analisis teori hubungan internasional (1)

76
Ringkasan, Perenungan, dan Analisis Teori Hubungan Internasional I Nama: Tangguh Dept. Ilmu Hubungan Internasional NPM: 0706291426 Universitas Indonesia Realis-Liberal-Neorealis-Neoliberal-Strukturalis Sek ila s Rin gka san Rea lis me Realisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang menganggap bahwa sifat manusia belum tentu baik baik: kemungkinan terbaik, manusia memiliki kapasitas baik dan buruk yang sama; kemungkinan terburuk, manusia memiliki hasrat instingtif untuk mendominasi orang lain. Sehingga, perang selalu menjadi kemungkinan. Tanggung jawab tiap negara adalah menyediakan pertahanan dan keamanannya. Kebijaksanaan atau tindakan nasional diukur dari apakah ia menjadi perpanjangan kepentingan nasional, yang paling sering didefinisikan sebagai penambahan kekuatan dalam berbagai bentuk, yang paling khusus kekuatan militer. Perdamaian tidak dapat dijamin, namun dapat diperoleh karena balance of power akan membuat negaranegara mencari jaminan keamanan dan kepentingan mereka dengan bersekutu dengan negara lain yang lebih kuat. Realisme mengutamakan kebijakan luar negeri daripada kebijakan domestik, pemeliharaan kekuatan militer yang besar, dan penekanan pada nasionalisme. Realisme juga mengutamakan negara sebagai aktor internasional uniter dengan proses pembuatan Hal. 1

Upload: arahtuju

Post on 26-Oct-2015

349 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

teori

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Ringkasan, Perenungan, dan Analisis Teori Hubungan Internasional I Nama: Tangguh Dept. Ilmu Hubungan Internasional NPM: 0706291426 Universitas Indonesia Realis-Liberal-Neorealis-Neoliberal-Strukturalis

Sekilas Ringkasan Realisme

Realisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang menganggap

bahwa sifat manusia belum tentu baik baik: kemungkinan terbaik, manusia memiliki

kapasitas baik dan buruk yang sama; kemungkinan terburuk, manusia memiliki

hasrat instingtif untuk mendominasi orang lain. Sehingga, perang selalu menjadi

kemungkinan. Tanggung jawab tiap negara adalah menyediakan pertahanan dan

keamanannya. Kebijaksanaan atau tindakan nasional diukur dari apakah ia menjadi

perpanjangan kepentingan nasional, yang paling sering didefinisikan sebagai

penambahan kekuatan dalam berbagai bentuk, yang paling khusus kekuatan militer.

Perdamaian tidak dapat dijamin, namun dapat diperoleh karena balance of power

akan membuat negaranegara mencari jaminan keamanan dan kepentingan mereka

dengan bersekutu dengan negara lain yang lebih kuat. Realisme mengutamakan

kebijakan luar negeri daripada kebijakan domestik, pemeliharaan kekuatan militer

yang besar, dan penekanan pada nasionalisme. Realisme juga mengutamakan

negara sebagai aktor internasional uniter dengan proses pembuatan keputusan

tunggal, pada pokoknya rasional dalam tindakannya, dan berargumen bahwa

keamanan nasional adalah isu internasional paling penting.1

Liberalisme

Liberalisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang,

secara ontologis, memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut. Pertama, sifat

manusia dalam hukum alam adalah baik, rasional, dan mampu bekerja sama.

Kedua, manusia lebih memilih damai daripada konflik. Ketiga, demokrasi adalah

sistem pemerintahan terbaik. Keempat, negara dibentuk oleh manusia dan oleh

karena itu mampu menuruti hukum alam yang sama dengan manusia. Liberalisme

mempertanyakan batas-batas kewajiban negara dalam alam domestik dan

Hal. 1

Page 2: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

internasional; membawa kemungkinan sistem internasional yang damai;

membutuhkan pertanyaan tentang aktor utama, keuntungan, dan level analisis dalam

ilmu hubungan internasional; menekankan pentingnya internasionalisme melalui

tajuk liberalisme internasional; dan sangat erat dengan studi etika politik

internasional dan keadilan internasional.

Secara epistemologis, liberalisme mengelaborasi hubungan negara dengan

masyarakat serta pengaruhnya terhadap perilaku negara dalam politik dunia. Individu

dan perilaku mereka dalam berbagai level masyarakat menjadi domain penjelasan

atas tindakan negara. Dinamika masyarakat menciptakan preferensi negara, yang

amat penting dalam politik dunia. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, aktor

nonnegara adalah entitas yang penting dalam politik dunia. Kedua, negara bukanlah

aktor uniter. Ketiga, negara bukanlah aktor rasional. Keempat, politik internasional

memiliki banyak agenda yang dapat menjadi bahasan.2

Neorealisme

Neorealisme menjawab tantangan liberalisme dengan revisi terhadap teori

realisme secara radikal. Neorealisme terinspirasi dari model konstruksi teori Imre

Lakatos dan teori mikroekonomi; yang pertama membawa teori asumsi minimal

sementara yang kedua membawa determinan struktural terhadap perilaku negara.

Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, sistem internasional bersifat anarki,

karena tidak ada otoritas sentral untuk memaksakan tata tertib. Kedua, dalam sistem

yang demikian, kepentingan utama negara adalah keberlangsungannya sendiri,

sehingga negara akan memaksimalisasi power mereka khususnya kekuatan militer.

Karena power tersebut bersifat zero-sum, negara menjadi ‘posisionalis defensif’,

sehingga struggle for power adalah karakteristik permanen hubungan internasional

dan konflik bersifat endemik. Dan oleh karena itu, kerja sama antarnegara menjadi

sulit atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Kalaupun ada, itu pun di bawah kondisi

hegemoni suatu negara dominan yang menggunakan power-nya untuk menciptakan

dan memaksakan peraturan institusional.3

Neoliberalisme

Neoliberalisme memiliki dasar yang serupa dengan neorealisme, pertama,

karena ia menganggap anarki internasional sangat penting dalam membentuk

perilaku negara, namun anarki bukanlah satu-satunya penentu tingkat maupun sifat

Hal. 2

Page 3: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

kerja sama internasional. Kedua, negara juga tetap menjadi aktor paling penting

dalam politik dunia. Ketiga, asumsi bahwa negara secara esensial hanya memiliki

kepentingan terkait dirinya sendiri juga tidak berubah. Namun, sebagai perpanjangan

dari asumsi pertama, interdependensia dan kepentingan bersama pun bukanlah

satu-satunya, melainkan bahwa tidak adanya otoritas sentral dunia membuat

perjanjian-perjanjian rawan cheating, biaya kerja sama menjadi tinggi, dan informasi

menjadi sangat terbatas. Sehingga, negara-negara membentuk institusi atau rejim

internasional untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut.4

Strukturalisme

Strukturalisme adalah perspektif ‘bottom up’ ilmu hubungan internasional yang

dipengaruhi Marxisme. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, ‘sifat dasar

manusia’ tidak tetap maupun esensial, namun terkondisikan melalui masyarakat.

Kedua, subjek dapat dikelompokkan menjadi kolektivitas yang dapat diidentifikasi

dan dapat pula dikatakan memiliki kepentingan konkrit. Ketiga, ‘strukturalisme adalah

sains’. Keempat, tidak ada perbedaan jelas antara nasional (dalam negeri) dan

internasional (luar negeri). Strukturalisme memandang bahwa tata dunia

kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis global dan sistem antarnegara yang

berhubungan. Ciri fundamental tata dunia ini adalah ketidaksamaan yang didasarkan

eksploitasi kapitalisme. Strukturalisme memandang kelas sebagai aktor dominan

dalam hubungan internasional, namun tidak melupakan peran negara sebagai

perpanjangan kepentingan kelas. Aktor-aktor institusional dipandang berperan

membantu melegitimasi dan memelihara struktur yang ada. Berbagai varian

strukturalisme adalah teori dependensia dan teori world-systems.

Assessment: The Clash of Perspectives

Sebagaimana epistemologi ilmu Barat yang menganut pendekatan dikotomis,

ilmu hubungan internasional, terutama American school, selalu terstruktur atas debat

antara dua perspektif utama yang paling signifikan pada masanya. Pascaperang

Dunia II hingga 1980-an, debat tersebut berkisar antara realisme dan liberalisme,

dua perspektif yang mengaplikasikan teori rational choice namun mencapai

kesimpulan yang secara radikal berbeda tentang hubungan internasional. Pada

1980-an, terjadi pergeseran menuju dua debat utama antara, pertama, neorealisme

dengan neoliberalisme, yang sama-sama teori rasionalis namun berbeda secara

Hal. 3

Page 4: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

ideasional, dan kedua, rasionalisme dengan critical theory, yang berbeda secara

holistik dari asumsiasumsi epistemologis, metodologis, ontologis, maupun normatif.

Bahkan Pascaperang Dingin, poros debat ini masih mengalami pergeseran menuju

dua debat baru antara, pertama, rasionalisme dengan konstruktivisme dan, kedua,

konstruktivisme dengan critical theory, yang memunculkan antitesis terhadap

rasionalisme dan positivism serta kritik metateoritis. (Setelah ini pun, penulis

berasumsi bahwa debat ilmu hubungan internasional ini akan terus mengalami

pergeseran, seiring aplikasi metode inkuiri Socrates dalam bidang ilmu ini yang akan

selalu menghasilkan sintesis teori baru setelah dua perspektif yang saling antitesis

saling dibenturkan.)

Mengapa selalu terjadi debat? Karena metode inkuiri Socrates? Karena

dialektika Hegel? Karena pemahaman postpositivis? Karena relativitas ilmu sosial

yang rentan menghadirkan krisis dan anomali, yang pada akhirnya akan selalu

melahirkan paradigma baru? Karena teori-teori ini bersifat konfliktual? Karena ada

kepentingan-kepentingan yang bersifat soft power, sehingga langkah-langkah

intervensionis dalam diskursus ilmu pun diambil (seperti “pembersihan” terhadap

para guru besar universitas)? Entahlah. Yang pasti, penulis sangat meyakini bahwa

tradisi debat dalam ilmu hubungan internasional ini akan terus berlanjut.

Karena sifatnya yang sangat inheren dalam ilmu hubungan internasional, mengikuti

perkembangan debat ini menjadi sangat menarik. Dalam esai ini, penulis akan

menitikberatkan fokus analisis pada debat yang mengawali tradisi debat dalam ilmu

hubungan internasional: “bapak”-nya debat HI, realisme-liberalisme.

Realisme vs Liberalisme: Nasib Dua Perspektif Konfrontatif

Realisme dan liberalisme sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk menjadi

pasangan tesis-antitesis sempurna. Dimensi ontologis kedua perspektif ini nyaris

bertolak belakang satu sama lain, meskipun mungkin pada awal kelahirannya kedua

perspektif ini tidak dimaksudkan untuk saling berlawanan. Thomas Hobbes, sebagai

pelopor intelektual perspektif realisme, menulis di Inggris abad ke-17 yang sedang

dilanda perang saudara. Hobbes, yang terkonstruksi oleh lingkungan yang teringkas

sebagai state of war, pada akhirnya menekankan ke(tidak)amanan, force, dan

keberlangsungan hidup sebagai salah satu derivasi pandangan pesimisnya terhadap

sifat dasar manusia di tengah sistem yang anarkis. Setengah abad berikutnya,

kesengsaraan yang dirasakan Inggris sudah tidak seperti dahulu lagi, sehingga

Hal. 4

Page 5: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

kondisi anarki tidak terlalu mengancam seperti dahulu, dan John Locke dapat

berpandangan lebih optimis dengan argumennya bahwa walaupun state of nature

tidak memiliki kedaulatan bersama, masyarakat tetap dapat mengembangkan

hubungan dan membuat perjanjian.6 Dapat kita lihat bahwa sejak prekursor awal

terbentuknya kedua perspektif ini sudah sangat berlawanan.

Dalam perkembangannya, kedua perspektif ini pun bagai air dengan minyak.

Dalam tataran asumsi dasar, realisme menyatakan bahwa manusia tidak selamanya

baik, sementara liberalisme menyatakan bahwa manusia bersifat baik secara

inheren. Realisme meyakini bahwa konflik sangat inheren dalam sifat dasar manusia

karena perbedaan kepentingan, sementara liberalisme meyakini bahwa manusia

lebih memilih damai daripada konflik. Nicollo Machiavelli, merepresentasi kalangan

realis, menganjurkan bahwa politik harus dibedakan secara jelas dari moralitas, dan

menekankan politik di atas moralitas (manifestasi politik imoral). Immanuel Kant,

merepresentasi kalangan liberalis, menekankan moralitas di atas politik. Realisme

menekankan konsepsi kedaulatan nasional, sementara liberalisme memandangnya

sebagai sesuatu yang ambigu dan rapuh.

(Senada dengan kritik liberalisme ini, kita dapat melihat bahwa realisme, sebaku

apapun teori umumnya, tetap saja dapat dikatakan tidak matang secara konseptual.

Hal ini dapat ditinjau dari tidak adanya suatu formulasi standar serta adanya suatu

ambiguitas mengenai konsep-konsep fundamental dalam perspektif ini, seperti

power, balance of power, dan kepentingan nasional. Kalangan realis memahami

sistem dunia hierarkis berdasarkan kepemilikan sumber-sumber power. Namun, apa

yang dimaksud dengan power ini? Hans J. Morgenthau membedakannya dengan

influence dan force serta membedakan antara usable dengan unusable power dan

legitimate dengan illegitimate power.7 Namun, perbedaan yang diungkapkannya

setipis kertas, sulit untuk akhirnya sampai pada persetujuan bersama tentang

konsepsi power yang standar.)

