analisis puisi jilid 2
DESCRIPTION
Analisis Puisi Bahasa dan Sastra IndonesiaTRANSCRIPT
ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI
“KUSIMPAN KAU DALAM PUISI” KARYA AHMAD SAHIDE
A. Pengantar
Makna merupakan wilayah isi sebuah puisi. Makna tersebut pada
umumnya berkaitan dengan pengalaman dan permasalahan yang dialami
dalam kehidupan manusia. Ada yang berhubungan dengan persoalan cinta
asmara, cinta sufistis, kemiskinan, pemujaan terhadap tanah air maupun
tokoh-tokoh tertentu. (Wiyatmi, 2009:73)
Ahmad Sahide juga demikian, tokoh penyair muda alumni UMY ini
juga mengangkat persoalan yang hampir sama. Namun, kebanyakan karyanya
dalam antologinya bertemakan tentang cinta asmara yang disajikan dengan
kentalnya.
B. Pembahasan
Ahmad Sahide. Lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Seorang
alumni Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta dan saat ini kembali menjadi mahasiswa Kajian Timur Tengah,
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Tidak hanya antologi yang berjudul
“Kusimpan Kau dalam Puisi” ini saja, Ahmad Sahide juga menggarap
beberapa buku antara lain berjudul “HMI: Keabadian dan Inovasi Gerakan”,
kemudian “Kebebasan dan Moralitas”, dan sebuah novel yang ia beri judul
“Panggil Ia Gie”. Aktivitasnya saat ini adalah sebagai pegiat di Komunitas
Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta.
Ahmad Sahide adalah salah satu penyair muda dari sekian penyair
muda di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, khususnya. Dalam
bukunya kali ini Ahmad Sahide mengangkat tema keagamaan dan cinta kasih
yang terbungkus rapi dalam bait-pait puisi yang ia torehkan di dalamnya.
Seperti puisi berikut ini:
Istana Cinta
Kepada jiwa yang kuberi kebebasan
Berkelana menyeberangi lautan
1
Terbang tinggi ke angkasa
Menyapa penjaga sudut-sudut bumi
Mencari dan menemukan istana
Kedamaian cinta
Menyatu dengan sang ratu jiwa
Dalam hidup
Yogyakarta, 8 Maret 2011
Dalam puisi tersebut sangat kental akan aroma kisah cintanya. Dengan
menggunakan sudut pandang orang pertama, Ahmad Sahide melukiskan
sosok tokoh yang berkelana dalam dunia kisah cinta dengan tujuan mencari
tempat yang tepat untuk tokoh tersebut bersandar dan berharap itulah jodoh
yang telah digariskan untuknya. Perjalanan tokoh tersebut dapat diibaratkan
dengan berkelana menyeberangi lautan, mencari dan menemukan istana.
Puisi berikutnya adalah:
Goresan Pena
Kepadamu yang merasakan
Kehadiranku dalam ketiadaan
Kuantarkan kepergianmu dengan
Goresan penaku
Begitulah aku mencintaimu
Cinta yang kekal abadi
Mengabadi bersama keabadian
Goresan penaku
Yogyakarta, 13 Maret 2011
Dalam bait puisi di atas masih dengan suasana cinta kasih yang
diangkat oleh Ahmad Sahide. Puisi tersebut mengisahkan tentang tokoh yang
memiliki cara tersendiri mencintai kekasihnya yang dapat diibaratkan dengan
2
goresan pena sebagai pengatar kepergiannya. Namun, dalam puisi tersebut
juga mengisahkan bahwa tokoh merelakan kekasihnya pergi dengan alasan
tertentu. Sepertinya dalam puisi ini ditaburi bumbu kisah-kisah tentang Siti
Nurbaya, karena sepertinya tokoh terpaksa melepaskan kekasihnya tersebut.
Dan begitulah cara tokoh mencintai kekasihnya dengan maksud tidak ingin
melihat kekasihnya bermuram durja.
Puisi selanjutnya adalah:
Kehampaan
Kicauan burung tak lagi menghibur diriku
Cahaya bintang-bintang tak lagi menerangi jiwaku
Tiupan angin malam tak lagi menyejukkan qalbuku
Petuah-petuah tak lagi memberiku kekuatan
Adakah yang lebih hening dari kesendirian?
Jiwaku sedang berkelana ke alam kehampaan
Melangkah jauh menuju ketiadaan
Membawa remuk-remuk kegoncangan jiwa
Mencari sesuatu yang tiada
Mengharapkan kemustahilan
Masihkah kau di situ Tuhan?
Dengan setangkai mawar tanda Kau mencintaiku
Jangan kau tanamkan cinta dalam jiwaku
Bila ia akan menuntunku ke alam kehampaan
Jangan Kau beri aku ruang untuk berharap
Jika Engkau tidak mengabulkannya
Jangan bawa aku ke dalam mimpi-mimpi indah
Bila ia tidak akan mewujud nyata
Janganlan beri aku cinta selain cinta kepada-Mu
Jika itu akan menyiksaku
3
TUHAN!
