analisis pendapat imam malik tentang kedudukan...

101
ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG KEDUDUKAN KHULU SEBAGAI TALAK SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah Oleh: A. Agus Salim Ridwan NIM: 042111153 JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2010

Upload: dangdat

Post on 19-Apr-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG

KEDUDUKAN KHULU SEBAGAI TALAK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh: A. Agus Salim Ridwan

NIM: 042111153

JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH

IAIN WALISONGO SEMARANG 2010

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 5 (lima) eksemplar Kepada Yth Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syari'ah

a.n. Sdr. Agus Salim IAIN Walisongo Di Semarang

Assalamua’alaikum Wr.Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini

saya kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama : A. Agus Salim Ridwan

Nomor Induk : 042111153

Jurusan : AS

Judul Skripsi : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK

TENTANG KEDUDUKAN KHULU

SEBAGAI TALAK

Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera

dimunaqasyahkan

Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Semarang, Juni 2010

iii

iv

M O T T O

فإن طلقها فال تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره )230: البقرة(

Artinya: "Jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain." (QS. al-Baqarah: 230).∗

∗ Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 55. .

v

PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat

dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang

selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang

tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:

o Orang tuaku tersayang (Bapak Solahul Amal dan Ibu Istiqomah) yang

selalu memberi semangat dan motivasi dalam menjalani hidup ini.

o Kakak dan Adikku Tercinta (Mas Muh Hasim beserta istri dan Adik

Amaliah Hasanah) yang kusayangi yang selalu memberi motivasi dalam

menyelesaikan studi.

o Teman-Temanku jurusan AS, angkatan 2004 Fak Syariah yang selalu

bersama-sama dalam meraih cita dan asa.

Penulis

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,

penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak

berisi materi yang telah pernah ditulis oleh

orang lain atau diterbitkan. Demikian juga

skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-

pemikiran orang lain, kecuali informasi yang

terdapat dalam daftar kepustakaan yang

dijadikan bahan rujukan.

Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka

penulis bersedia menerima sanksi berupa

pencabutan gelar menurut peraturan yang

berlaku

Semarang, 01 Juni 2010

A. Agus Salim Ridwan NIM: 042111153

vii

ABSTRAK

Dalam kehidupan rumah tangga tidak selalu harmonis dan tanpa

konflik. Satu ketika bisa saja suami isteri berselisih faham dari persoalan yang kecil sampai pada masalah yang menimbulkan perceraian. Dalam kondisi seperti ini, jika kesalahan fatal datangnya dari pihak suami, maka isteri memiliki hak untuk meminta cerai dari suaminya. Perceraian atas inisiatif isteri dikenal dengan istilah khulu'. Problem yang muncul adalah apakah khulu' itu memiliki akibat sama dengan talak ataukah hanya beraikibat senacam fasakh? Problem ini menimbulkan rangkaian perbedaan pendapat. Sesuai dengan tema skripsi ini yang hendak ditelaah adalah pendapat Imam Malik. Berdasarkan hal itu yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimana pendapat Imam Malik tentang khulu' sebagai talak? Apa yang menjadi alasan hukum Imam Malik tentang khulu' sebagai talak?

Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data Primer, yaitu Kitab al-Muwatta' dan Kitab al-Mudawanah al-Kubra karya Imam Malik. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan metode dokumenter. Sedangkan metode analisisnya adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal yaitu deskriptif analisis. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Dengan demikian penelitian ini hendak berupaya meneliti latar belakang sosial budaya kehidupan Imam Malik dan corak atau karakteristik pemikirannya, kemudian dihubungkan dengan konteks masa kini.

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut Imam Malik bahwa khulu' itu mempunyai kedudukan sebagai talak, sehingga khulu' mempunyai sifat mengurangi jumlah talak yang dimiliki suami dan suami dapat merujuk kembali istrinya selama dalam masa iddah. Imam Abu Hanifah menyamakan khulu' dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa khulu' itu adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Daud dan Ibnu Abbas ra. Alasan Imam Malik yang berpendapat bahwa khulu' sebagai talak didasarkan pada qaul sahabat, yaitu pendapat Abdullah bin Umar. Di samping itu, karena kata-kata khulu' itu hanya dimiliki suami, meskipun atas permintaan istri dengan memberikan iwadh (tebusan). Karena itu, tepat kiranya jika khulu' dianggap sebagai talak dan bukan fasakh. Karena kalau khulu' sebagai fasakh maka fasakh itu merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan dan yang bukan berasal dari kehendak istri. Sedangkan khulu' ini berpangkal pada kehendak istri, oleh karena itu khulu' bukanlah fasakh.

.

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas

taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

ini. Skripsi yang berjudul: “ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG

KEDUDUKAN KHULU SEBAGAI TALAK” ini disusun untuk memenuhi salah

satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat

terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang.

2. Bapak H. Abdul Ghofur, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak H.

Dede Rodin, Lc, M.Ag selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan

pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan

layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,

beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan

5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang

tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para

pembaca pada umumnya. Amin.

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v

HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................. ix

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................... 6

C. Tujuan Penelitian .................................................... 7

D. Telaah Pustaka .................................................... 7

E. Metode Penelitian .................................................... 9

F. Sistematika Penulisan .................................................... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KHULU' DAN TALAK

A. Tentang Khulu' .................................................... 14

1. Pengertian Khulu' .................................................... 14

2. Dasar Hukum Khulu' .................................................... 16

3. Syarat dan Rukun Khulu' ................................................... 18

B. Tentang Talak .................................................... 25

1. Pengertian Talak .................................................... 25

2. Macam-Macam Talak .................................................... 26

3. Syarat dan Rukun Talak 39

x

BAB III : PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG KHULU' SEBAGAI

TALAK

A. Biografi Imam Malik ..................................... 50

1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Imam Malik.. 50

2. Karya-Karyanya ..................................... 56

3. Situasi Politik dan Sosial Keagamaan................................ 56

B. Pendapat Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak............ 60

C. Alasan Hukum Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak... 62

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG KHULU'

SEBAGAI TALAK

A. Analisis Pendapat Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak 71

B. Analisis Alasan Hukum Imam Malik tentang Khulu'

Sebagai Talak ..................................... 81

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................... 85

B. Saran-saran .................................................... 86

C. Penutup .................................................... 86

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Khulu' adalah pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan

diri dari ikatan perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan

sebagai imbalan hak talak yang diberikan kepada laki-laki. Dimaksudkan

untuk mencegah kesewenangan suami dengan hak talaknya, dan menyadarkan

suami bahwa istri pun mempunyai hak sama untuk mengakhiri perkawinan.

Artinya dalam situasi tertentu, istri yang sangat tersiksa akibat ulah suami atau

keadaan suami mempunyai hak menuntut cerai dengan imbalan sesuatu.

Bahkan, khulu' dapat dimintakan istri kepada suaminya akibat telah

hilangnya perasaan cinta dari istri kepada suaminya walaupun suami tidak

melakukan suatu perbuatan yang menyakiti istrinya. Hak yang sama juga

dapat dilakukan suami terhadap istrinya, yaitu manakala suami memang tidak

mempunyai lagi perasaan cinta kepada istrinya, dengan menjatuhkan talak.

Intisari dari terjadinya suatu perikatan perkawinan adalah keridaan serta

kecintaan kedua belah pihak untuk melaksanakan hidup bersama. Oleh karena

itu, kalau seandainya kecintaan itu tidak didapati lagi dalam perkawinan,

keridaan itu pun akan musnah. Akibatnya, persekutuan itu tidak akan lagi

dapat diharapkan kemaslahatannya. Apabila hal itu terjadi, besar kemungkinan

mereka yang terlibat persekutuan itu tidak dapat melaksanakan ketentuan-

2

ketentuan Allah dan mereka akan terseret untuk memasuki wilayah-wilayah

yang diharamkan Allah.1

Alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk bercerai yang dikemukakan

undang-undang, pada akhirnya bermuara pada ketidaksenangan salah satu

pihak karena keadaan atau perlakuan pihak lain. Alasan-alasan yang

dikemukakan undang-undang tersebut bukanlah alasan yang otomatis dapat

menceraikan mereka, tetapi merupakan option bagi yang bersangkutan untuk

memakainya atau tidak. Kalau yang bersangkutan menerima keadaan atau

perlakuan seperti itu dari pasangannya, perkawinan dapat berjalan terus

walaupun keadaannya semrawut, kadang-kadang aman, kadang-kadang

gawat.2

Fuad Said mengemukakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan cara:

talak, khulu'', fasakh, li'an dan ila' .3 Oleh sebab itu menurut Mahmud Yunus

Islam memberikan hak talak kepada suami untuk menceraikan isterinya dan

hak khulu'' kepada isteri untuk menceraikan suaminya dan hak fasakh untuk

suami istri. Dengan demikian maka yang memutuskan perkawinan dan

menyebabkan perceraian antara suami istri, ialah talak, khulu'', fasakh.4 Hal

ini berarti bahwa khulu'' merupakan salah satu bentuk putusnya perkawinan.