(Sama seperti istilah balance of power. Joseph S. Nye mendefinisikannya

antara lain sebagai distribusi power, kebijakan, maupun sistem multipolar.8 Namun,

Daniel S. Papp mengungkapkan bahwa pengertian pasti istilah ini masih dalam

perdebatan: dalam satu kasus, balance of power berarti dua negara memiliki

kapabilitas yang kira-kira seimbang; namun dalam kasus lain, ia justru berarti ada

suatu ketidakseimbangan; dan dalam kasus lain, ia menggambarkan hubungan yang

dinamis dan berubah.9)

Hal. 5

Page 6: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

(Serupa dengan konsepsi kepentingan nasional. Papp mengajukan berbagai

pertanyaan yang menunjukkan ambiguitas konsepsi ini, seperti, Siapa di dalam

negara yang mendefinisikan kepentingan nasional? Apakah kepentingan nasional

berubah ketika pemerintahan bertransisi, baik secara damai atau melalui kudeta?

Kelompok mana di dalam negara yang mendefinisikan negara mana yang

merupakan kawan maupun lawan suatu negara?10 Dapat kita lihat bahwa

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Papp memiliki gaung liberalisme, yang

berasumsi bahwa negara adalah aktor yang nonuniter dan terfragmentasi. Padahal,

konsepsi kepentingan nasional merupakan konsepsi tolak ukur mendasar dalam

realisme.)

Menjawab kritik di atas, kalangan realis balik menyerang liberalisme. Agenda

politik internasional liberalisme yang sangat plural membuyarkan fokus analisis. Unit

analisis yang sangat jamak dalam negara menjadikan kalangan liberalis sulit

mengagregasi faktor-faktor yang berperan dalam mengelaborasi fenomena.

Konstelasi pengaruh yang terfragmen dalam aktor-aktornya membuat proses

decision making dalam liberalisme tidak praktis. Asumsi bahwa negara bukanlah

aktor rasional, negara tidak predetermined, dan variasi pada tujuan membuat fungsi

prediksi perspektif ini tidak sepraktis realisme. Banyaknya varian liberalisme, baik

secara filosofis (seperti pasifisme liberal, imperialism liberal, dan internasionalisme

liberal; liberalisme sosial dan liberalisme kosmopolitan; kosmopolitanisme moral dan

komunitarianisme moral; serta liberalisme restraint dan imposition) maupun secara

epistemologis (liberalisme ideasional, liberalisme komersial, dan liberalisme

republikan) membuat sulit menyintesis suatu analisis bersama antara seluruh varian

tersebut, sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi.

Kalangan realis menglaim bahwa kalangan liberalis tidak dapat menjelaskan

kontinuitas konflik dan perang yang inheren dalam kehidupan manusia sebagaimana

juga dalam pergaulan internasional antarnegara. Mereka tidak menerima

argumentasi liberalis yang membedakan fenomena-fenomena yang terjadi dalam

zone of war dan yang terjadi dalam zone of peace. Hal ini disebabkan kalangan

realis meyakini pentingnya satu teori umum yang universal, yang dapat menjelaskan

fenomena-fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional, di manapun ia

terjadi. Kalangan liberalis, sebaliknya, menglaim bahwa kalangan realis cenderung

menjustifikasi dan melegitimasi validitas teorinya melalui fenomena yang terjadi.

Menurut mereka, realis akan terus mempertahankan gagasan ideasionalnya bahwa

Hal. 6

Page 7: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

manusia akan cenderung berkonflik satu sama lain dengan menyodorkan contoh

berbagai peperangan yang terjadi secara kontinu di dunia, yang bagi liberalis

hanyalah satu aspek dalam politik antarnegara. Liberalis tidak dapat menerima

pandangan realis yang abai terhadap berbagai ancaman nonmiliter dan

nontradisional, di mana asumsi liberalis menglaim ekstensivitas agenda yang dapat

menjadi bahasan politik internasional serta tidak ada dikotomi antara high politics

dengan low politics.

Hal. 7

Page 8: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Realisme dan Liberalisme: Konfrontatif, Mungkinkah Disintesis?

Menurut penulis, perspektif realisme dan liberalisme tidak selalu harus

dikonfrontasikan karena berbagai hal. Dalam dimensi ideasional, kita dapat melihat

beberapa overlap dalam konsepsi dasar kedua perspektif ini, salah satunya adalah

gaung realisme dalam pemikiran para pelopor intelektual liberalisme. Kita dapat

melihat bahwa tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes dan Nicollo Machiavelli, tokoh-

tokoh yang berpandangan sangat realis, pun turut menyumbang pemikiran mereka

dalam dimensi ontologis liberalisme. Selain itu, perspektif realisme dan liberalisme

adalah dua pendekatan yang mengadopsi dasar yang sama, yaitu perspektif pilihan

rasional. Sehingga, dalam perbedaan mendasar antara kedua perspektif ini, dapat

dicari peluang sintesis melalui metode inkuiri Socrates. Penulis memandang bahwa

kita tidak dapat memisahkan begitu saja moralitas dan politik, sebagaimana kita

memisahkan kolektivitas, kaidah-kaidah hukum, demokratisasi, dan harmoni dasar

kepentingan antara manusia dan negara dengan konsepsi konkret kepentingan

nasional. Kita memerlukan realisme yang bermoral, realistis, berprinsip, dan

demokratis.

Sebenarnya, usaha serupa pernah dilakukan oleh Robert G. Kaufman. Kaufman

berpendapat bahwa perhatian realisme atas pentingnya power, geopolitik,

kekurangan manusia, dan ketidakleluasaan anarki membutuhkan faktor-faktor

tambahan dari tradisi kaum idealis. Ia memilih tiga figur penting dalam debat realis-

idealis: E. H. Carr, dengan argumennya yang menentang Wilson yang memengaruhi

realisme pasca-Perang Dunia II dan perkembangan neorealisme; Winston Churchill,

yang dengan teori kebijakan luar negerinya berhasil mempersatukan aspek-aspek

realisme dan idealisme; serta Reinhold Niebuhr, yang menyumbangkan matriks kritis

tentang disposisi untuk menghubungkan norma-norma moral dengan pertimbangan

kebijakan luar negeri tanpa tergelincir menjadi sinisme maupun utopianisme. Kaum

realis pada masa Morgenthau memahami politik internasional sebagaimana adanya

dan seharusnya dalam pandangan sifat ekstrinsiknya daripada sebagaimana orang

ingin melihatnya, sehingga lembaga domestik tidak boleh dipungkiri. Diskusi

Kaufman mengidentifikasi titik temu pemikiran Carr, Niebuhr, dan Churchill yang

dianggap sebagai kaum realis yang paling menonjol dan ketegangan dengan

pemikiran kaum realis lainnya.11

Bagaimana hasil sintesis ini? Kita belum dapat menyaksikan hasilnya karena

usaha ini masih dalam tahap eksperimental. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa dari

Page 9: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

masa ke masa, perkembangan ilmu sosial terjadi melalui proses dialektis sintesis

antara dua pendekatan yang dikotomis. Apalagi, realisme dan liberalisme masih

sangat relevan dalam memandang politik dunia ini, di mana masih banyak akademisi

maupun praktisi yang menggunakannya.

Page 10: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Lampiran

Bagian ini didedikasikan untuk elaborasi teori hubungan internasional yang

berorientasi rekreasi, bukan prokreasi

Masih ingatkah ucapan Ben Parker terhadap keponakannya, Peter Parker,

dalam film Spider-Man? “With great power, comes great responsibility.” Dalam film

tersebut, dikisahkan bahwa Peter menerima kekuatan super dari gigitan seekor laba-

laba. Ia pun mulai menggunakannya demi kesenangannya sendiri, ia mengikuti suatu

turnamen bela diri untuk mendapatkan hadiah uang yang akan ia gunakan untuk

membeli mobil dan membuat gadis idamannya, Mary Jane Watson, terkesan.

Namun, setelah ia ditipu oleh penyelenggara turnamen tersebut, ia pun mulai

mendengarkan nasihat pamannya tersebut dan menggunakannya untuk

menegakkan kedamaian di kota New York dengan menjadi seorang superhero

berkedok kostum ketat berjaring laba-laba.

Sampai di sini, mari kita identifikasi relevansi film box office ini dengan teori

hubungan internasional. Gunakan perspektif realisme dan analogikan Peter Parker

sebagai suatu negara. Kekuatan laba-labanya merupakan power source-nya. Mobil

dan Mary Jane adalah kepentingan nasionalnya. Penyelenggara turnamen bela diri

tersebut adalah negara lain yang melakukan cheating terhadapnya dalam suatu

perjanjian internasional. Akhirnya, negara “Parker” menjadi polisi dunia dan

menegakkan kedamaian, mulai dari sini gunakan perspektif liberalisme.

Ralisme, Pluralisme dan Strukturalisme

Beberapa teori dalam HI berkonsentrasi pada aktor dalam sistem internasional, dan

hal ini memiliki konsekuensi terhadap pemikiran yang lebih lanjut. Perbedaan pada

Page 11: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

actor mana yang lebih dianggap penting dan konsentrasi pada apa yang menjadi

tujuan dari aktor-aktor ini tentu membuat teori seakan tidak menemui kesepakatan

mutlak bahkan bisa jadi bertantangan satu sama lain.

Realisme misalnya berkonsentrasi pada Negara sebagai aktor utama dan tujuan dari

Negara tak lain ada untuk mendapatkan ‘power’ yang sebesar-besarnya. Terkait

dengan realis para pemikir neo-realis (atau realisme baru) dan struktural realis, juga

masih melihat Negara sebagai aktor utama dalam HI, meski pemikiran realisme baru

ini sudah mulai menerima adanya aktor lain yang punya peran di pinggiran.

Berbeda dengan perspektif realis yang percaya bahwa untuk memahami HI, kita

harus memahami tingkahlaku Negara, pemikir pluralis tidak setuju jika aktor

signifikan yang utama dalam HI adalah Negara. Mereka melihat Negara hanyalah

salah satu dari banyak aktor yang sama-sama punya peran penting dalam studi HI.

Mereka tidak hanya menekankan pada pentingnya aktor lain selain Negara seperti

MNCs misalnya, mereka juga skeptis terhadap kekuasaan dan keamanan Negara

terlalu dianggap memiliki peran sentral.  

Selain dua pendekatan diatas kita juga mengenal apa yang disebut dengan

pendekatan strukturalis. Strukturalis menekankan pada hal yang berbeda dari kedua

pemikiran diatas. Dari pada berkonsentrasi pada aktor HI, ilmuwan strukturalis lebih

berkonsentrasi pada struktrur dari sebuah sistem. Mereka melihat negara dan aktor

lainnya bertindak dalam batasan sistem yang ada dan karenanya mereka tidak

memiliki kebebasan yang mutlak dalam bertindak. Oleh karena itu para pembuat

keputusan harus berfikir dalam bertindak. Untuk memahami sistem internasional,

bagi strukturalis, kira harus berkonsentrasi pada struktur-struktur yang ada bukan

pada tingkah laku dan pilihan-pilihan tindakan para aktor tersebut.

 

Realisme dan Peran Sentral Negara

Secara singkat dapat dikatakan bahwa Realisme merupakan pendekatan yang

menekankan pada Power (kekuatan/kekuasaan) dan menganggap negara sebagai

aktor dominan dalam sistem internasional. Power bisa didefinisikan sebagai

kemampuan total dari suatu negara yang meliputi kekayaan alam, kekayaan sintetis

(buatan) hingga kemampuan sosio-psikologi.

Hans J Morgenthau mengatakan pada dasarnya setiap manusia (negara) ingin

mendapatkan power, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan jika hal ini

berbenturan dengan yang lain maka akan menimbulkan ’struggle for power’.

Mengacu pada banyak pemikir yang terkait dengan realisme seperti Hans J

Page 12: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Morgenthau, Thomas Hobbes, Thucydides, dan lain-lain, maka pendekatan ini

disebut pula sebagai pendekatan pragmatis dalam politik internasional. Pendekatan

ini pun banyak diperbaharui oleh para teoritisi HI yang bisa dikelompokkan dalam

neo-realisme:

Inti pemikiran Realisme dalam HI dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Negara sebagai pemegan peranan dominan selalu mempunyai kepentingan yang

berbenturan. Perbedaan kepentingan akan menimbulkan perang atau konflik.

2. Power yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi penyelesaian konflik,

dan menentukan pengaruhnya atas negara lain.

3. Politik didefinisikan sebagai memperluas power, mempertahankan, dan

menunjukkan power.

4. Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan, beraliansi dengan negara

lain, dan memecah belah kekuatan negara lain (devide and rule).

5. Perdamaian akan tercapai jika telah terwujud Balance of Power atau

Keseimbangan Kekuatan yaitu keadaan ketika tidak ada satu kekuatan yang

mendominasi system internasional.

6. Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan kepentingan

nasionalnya (national interest).

Sementara itu pemikiran neo-realis dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pendekatan ini seperti halnya Realisme menekankan pada peranan negara dalam

hubungan internasional tetapi, tetapi mulai mengakui adanya aktor lain yang juga

berperan di pinggiran. Negara memiliki peran sentral sementara aktor lain bersifat

peripheral.

2. Mereka juga melihat power dalam konteks yang berbeda dengan pendahulunya.

Power didefinisikan sebagai konsep relasional. Jadi Negara tidak dianggaap

punya

power dengan sendirinya, melainkan dalam hubungannya dengan Negara lain.

Negara selalu ingin memiliki power lebih dari Negara lainnya.

 

Pluralisme dan Keberagaman Aktor

Pluralisme tidak puas pada versi pemikiran realis terutama mengenai penekanan

pada actor Negara sebagai pusat dalam HI. Menurut pluralis saat ini Negara tidak

lagi memiliki peran sentral dalam HI, karena banyak aktor lain yang juga memiliki

peranan penting terutama aktor-akor ekonomi .

Page 13: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Berikut inti pemikiran Pluralis:

1. Jika realis berasumsi bahwa Negara ada secara independent dan memiliki

kepentingan sendiri,  pluralis menawarkan konsep complex interdependence.

Complex Interdependence bisa diumpamakan seperti jaring laba-laba, yang

dikarakterkan sebagai jaringan yang banyak antara banyak aktor dimana tidak

terdapat hirarki dalam isu yang ada.