Kepada-Mulah aku mengadu
Engkaulah tempat bersandar
Berilah aku cinta yang dapat menenangkan, menyejukkan jiwaku
Menentramkan hatiku, menjernihkan pikiranku
Menemaniku melangkah kepada kepastian
Yogyakarta, 25 Januari 2011
Bait puisi di atas adalah satu dari beberapa judul bertema keagamaan
atau ketuhanan di dalam bukunya tersebut. Dalam bait tersebut nampak
bahwa Ahmad Sahide mengisahkan tentang seorang tokoh yang berdoa atau
meminta petunjuk kepada Tuhannya untuk urusan dunia fana yang terlihat
dalam bait ketiga puisi tersebut. Dalam puisi tersebut tokoh digambarkan oleh
Ahmad Sahide dengan watak seorang yang taat pada agama dan ikhlas yang
dapat dilihat dalam bait terakhir puisi tersebut.
Ketiga puisi di atas adalah beberapa judul dari sekian banyak yang ada
di buku antologinya yang berjudul “Kusimpan Kau dalam Puisi”. Dalam
bukunya juga, sebenarnya ada satu puisi yang Ahmad Sahide tujukan kepada
temannya yang telah meninggal dunia pada 6 April 2011 silam. Seperti
“Sobat, dengan Puisi Aku Mengabadikanmu”, “Salam untuk Bunga yang
Terbaring”, “Selamat Jalan Sahabat”, “Kau yang Jauh Di Sana”, “Jalan dan
Saksi”, serta “Singgasana Terakhir”.
4
ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI
“LUKA SEBUAH NEGERI” KARYA M. JUNUS MELALATOA
A. Pengantar
Makna sebuah puisi, pada umumnya baru dapat dipahami setelah
seorang pembaca membaca, memahami arti tiap kata dan kiasan yang dipakai
dalam puisi, juga memperhatikan unsur-unsur puisi lain yang mendukung
makna. (Wiyatmi, 2009:73)
Sama halnya dengan antologi puisi etnografi milik M. Junus
Malalatoe ini, beliau membungkus kata demi katanya dengan manis. Beliau
mengangkat tema tentang kekhasan dan keragaman di setiap daerah dan suku
bangsa di nusantara ini.
B. Pembahasan
Muhammad Junus Melalatoe, laki-laki kelahiran Takengon 26 Juli
1932 ini meraih gelar doctor antropologi dari Universitas Indonesia pada
tahun 1983. Di Universitas Indonesia beliau mengabdi hampir selama 47
tahun. Namun, pada tanggal 13 Juni 2006 dunia antropologi di Indonesia
mendung. Karena salah satu ilmuwan terbaik mereka telah kembali kepada
Sang Khalik tepat diusia 74 tahun. Ketika itu beliau masih aktif mengajar di
Program Diploma III Pariwisata, Program Sarjana dan Pascasarjana
Antropologi, Departemen Antropologi FISIP UI hingga akhir tahun 2005.
Berikut beberapa puisi karya beliau:
Bocah-bocah Mahakam
Kalian pernah kelaparan?
Matanya bersinar
Mereka: menggeleng kepala
Kalian pernah bertanya
Makna sebuah kelaparan?
Matahari bersinar
5
Mereka: mengangguk
Kalian tahu
Masih penuhkah lumbung
Di seberang rumah panjang itu
Matanya menatap ladang
Mereka: menganga
Kalian berjalan ke ladang
Pulang bawa kelelahan
Mereka: tersenyum
Mereka menggeleng ketika
Harus mengangguk
Mereka menganga
Lalu tersenyum
Salah satu puisi beliau di atas mengisahkan tentang kehidupan di
sekitar daerah Mahakam. Mengisahkan tentang kehidupan penduduk di sana
melalui pengibaratan pertanyaan yang ada di bait puisinya. Sebenarnya dalam
puisi tersebut, beliau menggambarkan seberapa makmurnya penduduk itu
yang serba kekurangan ditutupinya dengan ketercukupan. Mengingat bahwa
sumber penghidupan mereka kurang mencukupi dan hanya senyum saja yang
mereka keluarkan untuk menghibur diri mereka atas kerja keras mereka
membanting tulang.
Puisi berikutnya adalah:
Ibu Iren
Apa yang kau pikirkan
Ketika menyisil kacang tanah
Yang kau panen dari lading
6
Apa yang kau pikirkan
Ketika suami menugal
Menjaga burung, babi hutan
Yang menggerayangi ladang
Apa yang kau impikan
Ketika anakmu yang lucu
Merangkak-rangkak di ruang
Amin kecil yang kecil rumah panjang
Apa yang kau impikan
Ketika burung berkicau di kejauhan
Yang kemudian menclok di bubungan
Rumahmu yang kekar
Apa yang kau impikan
Ketika orang datang dari jauh
Dengan salamnya yang takzim
Bu Iren penuh adab
Merentangkan jawaban
Lalu diakhirinya dengan senyum
Masih berkutat dengan kekhasan dan kebudayaan daerah. Dalam puisi
di atas, beliau mengisahkan tentang sosok ibu yang bersahaja dan sosok ibu
yang santun murah senyum yang digambarkan lewat bait terakhirnya. Sosok
ibu yang memiliki nafas kesabaran yang hebat serta sosok ibu yang begitu
kental dengan adat istiadat daerahnya yang terlihat pada bait pertama sampai
kelima.