Khulu'' adalah mashdar dari khala'a seperti khata'a, artinya

menanggalkan;

1Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 172 2Ibid 3Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 2. 4Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya Agung,

1990, hlm. 110.

3

5 خلع الرجل ثوبه خلعا أزاله عن بدنه ونزعه عنه Artinya: Laki-laki menanggalkan pakaiannya, atau dia melepaskan

pakaiannya dari badannya. Dasar Hukum disyari'atkanya khulu'' ialah firman Allah surat al-

Baqarah ayat 229:

أخذوا مما آتيتموهن شيئا إال أن يخافا أال وال يحل لكم أن تيقيما حدود الله فإن خفتم أال يقيما حدود الله فال جناح عليهما

)229: البقرة(فيما افتدت به Artinya: tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah kamu

berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya." (Q.S. Al-Baqarah: 229).6

Khulu'' berasal dari kata khala'as sauba (خلع الثوب) yang berarti

menanggalkan pakaian. Karena perempuan sebagai pakaian laki-laki, dan laki-

laki juga sebagai pakaian perempuan. Firman Allah SWT:

)187: البقرة(هن لباس لكم وأنتم لباس لهن Artinya: "... mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian

bagi mereka." (Q.S. Al-Baqarah: 187).7

Khulu'' dinamakan juga tebusan, karena istri menebus dirinya dari

suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya. Dengan demikian,

khulu'' menurut istilah syara' adalah perceraian yang diminta oleh istri dari

5Abdurrrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dâr

al-Fikr, 1972, hlm. 299. 6Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:

DEPAG RI, 1978, hlm. 55 7 Ibid., hlm. 45.

4

suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya. Artinya istri

memisahkan dirinya dari suaminya dengan memberikan ganti rugi kepadanya.

Pengertian tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan dalam Ibnu Abbas

r.a.:

حدثنا أزهر بن جميل حدثنا عبدالوهاب الثقفي حدثنا خالد عن أتت النبي عكرمة عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس

لت يا رسول الله ثابت بن قيس ما عليه وسلم فقاصلى الله أعتب عليه في خلق ولا دين ولكني أآره الكفر في الإسلام فقال

عليه وسلم أتردين عليه حديقته قالت نعم رسول الله صلى الله عليه وسلم اقبل الحديقة وطلقها الله صلى الله رسولقال

)نسائرواه ال(تطليقة Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Azhar bin Jamil dari Abdul

Wahhab al Tsaqafi dari Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi SAW. sambil berkata, "Wahai Rasulullah! aku tidak mencela akhlak dan agamanya Tsabit bin Qais, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Nabi SAW., "Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Tsabit suaminya?)" Jawabnya, "Mau" Maka Rasulullah SAW. bersabda, "Terimalah (Sabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali talak." (H.R. An-Nasai).8

Firman Allah dan hadis di atas menjadi dalil disyari'atkannya khulu''

dan sahnya khulu'' antara suami istri

Imam Abu Hanifah menyamakan khulu'' dengan talak dan fasakh

secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa khulu'' itu

adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Daud dan

Ibnu Abbas ra. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa khulu'' itu adalah

8Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i,

hadis No. 1210 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

5

talak. Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu' tidak menggunakan kata-

kata talak, maka suami tidak dapat merujuk istrinya. Sedang apabila khulu'

tersebut menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya.9

Fuqaha yang menganggap khulu' sebagai talak mengemukakan alasan,

bahwa fasakh itu tidak lain merupakan perkara yang menjadikan suami

sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak

berasal dari kehendaknya. Sedang khulu' ini berpangkal pada kehendak. Oleh

karenanya, khulu' itu bukan fasakh. Fuqaha yang tidak menganggap khulu'

sebagai talak mengemukakan alasan bahwa dalam al-Qur'an, mula-mula Allah

Swt. menyebutkan tentang talak:

)229: البقرة( الطالق مرتان Artinya: "Talak yang dapat dirujuki itu dua kali" (QS. al-Baqarah:

229).10 Kemudian Dia menyebutkan tentang tebusan (khulu'), dan selanjutnya

Dia berfirman:

فإن طلقها فال تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره )230: البقرة(

Artinya: "Jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain." (QS. al-Baqarah: 230).11

Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak

halal lagi bagi suami kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu

9Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,

1409 H/1989, hlm. 52. 10Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:

DEPAG RI, 1978, hlm. 55. 11 Ibid.,

6

menjadi talak yang keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu dapat

terjadi dengan suka sama suka karena disamakan dengan fasakh dalam jual

beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri. Fuqaha yang menentang

pendapat ini mengatakan bahwa ayat tersebut memuat kedudukan tebusan

sebagai suatu tindakan yang disamakan dengan talak, bukan tindakan yang

berbeda dengan talak.12

Jadi, silang pendapat ini terjadi disebabkan, apakah adanya imbalan

untuk memutus ikatan perkawinan mi dapat dianggap keluar dari jenis

pemutusan perkawinan karena talak, menjadi jenis pemutusan perkawinan

karena fasakh atau tidak?

Berdasarkan keterangan tersebut mendorong penulis memilih tema ini

dengan judul: Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Kedudukan Khulu'

Sebagai Talak.

B. Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang menjadi

perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat Imam Malik tentang khulu' sebagai talak?

2. Apa yang menjadi alasan hukum Imam Malik tentang khulu' sebagai

talak?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:

12Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 52.

7

1. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang khulu' sebagai talak.

2. Untuk mengetahui alasan hukum Imam Malik tentang khulu' sebagai talak.

D. Telaah Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis, ada beberapa penelitian yang materi

bahasannya hampir sama dengan penelitian ini, namun fokus penelitiannya

belum menyentuh pada persoalan pendapat Imam Malik tentang kedudukan

khulu' sebagai talak. Penelitian yang dimaksud di antaranya:

1. Skripsi yang disusun Ali Zubaidi (NIM: 2101297) dengan judul "Sifat

Harta Pengganti (iwadl) dari Isteri yang melakukan Khulu' (Analisis

Pendapat Imam Malik)'". Pada intinya penyusun skripsi ini

mengungkapkan bahwa Imam Syafi'i dan Abu Hanifah mensyaratkan

bahwa harta pengganti (iwadl) dari Isteri yang melakukan Khulu' harus

diketahui sifat dan wujud harta tersebut. Sedangkan Imam Malik

membolehkan harta yang tidak diketahui wujud dan kadarnya serta harta

yang belum ada, seperti hewan yang lepas atau lari, buah yang belum

layak dipetik/panen, dan hamba yang tidak diketahui sifat-sifatnya.

2. Skripsi yang disusun Muhammad Arifin Subki (NIM: 2198146) dengan

judul: "Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Khulu'' yang

Dijatuhkan dengan Imbalan Barang yang Haram". Dalam kesimpulan

skripsi ini dijelaskan bahwa fuqaha berselisih pendapat tentang khulu''

yang dijatuhkan dengan imbalan barang yang haram, seperti khamar atau

babi, apakah istri harus mengganti atau tidak, setelah mereka sependapat

bahwa talak dapat terjadi.

8

3. Skripsi yang disusun Ahmad Mutohar (NIM: 2101104) dengan judul:

"Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kedudukan Khulu''

sebagai Talak dan Fasakh". Pada intinya penyusun skripsi ini

mengungkapkan bahwa Imam Abu Hanifah menyamakan khulu'' dengan

talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat

bahwa khulu'' adalah fasakh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad

dan Dawud, dan sahabat yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas

r.a.

Beberapa buku yang membahas persoalan khulu', di antaranya:

Abdurrrahmân al-Jazirî, dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz.

4 mengetengahkan pendapat empat mazhab tentang persoalan khulu' dan

akibat hukumnya. Demikian pula Fuad Said dalam bukunya, Perceraian

Menurut Hukum Islam mengemukakan bahwa rukun khulu' itu ada empat

yaitu 1. istri (yang membayar iwad); 2. iwad; 3. shighat; 4. suami.13 Pendapat

yang sama dikemukakan Amir Syarifuddin dalam bukunya Hukum

Perkawinan Islam di Indonesia bahwa rukun khulu' ada empat (pertama,

suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan; kedua, istri yang meminta

cerai dari suaminya dengan uang tebusan; ketiga, uang tebusan atau iwad;

keempat, alasan untuk terjadinya khulu'.14

Adapun tentang syarat khulu', maka menurut Ibnu Rusyd dalam

kitabnya Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II mengenai

13Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm.

102 14Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,

2006, hlm. 234.

