pembebasan yang dijatuhkan pengadilan "tidak adil" (in justice)
karena didasarkan ada alasan "non yuridis" (lihat M. Yahya Harahap,
Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penerbit Sinar
Grafika, Edisi Kedua hlm.642-643);
Bahwa doktrin-doktrin tersebut di atas adalah sesuai dengan tugas
Hakim dalam menemukan hukum apa yang menjadi hukum
berdasarkan pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan "bahwa pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya". Ketentuan
pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim bahwa apabila terjadi suatu
peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya,
103
Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk
menyelesaikan perkara tersebut;
Dalam hal ini Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang
merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-undangan tidak
dapat membantunya. Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka
menemukan hukum ini isi ketentuan Pasal 16 ayat 1 tersebut harus
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4
Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
dalam masyarakat.) “Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat
disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang berbunyi
"Berdasarkan azas/legalitas serta penerapan azas keseimbangan hak
asasi antara kepentingan perorangan (termohon peninjauan kembali
dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya di lain pihak di
samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang
diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali
(PK)”;
d. Bahwa pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan Model yang
tertumpu pada konsep "daad-dader-stra-recht " yang oleh Muladi disebut
Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang
memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum
pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan
individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban
kejahatan (Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas
Diponegoro, Semarang 1995, hlm.5) dan selaras pula dengan tujuan
hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum
harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa
atau terpidana, maupun korban tindak pidana;
104
e. Di dalam praktek acapkali menghadapi kasus perkara yang dalam
penerapan hukumnya telah terjadi benturan kepentingan, disatu sisi
kepentingan kepastian hukum yang bermuara pada aspek prosedural, dan
disisi lain berhadapan dengan kepentingan kebenaran dan keadilan yang
bermuara pada kepentingan umum atau negara. Harus disadari bahwa
nilai keadilan dan kebenaran tidak dapat diperoleh dari tingginya aspek
kepastian hukum, akan tetapi ditentukan oleh faktor keseimbangan aspek
perlindungan hukum terhadap korban maupun pelaku kejahatan. Oleh
karena itu konsekwensinya semakin serius akibat dan sifat kejahatannya,
maka semakin besar pula tuntutan nilai keadilan yang harus dicapai dan
melebihi dari tuntutan nilai kepastian hukum. Dengan kata lain agar dapat
mencapai nilai keadilan dan kebenaran yang lebih tinggi hakim harus
berani mereduksi nilai kepastian hukum ;
f. Bahwa selain itu pertimbangan hukum tersebut adalah sejalan dengan
ajaran "prioritas baku" tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch,
dimana "keadilan" selalu diprioritaskan. Ketika Hakim harus memilih
antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan,
demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan dan atau
kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran "prioritas
baku" tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh
Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi "Keadilan dan
Kepastian sebagal tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam
penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut,
maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya hakim
sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum";
g. Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang
dikeluarkan Menteri Kehakiman "Tujuan dari hukum acara pidana adalah
untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatkan,
kebenaran materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
105
di dakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang
yang didakwa itu dapat dipersalahkan", maka KUHAP harus secara
maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara
melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan
dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan
memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum.
Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan
kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu
dikemukakan sebagai bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
a. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31ahun 1997, menentukan "Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan
terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan";
b. Article 8 Statute of International Criminal Curt pada pokoknya
menentukan "1. The convicted person or, after death, spouses, children,
parents, or one person alivee at the time of the accused"s death who has
been given Express written instructions from the accused to bring such a
claim or the prosecutor on the person's behalf, may apply to the Chamber
to revise the final judgmen of conviction or sentence on the grounds
that..................”;
c. Artikel 37 Reglement of de Straf Ver Orderin (SV) (S.1847-40)
menentukan "De aanvrage tot herzienning wordt bij hea Hooggerechtshof
aangebracht door het indienen van een vordering door den procureur-
106
generaal of door het indienen van een vorzoekschrift door een
veroordeelde te wiens aanzien het arrest of vonnis in kracht van gewijsde
is gegaan, door een bijzonder daartoe schriftelijk gemachtigde of door zijn
raadsman. Het bepaalde bij art. 120 vindtovereenkomstige toepassing, met
dien verstande dat de bemoeeienis, bedoeld bij het tweede lid van dat art,
aan den president van het Hooggerechtshof is opgedragen. (Sv.(3563,
358v.);
d. Pasal 4 ayat 1 PERMA No.1 Tahun 1969 menentukan "Permohonan
peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap harus diajukan oleh pihak:yang berkepentingan atau
oleh Jaksa Agung";
Pasal 10 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 1980 menentukan "Permohonan
peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak
yang berkepentingan";
I. Amar Putusan Mahkamah Agung dalam Pemeriksaan Peninjuan
Kembali.
a. Mengabulkan permohonan Peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut ;
b. Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1688 K/Pid/2000
tanggal 28 Juni 2001 Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel. tanggal 28 Agustus 2000 ;
MENGADILI KEMBALI:
a. Menyatakan Terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Turut serta
melakukan tindak pidana korupsi dan berlanjut” ;
b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun ;
c. Menghukum pula Terdakwa untuk membayar denda sebesar
Rp.15.000.000,-, (lima belas juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
107
tersebut tidak dibayar, maka kepada Terdakwa dikenakan hukuman
pengganti berupa pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan ;
d. Menyatakan barang bukti berupa dana yang ada dalam Escrow Account
atas rekening Bank Bali No.0999.045197 qq. PT Era Giat Prima sejumlah
Rp.546.468.544.738,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus
enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga
puluh delapan rupiah) di rampas untuk dikembalikan pada negara ;
e. Menyatakan barang bukti lainnya berupa surat-surat sebagaimana dalam
daftar barang bukti tetap terlampir dalam berkas ;
f. Membebankan Termohon peninjauan kembali / Terdakwa untuk
membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam
tingkat peninjauan kembali ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah) ;
J. Pembahasan.
Peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang
diatur dalam KUHAP Buku Kesatu Bab XVIII Bagian Kedua tentang
Peninjauan Kembali mulai pasal 263 sampai dengan 269, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004. Dimana secara garis besar dalam undang-undang
tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan peninjauan kembali itu
diperuntukkan kepada terpidana atau ahli warisnya sebagai upaya hukum
terakhir, terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Hak mengajukan permohonan peninjauan kembali yang seharusnya
hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya dapat dilihat dari
penjelasan setiap pasal yang mengaturnya. Seperti yang tercantum dalam pasal
263 ayat (1) yaitu terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung.
Dari uraian pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan:
108
a. Upaya peninjauan kembali hanya dapat dilakukan terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Upaya peninjauan kembali tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
c. Adanya batasan dalam pengajuan permohonan peninjauan kembali hanya
kepada terpidana atau ahli warisnya saja.
Kesimpulan dari pasal 263 ayat (1) diatas telah menjelaskan secara
tegas bahwa dalam pengajuan peninjauan kembali terdapat ketentuan yang
harus terpenuhi dan tidak membuka kemungkinan penafsiran lain selain yang
disebutkan dalam pasal tersebut. Yaitu tidak terbuka untuk diajukan terhadap
putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak
dapat dilakukan terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum, dan tidak terbuka diajukan oleh pihak selain terpidana dan
ahli warisnya. Karena maksud adanya upaya hukum peninjauan kembali ini
adalah untuk melindungi dan merupakan upaya hukum terakhir bagi terpidana,
sehingga yang dapat mengajukan hanyalah terpidana dan ahli warisnya atau
pihak lain dalam hal ini penuntut umum.
Sedangkan alasan-alasan hukum diajukannya permohonan peninjauan
kembali serta memperkuat mengenai pengajuan oleh terpidana atau ahli
warisnya diatur dalam pasal 263 ayat (2), yaitu: Permintaan peninjauan
kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan
yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan
yang lain;
109
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.”