7
Karya beliau selanjutnya adalah:
Cipayung Petang
Buat: Sahabat Sdd
Mana lebih bahagia
Memandang petani
Dari balik kaca
Atau berkaca pada petani
Tentang diri kita
Cipayung, 1987
Pada puisi tersebut, M. Junus Melalatoe mengisahkan tentang
pandangan orang lain terhadap diri sendiri. Beliau mengibaratkan tentang
kehidupan petani. Dengan cara kita belajar pada kehidupan yang lain atau
kehidupan lain yang akan mengkritik kita.
Ketiga puisi di atas adalah beberapa dari sekian puisi yang termuat
dalam buku antologi karya M. Junus Melalatoe yang berjudul “Luka Sebuah
Negeri” yang mengangkat tema kekhasan dan kebudayaan yang tersebar di
tanah air tercinta ini. Sepeninggalnya beliau, hanya kata-kata beliaulah yang
abadi. Seperti puisi-puisi yang beliau torehkan dalam buku ini.
8
ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI
“PATAH” KARYA RAHMAT JABARIL
A. Pengantar
Citraan (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi
yang ditimbulkan melalui kata-kata (Pradopo, 1987). Citraan tersebut
meliputi beberapa bagian sesuai dengan indra yang dimiliki manusia, seperti
citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan rabaan, citraan pencecapan,
citraan penciuman, dan citraan gerak. (Wiyatmi, 2009:68)
Menurut Clive Bell, getaran puisi dalam hal ini keindahan puisi hanya
dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya mempunyai pengalaman
yang bisa mengenali wujud bermaknna dalam satu karya seni tertentu dengan
getaran/rangsangan keindahan. (Rahmat, 2008)
B. Pembahasan
“PATAH”, sebuah judul antologi puisi karya Rahmat Jabaril. Sosok
penyair kelahiran Bandung tepatnya 17 Agustus 1968 silam. Sosok yang
berkonsep kesenian, mengkaji ulang kembali pada setiap persoalan baik
menyangkut politik, sosial, ekonomi, budaya, agama,maupun pada kesenian
itu sendiri. Sosok penyair yang juga aktif dalam aktivitas kesenian dari tahun
1985 sampai tahun 2007 serta seorang yang berpengalaman dalam
berorganisasi yang telah berhasil mendirikan beberapa komunitas sejak 1985
sampai 2005.
Di dalam buku tersebut, Rahmat Jabaril mengusung kisah yang tak
luput dari kehidupan manusia seperti perjuangan, cinta kasih, dan lain
sebagainya. Seperti puisinya berikut ini:
Pagi yang Sibuk
Orang-orang sibuk
Memecah Jalan Supadio
Jalan Ciroyom
Memikul beban
9
Mendengus resah
Dikejar ambisi
Dan waktu menyempit
Suara pabrik menderu
Membangunkan hati yang terkubur
tergesa!
Memijakkan kaki, diburu waktu
Dikejar sengat mentari
Makin cepat diburu waktu
Ribuan kaki berpijak dengan sibuk
Mengangkangi tanah leluhurnya
Menerobos gua ketergantungan
Menghembus nafas
Di tahi industry
10 Juli 1988
Dalam puisi tersebut Rahmat Jabaril mengisahkan tentang kehidupan
pagi dimana orang-orang mulai berbondong-bondong beraktivitas dengan
membawa tanggung jawab masing-masing. Melewati gua ketergantungan,
orang-orang yang dimaksud sedang memenuhi jalan-jalan protocol yang
dipenuhi gedung-gedung pencuci uang dimana mereka menyelesaikan
tanggung jawab mereka.
Puisi berikutnya adalah:
Keyakinanku
Aku tidak punya cukup waktu
Untuk bersedu sedan itu! Sebab
Di tanganku penuh batu, pada
Keyakinan semati tugu, aku
10
Pelempar batu di rumah-rumah
Kaca para jenderal itu! Sebab
Mereka pelanggar pertama
Kesepakatan kita
7 Maret 1998
Dalam puisi di atas mengisahkan tentang kekecewaan mendalam yang
dialami tokoh. Dengan sudut pandang orang pertama, Rahmat
menggambarkan kekecewaan yang begitu besar. janji yang diingkari
kemudian murka menuntut kembali atas janji-janji yang telah terpatri
sebelumnya yang juga diibaratkan dalam kalimat akulah pelempar batu di
rumah-rumah kaca para jenderal itu!.
Jika dibandingkan dengan keadaan zaman sekarang, tokoh yang
berada dalam puisi tersebut sedang mendemo para pembuat janji. Menagih
segala omongan yang telah diberikan sebagai janji. Tokoh tidak
menginginkan janji itu hanya sebuah wacana saja, melainkan bukti yang
membuat kehidupan mereka sejahtera dan merdeka. Mereka pelanggar
pertama kesepakatan kita, merupakan kalimat pembuktinya.