9

syarat-syarat diperbolehkannya khulu', ada yang berkaitan dengan kadar harta

yang boleh dipakai khulu' dan ada juga yang berkaitan dengan sifat (keadaan)

di mana khulu' boleh dilakukan. Ada juga yang berkaitan dengan keadaan

wanita yang melakukan khulu', atau wali-wali wanita yang tidak boleh

bertindak sendiri.15

Berdasarkan telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, maka

penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya yaitu

penelitian yang telah dijelaskan tersebut belum mengungkapkan pendapat dan

metode istinbat hukum Imam Malik tentang khulu' sebagai talak.

E. Metode Penelitian

Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-

langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan

masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya

dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian dalam skripsi ini dapat

dijelaskan sebagai berikut:16

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library

Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-

sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan library

15Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,

1409 H/1989, hlm. 51 16Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 1991, hlm. 24.

10

research menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau

penelitian murni.17

2. Sumber Data

a. Data Primer, yaitu data yang langsung yang segera diperoleh dari

sumber data oleh penyelidik untuk tujuan yang khusus itu.18 Data yang

dimaksud adalah Kitab al-Muwatta' dan Kitab al-Mudawamah al-

Kubra. Ada beberapa versi yang mengemukakan tentang latar

belakang penyusunan al-Muwatta'. Menurut Noel J. Coulson,19

problem politik dan sosial keagamaan-lah yang melatarbelakangi

penyusunan al-Muwatta. Kondisi politik yang penuh konflik pada

masa transisi Daulah Umayyah-Abasiyyah yang melahirkan tiga

kelompok besar (Khawarij, Syi'ah-Keluarga Istana) yang mengancam

integritas kaum Muslim. Di samping kondisi sosial keagamaan yang

berkembang penuh nuansa perbedaan. Perbedaan-perbedaan

pemikiran yang berkembang (khususnya dalam bidang hukum) yang

berangkat dari perbedaan metode nash di satu sisi dan rasio di sisi

yang lain, telah melahirkan pluralis yang penuh konflik.20

b. Data Sekunder, yaitu data yang telah lebih dahulu dikumpulkan oleh

orang di luar diri penyelidik sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu

17Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas

Psikologi, UGM, 1981, hlm. 9. 18Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik,

Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989, hlm. 134-163. 19Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, Terj. Hamid Ahmad, "Hukum Islam

dalam Perspektif Sejarah", Jakarta: P3M, 1987, hlm. 59 20M. al-Fatih Suryadilaga (Ed), op. cit, hlm. 7

11

sesungguhnya adalah data yang asli.21 Dengan demikian data sekunder

adalah literatur pendukung lainnya yang relevan dengan judul di atas,

di antaranya: Muhammad Zakaria al-Kandahlawi dengan judul Aujaz

al-Masalik ila Muwatta' Malik, dan Muhammad ibn 'Abd al-Baqi al-

Zarqani dengan judul Syarh al-Zarqani 'al-Muwatta' al-Imam Malik,

dan Jalal al-Din 'Abd al-Rahman al-Suyuthi al-Syafi'i yang berjudul

Tanwir al-Hawalik Syarh 'al-Muwatta' Malik..

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode library

research (penelitian kepustakaan) yaitu suatu kegiatan penelitian yang

dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang

digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku tapi berupa artikel dan

jurnal, agar dapat ditemukan berbagai teori hukum, dalil, pendapat, guna

menganalisa masalah, terutama masalah yang berkaitan dengan masalah

yang sedang dikaji.

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data ini menggunakan metode deskriptif analisis

dengan pendekatan normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu

penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder. Penelitian

hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang

merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian hukum

21Ibid

12

kepustakaan.22 Dengan demikian penelitian ini hendak berupaya meneliti

latar belakang sosial budaya kehidupan Imam Malik dan corak atau

karakteristik pemikirannya, kemudian dihubungkan dengan konteks masa

kini.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-

masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan

yang saling mendukung dan melengkapi.

Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara

global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah,

permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab kedua berisi tinjauan umum tentang khulu' dan talak yang meliputi

tentang khulu' (pengertian khulu, dasar hukum khulu, syarat dan rukun khulu),

tentang talak (pengertian talak, macam-macam talak, syarat dan rukun talak).

Bab ketiga berisi pendapat Imam Malik tentang khulu sebagai talak

yang meliputi biografi Imam Malik, pendidikan dan karyanya (latar belakang

kehidupan dan pendidikan Imam Malik, karya-karyanya, corak khusus

pemikiran fiqih Imam Malik), pendapat Imam Malik tentang khulu sebagai

talak, alasan hukum Imam Malik tentang khulu sebagai talak.

22Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1988, hlm. 9

13

Bab keempat berisi analisis pendapat Imam Malik tentang khulu

sebagai talak yang meliputi analisis pendapat Imam Malik tentang khulu

sebagai talak, analisis alasan hukum Imam Malik tentang khulu sebagai talak.

Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan

penutup.

14

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KHULU' DAN TALAK

A. Tentang Khulu'

1. Pengertian Khulu'

Kehidupan suami istri hanya bisa tegak kalau ada dalam

ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik dan masing-masing pihak

menjalankan kewajibannya dengan baik.1 Namun tidak jarang juga timbul

perselisihan sehingga tidak tampak keharmonisan dalam keluarga, bahkan

sulit diselesaikan dengan baik dan damai. Apabila hal ini terjadi, masing-

masing antara suami dengan istri mempunyai hak. Apabila keinginan

untuk berpisah datang dari pihak suami, maka dia berhak mengajukan

talak kepadanya. Jika keinginan berpisah itu datang dari pihak istri maka

Islam juga memperbolehkan dengan menebus dirinya dengan jalan khulu'.

Keduanya dapat dilakukan selama tidak menyimpang dan sesuai dengan

hukum Allah SWT.2 Allah SWT. berfirman dalam salah satu ayat-Nya:

وال يحل لكم أن تأخذوا مما آتيتموهن شيئا إال أن يخافا أال يقيما حدود الله فإن خفتم أال يقيما حدود الله فال جناح

)229: البقرة(عليهما فيما افتدت به Artinya: tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah

kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka

1Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 318. 2Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung: CV Pustaka Setia,

1999, hlm. 85

15

tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya." (Q.S.Al-Baqarah: 229).3

Khulu' adalah mashdar dari khala'a seperti khata'a, artinya

menanggalkan;

4 خلع الرجل ثوبه خلعا أزاله عن بدانه ونزعه عنهArtinya: Laki-laki menanggalkan pakaiannya, atau dia melepaskan

pakaiannya dari badannya.

5 امرأته وخالعت المرأة زوجهامخالعة إذا افتدت منهالرجلخلع Artinya: Seorang laki-laki meng-khulu' istrinya, berarti dia

menanggalkan istrinya itu sebagai pakaiannya apabila istri membayar tebusan.

Abdurrahman Al-Jaziri memberikan definisi Khulu' menurut

masing-masing madzhab:6

1. Golongan Hanafi mengatakan :

الخلع ازالة ملك النكاح المتوقفة على قبول المرأة بلفظ الخلع اوما فى معناة

Artinya: Khulu' ialah menanggalkan ikatan pernikahan yang diterima oleh istri dengan lafaz khulu' atau yang semakna dengan itu."

2. Golongan Malikiyah mengatakan:

الخلع شرعا هوالطالق بعوض

Artinya: Khulu' menurut syara' adalah talak dengan tebus.

3. Golongan Asy-Syafi'iyah mengatakan:

3Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:

DEPAG RI, 1978, hlm. 55. 4Abdurrrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz. 4, Beirut: Dâr

al-Fikr, 1972, hlm. 299. 5Ibid.,hlm. 299-230 6Ibid., hlm. 300

16

ع رعاهوالخل زوجين فظلال ش ين ال راق ب ى الف دال عل ال بعوض

متوفرة فيه الشروطArtinya: Khulu' menurut syara' adalah lafaz yang menunjukkan

perceraian antara suami istri dengan tebusan yang harus memenuhi persyaratan tertentu.

4. Golongan Hanabilah mengatakan:

ع والخل زوج فراق ه ذه ال ه بعوض يأخ زوج امرأت ال امرأته اوغيرهابألفاظ محصوصة من

Artinya: Khulu adalah suami menceraikan istrinya dengan tebusan yang diambil oleh suami dan istrinya atau dari lainnya dengan lafaz tertentu.

Lafaz Khulu' itu terbagi dua, yaitu lafaz sharih dan lafaz kinayah.

Lafaz sharih misalnya; khala'tu, fasakhtu dan fadaitu. Berdasarkan

pengertian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Khulu' adalah

perceraian .yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan

atau 'iwadh kepada suami untuk dirinya dan perceraian disetujui oleh

suami.