Pasal 263 ayat (2) tersebut memberikan alasan limitatif untuk
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali yaitu dengan ditemukannya
keadaan baru atau disebut novum, yang hasilnya akan berupa putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau diterapkan pidana yang lebih ringan. Hal ini tentunya merupakan
hal-hal yang akan diperoleh oleh terpidana dari hasil putusan peninjauan
kembali, bukan untuk jaksa penuntut umum. Selain itu ada alasan bahwa
pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi
hal sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan terbukti itu ternyata
telah bertentangan satu dengan yang lain, terdapat kekhilafan yang nyata dari
hakim.
Sedangkan pada Pasal 263 ayat (3): Atas dasar alasan yang sama
sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang
didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti suatu
pemidanaan. Pasal ini digunakan sebagai hak atau kewenangan Jaksa Penuntut
Umum untuk mengajukan peninjauan kembali, dengan kata-kata terbukti
tetapi akan tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan, karena Jaksa Penuntut
Umum lah yang mempunyai hak menuntut untuk dipidana. Berbeda dengan
ketentuan sebelumnya yang mengatur masalah peninjauan kembali yaitu
Reglement of Staaf Ordering maupun peraturan MA Nomor Tahun 1969 atau
peraturan MA Nomor 1980 yang menentukan bahwa selain terpidana atau ahli
warisnya, permintaan peninjauan kembali juga dapat dilakukan oleh Jaksa
Agung. Dari uraian tersebut terlihat pembuat undang-undang memang tidak
memberikan hak kepada jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali, hal ini dikarenakan jaksa Agung telah diberikan
hak mengoreksi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap melalui
pasal 244 KUHAP yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum.
110
Pasal 266 ayat (3) KUHAP menjelaskan bahwa pidana yang dijatuhkan
dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah
dijatuhkan dalam putusan semula. Dengan ketentuan yang jelas dan tegas
tersebut dapat diartikan dan tidak ada penafsiran lain bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana yang lebih berat dari putusan yang pernah dijatuhkan
hakim dalam perkara itu.
Ketentuan dalam pasal 286 ayat (3) yaitu permintaan peninjauan
kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Dengan
dikabulkannya permohonan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum,
maka sudah tidak terbuka lagi kesempatan bagi terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali yang merupakan upaya hukum untuknya,
karena hak nya sudah digunakan oleh jaksa penuntut umum.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman,
yaitu pasal 23 menyebutkan bahwa:
a. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat keadaan tertentu
yang ditentukan dalam undang-undang.
Bahwa pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah
pihak yang bersangkutan, dalam perkara pidana yaitu terpidana dan jaksa
penuntut umum, maka tidak menutup kemungkinan bahwa terbatas hanya
dari terdakwa atau salah pihak yang dapat mengajukan peninjauan
kembali tersebut, sebatas terpenuhinya terdapat keadaan tertentu yang
ditentukan dalam Undang-undang.
b. Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan
kembali.
Putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan
kembali, maka peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja,
dengan tidak terbatas siapa yang dapat mengajukannya. Hal ini
menimbulkan pendapat bahwa siapa yang lebih dahulu mengajukan
111
peninjauan kembali adalah yang berhak mengajukan peninjauan kembali
dan menutup kesempatan dari pihak lawan.
Sedangkan Pertimbangan Mahkamah Agung yang memberikan
kewenangan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan
Kembali dalam putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 dengan terpidana Djoko
S. Tjandra adalah sebagai berikut:
a. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak
dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244
KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas mumi
tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat
dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap
Mahkamah Agung.
Pertimbangan ini bukan merupakan suatu kepastian, karena sutu
yurisprudensi tidak harus digunakan dalam pertimbangan selanjutnya,
melainkan hanya sebagai suatu sumber hukum lain selain yang tertulis
dalam perundangan. Karena tidak dapat dipastikan bahwa setiap
permohonan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umm dapat diterima
oleh Mahkamah Agung, melainkan harus dipertimbangkan apakah suatu
permohonan tersebut mempunyai alas an yang benar dan baik sesuai
dengan perkembangan hukum pada masa itu.
b. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini
ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang
berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan
umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut
dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah, Kejaksaan yang
tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke
Mahkamah Agung.