Kemudian, puisi selanjutnya berjudul:
Cermin
Lihat!
Cermin ini
Berwajah lagi
Mukanya
Penuh
Peluru dan batu
2005
11
Ketika tokoh mulai geram sebab kesedihan menyelimuti
kehidupannya. Sesak di dada mulai meledak seperti yang dilukiskan dalam
kisah puisi di atas. Puisi tersebut mengisahkan tentang amarah seorang tokoh
yang menginginkan pandangan tentang apa yang telah terjadi dengan bukti
tergeletaknya mayat-mayat yang mati akibat puluru dan juga batu yang
menghujaninya. Seperti pahlawan yang ingin memerdekakan umatnya,
namun gugur dalam medan pertempuran.
Mengingat tema yang diusungoleh Rahmat Jabaril, ketiga puisi di atas
adalah perwakilan puisi yang diambil dari sekian banyak puisi yang ada di
dalam buku antologi puisi yang berjudul “Patah”. Dimana dalam buku ini
mengisahkan tentang perjuangan, cinta kasih, kepedulian, dan sebagainya.
Seperti halnya manusia, buku ini bisa merasakan asam manis kehidupan
dunia manusia yang mana goresan pena yang ada dalambuku ini adalah
curahan unek-unek penyair.
12
ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI
“PERCAKAPAN LILIN” KARYA RIKI DHAMPARAN PUTRA
A. Pengantar
Penyair adalah orang yang berkesadaran bahwa anugerah dan hikmah
kehidupannya bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain
juga. Kesadaran personalnya juga berangkat dari penghayatan sosial karena
penyair selalu melakukan apa yang disebut transpersonalisasi atau
transubjektivikasi kehidupan. (Sayuti, 2002:8)
“Percakapan Lilin”, sebuah judul buku antologi puisi terpilih karya
Riki Dhamparan Putra. Melahirkan karya-karya yang nilai estetisnya mampu
mengundang banyak pembaca. Tema yang diangkatnya pun tidaklah begitu
jauh dari kehidupan sehari-hari, kebudayaan, dan kekhasan suatu daerah.
Seorang penyair yang menulis tanpa “banyak bagai” serta seorang penyair
pada dasarnya tidak ingin muluk-muluk dicatat sebagai “sastrawan” atau
“penyair” besar.
B. Pembahasan
Riki Dhamparan Putra, penyair berdarah penduduk Sumatra ini lahir 1
Juli 1975 di sebuah dusun di kaki gunung Talamau, Sumatra Barat. Riki
mulai menulis kreatif ketika masih duduk di bangku SMA pada tahun 1991.
Karya-karyanya seperti cerpen dan puisi kerap dimuat di beberapa media
lokal. Sosok Riki ketika SMA pernah diskors sekolah karena dituduh sebagai
pembangkang kesenian dan sejak saat itu Riki memutuskan untuk
meninggalkan sekolah. Kemudian pada tahun 1994, dia merantau ke Bali.
Dimana di sanalah Riki merasa dilahirkan kembali dan di Bali pula adalah
titik awal kekayaan pengalaman pengetahuan yang luar biasa Riki dapat.
Tidak hanya sebagai penulis saja, Riki Dhamparan Putra adalah sosok pendiri
beberapa komunitas dan juga aktivis pendukung beberapa komunitas lain.
13
Berikut beberapa puisi karya Riki Dhamparan Putra:
Gadis Buruh di Kintamani
Luh Sukerti
Atau siapapun namamu
Kenalkan aku pada air dan tanah
Pada musim yang mengirim jeruk
Dan segarnya sayur mayur
Yang selalu kau pikul
Ketika matahari jatuh
Di atas dadamu subur
Karena aku sudah tak memilikinya
lagi
Semenjak segala yang kucintai
tenggelam Saat
di dasar gerimis
aku mencoba mengayuh jam
Bawalah aku pada siang
di tanah lapang
pada kebun-kebun yang luas
kala di situ tanganmu harum
menebar pupuk
Sehingga mataku fana
Dan kulitku mulai meragu
Pada cahaya
Mungkin engkaulah cahaya
Mungkin kaulah yang membuat pondok-
pondok
menjadi persinggahan yang kekal
14
Dimana kita harus bangun
Untuk berangkat bersama hari yang
penuh daun
penuh daun
Maka kenalkan aku padanya
Pada air dan tanah ini
Pada bisu pegunungan
Dimana kepundan sajakku
abadi
2001
Dalam puisi di atas, sosok Riki mengisahkan tentang aktivitas yang
dilakukan oleh perempuan-perempuan di Bali terutama tokoh yang sedang
dikisahkan di atas. Lewat puisi tersebut penulis ingin belajar tentang
memaknai dan menikmati hidup setelah penulis merasa sesuatu yang berharga
hilang seperti yang diibaratkan dengan maka kenalkan aku padanya, pada
air, pada bisu pegunungan, dimana kepundan sajakku abadi. Penulis
menganggap bahwa tokoh adalah pencerah dalam kehidupannya, sebagai
pandangan hidup bagaimana manis pahitnya kehidupan.