2. Dasar Hukum Khulu'

Khulu' dibenarkan oleh Islam berasal dari kata khala'as sauba ( خلع

yang berarti menanggalkan pakaian. Karena perempuan sebagai (الثوب

pakaian laki-laki, dan laki-laki juga sebagai pakaian perempuan. Firman

Allah SWT:

)187: البقرة(م لباس لهن هن لباس لكم وأنت

17

Artinya: "... mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka." (Q.S. Al-Baqarah: 187).7

Khulu' dinamakan juga tebusan, karena istri menebus dirinya dari

suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya. Dengan

demikian, khulu' menurut istilah syara' adalah perceraian yang diminta

oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya.

Artinya istri memisahkan dirinya dari suaminya dengan memberikan ganti

rugi kepadanya. Pengertian tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan

dalam Ibnu Abbas r.a.:

دثنا ي ح دالوهاب الثقف دثنا عب ل ح ن جمي ر ب دثنا أزه حيس ن ق خالد عن عكرمة عن ابن عباس أن امرأة ثابت ب

هأ لى الل ي ص ت النب ه ت ول الل ا رس ت ي لم فقال ه وس عليي ن ولكن ا دي ق ول ي خل ه ف ب علي ا أعت يس م ن ق ثابت ب

ال ه أآره الكفر في الإسلام فق لى الل ه ص ول الل ه رس عليرد لم أت ال وس م ق ت نع ه قال ه حديقت ه ين علي ول الل رس

ة صلى الله ا تطليق ة وطلقه رواه ( عليه وسلم اقبل الحديق )نسائال

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Azhar bin Jamil dari Abdul Wahhab al Tsaqafi dari Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas sesungguhnya istri Sabit bin Qais Syammas datang kepada Rasulullah SAW. sambil berkata, "Wahai Rasulullah! aku tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW., "Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Sabit suaminya?)" Jawabnya, "Mau" Maka Rasulullah SAW. bersabda, "Terimalah (Sabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali talak." (H.R. An-Nasai).8

7 Ibid., hlm. 45. 8Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i,

hadis No. 1210 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

18

Firman Allah dan hadis di atas menjadi dalil disyari'atkannya

khulu' dan sahnya khulu' antara suami istri

3. Syarat dan Rukun Khulu'

Menurut Fuad Said rukun khulu' itu ada empat yaitu 1. istri (yang

membayar iwad); 2. iwad; 3. shighat; 4. suami.9 Pendapat yang sama

dikemukakan Amir Syarifuddin bahwa rukun khulu' ada empat (pertama,

suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan; kedua, istri yang

meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan; ketiga, uang tebusan

atau iwad; keempat, alasan untuk terjadinya khulu'.10 Adapun tentang

syarat khulu', maka menurut Ibnu Rusyd mengenai syarat-syarat

diperbolehkannya khulu', ada yang berkaitan dengan kadar harta yang

boleh dipakai khulu' dan ada juga yang berkaitan dengan sifat (keadaan) di

mana khulu' boleh dilakukan. Ada juga yang berkaitan dengan keadaan

wanita yang melakukan khulu', atau wali-wali wanita yang tidak boleh

bertindak sendiri.

1. Harta/barang yang dipakai untuk khulu'

Dalam hal ini, syarat khulu' bisa dilihat dari segi:

a. Kadar harta yang boleh dipakai untuk khulu'

Imam Malik, Syafi'i dan segolongan fuqaha berpendapat

bahwa seorang istri boleh melakukan khulu' dengan memberikan harta

yang lebih banyak dari mahar yang pernah diterimanya dari suami jika

9Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 102 10Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,

2006, hlm. 234.

19

kedurhakaan itu datang dari pihaknya, atau bisa juga memberikan

yang sebanding dengan mahar atau lebih sedikit. Segolongan fuqaha

lain berpendapat bahwa suami tidak boleh mengambil lebih banyak

dari mahar yang diberikan kepada istrinya.

Bagi fuqaha yang mempersamakan kadar harta dalam khulu'

dengan semua pertukaran dalam mu'amalat, maka mereka berpendapat

bahwa kadar harta itu didasarkan atas kerelaan. Sedangkan fuqaha

yang memegang hadis secara zahir, maka mereka tidak membolehkan

pengambilan harta yang lebih banyak daripada mahar. Mereka seolah-

olah menganggap bahwa perbuatan tersebut termasuk pengambilan

harta tanpa hak.11

b. Sifat harta pengganti

Imam Syafi'i dan Abu Hanifah mensyaratkan bahwa harta

tersebut harus dapat diketahui sifat dan wujudnya. Sedangkan Imam

Malik membolehkan harta yang tidak diketahui kadar dan wujudnya,

serta harta yang belum ada. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan

oleh adanya kemiripan harta pengganti (khulu') dengan harta

pengganti dalam hal jual beli, barang-barang hibah, atau wasiat.

Bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam

khulu' dengan jual beli, mereka mensyaratkan padanya syarat-syarat

yang terdapat dalam jual beli dan harta pengganti dalam jual beli.

Sedang bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam

11Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,

1409 H/1989, hlm. 51

20

khulu' dengan hibah, mereka tidak menetapkan syarat-syarat tersebut.

Tentang khulu' yang dijatuhkan dengan barang-barang, seperti

minuman keras, fuqaha berselisih pendapat: apakah istri harus

mengganti atau tidak, setelah mereka sepakat bahwa talak itu dapat

terjadi. Imam Malik mengatakan bahwa istri tidak wajib

menggantinya. Demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah. Sedang

Imam Syafi'i berpendapat bahwa istri wajib mengeluarkan mahar

misil.12

c. Keadaan yang dapat dan tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan khulu'

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu' boleh diadakan

berdasarkan kerelaan suami istri, selama hal itu tidak mengakibatkan

kerugian pada pihak istri. Dasarnya adalah firman Allah SWT.:

بعض ما آتيتموهن إال أن يأتين وال تعضلوهن لتذهبوا ب )19: النساء(بفاحشة مبينة

Artinya:. dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (Q.S. An-Nisa: 19).13

Firman Allah SWT.:

فإن خفتم أال يقيما حدود الله فال جناح عليهما فيما افتدت )229: البقرة(به

Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya," (Q.S. Al-Baqarah: 229).14

12Ibid., hlm. 51. 13Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 55. 14 Ibid., hlm. 117.

21

Abu Qilabah dan Hasan Al-Basri berpendapat bahwa suami

tidak boleh menjatuhkan khulu' atas istrinya, kecuali jika ia melihat

istrinya berbuat zina, karena mereka mengartikan bahwa "keji " dalam

ayat di atas dengan perbuatan zina. Daud berpendapat bahwa suami

tidak boleh menjatuhkan khulu' kecuali bila ada kekhawatiran bahwa

keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,

berdasarkan ayat tersebut secara zahir. Adapun An-Nu'man

mengatakan bahwa khulu' dapat dijatuhkan meskipun merugikan.

Berdasarkan aturan fiqih, tebusan itu diberikan kepada istri

sebagai imbangan talak yang dimiliki oleh suami. Oleh karena itu,

talak diberikan kepada suami jika ia membenci istri, maka khulu'

diberikan kepada istri jika ia membenci suami. Dengan demikian

terdapat keseimbangan antara keduanya.15

2. Istri yang Boleh Mengadakan Khulu'

Di kalangan jumhur fuqaha telah disepakati bahwa istri yang

mampu boleh mengadakan khulu' untuk dirinya, sedangkan perempuan

hamba tidak boleh mengadakan khulu' untuk dirinya, kecuali dengan

seizin tuannya. Demikian juga, istri yang bodoh (safihah) adalah

bersama walinya, sebagaimana pendapat fuqaha yang menetapkan

adanya kemampuan atasnya.

Imam Malik berpendapat bahwa, seorang ayah boleh

mengadakan khulu' untuk anaknya (perempuan) yang masih kecil

15Slamet Abidin dan Aminuddin, op.cit., hlm. 91.

22

sebagaimana ia boleh menikahkannya. Demikian pula untuk anak

lelakinya yang masih kecil, karena menurut Imam Malik seorang ayah

dapat menceraikan atas namanya. Kemudian timbul perbedaan pendapat

berkenaan dengan anak lelaki yang masih kecil (di bawah umur). Imam

Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ayah tidak boleh

mengadakan khulu' atas namanya, karena itu seorang ayah tidak boleh

menjatuhkan talak atas namanya juga.

Selanjutnya, Imam Malik berpendapat bahwa, istri yang sedang

sakit keras boleh mengadakan khulu'. jika harta tebusannya sebesar

warisan dari suaminya. Tetapi Ibnu Nafi' mengatakan bahwa istri yang

sakit tersebut dapat mengadakan khulu' dengan sepertiga dari jumlah

harta seluruhnya.

Imam Syafi'i berpendapat bahwa apabila istri mengadakan khulu'

sebesar mahar misilnya, maka hal itu diperbolehkan, dan harta tersebut

diambil dari sebagian dari harta pokok. Apabila lebih dari mahar misil,

maka tambahan tersebut harus dari sepertiga dari harta pokok.