2. Pluralis juga menekankan bahwa aktivitas internasional tidak hanya melulu

tentang tingkah-laku Negara akan tetapi juga tingkah laku aktor lain. Kepentingan

Negara juga bukan hanya soal keamanan dan power. Banyak isu lain yang bisa

diambil oleh actor non-state, misalnya saja soal isu kelangkaan minyak, karena

minyak merupakan hal penting ekonomi modern baik Negara mupun MNCs bisa

mengambil keputusan secara berbeda dalam porsi masing-masing.

3. Meski menekankan pada aktor ekonomi namun merreka tidak mengesampingkan

internasional aktor lainnya. Misalnya gerakan religius, gerakan nasional dan lain

lain, mereka tidak bertindak atas nama negara seperti yang diasumsikan realis.

4. Meski Organisasi internasional seperti PBB dibentuk dan beranggotakan secara

resmi negara-negara berdaulat, namun pemikir pluralis tetap berpandangan

bahwa organisasi internasional bukan aktor utama dalam HI.

 

Strukturalisme dan Sistem Internasional

Berbeda dengan dua pendekatan diatas, yang lebih menekankan pada aktor HI,

strukturalisme lebih menekankan pada struktur dalam sistem internasional dan

menggapnya bisa memberikan penjelasan aspek mana yang signifikan dalam

menggambarkan HI. Strukturalisme tampaknya lebih terlihat sebagai sebuah

pendekatan dari pada teori itu sendiri. Karenanya strukturalisme bisa dianggap

mengepalai banyak varian teori dibawahnya.

Berikut pandangan singkat tentang strukturalisme:

1. Menekankan pada struktur dalam sebuah sistem internasional bukan pada aktor

yang bermain didalamnya. Fokus pada struktur dipandang lebih baik

dibandingkan dengan pendekatan aktor dalam melihat HI.

Page 14: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

2. Strukturalisme skeptis terhadap adanya pengaruh organisasi-organisasi dalam

HI termasuk negara, orgnasisasi internasional dan aktor lainnya  terhadap

struktur luar.

3. Analisis struktural dapat dibedakan tergantung pada beberapa varian yang ada,

seperti.:

·  Realisme strukturalis dapat dikatakan sebagai strukturalis yang memandang

negara sebagai aktor sentral.

·  Marksis strukturalis menekankan pada struktur kelas dan sosial yang banyak

terpengaruh oleh sistem ekonomi.

·  Feminist structuralis merupakan strukturalis yang fokus pada isu gender

dalam hubungan sosial.

NeorealismeNeorealisme

Sebagai varian dari realisme, neorealisme seringkali dikenal dengan realisme struktural, yang dibedakan dengan realisme tradisional. Sebagaimana realisme, neorealisme menjadikan negara dan perilaku negara fokusnya dan berusaha menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait dengan kekerasan.

Page 15: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Semua tradisi realis berangkat dari filsafat keharusan (the philosophy of necessity)1

yakni melihat perilaku negara sebagai produk dari sebuah kondisi yang tak terelakkan. Dalam pemikiran realis, baik tradisional maupun struktural, perilaku negara yang keras merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan dalam politik internasional, seperti secara jelas diekspresikan oleh Morgenthau, ,international politics is... struggle for power’ (1985). Dalam artian filsafat keharusan ini, politik internasional bersifat amoral.

Tetapi, realisme tradisional dan realisme struktural menjelaskan secara berbeda mengapa politik internasional memiliki karakter endemik yang ditandai dengan perebutan kekuasaan. Bagi realis tradisional, perebutan kekuasaan yang berlangsung terus menerus dalam politik internasional bersumber pada hakekat manusia. Berangkat dari pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh antara lain Tucydides, Machiavelli dan Hobbes, yang melihat pada dasarnya manusia bersifat self-interested dan dalam kondisi state of nature akan berperang satu sama lain, realis tradisional memproyeksikan negara akan memiliki karakter yang sama, karena politik internasional pada dasarnya adalah gambaran dari state of nature dalam arti yang sebenarnya, tidak lagi merupakan kondisi hipotetis sebagaimana yang digambarkan oleh Hobbes dalam Leviathan.

Bagi realisme struktural, penjelasan terhadap endemiknya perebutan kekuasaan dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan dari struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara. Dalam sebuah sistem yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata berdasarkan kepentingannya sendiri, yang berarti mengejar kekuasaan sebesar-besarnya. Dalam sistem yang anarkhi, negara tidak bisa menggantungkan keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai sarana terutama (tetapi bukan satu-satunya) militer untuk berperang melawan negara lain. Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan memperkuat kekekuatan militernya, bagi negara lain merupakan sumber acaman dan menuntut negara lain tersebut melakukan hal yang sama, dan dikenal sebagai dilema keamanan (security dilemma).

Untuk menekankan pentingnya struktur sebagai pembentuk perilaku negara, neorealis membedakan secara tegas karakter politik internasional yang anarkhis dengan politik domestik yang hirarkhis, yang menggambarkan dua prinsip pengorganisasian sistem yang berbeda (the ordering principle of the system). Dua karakteristik lain yang membentuk pemikiran neorealis adalah karakter unit dalam sistem dan distribusi kapasitas unit dalam sistem (Waltz, 1979). Karakter unit dalam sistem mengacu pada fungsi yang dijalankan oleh unit-unit dalam sistem, yakni negara. Dalam pandangan neorealis, semua unit memiliki fungsi yang sama yakni menjamin kelangsungan hidupnya. Tetapi, sekalipun semua negara memiliki fungsi

1 Dalam filsafat, dalam kaitannya dengan upaya untuk melihat moralitas sebuah perilaku atau tindakan, dikenal dua prinsip: filsafat keharusan - the philosophy of necessity dan filsafat pilihan -the philosophy of choice (Arnold Wolfers, Discord and Collaboration).

Page 16: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

yang sama, negara-negara tersebut berbeda dalam kemampuan, sebagaimana tercermin dalam distribusi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang dan sering berubah. Singkatnya, seperti ditulis oleh Waltz, semua negara ‚memiliki kesamaan tugas, tetapi tidak dalam kemampuan untuk menjalankannya. Perbedaannya terletak pada kapabilitas, bukan pada fungsi mereka’ (h. 96).

Beberapa tokoh utama neorealisme antara lain Kenneth Waltz, Stephen Krasner, Robert Gilpin, Barry Buzan, Richard Little dan Charles Jones. Diantara tokoh-tokoh ini, Kenneth Waltz merupakan yang paling menonjol dalam kaitannya dengan perkembangan teoretis studi hubungan internasional. Karyanya, Theory of International Politics, bukan hanya dianggap sebagai karya yang paling komprehensif dan elaboratif yang menggambarkan pemikiran dan posisi neorealism, tetapi juga merupakan produk dari upaya yang sangat ambisius untuk menjadikan Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin yang mapan, yang sederajat dengan disiplin lain.

Theory of Internasional Politics dimaksudkan oleh Waltz untuk memberikan kemampuan eksplanasi yang sangat tinggi (dalam bentuk hubungan kausalitas antar variabel) terhadap fenomena-fenomena politik internasional. Kemampuan ini merupakan kriteria yang sangat penting yang harus dimiliki oleh Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin, tetapi gagal ditunjukkan oleh realisme. Realisme gagal menjelaskan mengapa berbagai negara yang berbeda atau bahkan bertentangan, misalnya, secara ideologis ataupun politik, tetap berperilaku sama. Mengapa Uni Soviet yang komunis dan Amerika yang liberal kapitalis sama-sama teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan, membangun kekuatan militer, atau mengembangkan pengaruh (sphere of influence)? Menurut Waltz, kegagalan realisme menjelaskan kesamaan perilaku berasal dari metodologi yang digunakannya, yakni metodologi behaviouris. Metodologi ini terlalu mengabaikan aspek faktor penting yang menjadi batas-batas kebijakan luar negeri atau perilaku negara. Aspek penting yang menjadikan perilaku negara homogin, dalam pemikiran Waltz, terletak pada kekuatan sistemik, yakni struktur internasional.

Secara metodologis, pemikiran Waltz berbeda dengan metodologi behaviouris dalam artian bahwa mereka memberi penekanan pada peringkat analisa yang berbeda: unit dan struktur. Metodologi behaviouris berusaha menjelaskan produk politik (perilaku atau kebijakan negara) dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang membentuk sistem. Dengan cara ini, semua yang terjadi dalam politik internasional dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam politik internasional (negara), yakni perilaku dan interaksi yang didasari oleh tuntutan alami yang dimiliki oleh negara (prinsip-prinsip hakekat manusia) untuk berperilaku sesuai dengan kepentingannya (self-interested), yang dalam prakteknya didefinisikan dengan kekuasaan. Metodologi behaviouris oleh Waltz dikategorikan sebagai teori yang reduksionis.

Metodologi strukturalis Waltz bersifat sistemik, yakni menempatkan sistem sebagai unit analisanya. Karakter sistemik lebih menjanjikan daripada karakter reduksionis

Page 17: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

karena mampu menjelaskan politik internasional, melalui hubungan kausal, yang sangat membatasi dan menentukan perilaku negara.

Ambisi Waltz untuk menghasilkan sebuah teori Hubungan Internasional yang sederajat dengan teori dalam disiplin-disiplin yang lebih mapan, menghasilkan reaksi yang sangat keras dari para ilmuwan Hubungan Internasional. Bahkan, tidak terlalu berlebihan juga ada kecenderungan untuk melihat perdebatan ketiga dalam Hubungan Internasional pada dasarnya adalah perdebatan antara Waltz dengan hampir semua teoritisi lain dengan tradisi pemikiran yang sangat berbeda-beda.

STRUKTURALISME DAN IMPLIKASINYA

Pengantar

Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok

pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang

sama dan tetap.

Page 18: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek

melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh

waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut

melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari

suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat)

(Bagus, 1996: 1040)

Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam

memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam

mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi

metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang

sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996:

1040) 

Ferdinand de Saussure

Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk

menyimak pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang sebagai

bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan

strukturalisme.

Banyak hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak strukturalisme.

Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga sebagai bapak linguistik yang

ditunjukkan dengan mengadakan perubahan besar-besaran di bidang lingustik. Ia

yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang

juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam

kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan

bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu

bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap.

Menurutnya ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke

dalam analisis semiotik, sering digunakan pola ilmu bahasa. De Saussure

mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan,

dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli,

upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain

sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Jadi kita

dapat menanamkan benih suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengah-

tengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari psikologi umum,

yang nantinya dinamakan oleh de saussure sebagai semiologi. Ilmu ini akan

Page 19: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tanda-tanda itu, kaidah mana yang

mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan

bagaimana ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih dahulu.

Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan

dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian

linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia.

Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut:

1. Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan

secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis

(penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur yang sezaman).

2. Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah-

kaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara

parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual.

3. Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara

unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur

yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat

asosiatif (sistem).

4. Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu

tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya

setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda

(imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata

rumah langsung tergambar dalam pikiran kita konsep rumah. 

Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena

strukturalisme mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam diri manusia.

Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga

munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda  (termasuk didalmnya upacara-upacara,

tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa.

Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari-hari juga mengenai proses

kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa berdasarkan strukturnya

melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik serta

diakronis dan sinkronis. Semua relaitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa

struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan.

Page 20: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya.

de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalam

memahami kebudayaan, yaitu:

1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier,

penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah citra

bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan

bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua

bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang

tidak bergetar.

2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah

tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature.

Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda

ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang

digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin manusia, atau

terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsur-

unsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan

konsep yang terekam.

3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan

kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa,

menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah

pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati

bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada

individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang

berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung

secara lancar. 

Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem

struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang

mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan

bertindakj sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh

sesama warga masyarakatnya. 

Pierre Bourdieu

Page 21: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Bourdieu pada awalnya menghasilkan karya-karya yang memaparkan sejumlah

pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan eksistensialisme,

terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser.

Pada tahun 60an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan

membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan

teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang

berjudul ”outline of a theory of practice” dimana didalamnya ia memiliki posisi yang

unik karena  berusaha mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan

epistemologi tersebut.

Dalam karyanya ini ia menyerang pemahaman kaum strukturalis yang menciptakan

obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan sosial sebagai

pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan tindakan-

tindakan praktis dalam kehidupan sosial.

Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang

mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan sebelumnya.

Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk

masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan

dari pemikiran-pemikiran terdahulu.

Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan

Modal. Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan interaksi

ketiga konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah “struktur mental atau kognitif”

yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali

serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk

merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah

aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis habitus

adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus

dilihat sebagai ”struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan”.

Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis

kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya

posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada setiap orang

tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang

sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan

sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama.

Habitus lebih didasarkan pada keputusan impulsif, dimana seorang individu bereaksi

secara efisien dalam semua aspek kehidupan. Habitus menghasilkan dan dihasilkan

Page 22: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus adalah struktur yang menstruktur artinya

habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak

habitus adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur

oleh dunia sosial.

Habitus menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang struktur

dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam berbagai

cara, yaitu:

Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara

yang khusus (gaya hidup)

Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi)

Sebagai perilaku yang mendarah daging

Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)

Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis

Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang

karier. 

Habitus membekali seseorang dengan hasrta. Motivasi, pengetahuan, keterampilan,

rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang lebih rendah. Bagi Bourdieu

keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan

yang berbeda.

Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah

jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini

terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan

lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu. Penghubi posisi mungkin agen

individual atau lembaga, dan penghubi posisi ini dikendalikan oleh struktur

lingkungan.

Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah yang

menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang

mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip

penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Field

adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial,

simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik

(kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan

politik membantu menata semua lingkungan yang lain.

Bourdieu menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan, pertama,

menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik). Langkah kedua,

Page 23: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam

lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri-ciri kebiasaan

agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.

Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri,

hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya berusaha

untuk memperoleh kekuasaan dan status.

Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena

modallah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan orang untuk

mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain.

Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial

dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber

ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang

memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal

simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dan keempat adalah

modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu:

Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya

Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi

Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)

Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.

Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik

dan buruk. 

Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam diri

seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan dijelaskan

hubungan ketiga konsep tersebut.  

Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya

Bourdieu yang ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan simbolik, strategi

dan perbuatan beserta beragan jenis modal.

Seperti telah diungkapkan diatas bahwa habitus adalah struktur kognitif yang

menghubungkan individu dan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subyektif

yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam

jaringan struktur obyektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah produk

sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat

dalam ruang dan waktu tertentu, dengan kata lain habitus adalah hasil pembelajaran

lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat.

Page 24: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Pembelajaran ini berjalan secara halus sehingga individu tidak menyadari hal ini

terjadi pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan.

Habitus mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi obyektif

dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Field

semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi

individu dan kelompok dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara spontan.

Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan

dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak diluar dirinya. Dalam proses interaksi

dengan pihak luar tersebut terbentuklah Field.

Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatan-kekuatan antara individu yang memiliki

banyak modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Diatas sudah di singgung

bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik

yang beroperasi di dalam field dimana di dalam setiap field menuntut untuk setiap

individu untuk memiliki modal gara dapat hidup secara baik dan bertahan di

dalamnya.

Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis

sosial dengan rumus setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan

relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal. 

Strukturalisme dalam Kerangka Marxisme

Revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang terjadi di Eropa telah mengubah sistem

feodalisme ekonomi, yang dulunya kekuasaan dipegang oleh pemilik tanah, menjadi

kapitalisme ekonomi dimana tujuan penyelenggaraan kegiatan ekonomi adalah

akumulasi modal sebanyak-banyaknya. Dalam kapitalisme terjadi apa yang

dinamakan dengan ketidaksederajatan sosial (social inequalities), yaitu keadaan

dimana satu pihak akan diuntungkan dan pihak lain dirugikan oleh usaha-usaha

untuk akumulasi modal. Keadaan ini membuat kaum buruh yang tidak memiliki alat-

Page 25: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

alat produksi menjadi tergantung dengan kaum pemilik modal.

Kondisi ini menimbulkan keprihatinan Karl Marx atas nasib yang dialami oleh para

buruh dan mendorongnya untuk untuk menulis Des Kapital dan Communist

Manifesto pada pertengahan abad 19. Dalam tulisannya, Marx mengkritik kapitalisme

sebagai sebuah sistem dimana kaum borjuis yang memiliki faktor-faktor produksi

akan selalu mengeksploitasi kaum proletar yang membutuhkan kaum borjuis untuk

bertahan hidup. Dalam ketergantungan proletar oleh kaum borjuis, upah yang

didapatkan buruh jauh lebih kecil dari apa yang seharusnya didapatkannya, selisih

antara upah buruh yang seharusnya dan yang didapat inilah yang merupakan

keuntungan nilai tambah yang diambil oleh kaum borjuis .

Marxisme mengasumsikan manusia sebagai makhluk materi, karena kehidupan

manusia sejak dulu diwarnai dengan kebendaan dan kepemilikan pribadi yang

menyebabkan manusia terus berkonflik memperebutkan materi yang merupakan

faktor utama proses sosial politik (materialisme historis) . Prinsip dasar nya, bukan

kesadaran yang menentukan keadaan, tapi keadaan yang menentukan kesadaran .

Disini berlaku dialektika materialisme, bila basis adalah ekonomi dan suprastrukur

adalah politik, filsafat, sosial, agama, dan negara maka basis menentukan

suprastruktur karena segala sesuatunya harus dapat dinilai dengan materi, oleh

karena itu maka produksi harus dicapai sebanyak-banyaknya.

Agenda utama dari ajaran Marx adalah tatanan dunia baru tanpa ada dominasi dan

eksploitasi serta tanpa adanya kelas. Tatanan dunia baru ini diyakini dapat dicapai

dengan jalan revolusi yang pada awalnya akan diwarnai oleh konflik antar kelas,

karena itu aktor utama dalam HI adalah kelas. Revolusi sosial menurut bayangan

Marx adalah keadaan dimana alat-alat produksi akan berada di bawah kontrol

proletar.

Pada pertengahan 1840 Marx dan Engel menulis bahwa globalisasi kapitalis telah

dengan serius mengikis dasar sistem internasional . Konflik dan kompetisi antar

negara sebenarnya merupakan konflik antar 2 kelas, borjuis nasional yang mengatur

pemerintahan dan proletariat kosmopolitan. Dalam memandang struktur kapitalisme

global, marxis melihat bahwa negara tidak otonom tetapi digerakkan oleh

kepentingan kelas borjuis, oleh karena itu konflik antar negara sebenarnya

merupakan konflik kepentingan antar kelas borjuis antar negara. Selain itu, sistem

kapitalisme yang berlaku akan bersifat ekspansif sehingga ia akan berusaha

memperluas diri melalui kolonialisme, imperialisme, dan globalisasi ekonomi.

Page 26: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Kapitalisme yang mengglobal ini kemudian mendorong para Neo Marxis seperti Paul

Baran, Raul Preabach, Andre Gunder Frank dan Immanuel Wallerstein untuk

menggambarkan struktur dunia global dalam kerangka ekonomi yang dasarnya

bersumber dari pemikiran Marxisme. Teori ini kemudian disebut sebagai teori

strukturalisme global yang agenda utamanya adalah revolusi global yang hanya

dapat dicapai dengan cara radikal agar bisa lepas dari struktur global yang

eksploitatif.

A. Teori Imperialisme Lenin

Lenin meneruskan teori dari Marx dan mengatakan bahwa Kapitalisme telah

memasuki era baru dengan terbentuknya ‘Monopoli Kapitalisme’. Struktur yang

digambarkan imperialisme adalah kenyataan bahwa perusahaan multinasional akan

menghadapkan pemilik modal pada konflik langsung dengan buruh global.

B. Teori Sistem Dunia Wallerstein

Berdasarkan kegiatan produksinya, sistem dunia dapat digolongkan menjadi 3

entitas,yaitu mini-system, world empire dan world economy. Sistem paling dasar

adalah mini-system dimana kegiatan produksi hanya berdasarkan perburuan dan

agrikultur tradisional. Sistem kedua, world empire, produk agrikultur digunakan

sebagai komoditas utama untuk penyelenggaraan birokrasi dan militer. Sistem

terakhir, the world economy, adalah sistem ekonomi dunia yang kapitalis dimana

produksi yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan keuntungan.

Sistem dunia ekonomi ini kemudian memunculkan bentuk hubungan negara dalam

sistem dunia yang terbagi dalam negara core, semi-periphery dan periphery. Negara

core yang negara yang memegang dominasi produksi adalah yang paling banyak

mendapat keuntungan dari kapitalisme, berbeda dengan negara periphery yang

dapat dikatakan menjadi objek eksploitasi pasar negara core. Kondisi ini kemudian

memunculkan semi- periphery sebagai stabilitator (buffer zone) antara negara core

dan negara semi periphery.

C. Teori Ketergantungan

Membagi dunia menjadi dunia maju dan negara Dunia Ketiga dimana negara Dunia

Ketiga akan selalu tergantung pada negara maju, dan ketergantungannya itu

dimanfaatkan oleh negara maju untuk mengeksploitasi mereka.

Bagaimanapun perkembangan dunia modern, hubungan antar negara akan selalu

diwarnai dengan ketidaksederajatan sosial, akan selalu ada ‘yang mendominasi’ dan

‘yang didominasi’, seperti yang diungkapkan oleh ide dasar Marxisme.

Ketidakmerataan ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan struktur-struktur baru

Page 27: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

terkait dengan terus berkembangnya praktik eksploitasi, dari yang dulunya antar

buruh-pemilik modal, lalu berkembang menjadi hubungan antar koloni-penjajah yang

sekarang juga diikuti oleh kolonialisme gaya baru yang kemudian oleh Wallerstein

diterjemahkan ke dalam analogi eksploitasi core-periphery.

Berbeda dengan 2 perspektif sebelumnya, realisme dan liberalism, yang melihat HI

sebagai interaksi politik, maka marxisme dan strukturalisme ini lebih melihat dunia

dalam sistem ekonomi. Walaupun pemikiran Marxis ini dianggap oleh sebagian

besar telah luluh oleh runtuhnya Soviet, tetapi kenyataan akan adanya eksploitasi

antar 2 kelas ini tidak akan pernah hilang walaupun impian Marx tentang dunia tanpa

kelas menurut saya tidak kurang utopisnya dari utopis perdamaian abadi ala

liberalisme. Marxisme juga berlawanan dengan konsep anarki ala realis, dan tidak

sependapat dengan kerjasama ala liberalis, mengingat bahwa konstelasi dunia tidak

akan terlepas dari konflik antar kelas.

Jika merunut kaitan antara marxisme dan strukturalisme maka kedua term di atas

dapat ditarik garis singgung. Keduanya sama-sama berbicara tentang struktur yang

ada dalam suatu entitas, bila marxisme berbicara tentang struktur dalam negara,

maka strukturalisme lebih melihat kerangka sistem dunia. Dapat juga dikatakan

bahwa pemikiran Marxis lah yang membangun pemikiran struktural. Walaupun

berbicara tentang negara, namun saya lihat Marxis sangat skeptis terhadap

eksistensi negara, terutama karena negara tidak menghalangi eksploitasi

kapitalisme, juga kenyataan bahwa kaum proletar yang tidak menguasai faktor-faktor

produksi, yang demikian juga tidak menguasai ekonomi-politik,telah termarjinalkan

oleh kekuasaan negara.

POST MODERNISME, STRUKTURALISME, FILSAFAT HIDUP

A. Postmodernisme

1. Pengertian

“Post” pada istilah ini banyak menimbulkan perbedaan arti, Lyotard mengartikan

“post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan.

David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari

kemodernan. Anthony Giddens, mengartikannya sebagai wajah arif kemodernan

yang telah sadar diri. Sementara Habernas, satu tahap dari proyek modernisme yang

memang belum selesai. Sementara menurut Tony Cliff, posmodernisme berarti suatu

teori yang menolak teori. Akhiran ”isme” berarti aliran atau sistem pemikiran yang

Page 28: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

menunjukkan pada kritik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi

modern.

2. Konteks Sosial yang Melahirkan : ”Penyimpangan Modernisme”

Munculnya pasca modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri.

Kita modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap dan progresif.

Pengertian ini tidak berlebihan, modernisme mempunyai sisi gelap yang

menyebabkan kehidupan manusia kehidupan disorientasi

”Sisi Gelap” mdoernisme, menurut Anthony Gidden dalam The Sonsequences of

Modernity (1990), menimbulkan berkembang biaknya petaka bagi umat manusia.

Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua,

penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian

parah. Keempat, kerusakan lingkungan hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk

akhir yang menimbulkan petaka tersebut, terutama dipicu oleh : Pertama, kapitalisme

liberal yang menyaratkan kompetisi tiada akhir akan pertarungan pasar. Kedua,

industrialisme yang mensyaratkan inovasi tiada henti untuk memenangkan

persaingan pasar bebas. Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam mengemban

tugas minimalnya untuk menciptakan tertib sosial yang aman, rukun, damai dan adil”

Pada taraf prktis, terdapat konsekensi buruk modernisme, antara lain : Pertama,

pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek,

spiritul-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivikasi

alam secara berlebihan dan pengurasan alm semena-mena. Hal ini telah

mengakibatkan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivitas

dan positivis, akhirnya menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun

direkaya bagai mesin. Ketiga, modernisme memandang ilmu-ilmu positif-empiris mau

tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Keempat, materialisme, yakni orientasi

hidup untuk memiliki dan menguasai hal-hal material. Aturan main utama adalah

survival of the fittest, atau dalam skala yang besar : persingan pasar bebas. Kelima,

militerisme. Kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekersan adlah satu-

satunya cara untuk mengatur manusia. Keenam, bangkitnya kembali tribalisme, atau

mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Setelah perang dingin

selesai, kini agama menjadi kategori identits penting yang melegitimasi konflik dan

tindak kekerasan. Munculnya fndamentalisme agama adalah contoh dari fenomena

ini.

Krisis sains modern yang menimbulkan petaka kehidupan manusia, menyadarkan

Page 29: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

ilmuan untuk merevisi asumsi-asumsi yang mendasar bangunan sains modern.

Krisis ini menjadi cikal bakal terjadinya revolusi ilmiah.

Krisis ini metode ilmiah dan lahirnya revolusi, dapat digambarkan tahap-tahapnya

sebagai berikut :

Tahap I : paradigma ilmiah membimbimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam

masa ilmu normal (normal science)

Tahap II : menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para ilmuwan

terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiks dan dipercayakan. Para ilmuwan

mulai keluar dari jalur ilmu normal.

Tahap III : para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari

memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa

memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya.

Skema ketiga tahap tersebut sebagai berikut

3. Filsuf Awal Postmodernisme

Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme sebenarnya

dapat dilacak pada filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang

rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan

kebenaran ilmu. Kriteria kebenaran yang berlaku bagi dunia modern adalah yang

rasional dan objektif Kierkegaard justru berpendapat scbaliknya, bahwa kebenaran

itu bersifat subjektif, "truth is subjectivity'. Pendapat tentang "kebenaran subjektif' ini

menekankan pentingnya pengalaman dan relativitas, yang dialami oleh individu-

individu."'

Sementara. itu, Horkheimer dan Adorno dalam buku Dialectic. Lewat tulisan-

tulisannya, Nietzsche menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan modernitas.

Pandangan Nietzsche terhadap kebudayaan modern bersifat reduksionis. Modern

atau modernitas dipandangnya sebagai musuh bagi kehidupan dan insting-insting

semenjak zaman renaissance dan selanjutnya, yang dipengaruhi oleh kekuatan-

kekuatan seperti pencerahan, romantisisme, demokrasi, utilitarianisme, ilmu

pengetahuan, dan sosialisme. Kekuatan-¬kekuatan tersebut merupakan suatu

domestikasi kekuasaan dalam kebudayaan yang kian universalistik. Dampaknya

adalah berupa suatu kebudayaan yang kehilangan keyakinan akan kemampuannya

sendiri untuk mencipta dan menilai, suatu kebudayaan nihilisme Eropa dipengujung

abad ini. Nietzsche melihat modernitas sebagai peningkatan kondisi dekadensi di

mana tipe-tipe tinggi dilevelkan oleh rasionalisme, liberalisme, demokrasi, dan

Page 30: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

sosialisme dan di mana insting mengalami penurunan tajam.