Puisi selanjutnya adalah:
Orang Pulang
Seperti ikan
Aku pulang membawa tulang dan insang
Hanya tulang dan insang.
Dengan sepasang mata es yang kehausan
Ambillah wahai Ibuku
Inilah yang paling indah yang bisa kubawa
untukmu
Sebab ikan-ikan adalah binatang ajaib
15
ketika semua cermin pecah
oleh mereka yang pergi mengadu nasib
2000
Dalam puisi tersebut, penulis masih mengangkat tema tentang
kehidupan sehari-hari. Dimana penulis mengibaratkan seekor ikan adalah
seorang anak yang rindu akan tanah kelahiran. Seperti yang dilukiskan dalam
puisi di atas, penulis ingin mengatakan bahwa penulis merindukan tanah
kelahiran yang penulis cintai. Namun, posisi tokoh dalam puisi di atas
dikondisikan sebagai sosok yang biasa-biasa saja. Sebab ikan adalah
binatang ajaib kalimat ini diibaratkan sebagai seorang perantau yang
mengadu nasib. Dan seperti ikan pula perantau digambarkan, karena ikan
akan kembali ke sarang dimana ikan itu pertama kali menatap dunia. Keluar
sarang berwujud seekor ikan dan pulang tetaplah seekor ikan, tetapi
membawa sebuah kedewasaan dan bekal hidup yang lebih matang.
Karya Riki Dhamparan Putra selanjutnya adalah:
Surat Kepada Ibu
Selalu kutanyakan
Beberapa ngarai lagi mesti kugali
Agak terlerai gelombang ini, Ibunda
Kapal-kapal terus berlayar
Helai tangimu yang hanyut
Membawaku karam
Dalam
Pinta demi pinta
Beribu camar telah kulepas
Jauh dalam sujud
Dalam kabut
Yang menggenang
16
Di teba-teba jalan
Entah berapa lautan lagi
Selamatkan aku, Ibunda
Beribu hilal telah berganti
Aku tak tergambar di dalamnya
1997
Puisi Surat Kepada Ibu menggambar sosok tokoh yang sedang
terhimpit suatu masalah. Kepada sosok ibu, tokoh menceritakan kehidupan
yang sedang dialaminya, lewat do’a yang tokoh panjatkan tersimpan keluh
kesah pula yang juga terbukti dalam bait terakhir dalam puisi di atas. Tokoh
ingin segera terlepas dari keributan yang menyelimutinya yang entah sampai
kapan akan berakhirnya belum terlihat jalan terangnya.
Ketiga puisi karya Riki Dhamparan Putra tersebut mewakili dari
sekian puisi yang diusung dalam buku berjudul Percakapan Lilin. Tidak
hanya tema yang diangkat dalam ketiga puisi di atas saja, melainkan ada
beberapa lagi tema yang diangkat oleh Riki Dhamparan Putra. Seperti agama,
politik, dan cinta kasih berkolaborasi dalam buku yang berjudul Percakapan
Lilin ini.
17
ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI
“ADA WAKTU BUAT KITA” KARYA RINA EKLESIA
A. Pengantar
Pemanfaatan bahasa dalam puisi memang berbeda dengan pemakaian
bahasa pada umumnya. Hal ini secara instingtif disadari atau dirasakan oleh
kebanyakan pembaca, bahkan oleh pembaca tak terpelajar sekalipun. Bahasa
puisi seolah-olah memiliki semacam “tata bahasa” khusus yang terkadang
tampak sangat menyimpang, apalagi jika dilihat dari segi tata bahasa
normatif. Akan tetapi, penyimpangan tersebut dilakukan dengan maksud
pencapaian tujuan estetis. (Sayuti, 2002:23)
Rina Eklesi dalam bukunya, “Bagi saya puisi adalah jiwa, dimana
saat saya menulis puisi-puisi ini, roh saya lebur di dalamnya. Dan puisi-puisi
saya adalah sahabat sejati saya. Yang paling memahami dan menerima saya
apa adanya, tanpa saya harus merubah diri”.
Kebenaran terlihat dengan apa yang dikatakan Rina Eklesi dalam
bukunya tersebut. Puisi adalah sesuatu yang menjadi tempat kita bernaung,
melukiskan segala emosi dalam kehidupan. Seperti buku harian, namun
dengan tata bahasa yang berbeda. Puisi adalah sosok yang paling bersahabat,
mengetahui, dan paling memahami jati diri kita. Karena puisi sebenarnya
adalah diri kita, tetapi dalam rupa yang berbeda.
B. Pembahasan
Ada Waktu Buat Kita, seperti itulah judul buku antologi puisi karya
Rina Eklesi. Rina Eklesi adalah sosok penulis yang telah menamatkan
studynya di University of Toronto dengan gelar Master of Hospitality
Management. Kini Rina Eklesi mengabadikan hidupnya dalam pekerjaannya
sebagai pekerja sosial di sebuah yayasan Gita Eklesia yang didirikannya
tahun 2000.