Adapun istri yang terlantar (Al-Muhmalah), yakni yang tidak

memiliki wasi dan ayah, maka Ibnu Qasim berpendapat bahwa ia boleh

mengadakan khulu' atas dirinya sebesar mahar misil. Jumhur ulama

mengatakan bahwa istri yang dapat menguasai dirinya boleh

mengadakan khulu'. Sebaliknya Al-Hasan dan Ibnu Sirin berpendapat

bahwa ia tidak boleh mengadakan khulu' kecuali dengan ijin penguasa.

Mengenai rukun khulu', selain dua hal tersebut di atas (adanya harta

23

yang digunakan. dan istri yang mengadakan khulu') juga harus ada

ucapan khulu'.16

Para fuqaha berpendapat bahwa dalam khulu' harus diucapkan

kata " khulu' " ع atau lafal yang terambil dari khulu'. Atau bisa juga خل

kata lain yang seperti dengannya. seperti: "mubara'ah" (ارأة = (مب

melepas diri dan fidyah (فدية) = tebusan.17

Jika tidak menggunakan kata khulu' atau yang searti dengannya,

misalnya suami berkata, "Engkau tertalak" sebagai imbalan dari barang-

barang seharga sekian, lalu istri mau menerimanya. Maka perbuatan ini

termasuk talak dengan imbalan harta. bukan termasuk khulu'.

Ibnu Qayim menyangkal pendapat tersebut, katanya,

"Barangsiapa yang hendak memikirkan hakikat dan tujuan dari akad

atau perjanjian bukan hanya melihat kata-kata yang diucapkan saja.

tentu akan menganggap khulu' sebagai fasakh. bila diucapkan dengan

kata apapun, sekalipun dengan kata "talak". Pendapat ini juga

merupakan salah satu pendapat murid-murid Imam Ahmad. Juga

pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan diriwayatkan oleh Ibnu

Abbas. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata, "Barang siapa hanya melihat

dan berpegang kepada lafal-lafal itu, dan memperhatikannya pula

bagaimana adanya dalam hukum akad, tentu ia akan menentukan lafal

"talak" untuk "talak" saja.

16Ibid., hlm. 91. 17Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 320

24

Selanjutnya Ibnu Qayim melemahkan pendapat ini. katanya,

"Orang yang membaca fiqih dan usul fiqih akan dapat menyaksikan

bahwa dalam akad yang diperhatikan adalah hakikat dan maksud

akadnya, bukan formalitas dan sekadar kata-kata yang diucapkannya."

Alasannya ialah bahwa Nabi SAW. pernah menyuruh Sabit Ibnu Qais

agar menalak istrinya secara khulu'. dengan sekali talak. Selain itu Nabi

SAW. menyuruh istri Sabit untuk beriddah sekali haid. Hal ini jelas

menunjukkan . fasakh, sekalipun terjadinya perceraian dengan ucapan

talak.18

Di samping itu, Allah SWT juga menghubungkannya dengan

hukum fidyah, karena memang ada fidyahnya. Telah diketahui bahwa

fidyah tidak mempunyai pernyataan dengan kata-kala khusus, dan Allah

pun tidak menetapkan lafal yang khusus untuk itu. Talak dengan tebusan

sifatnya terbatas dan tidak tergolong ke dalam hukum talak yang umum

sebagaimana ia tidak tergolong kepada hukum talak yang dibolehkan

rujuk kembali, dan beriddah dengan tiga kali suci seperti ketentuan

sunnah yang sah.

B. Tentang Talak

1. Pengertian Talak

18Slamet Abidin dan Aminuddin, op.cit., hlm. 93.

25

Dalam Kamus Arab Indonesia, talak berasal dari ق ق –طل – يطل

ا 19 Sedangkan dalam Kamus Al-Munawwir, talak berarti.(bercerai) طالق

berpisah, bercerai (طلقت المرأة ).20

Secara terminologi, menurut Abdurrrahman al-Jaziri adalah:

اال صطالح بأنه ازالة النكاح او نقصان حله بلفظ مخصوص فى21

Artinya: Talak itu ialah menghilangkan ikatan pernikahan atau

mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu.

Menurut Sayyid Sabiq

22 ةهاء العالقة الزوجي رابطة الزوج وانع حلالشروفى Artinya: Talak menurut syara' ialah melepaskan tali perkawinan dan

mengakhiri tali pernikahan suami isteri.

Menurut Imam Taqi al-Din:

فىالشرع اسم لحل قيد النكاح وهو لفظ جاهلى وهوورد الشرع بتقريره واألصل فيه الكتاب والسنة

23واجماع اهل الملل مع اهل السنة

Artinya; "Talak menurut syara' ialah nama untuk melepaskan tali ikatan nikah dan talak itu adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak adalah

19Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973, hlm. 239. 20Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 861 21Abdurrrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dar

al-Fikr, 1972, hlm. 216. 22Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, hlm. 278. 23Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Beirut:

Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 84

26

berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma' ahli agama dan ahlus sunnah.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa talak

adalah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau dimasa

mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau

cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata itu.

2. Macam-Macam Talak

Talak itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa

keadaan.

I. Dengan melihat kepada keadaan isteri waktu talak itu diucapkan oleh

suami, talak itu ada dua macam:

1. Talak sunni

Yang dimaksud dengan talak sunni ialah talak yang

didasarkan pada sunnah Nabi, yaitu apabila seorang suami men-

talak isterinya yang telah disetubuhi dengan talak satu pada saat

suci, sebelum disetubuhi.24 Atau dengan kata lain yaitu talak yang

pelaksanaannya telah sesuai dengan petunjuk agama dalam Al-

Qur'an atau sunnah Nabi. Bentuk talak sunni yang disepakati oleh

ulama adalah talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana si isteri

waktu itu tidak dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang

pada masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya25. Di antara

ketentuan menjatuhkan talak itu adalah dalam masa si isteri yang

24Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul Ghofar, " Fiqih Wanita", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, hlm. 438.

25Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 74.

27

di talak langsung memasuki masa 'iddah. Hal ini sesuai dengan

firman Allah dalam surat at-Talak ayat 1:

)1: الطالق (يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن

Artinya: Hai nabi bila kamu men-talak isterimu, maka talak-lah di waktu akan memasuki ''iddah. (Q.S. at-Thalaq: 1)26

Yang dimaksud dengan masa ''iddah di sini adalah

المرأة وتمتنع عن ي اسم للمدة التي تنتظرفيهاه العدة 27التزويج بعد وفاة زوجها

Artinya: "'Iddah dalam istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (isteri) menunggu dan tidak boleh nikah setelah wafat suaminya, atau setelah pisah dari suaminya."

Cara-cara talak yang termasuk dalam talak sunni diluar

yang disepakati oleh ulama di antaranya adalah talak dalam masa

''iddah, namun diikuti lagi dengan talak berikutnya. Talak dalam

bentuk ini tidak disepakati ulama. Imam Malik berpendapat bahwa

talak semacam itu tidak termasuk talak sunni. Sedangkan Abu

Hanifah mengatakan yang demikian adalah talak sunni. Hal ini

juga berlaku di kalangan ulama Zhahiriyah.28

2. Talak bid'iy

Talak bid'iy, yaitu talak yang dijatuhkan tidak menurut

ketentuan agama. Bentuk talak yang disepakati ulama termasuk dalam

26Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 945. 27Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 341. 28Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar Al-Jiil,

1409 H/1989, hlm. 48

28

kategori talak bid'iy itu ialah talak yang dijatuhkan sewaktu isteri

dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, namun telah digauli oleh

suami. Talak dalam bentuk ini disebut bid'iy karena menyalahi

ketentuan yang berlaku, yaitu menjatuhkan talak pada waktu isteri

dapat langsung memulai 'iddahnya.29 Hukum talak bid'iy adalah haram

dengan alasan memberi mudarat kepada isteri, karena memperpanjang

masa 'iddahnya.

Yang menjadi dalil talak dalam kategori bid'iy adalah sabda

Nabi yang berasal dari Ibnu Umar muttafaq alaih:

حدثنا إسماعيل بن عبدالله قال حدثني مالك عن نافع عن أنه طلق امرأته وهي لله بن عمر رضي الله عنهعبدا

عليه وسلم فسأل رسول الله صلى الله على عهدحائض عليه وسلم عن رسول الله صلى اللهعمر بن الخطاب

عليه وسلم مره فليراجعها رسول الله صلى اللهذلك فقالا حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء ثم ليمسكه

تي أمر أمسك بعد وإن شاء طلق قبل أن يمس فتلك العدة ال 30) رواه البخاري( أن تطلق لها النساء اهللا

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Ismail bin Abdullah

dari Malik dari Nafi' dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Ibnu Umar r.a. men-talak isterinya sewaktu haid dalam masa Rasulullah Saw, maka Umar (ayahnya) menanyakan kepada Nabi Saw tentang hal itu. Nabi Saw. bersabda: "Suruh dia (Ibnu Umar) kembali kepada isterinya, kemudian menahannya sehingga isterinya itu suci kemudian haid dan kemudian suci. Sesudah itu bila ia mau dia dapat menahannya dan kalau dia mau dia boleh men-talak isterinya itu sebelum digaulinya. Itulah masa 'iddah yang disuruh Allah bila akan men-talak isterinya. (HR. al-Bukhari).

29Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 161 30Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 286

29

II. Apabila dilihat dari kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada

mantan isterinya, talak itu ada dua macam:

1). Talak raj'iy. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah yaitu talak

dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada isterinya

(rujuk) sepanjang isterinya tersebut masih dalam masa 'iddah, baik

isteri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak.31 Hal senada

dikemukakan juga oleh Ibnu Rusyd bahwa talak raj'iy adalah suatu

talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk isteri.32 Pengertian

sama dikemukakan Ahmad Azhar Basyir bahwa talak raj'iy adalah

talak yang masih memungkinkan suami rujuk kepada bekas isterinya

tanpa nikah.33 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa talak raji'y

adalah talak di mana si suami diberi hak untuk kembali kepada

isterinya tanpa melalui nikah baru, selama isterinya itu masih dalam

masa 'iddah.

Dalam al-Qur'an diungkapkan bahwa talak raj'iy adalah talak

satu atau talak dua tanpa didahului tebusan dari pihak isteri, dimana

suami boleh ruju' kepada isteri, sebagaimana firman Allah pada surat

al-Baqarah (2) ayat 229:

الطالق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان )229: البقرة(

31Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,

Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 451. 32Ibnu Rusyd, Juz II, op. cit, hlm. 45. 33Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 80.

30

Artinya: Talak itu adalah sampai dua kali, sesudah itu tahanlah dengan baik atau lepaskanlah dengan baik. (Q.S. al-Baqarah: 229)34

Lafaz فإمساك بمعروف mengandung arti ruju' pada waktu

masih berada dalam masa 'iddah.

2). Talak bain. Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, talak bain

adalah talak yang menceraikan isteri dari suaminya sama sekali,

dimana suami tak dapat lagi secara sepihak merujuki isterinya.35

Dengan kata lain, talak bain yaitu talak yang putus secara penuh

dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada isterinya

kecuali dengan nikah baru, talak bain inilah yang tepat untuk disebut

putusnya perkawinan.

Talak bain ini terbagi pula kepada dua macam:

a Bain sughra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas

suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada bekas

isterinya itu.36 Atau talak yang suami tidak boleh ruju' kepada mantan

isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui

muhallil. Yang termasuk bain shughra itu adalah sebagai berikut:

Pertama: talak yang dilakukan sebelum isteri digauli oleh

suami. Talak dalam bentuk ini tidak memerlukan 'iddah. Oleh karena

tidak ada masa 'iddah, maka tidak ada kesempatan untuk ruju', sebab

34Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 55. 35Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar

Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 411. 36Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm. 140.

31

ruju' hanya dilakukan dalam masa 'iddah. Hal ini sesuai dengan firman

Allah dalam surat al-Ahzab (33) ayat 49:

يا أيها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها

)49: األحزاب(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi orang-orang perempuan beriman kemudian kamu men- talak-nya sebelum sempat kamu gauli, maka tidak ada 'iddah yang harus mereka lakukan. (Q.S. al-Ahzab: 49).37

Kedua: talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak

isteri atau yang disebut khulu'. Hal ini dapat dipahami dari isyarat

firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 229:

فإن خفتم أال يقيما حدود الله فال جناح عليهما فيما افتدت به تلك حدود الله فال تعتدوها ومن يتعد حدود الله فأولـئك

)229: رةالبق(هم الظالمون Artinya: Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak akan menegakkan

ketentuan Allah, maka tidak ada halangannya bagimu untuk memberikan uang tebusan. Demikianlah ketentuan Allah, maka janganlah kamu melampauinya. Barangsiapa yang melampaui ketentuan Allah mereka itulah orang yang aniaya. (Q.S. al-Baqarah: 229)38

Ketiga: perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau

yang disebut fasakh.

b Bain kubra, yaitu talak yang telah dijatuhkan tiga.39 Atau dengan kata

lain talak yang tidak memungkinkan suami ruju' kepada mantan

37Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 675. 38Ibid., hlm. 55. 39Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 81.

32

isterinya. Dia hanya boleh kembali kepada isterinya setelah isterinya

itu kawin dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu

dan habis 'iddahnya. Yang termasuk talak dalam bentuk bain kubra itu

adalah sebagai berikut:

Pertama: isteri yang telah di-talak tiga kali, atau talak tiga.

Talak tiga dalam pengertian talak bain itu yang disepakati oleh ulama

adalah talak tiga yang diucapkan secara terpisah dalam kesempatan

yang berbeda antara satu dengan lainnya diselingi oleh masa 'iddah.

Termasuknya talak tiga itu ke dalam kelompok bain kubra itu adalah

sebagaimana yang dikatakan Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat

230:

ى تنكح زوجا غيره فإن طلقها فال تحل له من بعد حت )230: البقرة(فإن طلقها فال جناح عليهما أن يتراجعا

Artinya: Jika kamu men-talak-nya (setelah dua kali talak),

maka tidak boleh lagi kamu nikahi kecuali setelah dia kawin dengan laki-laki lain. Jika kemudian dia (suami kedua) men-talak-nya tidak ada halangannya bagi keduanya untuk (nikah) kembali. (Q.S. al-Baqarah: 230)40

Tentang talak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu

kesempatan, menjadi perbincangan di kalangan ulama. Dalam hal ini

terdapat empat pendapat di kalangan ulama:

Pendapat pertama: talak tiga dalam "satu ucapan" itu tidak

jatuh. Alasannya adalah karena dimasukkannya talak seperti ini ke

dalam talak bid'iy, yang menurut kebanyakan ulama tidak jatuh

40Ibid., hlm. 56.

33

sebagaimana keadaannya talak dalam masa haid. Adapun yang

menjadi alasan dimasukkannya ke dalam kategori talak bid'iy adalah

kemarahan Nabi atas pelakunya, sebagaimana dalam hadis Nabi

Mahmud bin Labid menurut riwayat al-Nasai:

أخبرنا سليمان بن داود عن ابن وهب قال أخبرني مخرمة عن أبيه قال سمعت محمود بن لبيد قال أخبر

رجل طلق امرأته عليه وسلم عنرسول الله صلى اللهثلاث تطليقات جميعا فقام غضبانا ثم قال أيلعب بكتاب الله وأنا بين أظهرآم حتى قام رجل وقال يا رسول الله

41) رواه النسائ(ألا أقتله Artinya: telah mengabarkan kepada kami dari Sulaiman bin

Daud dari Wahab dari Mahramah dari bapaknya telah mendengar dari Mahmud bin Labid berkata: Nabi Saw telah memberitakan kepada saya tentang seorang laki-laki yang men-talak isterinya tiga kali dalam satu ucapan Nabi berdiri sambil marah kemudian berkata: "Apakah kamu mempermain-mainkan Kitabullah, sedangkan saya masih berada di antaramu". Seorang laki-laki berdiri dan berkata: ya Rasul Allah, kenapa tidak saya bunuh saja orang itu?"

Pendapat kedua: dipegang oleh jumhur ulama yang

mengatakan bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh talak tiga, dan dengan

sendirinya termasuk talak bain. Alasan yang digunakan golongan ini

adalah ayat Al-Qur'an yang disebutkan di atas. Mereka tidak

41Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i,

hadis No. 3503 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

34

memisahkan antara talak tiga dalam satu ucapan atau dilakukan secara

terpisah.42

Pendapat ketiga: yang dipegang oleh ulama Zhahiriyah, Syiah

Imamiyah, dan al-Hadawiyah. Menurut golongan ini talak tiga dalam

satu ucapan jatuh talak satu dalam kategori talak sunni.43 Ulama ini

berdalil dengan hadis Nabi dari Ibnu Abbas yang bunyinya:

رسول الله ى عهدعن ابن عباس قال آان الطلاق عل عليه وسلم وأبي بكر وسنتين من خلافة عمر صلى الله

طلاق الثلاث واحدة فقال عمر بن الخطاب إن الناس قد أمضيناه استعجلوا في أمر قد آانت لهم فيه أناة فلو

44) رواه مسلم( عليهم فأمضاه عليهم Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata: pada zaman Rasulullah Saw.

zaman kekhilafahan Abu Bakar dan dua tahun masa Umar, talak tiga itu dianggap satu. Umar bi Khattab lalu mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang itu sama terburu-buru terhadap suatu perkara yang sebetulnya mereka bisa berlaku tenang dan sabar. Seandainya hal itu aku berlakukan terhadap mereka, niscaya mereka tidak akan terburu-buru. (HR. Muslim)

Kedua hadis dari Ibnu Abbas juga yang bunyinya:

خو عن ابن عباس قال طلق رآانة بن عبد يزيد أالمطلب امرأته ثلاثا في مجلس واحد فحزن عليها حزنا

عليه وسلم آيف رسول الله صلى اللهشديدا قال فسأله

42Al-San'any, Subul al-Salam, Juz III, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-

Halabi, 1950, hlm. 174 – 175. 43Menurut golongan ini, talak tiga yang diucapkan suami tidak serta merta jatuh tiga,

melainkan yang dianggap terjadi hanya satu 44Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim,

Juz. II, Mesir: Tijariah Kubra, t.th., hlm. 183.