Dalam suatu perundangan suatu Negara, pasti terdapat suatu
peraturan yang saling bertentangan antara suatu undang-undang dan yang
lainnya. Dari kekurangan tersebut maka harus dicari bagaimana suatu
112
peraturan tersebut dapat digunakan yang paling efektif dan baik,
melainkan bukan yang menuntungkan oleh satu pihak saja.
c. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung
RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum
adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah,
sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak
diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap
terdakwa.
Dalam pertimbangan tersebut jaksa penuntut umum memang
berwenang untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali karena
merupakan pihak yang berkepentingan, dalam suatu perkara yang
terdakwanya terbukti bersalah namun tidak diikuti dengan suatu
pemidanaan. Dari peraturan tersebut maka sudah menegaskan secara
limitatif, maka tidak dapat dimungkinkan penafsiran lain lagi.
d. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik
Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar Semua hukum dan
undang-undang diterapkan secara tepat, adil, karena itu Mahkamah
Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang
masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata
ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan
hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum
serta mengakomodir kepentingan yang belum diatur di dalam Hukum
Acara Pidana.
Suatu yurisprudensi adalah sumber hukum yang tidak tertulis, dan
merupakan suatu hukum yang dibentuk dengan tujuan untuk melengkapi
perundangan yang belum mengaturnya karena alasan adanya
perkembangan hukum. Dalam hal ini seharusnya suatu yurisprudensi
dibentuk tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang telah ada,
karena yurisprudensi dibuat adalah berdasarkan peraturan yang telah ada
sebelumnya. Oleh karena itu tidak semua yurisprudensi adalah dapat
diterima, atau dapat digunakan sebagai sumber hukum untuk masa depan.
113
e. Menimbang, bahwa untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah
Agung (consistency in Court decision), maka Mahkamah Agung dalam
memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana tersebut,
akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal
25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal
2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung
tanggal 25 Januari 2008 No. : 109 PK/Pid/2007 tersebut di atas, yang
secara formal telah mengakui hak/wewenang Jaksa Penuntut Umum
untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.
Bahwa dalam hukum tidak diharuskan atau diatur bahwa suatu
putusan harus diseragamkan dengan putusan terdahulu. Karena dengan
begitu akan mengurangi makna diadakannya suatu pemeriksaan
pengadilan, apabila suatu peradilan terlalu terpacu oleh suatu putusan
dengan perkara yang hamper sama.
f. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas menyatakan bahwa Jaksa
Penuntut Umum berhak untuk mengajukan permintaan Peninjauan
Kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas ketentuan pasal ini
tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan
Kembali. Adalah wajar apabila permintaan Peninjauan Kembali terhadap
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau
ahli warisnya dikecualikan karena putusan tersebut sudah menguntungkan
bagi terpidana. Demi tegaknya hukum dan keadilan terhadap putusan
pengadilan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
adalah menjadi hak Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan
kembali sebagai pihak yang berkepentingan sepanjang terdapat dasar atau
alasan yang cukup sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat (2) KUHAP.
Pertimbangan tersebut menurut penulis tidaklah dapat diterima,
suatu undang-undang yang jelas menyatakan peninjauan kembali sebagai
kewenangan terpidana atau ahli warisnya mempunyai arti lain bahwa
tidak adanya larangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan
peninjauan kembali pula. Sebenarnya pertimbangan tersebut hanya
114
sebuah pemutarbalikan suatu peraturan perundangan, sehingga apa yang
menjadi tujuan dapat tercapai dengan alasan adanya suatu dasar hukum.