Panti asuhan ini adalah medianya dalam menyatakan kasih dan rasa
syukurnya kepada Tuhan. Tidak hanya sebagai pekerja sosial di panti
asuhannya saja, Rina adalah seorang konsultan di sebuah hotel tempatnya
18
bekerja juga. Buku miliknya ini adalah sebuah tulisan yang kesekian dari
beberapa tulisannya, seperti: “Selamat Pagi”, Novelet Tahun 1986,
“Gerhana”, Novel Tahun 1999, “Cerita Hati” Kumpulan Puisi, Tahun 2003,
“Perahu Jingga”, Novel Tahun 2009.
Ada Waktu Buat Kita karya Rina Eklesi ini begitu kental dengan kisah
romannya. Kisah cinta kasih dimana-mana, mulai dari asamnya cinta kasih
sampai manisnya cinta kasih berkolaborasi dalam satu bingkai. Beberapa
diantaranya adalah puisi berikut ini:
Dalam Rindu
Kasih
datanglah!
Saat ini aku haus belaimu
Kini aku terbaring
Lihatlah dalam gairah jamahmu
tubuhku bergelora menanti dekapmu
Kasih
datanglah!
Aku lapar akan kecupmu
Pengharapan begitu terasa, tokoh yang menanti kedatangan
kekasihnya seperti permintaannya dalam puisi tersebut kasih datanglah!.
Dimana penulis meletakkan tokoh dalam kondisi sedang terjatuh dan
terselimuti kerinduan yang begitu dalam yang dilukiskan dalam kalimat kini
aku terbaring. Terjatuh karena kerinduan yang begitu mendalam, menguras
habis pikiran.
Puisi selanjutnya:
Di Ujung Senja
19
Di ujung senja ini,
Sekilas hati bergetar,
Manatap apa yang terpapar,
Oh, betapa indah cintamu,
Kau beriku arti bahagia,
Bukan… bukan…,
Bukan bahagia yang semu,
Tapi bahagia sebab kau buat ku bermakna,
Bahagia saat kumampu hayati perih,
Dan bahagiaku saat kurasa indahnya sunyi,
Di ujung senja ini,
Tak henti kubersenandung,
Satu nada yang kau cipta,
Tentang indahnya dicinta…
(terima kasih tulusku kepadamu yang membuatku ada di tempat kini,
dan memberiku sebuah hati…)
Rasa hati berbunga-bunga ketika merasakan cinta hadir dalam
kehidupan. Menemukan pelabuhan hati, tentunya. Kebahagiaan begitu kental
dalam puisi tersebut, tokoh diposisikan sangat menikmati cinta kasihnya.
Saling percaya antara satu sama lain terlihat juga begitu kental. Terlihat
dalam sepenggal kalimat terakhir dalam puisi tersebut.
Serenada lantunan cinta kasih yang terbungkus rapi dengan tata
bahasa yang begitu khas dibuatnya. Tentang indahnya cinta tulus diberikan.
Amazinng…
Karyanya selanjutnya berjudul:
Selamat Jalan
Saat terdiam dalam perenungan
Saat menghitung detik yang pernah berdetak
20
Bahkan saat mimpi mulai kembali dirajut
Dan saat asa mulai ditebar
Dalam setiap doa yang terucap
Engkau menghentak
Menorehkan sejarah baru
Ya, kepergianmu menyadarkan negeri
Bahwa engkau pernah ada
Membuat bangsa penuh warna
Sayang,
Kami baru menghargaimu
Saat semua menjadi kenangan
(selamat jalan pahlawan bangsa: Gus Dur)
Berwujud pujian sekaligus mengisahkan tentang gerak juang. Puisi ini
satu diantara sekian puisi dengan tema yang berbeda. Tema yang diangkat
untuk mengenang salah satu tokoh di negeri ini, Indonesia. Dalam setiap doa
yang terucap penulis mengisahkan tentang sebuah gambaran tentang gerak
juang Gus Dur membuat sebuah kisah baru. Membuat warna baru.
Rina Eklesi penulis karya sastra romance, membungkus kata demi
kata dengan sebuah bingkai indah bertubuh prosa. Lekuk karyanya begitu
indah dirasakan, seperti Di Ujung Senja yang menjebak pembaca Dalam
Rindu dan seolah-olah tidak ingin mengucapkan Selamat Jalan untuknya.
21
ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI
“AKU BUKAN MASA DEPAN” KARYA SHINTA FEBRIANY
A. Pengantar
Bahasa puisi cenderung mengitegrasikan satuan-satuan ekspresi dari
tahapan arti secara mimesis ke tahapan makna secara semiosis. Jadi, makna
merupakan praksis transformasi yang memang dilakukan secara sadar oleh
pembaca. (Sayuti, 2002:348)
Aku Bukan Masa Depan karya Shinta Febriany adalah sebuah buku
antologi puisi yang menjadi sebuah langkah lain dalam dunia sastra Indonesia
yang dibuat oleh penyair perempuan. Langkah yang menjelaskan
berlangsungnya pemaknaan gender antara teks perempuan dengan teks laki-
laki. Dimana kelamin teks ini tidak hanya membawa konsekuensi terhadap
pilihan kata, konsep, dan pesan. Melainkan juga kerja metaforik yang
dilakukan, termasuk pelaksanaan terhadap ruang, waktu, dan gerak.