35

طلقتها قال طلقتها ثلاثا قال فقال في مجلس واحد قال 45) رواه احمد( قال فإنما تلك واحدة فارجعها نعم

Artinya: Dari Abbas berkata Rukanah bin Yazid Saudara al-Mutallib

men- talak isterinya talak tiga dalam satu majelis kemudian dia sangat menyesal dan sedih dan Nabi Saw. bertanya: "Bagaimana cara kamu men-talak-nya". la berkata: "Saya men-talak-nya tiga dalam satu majelis". Nabi Saw. bersabda: "Itu hanyalah talak satu, oleh karena itu ruju'lah kepada isterimu. (H.R. Ahmad)

Pendapat keempat: merupakan pendapat sahabat Ibnu Abbas

yang kemudian diikuti oleh Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini

mengatakan bahwa seandainya talak tiga dalam satu ucapan itu

dilakukan setelah terjadi pergaulan antara suami isteri, maka yang

jatuh adalah talak tiga, dan oleh karenanya termasuk talak bain kubra;

namun bila talak diucapkan sebelum di antara keduanya terjadi

hubungan kelamin yang jatuh hanyalah talak satu.46 Mereka berdalil

dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang

mengatakan:

ابن عباس قال أما علمت أن الرجل آان إذا طلق عن لاثا قبل أن يدخل بها جعلوها واحدة على عهدامرأته ث

47) رواه ابو داود( عليه وسلم رسول الله صلى اللهArtinya: Dari Ibnu Abbas berkata: menurut sepengetahuanku bila

seorang laki-laki men-talak isterinya talak tiga sebelum digaulinya yang jatuh adalah talak satu pada masa Nabi Saw. (HR. Abu Daud)

45Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi, hadis No. 2079. dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

46Al-San'any, op.cit., hlm. 175. 47Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, hadis no. 1887 dalam

CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

36

Kedua: isteri yang bercerai dari suaminya melalui proses li'an.

Berbeda dengan bentuk pertama mantan isteri yang di-li'an itu tidak

boleh sama sekali dinikahi, meskipun sesudah diselingi oleh adanya

muhallil, menurut jumhur ulama.

III. Talak ditinjau dari segi ucapan yang digunakan terbagi kepada dua macam

yaitu:

1). Talak tanjiz, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan

ucapan langsung, tanpa dikaitkan kepada waktu, baik menggunakan

ucapan sharîh (tegas) atau kinayah (sindiran). Inilah bentuk talak yang

biasa dilaksanakan. Dalam bentuk ini talak terlaksana segera setelah

suami mengucapkan ucapan talak tersebut.

2). Kedua: talak ta'liq, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan

menggunakan ucapan yang pelaksanaannya digantungkan kepada

sesuatu yang terjadi kemudian. Baik menggunakan lafaz sharîh atau

kinayah.48 Seperti ucapan suami: "Bila ayahmu pulang dari luar negeri

engkau saya talak". Talak dalam bentuk ini baru terlaksana secara

efektif setelah syarat yang digantungkan terjadi. Dalam contoh di atas

talak terjatuh segera setelah ayahnya pulang dari luar negeri/tidak

pada saat ucapan itu diucapkan.

Talak ta'liq ini berbeda dengan taklik talak yang berlaku di

beberapa tempat yang diucapkan oleh suami segera setelah ijab qabul

dilaksanakan. Taklik talak itu adalah sebentuk perjanjian dalam

48Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,

2006, hlm. 225.

37

perkawinan yang di dalamnya disebutkan beberapa syarat yang harus

dipenuhi oleh suami. Jika suami tidak memenuhinya, maka si isteri

yang tidak rela dengan itu dapat mengajukannya ke pengadilan sebagai

alasan untuk perceraian.

IV. Talak dari segi siapa yang mengucapkan talak itu secara langsung dibagi

kepada dua macam:

1. Talak mubasyir, yaitu talak yang langsung diucapkan sendiri oleh

suami yang menjatuhkan talak, tanpa melalui perantaraan atau wakil.

2. Talak tawkil, yaitu talak yang pengucapannya tidak dilakukan sendiri

oleh suami, tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama suami. Bila

talak itu diwakilkan pengucapannya oleh suami kepada isterinya,

seperti ucapan suami: "Saya serahkan kepadamu untuk men-talak

dirimu", secara khusus disebut talak tafwidh.

Secara arti kata tafwidh mengandung arti melimpahkan. Talak

tafwidh dengan demikian berarti talak yan talak untuk

mengucapkannya dan menjatuhkannya dilimpahkan oleh suami kepada

isteri. Berkenaan dengan wewenang isteri dalam bentuk talak tafwidh

itu, ulama tidak sepakat. Sebagian ulama asy-Syâfi'iyah

menempatkannya sebagai tamlik atau menyerahkan; sedangkan

sebagian yang lain menempatkannya sebagai tawkil.49

Beda di antara wewenang tamlik dengan tawkil ialah: bila

ditetapkan sebagai tamlik, si isteri harus melaksanakan pelimpahan

49Ibid, hlm. 226.

38

wewenang itu segera setelah ucapan pelimpahan dari suami selesai;

dan suami dalam hal ini tidak dapat mencabut apa yang sudah

dilimpahkannya. Bila pelimpahan itu ditetapkan sebagai tawkil, si

isteri tidak harus segera melaksanakan apa yang dilimpahkan

kepadanya dan si suami dalam hal ini masih berkesempatan mencabut

apa yang telah diwakilkannya.50

3. Syarat dan Rukun Talak

Untuk memperjelas rukun dan syarat talak maka lebih dahulu

dikemukakan pengertian syarat dan rukun baik dari segi etimologi

maupun terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu

pekerjaan,"51 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk)

yang harus diindahkan dan dilakukan."52 Menurut Satria Effendi M. Zein,

bahwa menurut bahasa, syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya

sesuatu yang lain atau sebagai tanda,53 melazimkan sesuatu.54

Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala

sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut,

dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun

dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.55 Hal ini

50Ibid., 51Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2004, hlm. 966. 52Ibid., hlm. 1114. 53Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 64 54Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 34 55Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004,

hlm. 50

39

sebagaimana dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf,56 bahwa syarat adalah

sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan

sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan

hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaan secara syara’,

yang menimbulkan efeknya. Hal senada dikemukakan Muhammad Abu

Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat

bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak

adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum.57

Sedangkan rukun, dalam terminologi fikih, adalah sesuatu yang dianggap

menentukan suatu disiplin tertentu, di mana ia merupakan bagian integral

dari disiplin itu sendiri. Atau dengan kata lain rukun adalah penyempurna

sesuatu, di mana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.58

Adapun untuk terjadinya talak, ada beberapa unsur yang berperan

padanya yang disebut rukun, dan masing-masing rukun itu mesti pula

memenuhi persyaratan tertentu. Di antara persyaratan itu ada yang

disepakati oleh ulama, sedangkan sebagiannya menjadi perbincangan di

kalangan ulama.

Rukun Pertama: adalah suami yang men-talak isterinya

Di antara syarat suami yang men-talak itu adalah sebagai berikut:

1 Suami yang men-talak harus seseorang yang telah baligh.59 Hal ini

mengandung arti bahwa anak-anak yang masih di bawah umur dewasa

56Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm. 118. 57Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 59. 58Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar

Media, 2006, hlm. 25. 59Ahmad Azhar Basyir, op.cit., hlm. 73.

40

tidak sah talak yang dijatuhkannya; sedangkan yang menjadi batas dewasa

itu menurut fiqh adalah bermimpi melakukan hubungan kelamin dan

mengeluarkan mani. Persyaratan dewasa itu didasarkan pada beberapa

hadis Nabi dari Ali dan Umar menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud

yang bunyinya:

حدثنا موسى بن إسمعيل حدثنا وهيب عن خالد عن أبي عليهم عن النبي صلى اللهالضحى عن علي عليه السلا

وسلم قال رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن رواه ابو (الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل

60) داود Artinya: telah mengabarkan kepada kami dari Nusa bin Ismail dari

Wuhaib dari Khalid dari Abu adz-Dzuha dari Ali As. Dari Nabi Saw. berkata: Diangkatkan hukum dari tiga golongan: orang tidur sampai ia bangun; anak kecil sampai ia dewasa; orang gila sampai ia sembuh (HR. Abu Daud).