Menurut Nietzsche, nihilisme adalah kondisi dimana "nilai-nilai tertinggi mendevalusi

dirinya sendiri”. Nihilisme tak lain adalah "Kondisi postmodern", yakni berakhirnya

segala metanarasi.

Dengan memproklamirkan "tuhan telah mati", Nietzsche berpandangan tidak ada

kebenaran absolut lagi. Manusia harus bebas dari segala makna absolut yang

menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan

memberinya nilai, yakni nilai yang tidak, mengandung kebenaran mu dak atau rata

dunia moral. Kalau suatu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut,

manusia harus meninggalkannya. Nietzsche mengibaratkan, kalau sampan kita

sudah aus dan tak dapat lagi digunakan untuk berlayar, sampan itu harus

dihancurkan dan diganti dengan sampan yang baru. Menurut Nietzsche, hanya

dengan cara ini kita dapat bebas dan terhindar dari mengabsolutkan sesuatu

Edmund Husserl. (1859-1938), juga dipandang sebagai tokoh penting perintis

postmodernisme. Dalam karyanya The Idea of Phenomenology, Husserl mencoba

mengatasi persoalan "subjek-objek" dengan cara membongkar se-cara efektif paham

tentang "subjek epistemologis" dan "dunia objektif. Sejak itu, persoalan epistemologi

dan juga tentang `ilmu" dan "keilmiahan" terus-menerus dipertanya¬kan. Dalam

pencarian ini, Husserl menemukan fondasi absolut pengetahuan yang murni, yakni

dalam subjektivitas transendental. Subyektifitas trnsedent, menurut Husserl, terletk

pada Lebenswelt, yakni aliran kehidupan langsung sebelum terfleksikan, lapisan

dasar yang kemudian memunculkan tematisasi dan teoritisasi ilmiah. Dengan

demikian, yang disebut dengan ”dunia objektif” sebetulnya hanyalah penafsiran

tertentu saja atas dunia pengalaman hidup sehari-hari (Lebenswelt) yang mengatasi

dan mendahului kategori-kategori objektivistik maupun subjektivistik.

Di samping Kierkegaard, Nietszche, dan Husserl, M Keidegger (1889-1976) juga

dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis terhadap

filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berpikir

yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan ihwal;

tetapi manusia adalah dasein, ia "ada dalam dunia". Hubungan manusia dengan

kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subyek memahami obyek.

Kontribusi pokok pemikiran Heidegger bagi postmodernisme adalah langkah awalnya

membongkar tradisi filsafat Barat yang pada dasarnya berpuncak pada filsafat

modern. Universalis representasionalisme, dualisme, dan dialektika adalah pilar-pilar

filsafat modern yang dirobohkan Heidegger. Robohnya pilar-pilar itu membuka pintu

Page 31: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

bagi lahirnya "pemikiran lain" yang terlupakan dari pemikiran modern. Pengetahuan,

moral, sejarah, dan politik tidak lagi tunggal. Lokalitas mendapatkan penghargaan

tersendiri. Kalaupun ingin mendapatkan patokan universal, jalan yang harus melalui

konsensus. Pengetahuan bukan lagi soal pendasaran melainkan percakapan.

Fokus filsafat Heidegger terletak pada duatema. Pertama Heidegger memperlihatkan

suatu anti-Cartesianisme, yaitu penolakan dualisme pikiran-tubuh, dan pembedaan

antara subyek dan objek. Kedua, filsafat Heidegger sebagian besar adalah pencat

terhadap autentisitas, atau apa yang mungkin lebih tepat dilukiskan sebagai

”kepunyaan sendiri”, yang dapat dimengerti dengan penjelasan tertentu, sebagai

keutuhan. Pencarian terhadap autentisitas ini akan membawa kita ke dalam

persoalan-persoalan abadi tentang haki diri dan arti kehidupan.

4. Teoretisi Postmodernisme

1) Francouis Lyotard

Dilahirkan di Versailles 10 Agustus 1924, dan meninggal di Paris tahun 21 April

1998. Dalam buku The Postmodern Condition, ia memperlihatkan bagaimana

identifikasi pengetahuan bersama representasi, karakteristik masyarakat modern,

tindakan yang kita tampilkan mereduksi ragam dari tindakan yang kita tampilkan

dalam bahasa menjadi denotasi. Bahasa kemudian menjadi serangkaian pernyataan

yang dapat diperlakukan sebagai benda, sebagai komoditas dalam masyarakat

kapitalis. Bagi Lyotard pengetahuan rasional tidakbisa lagi dijadikan sebagai dasar

bagi kritik, juga tidak memiliki emansipasi sebagaimana dijanjikan oleh para pemikir

pemikir abad pertengahan. Pengetahuan adalah narasi teror Barat, sejauh yang

dituju adalah membungkam cerita-cerita lain dengan menyajikan dirinya sebagai

satu-satunya penjelasan yang benar dan absah.

Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya intensifikai dinamisme, upaya tak henti-

hentinya untuk mencari kebaruan eksperimentasi dan revolusi kehidupan terns-

mencrus. Lyota mengatakan, "Marilah kita perangi totalitas ... marilah kita hidupkan

perbedaan. Kenyataannya, postmodernisme menjadi wadah pertemuan berbagai

perspektif teoritis yang berbeda-beda : ”Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah

semata-mata menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan postmodern memperluas

kepekaan kita terhadap pndangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita

untuk bertolernsi atas pendirian yang tak mau dibanding-bandingkan.

2) Michel Faucault (1926 – 1984)

Page 32: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

a. Discourse, Power and Knowledge

Pemikiran Nietzhe berimbs pada pemikiran Foucault. Faucoult memang tidak secara

tegas menolak keuniversalan pengetahuan, tetapi dari pandangannya tentang

wacana yng bersifat diskontinu” tampaklah penolakan itu. bagai Foucault , setiap era

sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman tentang dunia

secara khas, berbeda dengan era sejarah yang lain. Dengan kata lain, era historis

yang berbeda tentunya memiliki perbedaan episteme untuk setiap periodenya.

Pandangan diskontinuitasnya ini merupakan salah satu aspek dari gugatannya

terhadap tema-tema modern seperti asal-muasal, tujuan akhir, kontinuitas, totalitas,

dan subjek yang utuh.

Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan “klsik” yang ditolak oleh Foucault, yaitu:

a) Pengetahuan itu tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, tetapi khas

untuk setiap waktu dan tempat

b) Tidak ada pengetahuan menyeluruh yang mampu menangkap karakter ”objektif”

dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambi perspektif

c) Pengetahuan tidak dilihat sebagai cara pemahaman yang netral dan murni, tetapi

selalu terikat dengan rezim-rezim kekuasaan.

d) Pengetahuan sebagai wacana tidak muncul sebagai evolusi sejarah yang konstan,

melainkan bersifat diskontinu.

Salah satu yang paling inspiratif bagi postmodernisme adalah sikapnya dalam

memahami fenomena-fenomena modern yang bernama “pengetahuan” itu, terutama

pengetahuan sosial, ia memerkarakan tentang “Apa itu pengetahuan” secara

genealogis dan arkeologis, artinya dengan melacak bagaimana pengetahuan itu

telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini. Kategori-kategori konseptual

macam “kegilaan”, “seksualitas”, “manusia”, dan sebagainya yang biasanya

dianggap “natural” itu sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan, yang

membawa mekanisme-mekanisme dan aparatus kekuasaan; kekuasaan untuk

“mendefinisikan” siapa kita. Ilmu ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agen-

agen kekuasaan itu. Kendati kekuasaan itu tidak selalu negatif-represif melainkan

juga positif-produktif (menciptakan kemampuan dan peluang baru), toh secara umum

ia memaksa kita memahami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan

melainkan sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillane)

lewat ”penormalan”, regulasi dan disiplin (Discipline and Punish, Power/Knowledge).

Page 33: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

b. Arkeologi Foucault

Jika kita memandang modernitas bermula pada abad ke 16 dan ke-17, maka karya

Foucault bisa dilihat sebagai refleksi kritis atas perbedan antara bentuk-bentuk

kebudayaan pra-modern dan modern. Dalam Madnes and Civilization (1961)

Foucault mengawali gagasannya tentang ”arkeologi kebisuan penderita kegilaan” di

dalam suatu dunia di mana penderita kegilaan menggantikan penyakit kusta sebagai

kematian ”yang telah tiba”.

Menurut Foucault, “posisi liminal” penderita kegilaan di abad pertengahan terlihat

dari disingkirkannya mereka secara sosial ke dalam ”bahtera untuk orang-orang

sinting”. Humanisme renaissance berperan membebaskan suara penderita kegilaan

sekaligus mengontrolnya dengan cara memasukkan kegilaan ke dalam ”semesta

diskursus”, namun demikian, hanya dalam periode klasiklah penderita kegilaan

direduksi menjadi kebisuan dengan jaln mengungkungnya dalam rumah-rumah sakit.

Foucault berangkat dari gagasan tentang episteme atau ”bidang epsitemologis” yang

mengatur syarat-syarat bagi pengetahuan yang mungkin. Menurut Foucault, terdapat

tiga episteme berbeda-beda yang saling mendukung masa renaissance, period-

periode klasik, dan abad ke-19, yang memisahkan periode klasik dengan abad ke-19

adalah bahwa yang terdahulu masih mempertahankan hubungan yang tak terbatas,

sedangkan masa berikutnya meneguhkan perbatasan analitis.

c. Geneology of Knowledge

Gagasan tentang geneologi muncul sejak pidato inaugurasi Foucolt yang lantas

diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Discourse on Language (1971 :

1972). Di sini gagasan tersebut muncul demi melengkapi analisis tentang aspek

diskursu yang mirip sistem dengan suatu analisis tentang bagaimana aspek itu

terbentuk. Tugas geneologi kekuasaan sesungguhnya adalah menganalisis silsilah

pengetahuan.

Menurut Foucault, pembedaan Nietzsche antara asal usul (origin) dan silsilah

(descent) adalah pembedaan antara presentasi sejarah sebagai terbentangnya suatu

gagasan secar jelas serta sebagai fenomena yang murni kebetulan.

Studi paling terkenal dalam periode ini adalah Discipline and Punishment (1975).

Sekali lagi modernitas sebagai pemisah paling menentukan antara periode klasik dn

abad ke-19 dipersoalkan. Terdapat dua bentuk masyarakat yang berbeda, yang

didominasi oleh dua bentuk kekuasaan yang amat berlainan. Konsep kedaulatan

yuridiko-politis dalam masyarakat pra-modern menyelenggarakan eksekusi publik

Page 34: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

untuk memperbarui kedaulatan yang keropos.s edangkan dalam modernitas, adanya

bentuk-bentuk baru ”penghukuman yang digeneralisasikan” disebbkan oleh adanya

bentuk baru kekusan yang merembeas dan menjangkau setiap bagian tubuh sosial,

dan yang tergambarkan paling jelas dalam Pnopaticon Bentham.

Serangan Foucault terhadap hipotesis ekspresif merupakan konsekuensi dari

gagasan barunya tentang kekuasaan. Foucault bukannya mengonsepsi modernitas

sebagai sumber pembatasan seks, namun sebagai penyebab penyebarannya,

terseretnya seks ke dalam diskursus.

Di sini ia memperkenalkan gagasan tentang bio-power. Namun, pada volume-volume

kelanjutannya ternyata dia tidak mengulas hal itu.

d. Kilas balik Filsafat Foucault

Foucault dalam karya use of Pleasure (1984a) dan Care of The Self (1984b) tidak

mengonsentrasi diri pada kaidah internal atau regularitas formasi diskursif. Namun,

kini mengarahkan perhatian pada hubungan antara manusia dan dunia.

Pengarahan arkeologi menuru “problematisasi” ini lebih merupakan suatu peralihan

hermeneutis dalam pemikirannya mengenai kebudayaan.

Dalam dua buku itu Foucault kembali, meski dalam bentuk yang telah dimodifikasi,

pada jenis gaya analisis komplementer yang pernah ia janjikan dalam pidato

inaugarasinya

Dengan begitu, meski terdapat perubahan dalam programnya, tetap tertarik pada

persoalan sentral berupa bagaimana manusia Barat akhirnya sebegitu jauh

melibatkan dirinya sendiri dalam persoalan seksualitasnya

Karya Foucault mengenai sejarah dapat menimbulkan salah paham. Kontroversi

mengenai karyanya pun tak jarang dijumpai.

3) Jacques Derrida (1930-2004 M)

Membahas filsuf yang satu ini pasti tidak akan lepas dari buh pikirannya tentang

dekonstruksi. Istilah ini merupakan salah satu konsep kunci postmodernisme. Apa itu

dekonstruksi ? Secara etimologis, dekonstruksi dalah berarti ”mengurai”, melepskan,

dan membuka”. Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks secara

interpretatif atau, katakanlah, suatu hermeneutik dengan cara radikal.

Podisi Derrida terletak di pinggiran: dekonstruksi bergera pada batas-batas di antara

kedua perspektif tersebut. Derrida menjelaskan pelintasan batas interpretasi ini secar

tepat melalui sebuah neologisme.

Page 35: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Dekonstruksi menunjukkan bahwa pembedaan dan antinomi konseptual pada

akhirnya tidak terkontaminasi, dna karenanya juga tidak dapat dipertahankan. Makna

tidak berdasarkan pada sebuah hierarki makna, melainkan terbentuk dalam sebuah

jaringan acuan-acuan lewat momen suspensi.