B. Pembahasan
Shinta Febriany Sjahrir, lahir di Palopo pada 5 Januari 1979.
Dibesarkan di beberapa kota di Sulawesi, seperti Palopo, Soppeng, Toraja,
dan Makasar. Puisi buah tangannya lebih banyak dibacakan untuk anggota
keluarganya sendiri juga teman-teman terdekatnya dengan sebuah lingkungan
kecil yang Shinta kenal.
Hasil karya Shinta pernah dimuat di beberapa buku antologi juga.
Kegiatannya adalah seorang aktivis teater pada tahun 1996 ketika bergabung
dengan komunitas kesenian Sanggar Merah Putih Makasar. Sosok Shinta
juga menjadi salah satu pendiri komunitas bernama Angkatan Muda
Perempuan Indunesia (AMPUNI) yang memperjuangkan penghapusan
kekerasan pada tahun 1999.
22
Berikut adalah hasil karya Shinta Febriany dalam bukunya:
Buatlah Kalimat dari Kata Perpisahan
Apa yang lelaki harapkan setelah sebuah ciuman, cinta?
Sebuah rumah dengan jendela yang menabur daun-
daun gugur di atas tempat tidur.
Sebuah pertanyaan tentang apa yang lelaki dapat ketika bersama
pasangannya. Dalam puisi tersebut mengisahkan sosok perempuan yang
bertanya-tanya tentang sosok lelaki. Perjalanan cinta yang sulit untuk dicerna.
Sebuah makna dimana kekandasan perjalanan cinta diibaratkan dengan daun-
daun yang gugur. Dan kisah kasih antara keduanya diibaratkan dengan sebuah
rumah dengan jendela.
Puisi selanjutnya adalah:
Hujan dalam Kamar
Hujan menerpa jendela kamar. Hujan semakin lama
semakin lebat, seperti padian yang ditabur menjelang
musim panen. Langit amat gelap dan jendela berkabut.
Jendela dari kaca membentuk rambut yang pecah-pecah
menjadi sapu ijuk, tetapi sapu ijuk tak mampu
mengeringkan wajah yang basah. Wajah tempatnya
tumbuh dan berbunga. Tak ada lampu yang menyala di
dalam kamar, tetapi mengapa selalu ada hujan?
Seperti halnya puisi sebelumnya, puisi ini masih bertemakan tentang
kisah kasih yang menyelimuti tokoh. Namun, dalam puisi ini tokoh
dikondisikan sedang menangis yang diibaratkan dengan hujan. Emosi
kejiwaan tokoh juga digambarkan melalui wajah adalah tempat tumbuh dan
berbunga yang dapat diartikan manusia adalah sosok yang berkembang dan
murah senyum. Kemudian juga dikisahkan ketika tokoh merasa seolah-olah
23
sudah tidak menemukan jawaban tentang keadaannya tersebut yang
diibaratkan dengan sebuah pertanyaan tentang hujan yang selalu ada dalam
kamarnya.
Karya Shinta berikutnya berjudul:
Opera Kanak-kanak
Aku selalu menyangka kalau cinta kita layaknya
dongeng masa kanak-kanak, menderas sejenak lantas
mengeras di setiap detak waktu.
Dalam puisinya kali ini, penulis mengibaratkan kisah kasihnya seperti
sebuah opera kanak-kanak. Dimana ketika masih awal merajut kisah mereka
selalu bersama kemanapun mereka melangkah. Namun, ketika mereka telah
merasakan manisnya sebuah kisah kasih, mereka terjatuh merasakan pahitnya
sebuah hubungan yang penulis ibaratkan dengan kalimat menderas sejenak
lantas mengeras di setiap detak waktu. Kalimat tersebut juga dapat diartikan
bahwa keduanya berpisah dan menutup kisah mereka untuk selama-lamanya.
24
ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI
“BERABAD-ABAD SETELAH PEREMPUAN BERSEMBUNYI DALAM
TUBUHKU” KARYA NANOQ DA KANSAS
A. Pengantar
Ciri utama puisi adalah kesatuannya, baik kesatuan semantis maupun
kesatuan formal. Hal ini bisa dipahami karena puisi merupakan hasil dari
intensifikasi dan konsentrasi, baik dilihat dari perspektif ekspresif, objektif,
imitative, maupun konatif. (Sayuti, 2002:350)
Dalam bukunya ini, puisi yang disajikan terlahir dari tempat-tempat
yang tak terduga. Seperti di kebun, di jalanan setapak, juga di sebuah
kampung yang tidak begitu besar. Penulis yang membuat karyanya tanpa
mencamtumkan kapan penulis mulai menulis karyanya, karena penulis selalu
berharap bahwa karyanya selalu berjalan sejalan dengan waktu.