Apabila pertimbangan ini dibenarkan, maka tidak menutup kemungkinan
pula bahwa terpidana dapat mengajukan kasasi, karena dalam peraturan
mengenai kasasi yang hanya dapat diajukan oleh jaksa penuntut umum,
tidak disertai pula larangan terpidana untuk mengajukan kasasi.
g. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman yang menentukan "bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil
bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya". Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim
bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas
atau belum mengaturnya, Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya
sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Penulis berkesimpulan bahwa pertimbangan tersebut adalah berlaku
untuk setiap pemeriksaan suatu peradilan, sehingga apabila digunakan
sebagai pertimbangan dalam perkara ini adalah benar, namun bukan
berarti melupakan atau meninggalkan perturan yang lain. Sehingga
insiatif yang dilakukan hakim adalah harus sesuai dengan peraturan
dalam perundangan.
h. Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menyatakan
bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini dalam yurisprudensi
tersebut dapat disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang
berbunyi "Berdasarkan azas/legalitas serta penerapan azas keseimbangan
hak asasi antara kepentingan perorangan (termohon peninjauan kembali
dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya di lain pihak di
samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili
Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali (PK)”.
115
Pada dasarnya keadilan dalam negara hukum adalah semua warga
negara adalah sama di mata hukum sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Asas keseimbangan yang digunakan sebagai pertimbangan
adalah apabila jaksa penuntut umum mempunyai hak yang sama dengan
terpidana dalam pengajuan paninjauan kembali, namun bukankah suatu
undang-undang dibuat itu menggunakan berbagai pertimbangan dan
memerlukan persetujuan dari berbagai pihak. Sehingga keadilan dan asas
keseimbangan juga sudah terkandung dalam peraturan tersebut, yaitu
jaksa penuntut umum mempunyai wewenang untuk mengajukan upaya
hukum kasasi, sedangkan terpidana mempunyai hak untuk mengajukan
upaya hukum yaitu peninjauan kembali, sebagai upaya hukum terakhir.
i. Mempertimbangkan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari
Gustav Radbruch, dimana “keadilan” selalu diprioritaskan. Ketika Hakim
harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada
keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan dan
atau kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran
"prioritas baku" tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang
disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi
"Keadilan dan Kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak
dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal
tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan
diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas
kepastian hukum".
Penulis berpendapat sesuai dengan pertimbangan sebelumnya
bahwa keadilan menurut peraturan dalam perundangan dengan pengertian
dari masyarakat atau praktisi hukum pada masa tertentu tidaklah sama.
Maka diperlukan adanya suatu perubahan atau revisi suatu undang-
undang yang sering kita lihat di negara kita, apalagi dengan adanya
lembaga konstitusi sebagai wadah untuk judicial review dari suatu
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sehingga apabila suatu
Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum yang
116
ada, maka perlu diadakan suatu perubahan, bukan dengan cara
menafsirkan lain dari makna perundangan tersebut dan mengindahkan
asas kepastian hukum untuk memperoleh suatu keadilan.
j. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri
Kehakiman "Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatkan, kebenaran materiil
ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwa melakukan
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu
tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan", maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk
mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran
ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya
terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut
Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang
merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum;
Apabila pertimbangan bahwa KUHAP harus secara maksimal
digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan
penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, bukankah hal ini tidak
membenarkan adanya pengertian yang berbeda dengan ketentuan itu sendiri.
Karena dalam Pasal 263 tersebut juga secara jelas ditegaskan bahwa hanya
terpidana dan ahli warisnya yang dapat mengajukan permohan peninjauan
kembali. Kebenaran materiil adalah tidak dicari dengan menafsirkan lain dari
ketentuan dan maksud yang sebenarnya dan mengurangi adanya makna
keadian itu sendiri.
117
BAB IV
PENUTUP
Setelah melakukan analisa terhadap permasalahan yang diteliti, maka
pada akhir penulisan hukum ini penulis akan menyampaikan simpulan dan saran.