Penagguhan ini, difereance, atau – Derrida menyebut demikian – spesialisasi atau

temporalisasi ini berarti pula bahwa makna teks tidak bisa distabilkan. Teks tidak

didekonstruksikan, melainkan mendekonstruksi dirinya sendiri. Dengan kata lain,

makna dari teks itu ditunda atau ditangguhkan. Namun, menunda dan menagguhkan

tidak berarti bahwa pembedaan hanyalah omong kosong belaka. Dengan

pemahaman ini Derrida tidak ingin menyebarkan nihilisme.

Untuk tujuan tersebut dekonstruktivisme adalah sebuah cara berpikir yang

senantiasa menantang kita untuk menjawab pertanyaan, bagaimana kita bisa

membedakan sesuatu tanpa menilai dan tanpa memutuskan.

4) Richard Rorty (1931-2007)

Menurut Rorry, apa yang kita sebut sebagai filsafat selama ini telah menuju ke

banyak tiotik kebuntuan di bidang epistemologi, metafisika, bahkan teori-teori moral.

Berbeda dari para post-strukturalisme atau postmodernitas lainnya, dalam buku

Philosophy and the Mirror of Nature, Rorty ingin menyudahi apa yang disebutnya

“epsitemology centered philosophy” atau tradisi Cartesian-Kantian.

Menurutnya, dewasa ini merupakan ”the end of philosophy (as epistemology)”.

Memang, dalam alam pikir modern, tugas pokok filsafat adalah mencari segala

fondasi pengetahuan (foundasionlisme) dan tugas pokok subjek adalah

mempresentasikan kenytaan objektif (representasionalisme)

Untuk memusnahkan epistemologi, dia memakai istilah Cadamer yaitu

“hermeneutik”. Hermeneutik, baginya, bukan suatu disiplin, metode alternatif bagi

epistemologi, ataupun program riset, melainkan “... suatu ungkapan pengharapan

bahwa ruang kultural yang disisakn oleh kesudahan epistemologiu tidak akan terisi”

Dalam memberikan penajaman di bidang filsafat, Rorty berusaha untuk menyatukan

dan mengaplikasikan Dewey hegel dan Darwin dalam sintesis pragmatis antara

historisisme dan anturalisme.

5) Jean Baudrillard (1929 – 2007)

Melalui karya-karyanya, Baudrillard mempunyai sumbangan besar terhadap

perkembangan teori ssial postmodernisme. Karya awal Baudrillard (1968, 1970)

Page 36: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

sangat dipengaruhi oleh perspektif Marxian yang menitikberatkan pada masalah

ekonomi . bedanya, kalau Marxian lebih memfokuskan pada produksi, Baudrillard

memfokuskan dirinya pada masalah konsumsi. Menurut Baudrillard, objek konsumsi

merupakan “sesuatu yang diorganisir oleh tatanan produksi” atau “perluasan

kekuatan produktif yang diorganisir” Baudrillard menambahkan, konsumsi bukanlah

tambahan kecil bagai puataran kapital … tetapi [merupakan] kekuatan produktif yang

penting bagi kapital itu sendiri.

Secara umum, pemikiran Budrillard memusatkan perhatian pada kultur, yang

dilihatnya mengalami revolusi besar-besaran dan merupakan bencana besar.

Revolusi kultural itu menyebabkan massa menjadi semakin pasif ketimbang semakin

berontak seperti yang diperkirakan pemikir Marxis. Dengan demikian, masa dilihat

sebagai “lubang hitam” yang menyerap semua makna, informasi, komunikasi, pesan,

dan sebagainya, menjadi tidak bermakna … masa menempuh jalan mereka sendiri,

tak megindahkan upaya yang bertujuan memanipulasi mereka. Kekacauan, apatis,

dan kelebaman in merupakan istilah yang pepat untuk melukiskan kejenuhan massa

terhadap tand meida, simulasi, dan hiperrealitas.

6) Fredric Jamerson (1934)

Fredric Jamerson lahir 14 April 1934 di Cleverland, Ohio. Ia merupakan salah satu

kritikan literatur berhaluan Marxis pling terkemuka. Kini ia menjabat sebagai Profesor

of Comparative Literature di Duke University (Durham NC, USA), sekaligus

mengepalai the Center for Cultural Theory.

George Ritzer dalam Postmodern Social Theory, menempatkan Jamerson ke dalam

pemikir Amerika yang berhaluan postmodern bersama dengan Daniel Bell, kaum

feminis (Sandra Harding, Judith Butler, Susan Bordo, dan lain-lain), dan teoritikus

multikultural.

Jamerson jelas-jelas mengadopsi posisi Marxis untuk mengembangkan teori sosial

budayanya. Namun demikian, ia menolak mengikuti pola dan klaim yang

dikembangkan oleh para pengikut Marxis dari Prncis (seperti Lyotard, Baudrillrd dan

Foucault) yang percaya bahwa teori Marxis termasuk ”narasinya(continuity).

Teori ” Logika Kultural Kapitalisme Akhir

Istilah ”kapitalisme lanjut” (late capitalism) mulai digunakan di Eropa menjelang akhir

tahun 1930-an, yaitu ketika banyak ahli ekonomi percaya kapitalisme bergerak

mendekati ajalnya. Di penghujung Perang Dunia II, cukup banyak pakar ekonomi

termasuk Paul K. Samuelson dan Joseph Schumpeter yang percaya bahwa akhir

Page 37: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

dari kapitalisme akan segera terjadi dalam arti banyak sekali kendala dan persoalan

ekonomi yang tak tertaggulangi.

Periode late capitalism yang dipakai Jamerson dipinjam dari periodisasi yang dibuat

oleh Mandel, yang membagi perkembangan kapitalisme menjadi tiga fase, yaitu (1)

kapitalisme pasar, (2) monopoli (imperialisme), dan (3) modal multinasional.

Contoh dari fase late capitalism ini, misalnya : penetrasi dan kolonialisasi alam dan

duni bawah sadar, penghancuran sistem agribudaya negara-negara berkembang

oleh Revolusi Hijau serta mentasnya industri media dan iklan ke panggung

keseharian.

5. Kritik terhadap Postmodernisme

Dalam buku The Philosophical Discourse of Modernity, Habermas mengemukakan

berbagai kritiknya terhadap pemikiran postmodernisme. Ia menyatakan bahwa asal-

usul konsep “post-modernity” itu sendiri harus diteliti. Habermas menyatakan ada

kelemahan mendasar pemikiran kaum postmodernis tentang (“modernitas” yang

dianggap ahistoris. Para pemikir postmodernis seakan-akan menghilankan dimensi

dan cakrwila historis yang memunculkan “postmodern” itu. haberms berpendapat

bahwa apa yang disebut postmodern itu hanyalah lanjutan dari modernitas yang

belum selesai, karena itu pemikir postmoderni tidak dapat menyatakan diri

melampaui modernitas itu.

Para pengikut Hegel, termasuk Teori Kritis Mazhab Franfurt, mencoba mengatsi

msalah modernitas dengan etap bertolak dri asumsi-asumsi epistemologi modern.

Nietszche justru mengambil jalan radikal dengan mencoba modernitas dan

rasionalitas modern itu.

Ben Agger dalam The Discourse of Domination : from the Franbkfurt School to the

Postmodernism (1992), dalam bab berjudul ”Postmodernism : Ideology or Critical

Theory” menyatakan posmodernisme dan feminisme sebagai teori Kritis.

Ada karakteristik yang sama dan menjadi ciri utama Teori Kritis dan postmodern,

yaitu bahwa teori sosial harus memiliki peran yang berarti bagi proses transformasi

duani dan meningkatkan kondisi kemanusian pada arah yang lebih manusiawi. Hal

ini terlihat jelas pada teori poskolonial, feminisme, dan cultural studies atau

multikulturalisme.

Fredric Jameson dalam tulisannya “Postmodernisme dan Masyarakat Konsumer”

menyatakan bahwa datangnya era postmoderni membawa serta pemusnahan telak

distingsi-distingsi tempat bergantungnya Teori Kritis itu.

Page 38: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Bourdieu menantang egaliterianisme budaya dan menunjukkan bagaimana dan

hubungan yang mendalam antara kelanjutan ketidaksetaraan ekonomi dan budaya.

Menurut Bourdieau, masing-masing lokasi kelas sosial memiliki habitusnya sendiri-

sendiri yang membawa anggotanya pada kecenderungan bentuk-bentuk khusus

seler dan presiasi khusus objek budaya, sosial dan lainya (Turner, 2002, 17)

6. Postmodernisme dan Kritik Pembangunan

Pemikiran-pemikiran postmodernisme dapat digunakan untuk menganalisis

diskursus terhadap tantangan pembangunan. Kata devbelopment, yang

diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “pembangunan”, menyiratkan dominasi,

penindasan dan pengeksploitasian postmodernisme telah menyumbangkan

perkembangan teori kritik terhadap teori pembangunan dan modrnisasi dari

perspektif yang sangat berbeda dengan teori-teori kritik sebelumnya.

Sumbangan terbesar postmodernisme terhadap teori dan perubahan sosial adalah

membuat teori itu lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan dominasi

menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan teranyam di setiap aspek kehidupan,

dan ini bertentangan dengan umumnya ilmu sosial yang berasumsi ilmu ini netral

objektif, dan tak berdosa.

Kalau bagi Marx kekuasaan ad pada kaum pemilik modal, Dahdenrof pada kelompok

elite, maka pada Foucault kekuasaan bisa terjadi pada diskursus dan pengetahuan.

7. Kilas Balik Postmodernisme

Modernisme dan postmodernisme, tidak sekedar sebagai aliran filsafat dan teori

sosial yang hanya berorientasi pada konsep, sistem, dan metode saja. Bukan juga

sekadar strukturalisme dn postrukturalisme dalam pengertian Strauss dan Foucault.

Para pemikir modernisme kontemporer seperti Karl Popper, Houston Smith, dan

Haberms, tidak menganggap penting soal timbulnya gerakan postmodernisme.

Dalam kaitannya dengan keragaman gerakan postmodernisme sendiri, maka post

modernisme dapat dibagi dalam dua aliran besar, yakni postmodernisme

epistemologis dan postmodernisme empirik.

Pemikir postmodernisme yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah

Lyotard, Derrida, Foucault, dan Rorty. Ulrich Beck, dalam bukunya Risk Society :

Towards a New Modernity (1998) menjelaskan “risiko” sebagai kemungkinan-

kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial) yang disebabkan oleh

proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik,

Page 39: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

komunikasi.

Eksplorasi Beck terhadap peran, status, dan implikasi teknologi menimbulkan

perdebatan yang hangt. Pertama, karyanya berhubungan dengan tema-tema pasca-

modernitas dan pasca modern. Argumen Beck bahwa masyarakat berisiko yang

telah membelah kontrak asurnsi antara masa kini dan masa depan bisa

dperbandingkan dengan keraguan pasca-modern atas meta-naratif kemajuan.

Kedua, Beck menekankan signifikansi sosiologi lingkungan dan ekologi. Di Jerman,

Beck berpengaruh besar pada pemikiran dan politik lingkungan hidup, namun di

negara-negara berbahasa Inggris pengaruhnya telah berkurang karena perbedaan

bahasa antara publikasi asli dan terjemahan (buku Beck dipublikasikan di Jerman

tahun 1986, terjemahan bahasa Inggrisnya keluar tahun 1992)

Risiko juga merupakan tema karya Anthony Giddens. Ia membedakan risiko

lingkungan pra-modern (tradisional) dan modern. Giddens menekankan pentingnya

lingkungan, perang dan hubungan personal dalam pengalaman modern dan

konstruksi risiko.

8. Relevansi Postmodernisme bagi kehidupan Masa Kini

Jika diamati dengan seksama, banyak hal menarik dan bisa diterima dari apa yang

ditawarkan oleh pasca-modernisme. Lepas dari sah atau tidaknya keberadaan

pasca-modernisme, kenyataannya dia ada dan keberadaanya harus diakui.

Pasca modernisme ingin menghilangkan pendasaran umum dan lebih melihat cerita-

cerita. Tanpa ada kerangka atau dasar pijakan tersbut kita tidak bisa bicara apa-apa.

Selain itu, jika kita hanya berpegang pada cerita-cerit lokal atau keyakinan setempat,

sangat sulitlah untuk mengambil keputusan dan yang terjadi adalah siapa yang kuat,

itulah yang menang.

Hal ini sudah terbukti jika kita menengok proses peradilan hukum di Indonesia yang

sering kali orang kecil menjadi korban hanya karena buta hukum dan hukum

ditafsirkan sesuai keinginan pihak tertentu yang tentunya mempunyai power.

Lalu apa yang harus dilakukan ? Saya setuju perlu adanya dekonstruksi, tetapi

kurang sependapat jika itu dilakukan terhadap semua narasi besar.

Dengan melihat sisi negatif postmodernisme, apakah dengan demikian ia harus

dibuang ? tentu sisi positifnya tetap ada. Ia telah mengingatkan pada kita agar kita

mewaspadai teori-teori besar jangan sampai merek berkembang menjadi ideologi.

Jangan sampai ideologi berlindung di balik teori-teori besar, tetapi ternyata di balik itu

ia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi.

Page 40: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Segala sesuatu perlu dikritisi, dipertanyakan apakah ia benar berjuang demi

menegaskan martabat dan kebahagiaan manusia yang lebih besar.

Jadi, kita harus memegang kedua-duanya, yang universal dan yang lokal,

menghargai cerita besar yang memang memperjuangkan martabat manusia dan

juga menghargai cerita-cerita kecil sebagai tanda penghargaan terhadap manusia-

manusia individu asal memperkembangkan individu tersebut. Dengn demikian,

kehidupan kita menjadi tercerahkan.

B. Filsafat Strukturalisme

Tokoh yang berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme dalah Michael Foucolt

(1926 – 1984). Kesudahan ”manusia” sudah dekat, pendirian Fouclot yang sudah

terkenal tentang ”kematian” manusia. Maksud Fouclot bukannya bahwa nanti tidak

ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep ”manusia” sebagai suatu

kategori istimewa dalam pemikiran kita. Manusia akan kehilangan tempatnya yang

sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.