B. Pembahasan
Wayan Udiana adalah nama sebenarnya dari Nanoq da Kansas.
Penulis ini lahir pada Desember 1965 dari sebuah keluarga petani di Dusun
Moding, Candikusuma, Jembrana, Bali. Pada awalnya Nanoq belajar sastra
secara otodidak, namun kemudian berguru kepada Umbu Landu Paranggi.
Karya-karyanya juga pernah dimuat di media-media yang tersebar di
Indonesia.
Nanoq da Kansas juga seorang pendiri sebuah komunitas teater yang
dinamakannya Teater Kene pada tahun 1988. Kemudian mendirikan Bali
Eksperimental Teater (BET). Tidak hanya itu, Nanoq juga seorang aktivis
dalam bidang seni serta sosok yang memprakarsai penerbitan jurna Kertas
Budaya.
25
Berikut puisi-puisinya:
Cahaya Waktu
- kepada ayah
Aku berteduh di gigir isyaratmu
Tapi aku jatuh cinta pada gunung
Yang mengingatkan kemarau pada keheningan
O, air sungai!
Maka seluas misterikah hatimu?
Rinduku hanyut dalam dahaga zaman
Lalu di gelombang kasihmu
Aku terdampar jadi puisi
Aku berteduh di gigir isyaratmu, adalah sebuah pengibaratan tentang
tokoh yang patuh terhadap apa yang orang tuanya katakan. Namun suatu
ketika, tokoh lepas dari kedua orang tuanya yang mengakibatkan sebuah
boomerang bagi kehidupannya. Kerinduan yang dia miliki telah hilang dalam
perjalanannya.
Cinta yang Sederhana
Siapakah yang menyemaikan terang
Ketika kabut demi kabut purba
Dalam hatiku dalam hatimu
Menjadi ladang-ladang harapan
Senantiasa harapan
Siapakah yang mengerjakan cinta
Meniup gumpalan demi gumpalan rindu
Dalam hatiku dalam hatimu
Menjadi musim-musim pelangi
26
Yang mematangkan kita
Dan kepompong itu pun membuka rahasia
Ketika hidup menyerahkan kepercayaannya
Pada kekuatan sayap kupu-kupu
Untuk kesempurnaan cahaya semesta
Lalu bunga-bunga menjadi senyum bumi
Dan aku, bolehkah jadi kupu-kupu?
Bait pertama dalam puisi ini, mengibaratkan seorang tokoh yang
sedang jatuh cinta. Melalui sajak seperti ini, tokoh memberikan sebuah lampu
hijau untuk pasangannya yang kemudian diikuti bait kedua. Dalam bait kedua
ini adalah kelanjutan cerita mereka yang lebih dalam. Dan kepompong itu pun
membuka rahasia, hati manusia diibaratkan sebagai kepompong membuka
rahasia hati tentang perasaannya kepada pasangannya yang kemudian
memberikan kepercayaan kepada pasangannya. Dan tokoh ingin menjadi
sosok kupu-kupu, karena kupu-kupu dalam puisi tersebut disimbolkan
sebagai ungkapan isi hati yang tersimpan di dalam sebuah kotak rahasia
dalam hatinya.
Karya berikutnya adalah:
Di manakah Tempat Anak-anak Bermain
Diperingatkan iklan,
Anak-anak menjadi musuh bagi dunianya
Kesepian pada kelengangan usia merdeka
Mereka disembunyikan para babu di layar televisi
Dibebaskan dari kecup kasih lantai
Bunga-bunga dijauhkan dari jangkauan
Karena jamban Kristal dialiri insektisida
Sementara pada orang tuanya pun mereka tak dapat
27
waktu
untuk sedikit dekap dan kecup
di manakah tempat anak-anak bermain?
Begitu meraba hati, puisi di atas mengisahkan tentang kehidupan
seorang anak yang tidak dapat menikmati masa kecilnya dengan sempurna
seperti terlihat pada bunga-bunga dijauhkan dari jangkauan. Sementara itu,
anak-anak itu juga hampir tidak merasakan bagaimana kehangatan kedua
orang tua mereka. Dan televisi diibaratkan sebagai penjara kehidupan seorang
anak, karena lebih menghipnotis mereka dengan tawaran hiburan yang
bermacam-macam.
28
DAFTAR PUSTAKA
Junus, M. Melalatoe. 2006. Luka Sebuah Negeri. Jakarta: Yayasan Obor
Jabaril, Rahmat. 2008. Patah. Bandung: Ultimus
Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Sahide, Ahmad. 2011. Kusimpan Kau dalam Puisi. Yogyakarta: The Phinisi Pers
Putra, Riki Dhamparan. 2004. Percakapan Lilin. Yogyakarta: AKYPRESS
Eklesia, Rina. 2004. Ada Waktu Buat Kita. Malang: Kedai Buku Sinau
Febriany, Shinta. 2003. Aku Bukan Masa Depan. Yogyakarta: Bentang Budaya
Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media
Da Kansas, Nanoq. 2005. Berabad-abad Setelah Perempuan Bersembunyi dalam
Tubuhku. Bali: PANAKOM
29