Dalam simpulan dan saran ini akan dimuat suatu ikhtisar berdasar hasil penelitian
dan pembahasan sebagai berikut :
A. Simpulan
Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung yang Memberi Kewenangan
Jaksa Penuntut Umum untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Pada
Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 terkait Kasus
Bank Bali.
Bentuk penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah
Agung dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali terkait kasus Bank
Bali dengan terpidana Djoko S. Tjandra adalah dalam memaknai pengertian:
a. Pasal 244 KUHAP.
b. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970.
c. Pasal 263 ayat (3) KUHAP
d. Mahkamah Agung mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana
tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara dengan cara
menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi).
e. Untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency
in Court decision).
f. Pasal 263 ayat (1).
g. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
h. Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun.
i. Mempertimbangkan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari
Gustav Radbruch.
j. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri,
yaitu untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan
118
penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan dalam hal ini
khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP.
Berdasarkan pertimbangan hakim di atas, jaksa penuntut umum
berwenang untuk mengajukan peninjuan kembali, namun penulis berpendapat
bahwa pengajuan peninjauan kembali sesuai dengan ketentuan tersebut di atas,
seperti yang tercantum dengan jelas dalam Pasal 263 KUHAP, hanya
terpidana dan ahli warisnyalah yang mempunyai hak mengajukan permohonan
peninjauan kembali, dan tidak dapat ditafsirkan lain.
Penulis tidak sependapat dengan pertimbangan hakim Mahkamah
Agung dalam memutus untuk menerima permohonan peninjauan kembali oleh
jaksa penuntut umum, karena secara limitatif sudah diatur dalam Pasal 263
KUHAP bahwa peninjauan kembali merupakan upaya hukum terahir yang
diberikan kepada terpidana dan ahli warisnya. Sedangkan jaksa penuntut
umum diberi kewenangan untuk melakukan upaya hukum yaitu kasasi.
B. Saran
1. Hakim Mahkamah Agung dalam membuat pertimbangan terhadap
pengajuan peninjauan kembali oleh penuntut umum harus dilakukan
secara arif dan bijaksana agar tidak mengganggu prinsip keseimbangan
antara asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP harus
memberikan pengaturan yang tegas dan jelas tentang kewenangan
penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap.
119
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Raja Grafindo.
Chainur Arrasjid. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Edy Herdyanto. 2009. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Memberi
Kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengajukan Peninjauan
Kembali (Study Kasus Putusan Peninjauan Kembali Muchtar
Pakpapahan dan Pollycarpus Budihari Priyanto). Surakarta: Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret.
Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Ignatius Haryanto. Siapa Djoko Chandra yang Disebut Joker?
.http://antikorupsi.org/indo>[8 September 2009 pukul 18.44]
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing.
Lilik Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Luhut M. P. Pangaribuan. 2002. Hukum Acara Pidana. Surat-surat Resmi di
Pengadilan oleh Advokat praperadilan, eksespsi, pledoi, duplik, memori
banding, kasasi, peninjauan kambali.Jakarta: Djambatan.
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta: Sinar Grafika.
2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
edisi kedua.Jakarta: Sinar Grafika.
Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Prabandari Tri Hapsari. 2007. Penerapan Asas Unus Testis Nullus Testis Dan
Testimonium De Auditu Dalam Penilaian Keterangan Saksi Sebagai
Alat Bukti Perkara Pidana Oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
PUSAT (Studi Kasus Perkara Korupsi BLBI Bank Bali Dengan
120
Terdakwa DR. Syahril Sabirin)”. Surakarta: Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
Putusan Mahkamah Agung No. 12 PK/Pid.Sus/2009.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 156/PID.B/2000/PN.JAK-SEL.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1688 K/Pid/2000.
Rd. Achmad S.Soemadipradja. 1981. Pokok-pokok Hukum acara Pidana
Indonesia. Bandung: Alumni.
Soerdjono Dirdjosisworo. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Rajawali Pers.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press).
2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Yudi Priambudi. Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan
Batasannya. (http://yudipriambudi85s.blog.com>[29 Agustus 2009
pukul 15.13].