Para penganut aliran filsafat strukturalisme ini memiliki corak yang beragam, namun

demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu : penolakan terhadap prioritas

kesadaran. Bagi mereka manusia tidak lagi merupakan titik pusat yang otonom,

manusia tidak lagi menciptakan sistem melainkan takluk pada sistem.

Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan

strukturalisme sebagai aliran filsafat. Pertama, strukturalisme adalah metode atau

metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan

bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure.

Disini ilmu-ilmu kemanusiaan dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam

terminologi Dilthey disebut Geistewissenschaften yang dibedakan dengan ilmu-ilmu

pengetahuan alam atau Naturwissenschaften. Kedua, strukturalisme merupakan

aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat.

Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah,

kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam.

C. Filsafat Hidup

Pada abad yang ke-19 dan awal abad ke-20 ilmu pengetahuan dan tehnik

berkembang dengan cepat, yang mengakibatkan perkembangan industrialisasi yang

cepat juga. Hal ini menjadikan segala pemikiran orang diarahkan kepada hal-hal

yang bendani saja. Akal manusia dipakai untuk menyelidiki segala sesuatu. Segala

Page 41: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

sesuatu dianalisa, dibongkar dan ditaf¬sirkan, serta disusun kembali. Juga ilmu yang

menyelidiki jiwa manusia (psikologi) berbuat demikian. Baik jagat raya maupun

manusia dipandang sebagai mesin, yang terdiri dari banyak bagian, yang masing-

masing menempati tempatnya sendiri-sendiri, serta yang bekerja menurut hukum

yang telah ditentukan bagi masing-masing bagian itu. Demikianlah juga halnya

dengan manusia. Roh bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ker¬janya disebabkan

karena akibat proses-proses bendani yang berjalan karena keharusan, seperti

umpamanya ginjal harus mengeluarkan air ken¬cing, jantung harus memompa

darah, otak harus mengeluarkan buah pikiran, dan lain sebagainya.

Salah satu reaksi terhadap pandangan yang demikian itu adalah filsafat hidup, yang

salah seorang penganutnya adalah Henri Bergson (1859-1941), seorang yang

berdarah campuran Perancis dan Yahudi, semula ia belajar matematika dan fisika.

Tetapi justru karena kecakapannya untuk menganalisa itulah ia segera dihadapkan

dengan persoalan-per¬soalan metafisika yang tersembunyi di belakang tiap ilmu

pengetahuan. Hal ini menyebabkan dia berpaling ke filsafat.

Banyak buah tulisannya, di antaranya: Essai cur les donn&s immMute de la

conscience, atau "Karangan mengenai hal-hal yang langsung ditemui dalam

kesadaran" (1889), yang diterbitkan dalam -bahasa Inggris di bawah judul Time and

Free Will, atau "Waktu dan Kehendak Bebas"; L'Evolu¬tion creatrice, atau "Evolusi

yang kreatif" (1907); Les Deux sources de la morale et de la religion, atau "Kedua

cumber kesusilaan dan agama" (1932).

Seorang tokoh berdarah campuran Perancis - Yahudi, kelahiran Perancis, Henri

Bergson (1859-19.41), melahirkan filsafat hidupnya sebagai reaksi atas pandangan

materialisme dan pragmatisme.

Menurut Bergson, hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal.

dunia, yang berkembang dengau melawan penentangan-penentangan materi. (yaitu

sesuatu yang lamban yang menentang gerak, dan dipandang oleh akal sebagai

materi atau benda). Manakala gerak, perkembangan hidup itu digambarkan sebagai

gerak ke atas, materi adalah gerak ke bawah yang menahan gerak ke atas itu.

Dalam perkembangannya sebagai gerak ke atas, hidup mempunyai penahanan

gerak ke bawah. Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi menjadi arus yang menuju

banyak jurusan, yang sebagian ditundukkan oleh materi, sedangkan sebagian

lainnya tetap memiliki kecakapannya untuk berbuat secara babas dan dengan terus

berjuang keluar dari.genggaman materi.

"Bergson yakin akan adanya evolusi, tetapi tidak seperti yang diajarkan Darwin..

Page 42: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Evolusi yang raeuggambarkan evolusi sebagai perkembangan linear (segaris), yang,

satu sesudah yang lain dengan manusia sebagai puncaknya. Menurut Bergson,

evolusi adalah suatu perkembangan.yang menciptakan, yang meliputi segala

kesadarani. segala hidup, segala kenyataan, yang dalam perkembangannya terus-

menerus menciptakan bentuk baru dan menghasilkan' kekayaan baru. Evolusi ini

tidak terikat oleh keharusan seperti keharusan yang tersirat dalam hukum sebab-

akibat mekanis. Evolusi menurut Bergson. bukan bergerak ke satu arah dibawah

dorongan, suatu semangat hidup yang bersifat umum, tetapi evolusi itu berkembang

ke arah bermacam-macam. Pada tumbuh-tumbuhan perkembangan itu kandas

dalam bentuk-bentuk yang tanpa kesadaran. Pada binatang, perkembangan itu

berhenti dalam naluri, sedangkan pada manusia, perkembangan itu berlangsung

sampai ke akal.

1. Naluri

Naluri adalah tenaga bawaan kelahiran guna memanfaatkan alat-alat organis

tertentu dengan cara tertentu. Kerja naluri terjadi otomatis, tanpa memberi tempat

padsaspontanitas atau pembaharuan. Naluri semata-mata diarahkan pada

kepentingan kelompok atau rumpunnya. Oleh karena itu, sifat individual ditaklukkan

kepada sifat.kelompok.

2. Akal

Manusia mempunyai akal yaitu merupakan kecakapan untuk menciptakan alat kerja

bagi dirinya dan secara bebas mengubah-ubah pembuatan alat kerja itu. Akal

mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentiagan individu. Akan

letapi, akal tidak dapat dipakai untuk menyelami hakikat yang sebenarnya dan

segala kenyataan. Sebab, akal adalah basil perkembangan, yaitu perkembangan

dalam rangka proses hidup. Akal itu timbul karena panyesuaaan manusia. Dengan

akalnya, manusia dapat menyesuaikan diri dengan dunia sekitarnya. Oleh karena itu,

akal memihki fungsi praktis. Itulah sebabnya, akal tidak dapat menyelami hakikat

yang sebenarnya dari segala kenyataan. Akal hanya berguna bagi pemikiran ilmu

fisika dan mekanika, tetapi akal tidak berguna bagi penyelaman ke dalam hakikat

segala sesuatu.

3. Intuisi

Intuisi diperlukan untuk menyelami hakikat segala kenyataan. Intuisi adalah suatu

Page 43: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

kecakapan yang dapat molepaskan diri dan akal, kecakapan untuk menyimpulkan

serta meininjau dengan sadar. Intuisi adalah naluri yang telahn mendapat kesadaran

diri, yang telah dicakapkan untuk memikirkan sasarannya serta memperluas sasaran

itu menurut kehendak sendiri tanpa batas.

4. Agama

Bergson membagi agama pada dua macam. Pertama, agama statis,. dan kedua,

agama dinamis.

1. Agama statis ialah agama yang timbul karena hasil. karya perkembangan. Dalam

perkembangan ini, alam telah memberikan kepada manusia kecakapan untuk

menciptakan dongeng-dongen yang dapat mengikat manusia yang seorang dengan

yang lain dan dapat mengikat manusia dengan hidup. Karena akalnya, manusia,

tahu bahwa ia harus mati. Karena akalnya juga, manusia tahu bahwa ada rintangan-

rintangan yang tak terduga sehingga menghalangi usahanya untuk mencapai

tujuannya. Alam telah membantu manusia untuk memikul kesadaran yang pahit ini

dengan khayalan-khayalan. Demikianlah, akhirnya timbul agama sebagai alat

bertahan terhadap segala'sesuatu yang dapat menjadikan manusia putus asa.

2. Agama yang dinamis adalah agama yang diberikan oleh intuisi. Dengan

perantaraan agama inilah, manusia dapat berhubungan dengan asas yang lebih

tinggi yang lebih berkuasa daripada dirinya sendiri. Bentuk agama yang paling tinggi

adalah mistik yang secara sempurna terdapat dalam agama Kristen. Itulah filsafat

hidup Bergson yang besar sekali pengaruhnya di Perancis. Ketika ia membahas

agama Kristen, yang berati sebagai pegangan hidup karena ia agama yang paling

tinggi.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut dapat kita pelajari bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan

yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Berapa pendapat telah

dijelaskan bahwa post modernisme merupakan istilah yang mempunyai beberapa

arti diantaranya pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan

dan isme yang berarti aliran atau sistem pemikiran yang menunjukkan pada kritik

filosofis atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern.

Page 44: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Dalam kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat terbagi menjadi dua.

Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk

mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik

yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Kedua, strukturalisme merupakan aliran

filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Di sini

metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah,

kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam.

Sedangkan filsafat hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal.

dunia, yang berkembang dengan melawan penentangan-penentangan materi. (yaitu

sesuatu yang lamban yang menentang gerak, dan dipandang oleh akal sebagai

materi atau benda).

Daftar Rujukan

Ali Maksum, 2008, Pengantar Filsafat, Ar Ruzz Media, Jogjakarta

Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008, Filsafat Umum, Pustaka Setia

Bandung

Harun Hadi Wijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Kanisius

Page 45: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

TEORI-TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL

Editor: Adi Rio Arianto

Berbicara tentang Hubungan Internasional, pastinya tak terlepas dari hubungan antar

satu bangsa atau Negara ke yang lainya, akan tetapi, pandangan tentang pemikiran

Hubungan Internasional sendiri berawal dari sebuah traktat atau Perdamaian

Westphalia yang juga dikenal dengan nama Perjanjian Munster dan Osnabruck pada

tahun 1648, adalah serangkaian perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh

Tahun dan secara resmi mengakui Republik Belanda dan Konfederasi Swis ketika

sistem negara modern mulai dikembangkan.

Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan Eropa

didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Dalam perdamaian Westphalia

terbentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para

penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak

lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas

kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang

mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan

yang memadai.

Sistem pemikiran Westphalia mendorong bangkitnya negara sampai bangsa,

institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem pemikiran ini kemudian

‘diexpor’ ke Amerika, Afrika, dan Asia, lewat kolonialisme, dan standar-standar

peradaban. Sistem internasional kontemporer akhirnya dibentuk lewat dekolonisasi

selama Perang Dingin. Namun, sistem ini agak terlalu disederhanakan, sementara

sistem negara-bangsa dianggap modern, banyak negara tidak masuk ke dalam

sistem tersebut dan disebut sebagai pra-modern. Lebih lanjut, beberapa telah

melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap pasca-modern. Kemampuan

wacana HI untuk menjelaskan hubungan-hubungan di antara jenis-jenis negara yang

berbeda ini diperselisihkan. Level-level analisis adalah cara untuk mengamati sistem

internasional, yang mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai

Page 46: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

suatu unit, level internasional yang terdiri atas persoalan-persoalan transnasional

dan internasional level global.

Bersamaan dengan perkembangan peradaban dan pemikiran manusia, teori tentang

Hubungan Internasional berkembang berdasakan fase-fase yang kesemua itu

bermula dari:

Current History: sebagai ladang penyelidikan intelektual yang sebagian besar

dipengaruhi fenomena abad ke-20. Akar-akar sejarah disiplin ini terletak pada

sejarah diplomatik yang merupakan salah satu pendekatan untuk memahami HI

yang berfokus pada deskripsi kejadian-kejadian sejarah, bukan eksplanasi teori.

Untuk kemudahan, aliran ini disebut pendekatan Current History terhadap studi HI.

Idealisme Politik: Berawal setelah Perang Dunia I yang membuka pintu terhadap

revolusi paradigma dalam studi HI. Sejumlah perspektif HI berusaha menarik

perhatian para peminatnya pada periode ini. Meskipun demikian, aliran current

history masih memiliki pengikutnya. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II,

terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin

semakin mengukuhkan perspektif Realisme.

Realisme Politik: perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang

Dunia I dan II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika

Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.

The Behavior approach (pendekatan perilaku): aliran realism klasik menyiapkan

secara serius pemikiran teoritis mengenai kondisi global dan empiris. Namun

demikian ketidak-kuasaan karena kurangnya data, reaksi tandingan, kesuliran dalam

peristilahan dan metode, mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan awal

1970-an. Disebabkan pendekatan perilaku terhadap studi Hubungan Internasional

maka banyak mempengaruhi pendekatan terhadap teori dan logika serta metode

penelitian.

The Neoralist Structural Approach (pendekatan Neoralisme Struktural):

pandangan ini membedakan antara eksplanasi peristiwa politik internasional di

tingkat nasional seperti negara yang diketahui sebagai politik luar negeri dengan

eksplanasi peristiwa di tingkat sistem internasional yang disebut sistem atau teori

sistem.

Institutionalisme Neoliberal: Seperti halnya neoliberal, institutionalis neoliberal

menggunakan teori structural politik internasional. Mereka terutama berkonsentrasi

kepada sistem internasional, bukannya karakteristik unit atau sub unit di dalamnya,

namun mereka member lebih banyak perhatian pada bagaimana cara lembaga

Page 47: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

internasional dan aktor non negara lainnya mempromosikan kerja sama

internasional. Daripada halnya menggambarkan dunia di mana negara-negara di

dalamnya enggan bekerja sama karena masing-masing merasa tidak aman dan

terancam oleh yang lainya, Institusionalis Neoliberal membuktikan syarat-syarat kerja

sama yang mungkin dihasilkan dari kepentingan yang tumpang tindih di antara

entitas politik yang berdaulat.

TEORI EPISTEMOLOGI DAN TEORI HI

Teori-teori Utama Hubungan Internasional: (1) Realisme, e, (2) Idealisme, (3)

Liberalisme, (4) Neoliberalisme, (5) Marxisme, (6) Teori dependensi, (7) Teori kritis,

(8) Konstruksivisme , (9) Fungsionalisme, (10) Neofungsiionalisme .

Setelah Perang Dunia I, teori HI Sejarah Perang Peloponnesia karya Thucydides

sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan karya Hobbes dan The Prince

karya Machiavelli memberikan pengembangan lebih lanjut. Demikian juga

Liberalisme menggunakan karya Kant dan Rousseau dengan karya Kant sering

dikutip sebagai pengembangan pertama dari Teori Perdamaian Demokratis.

Meskipun hak-hak asasi manusia kontemporer secara signifikan berbeda dengan

jenis hak-hak yang didambakan dalam hukum alam, Francisco de Vitoria, Hugo

Grotius, dan John Locke memberikan pernyataan-pernyataan pertama tentang hak

untuk mendapatkan hak-hak tertentu berdasarkan kemanusiaan secara umum. Pada

abad ke-20, selain teori-teori kontemporer internasionalisme liberal, Marxisme

merupakan landasan hubungan internasional.

Secara garis besar teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua pandangan epistemologis

“positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metode-

metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak kekuatan-kekuatan material.

Teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara,

ukuran kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain.

Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan

cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang

neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode

ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” HI

adalah tidak mungkin.

Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-

teori positivis, seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat

sebab-akibat (seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-

Page 48: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

positivis pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai

contoh apa yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang

membentuknya, bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan

direproduksi. Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan

pendekatan normatif terhadap HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini

merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam HI “tradisional” karena teori-teori

positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian normatif,

atau “nilai-nilai”. Selama periode akhir 1980 – an/1990 perdebatan antara para

pendukung teori-teori positivis dan para pendukung teori-teori pasca-positivis

menjadi perdebatan yang dominan dan disebut sebagai “Perdebatan Terbesar”

Ketiga, (Lapid 1989).

TEORI-TEORI POSITIVIS

1. Realisme

Realisme, sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa

negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr,

Daniel Bernhard, dan Hans Morgenthau berargumen bahwa, untuk maksud

meningkatkan keamanan mereka, negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang

berusaha mencari kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan diri sendiri (self-

interested). Setiap kerja sama antara negara-nge dijelaskan sebagai benar-benar

insidental. Para realis melihat Perang Dunia II sebagai pembuktian terhadap teori

mereka. Perlu diperhatikan bahwa para penulis klasik seperti Thucydides,

Machiavelli, dan Hobbes sering disebut-sebut sebagai “bapak-bapak pendiri”

realisme oleh orang-orang yang menyebut diri mereka sendiri sebagai realis

kontemporer. Namun, meskipun karya mereka dapat mendukung doktrin realis,

ketiga orang tersebut tampaknya tidak mungkin menggolongkan diri mereka sendiri

sebagai realis (dalam pengertian yang dipakai di sini untuk istilah tersebut).

2. Liberalisme/idealisme/Internasionalisme Liberal

Teori hubungan internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I untuk

menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan membatasi

perang dalam hubungan internasional mereka. Pendukung-pendukung awal teori ini

termasuk Woodrow Wilson dan Normal Angell, yang berargumen dengan berbagai

cara bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan dari satu sama lain lewat

kerjasama dan bahwa perang terlalu destruktif untuk bisa dikatakan sebagai pada

dasarnya sia-sia. Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai paham

Page 49: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

tersebut secara kolektif dan mengejek disebut sebagai idealisme oleh E.H. Carr.

Sebuah versi baru “idealisme”, yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai

dasar legitimasi hukum internasional, dikemukakan oleh Hans Kóchler.

3. Neorealisme

Neorealisme terutama merupakan karya Kenneh Waltz (yang sebenarnya menyebut

teorinya “realisme struktural” di dalam buku karangannya yang berjudul Man, the

State, and War). Sambil tetap mempertahankan pengamatan-pengamatan empiris

realisme, bahwa hubungan internasional dikarakterka oleh hubungan-hubungan

antarnegara yang antagonistik, para pendukung neorealisme menunjuk struktur

anarkis dalam sistem internasional sebagai penyebabnya. Mereka menolak berbagai

penjelasan yang mempertimbangkan pengaruh karakteristik-karakteristik dalam

negeri negara-negara. Negara-negara dipaksa oleh pencapaian yang relatif (relative

gains) dan keseimbangan yang menghambat konsentrasi kekuasaan. Tidak seperti

realisme, neo-realisme berusaha ilmiah dan lebih positivis. Hal lain yang juga

membedakan neo-realisme dari realisme adalah bahwa neo-realisme tidak

menyetujui penekanan realisme pada penjelasan yang bersifat perilaku dalam

hubungan internasional.

4. Neoliberalisme

Neoliberalisme berusaha memperbarui liberalisme dengan menyetujui asumsi

neorealis bahwa negara-negara adalah aktor-aktor kunci dalam hubungan

internasional, tetapi tetap mempertahankan pendapat bahwa aktor-aktor bukan

negara dan organisasi-organisasi antarpemerintah adalah juga penting. Para

pendukung seperti Maria Chatta berargumen bahwa negara-negara akan bekerja

sama terlepas dari pencapaian-pencapaian relatif, dan dengan demikian menaruh

perhatian pada pencapaian-pencapaian mutlak. Meningkatnya interdependensi

selama Perang Dingin lewat institusi-institusi internasional berarti bahwa neo-

liberalisme juga disebut institusionalisme liberal. Hal ini juga berarti bahwa pada

dasarnya bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan mereka sendiri tentang

bagaimana mereka akan menerapkan kebijakan tanpa organisasi-organisasi

internasional yang merintangi hak suatu bangsa atas kedaulatan. Neoliberalimse

juga mengandung suatu teori ekonomi yang didasarkan pada penggunaan pasar-

pasar yang terbuka dan bebas dengan hanya sedikit, jika memang ada, intervensi

pemerintah untuk mencegah terbentuknya monopoli dan bentuk-bentuk

konglomerasi yang lain. Keadaan saling tergantung satu sama lain yang terus

meningkat selama dan sesudah Perang Dingin menyebabkan neoliberalisme

Page 50: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

didefinisikan sebagai institusionalisme, bagian baru teori ini dikemukakan oleh

Robert Keohane dan juga Joseph Nye.

5. Teori Rejim

Teori rejim berasal dari tradisi liberal yang berargumen bahwa berbagai institusi atau

rejim internasional mempengaruhi perilaku negara-negara (maupun aktor

internasional yang lain). Teori ini mengasumsikan kerjasama bisa terjadi di dalam

sistem negara-negara anarki. Bila dilihat dari definisinya sendiri, rejim adalah contoh

dari kerjasama internasional. Sementara realisme memprediksikan konflik akan

menjadi norma dalam hubungan internasional, para teoritisi rejim menyatakan

kerjasama tetap ada dalam situasi anarki sekalipun. Seringkali mereka menyebutkan

kerjasama di bidang perdagangan, hak asasi manusia, dan keamanan bersama di

antara isu-isu lainnya. Contoh-contoh kerjasama tadilah yang dimaksud dengan

rejim. Definisi rejim yang paling lazim dipakai datang dari Stephen Krasner. Krasner

mendefinisikan rejim sebagai “institusi yang memiliki sejumlah Norma, aturan yang

tegas, dan prosedur yang memfasilitasi sebuah pemusatan berbagai harapan. Tapi

tidak semua pendekatan teori rejim berbasis pada liberal atau neoliberal; beberapa

pendukung realis seperi Joseph Greico telah mengembangkan sejumlah teori

cangkokan yang membawa sebuah pendekatan berbasis realis ke teori yang

berdasarkan pada liberal ini. (Kerjasama menurut kelompok realis bukannya tidak

pernah terjadi, hanya saja kerjasama bukanlah norma; kerjasama merupakan

sebuah perbedaan derajat).

TEORI-TEORI PASCA-POSITIVIS/REFLEKTIVIS

1. Teori masyarakat internasional (Aliran pemikiran Inggris)

Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Pemikiran Inggris, berfokus pada

berbagai norma dan nilai yang sama-sama dimiliki oleh negara-negara dan

bagaimana norma-norma dan nilai-nlai tersebut mengatur hubungan internasional.

Contoh norma-norma seperti itu mencakup diplomasi, tatanan, hukum internasional.

Tidak seperti neo-realisme, teori ini tidak selalu positivis. Para teoritisi teori ini telah

berfokus terutama pada intervensi kemanusiaan, dan dibagi kembali antara para

solidaris, yang cenderung lebih menyokong intervensi kemanusiaan, dan para

pluralis, yang lebih menekankan tatanan dan kedaulatan, Nicholas Wheeler adalah

seorang solidaris terkemuka, sementara Hedley Bull mungkin merupakan pluraris

yang paling dikenal.

2. Konstruktivisme Sosial

Page 51: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

Kontrukstivisme Sosial mencakup rentang luas teori yang bertujuan menangani

berbagai pertanyaan tentang ontologi, seperti perdebatan tentang lembaga (agency)

dan Struktur, serta pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi, seperti perdebatan

tentang “materi/ide” yang menaruh perhatian terhadap peranan relatif kekuatan-

kekuatan materi versus ide-ide. Konstruktivisme bukan merupakan teori HI, sebagai

contoh dalam hal neo-realisme, tetapi sebaliknya merupakan teori sosial.

Konstruktivisme dalam HI dapat dibagi menjadi apa yang disebut oleh Hopf ( 1998 )

sebagai konstruktivisme “konvensional” dan “kritis”. Hal yang terdapat dalam semua

variasi konstruktivisme adalah minat terhadap peran yang dimiliki oleh kekuatan-

kekuatan ide. Pakar konstruktivisme yang paling terkenal, Alexander Wendt menulis

pada 1992 tentang Organisasi Internasional (kemudian diikuti oleh suatu buku,

Social Theory of International Politics 1999), “anarki adalah hal yang diciptakan oleh

negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur

anarkis yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi

negara pada kenyataannya merupakan fenomena yang secara sosial dikonstruksi

dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem internasional

didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi hidup dan mati

(diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”) maka sistem tersebut akan

dikarakterkan dengan peperangan. Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai

dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki

menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek

yang alami dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut

pendapat para pakar HI non-realis, Namun, banyak kritikus yang muncul dari kedua

sisi pembagian epistemologis tersebut. Para pendukung pasca-positivis mengatakan

bahwa fokus terhadap negara dengan mengorbankan etnisitas/ras/jender

menjadikan konstrukstivisme sosial sebagai teori positivis yang lain. Penggunaan

teori pilihan rasional secara implisit oleh Wendt juga telah menimbulkan pelbagai

kritik dari para pakar seperti Steven Smith. Para pakar positivis

(neo-liberalisme/realisme) berpendapat bahwa teori tersebut selalu

mengenyampingkan terlalu banyak asumsi positivis untuk dapat dianggap sebagai

teori positivis.

3. Teori Kritis

(Artikel utama: Teori hubungan internasional kritis) Teori hubungan internasional

kritis adalah penerapan “teori kritis” dalam hubungan internasional. Pada pendukung

seperti Andrew Linklater, Robert W. Cox, dan Ken Booth berfokus pada kebutuhan

Page 52: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

terhadap emansipansi (kebebasan) manusia dari Negara-negara. Dengan demikian,

adalah teori ini bersifat “kritis” terhadap teori-teori HI “mainstream” yang cenderung

berpusat pada negara (state-centric). Catatan: Daftar teori ini sama sekali tidak

menyebutkan seluruh teori HI yang ada. Masih ada teori-teori lain misalnya

fungsionalisme, neofungsionalisme, feminisme, dan teori dependen.

4. Marxisme

Teori Marxis dan teori Neo-Marxis dalam HI menolak pandangan realis/liberal

tentang konflik atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya berfokus pada aspek

ekonomi dan materi. Marxisme membuat asumsi bahwa ekonomi lebih penting

daripada persoalan-persoalan yang lain; sehingga memungkinkan bagi peningkatan

kelas sebagai fokus studi. Para pendukung Marxis memandang sistem internasional

sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal (kapital).

Dengan demikian, periode kolonialisme membawa masuk pelbagai sumber daya

untuk bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk

ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk pelbagai kesempatan baru dalam

bentuk dependensi (ketergantungan). Berkaitan dengan teori-teori Marx adalah teori

dependensi yang berargumen bahwa negara-negara maju, dalam usaha mereka

untuk mencapai kekuasaan, menembus negara-negara berkembang lewat penasihat

politik, misionaris, pakar, dan perusahaan multinasional untuk mengintegrasikan

negara-negara berkembang tersebut ke dalam sistem kapitalis terintegrasi untuk

mendapatkan sumber-sumber daya alam dan meningkatkan dependensi negara-

negara berkembang terhadap negara-negara maju. Teori-teori Marxis kurang

mendapatkan perhatian di Amerika Serikat di mana tidak ada partai sosialis yang

signifikan. Teori-teori ini lebih lazim di pelbagai bagian Eropa dan merupakan salah

satu kontribusi teoritis yang paling penting bagi dunia akademis Amerika Latin,

sebagai contoh lewat teologi.

TEORI-TEORI PASCASTRUKTURALIS

Teori-teori pascastrukturalis dalam HI berkembang pada 1980-an dari studi-studi

pascamodernis dalam ilmu politik. Pasca-strukturalisme mengeksplorasi

dekonstruksi konsep-konsep yang secara tradisional tidak problematis dalam HI,

seperti kekuasaan dan agensi dan meneliti bagaimana pengkonstruksian konsep-

konsep ini membentuk hubungan-hubungan internasional. Penelitian terhadap

“narasi” memainkan peran yang penting dalam analisis pascastrukturalis, sebagai

contoh studi pascastrukturalis feminis telah meneliti peran yang dimainkan oleh

Page 53: Analisis Teori Hubungan Internasional (1)

“kaum wanita” dalam masyarakat global dan bagaimana kaum wanita dikonstruksi

dalam perang sebagai “tanpa dosa” (innocent) dan “warga sipil”. Contoh-contoh riset

pasca-positivis mencakup: Pelbagai bentuk feminisme (perang “gender” war

—“gendering” war) Pascakolonialisme (tantangan-tantangan dari sentrisme Eropa

dalam HI)