Hubungan perceraian dengan kedewasaan itu adalah bahwa talak

itu terjadi melalui ucapan dan ucapan itu baru sah bila yang

mengucapkannya mengerti tentang apa yang diucapkannya. Dalam hal

anak yang belum dewasa, namun telah mengerti tentang maksud dari talak

dan tentang mengucapkan kata talak itu menjadi perbincangan di kalangan

ulama.

Sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad dalam salah satu

riwayat, dan berlaku menurut Abu Bakar, al-Karakhiy, Ibnu Hamid, Said

ibnu al-Musayyab, 'Atha', al-Hasan, al-Sya'biy dan Ishak, berpendapat

60Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, hadis No. 860 dalam

CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

41

bahwa talak dari anak-anak yang sudah memahami arti talak itu jatuh,

sebagaimana yang berlaku pada orang dewasa. Yang menjadi pedoman

bagi golongan ini adalah pengetahuannya tentang talak.

Golongan kedua adalah jumhur ulama yang terdiri dari al-

Nakha'iy, al-Zuhriy Imam Malik Hammad, al-Nawawiy ulama golongan

Irak dan Hijaz berpendapat bahwa talak-nya tidak terjatuh. Alasan yang

dikemukakan oleh golongan ini ialah bahwa anak-anak belum mukallaf

sama keadaannya dengan orang gila. Begitu pula mereka kukuh bertahan

dengan maksud hadis yang disebutkan di atas.61

2 Sehat akalnya. Orang yang rusak akalnya tidak boleh menjatuhkan talak.

Bila talak dilakukan oleh orang yang tidak waras akalnya, talak yang

dijatuhkannya tidak sah. Termasuk dalam pengertian yang tidak waras

akalnya itu adalah: gila, pingsan, sawan/tidur/minum obat, terpaksa

minum khamar atau meminum sesuatu yang merusak akalnya/ sedangkan

dia tidak tahu tentang itu. Adapun dalil tidak sahnya talak orang yang

tidak sehat akalnya itu adalah hadis Nabi yang berasal dari Ali, dan Umar

menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud yang disebutkan di atas.

Juga hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat al-Najad,

bunyinya:

62معتوه ز إلا طلاق ال وقال علي وآل الطلاق جائArtinya: Ali as. Berkata: Setiap itu hukumnya boleh, kecuali

talak orang yang hilang akalnya.

61Talak dari anak-anak yang sudah memahami arti talak itu tidak jatuh, sebagaimana yang

berlaku pada orang dewasa. 62Abu Abdillah al-Bukhary, Sahih al-Bukhari, Juz. 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990

M, hlm. 290.

42

Tentang orang yang sedang mabuk karena sengaja minum

minuman yang memabukkan, meskipun termasuk kepada orang yang

hilang akalnya menjadi pembicaraan di kalangan ulama. Bedanya dengan

mabuk seperti disebutkan di atas adalah karena dia melakukan maksiat dan

melanggar agama dengan perbuatannya itu. Apakah karena maksiat yang

dibuatnya itu menyebabkan hukum yang berkenaan dengan perbuatan

men-talak isterinya berubah, karenanya inilah yang menjadi perbincangan

ulama.

Jumhur ulama berpendapat bahwa talak orang mabuk itu jatuh

dengan arti berlaku perceraian. Alasan yang dikemukakan ulama ini ialah

meskipun dari segi bentuknya orang mabuk itu termasuk pada orang yang

hilang akalnya, namun hilang akalnya itu disebabkan oleh karena ia

sengaja merusak akalnya dengan perbuatan yang dilarang agama.63

Segolongan ulama termasuk al-Muzanniy dari pengikut asy-

Syâfi'iyah dan sebagian pengikut Hanafiyah mengatakan talak orang

mabuk tidak jatuh meskipun sengaja ia berbuat sesuatu yang menyebabkan

dia mabuk. Pendapat ini juga dianut di kalangan ulama Syi'ah Imamaiyah.

Alasan mereka ialah bahwa orang mabuk itu sama keadaannya dengan

orang gila dan termasuk ke dalam yang dikecualikan dari jatuhnya talak

sebagaimana tersebut dalam hadis di atas.64

63Orang yang sengaja merusak akalnya dengan perbuatan yang dilarang agama tidaklah

berarti lepas dari tanggung jawab. 64Ibnu Rusyd, Juz II, op.cit, hlm. 61.

43

3 Suami yang menjatuhkan talak berbuat dengan sadar dan atas kehendak

sendiri. Dengan begitu talak yang dilakukan oleh orang yang tidak sadar

atau dalam keadaan terpaksa tidak jatuh talak-nya.

Tidak jatuhnya talak orang yang dipaksa itu adalah pendapat yang

dipegang oleh jumhur ulama. Alasannya ialah bahwa orang yang terpaksa itu

meskipun dia mengucapkan kalimat talak, namun ia tidak bermaksud

mengucapkannya.

Adapun keadaan terpaksa menyebabkan tidak terlaksana talak bila

paksaan itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Pertama: orang yang memaksa mempunyai kemampuan melaksanakan

ancamannya bila yang dipaksa tidak melaksanakan apa yang dipaksakannya

itu. Kedua: orang yang memaksa mengancam dengan sesuatu yang

menyebabkan kematian atau kerusakan pada diri, akal, atau harta orang yang

dipaksa. Ketiga: orang yang dipaksa tidak dapat mengelak dari paksaan itu,

baik dengan Jalan memberikan perlawanan atau melarikan diri. Keempat:

orang yang dipaksa yakin atau berat dugaannya bahwa kalau apa yang

dipaksakan tidak dilaksanakannya orang yang memaksa akan melaksanakan

ancamannya.65

Sebagian ulama asy-Syâfi'iyah memisahkan antara ucapan talak dari

orang yang terpaksa itu menggunakan niat atau tidak. Kalau waktu

mengucapkan talak itu dia meniatkan talak, maka jatuh talak-nya, sebaliknya

bila tidak diniatkannya untuk talak, tidak jatuh talak-nya.

65Amir Syarifuddin, op. cit, hlm. 204

44

Sebagian ulama, termasuk di dalamnya Abu Qalabah, al-Sya'biy, al-

Nakaha'iy, al-Zuhriy, al-Nawawiy, Abu Hanifah, dan dua pengikutnya

berpendapat talak orang terpaksa itu jatuh. Alasannya ialah bahwa talak

tersebut muncul dari seorang mukallaf berkaitan dengan wewenang yang

dimilikinya, sebagaimana yang berlaku di kalangan yang bukan terpaksa.66

Walaupun jumhur ulama menyepakati tidak terjatuhnya talak orang

yang berada di bawah paksaan, mereka sepakat pula bila paksaan itu

merupakan paksaan yang hak, seperti paksaan hakim kepada seseorang yang

meng-ila' isterinya sampai batas waktu empat bulan ia tidak mau membayar

kaffarah atau menceraikan isterinya. Talak dalam bentuk ini terjadi meskipun

orang yang men-talak melakukannya di bawah ancaman.

Orang yang tersalah atau terselip lidahnya mengucapkan kata talak

tidak terjadi talak-nya karena dia melakukan perbuatan itu di luar

kehendaknya. Seperti seseorang dalam mengatakan kepada isterinya: "engkau

bertolak" namun yang tersebut dalam ucapannya adalah "engkau tertalak", dan

ungkapan lain yang sama dengan itu. Bahkan secara khusus al-Nawawiy

dalam Minhaj mempersyaratkan adanya القصد atau kehendak dalam

pelaksanaan talak. Meskipun talak diucapkan dengan ucapan yang sharîh yang

mestinya tidak memerlukan niat. Beda niat dengan qashd dalam hal ini adalah

niat itu kesengajaan hati, sedangkan qashd berarti tekad atau kehendak untuk

berbuat.

66Ibid, hlm. 61.

45

Persyaratan al-qashd terkadang menimbulkan masalah dengan ucapan

talak yang dilakukan secara bermain-main atau dalam peran sandiwara atau

pura-pura. Sebenarnya dalam bentuk ini tidak terdapat al-qashd namun

jumhur ulama menyepakati jatuhnya talak yang dilakukan sambil main-main.

Bila diperhatikan isyarat ayat-ayat Al-Qur'an untuk tidak

mempermudah perceraian, yang diikuti oleh pendapat ulama yang

mempersyaratkan adanya kesengajaan untuk talak, perlu melihat hadis ini

secara hati-hati, karena hadis ini menurut lahirnya tidak sejalan dengan isyarat

ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Adalah bijaksana menempatkan hadis Nabi itu

sebagai peringatan untuk tidak mempermain-mainkan talak.

Kelihatannya ulama Syi'ah Imamiyah beda pendapat dengan jumhur

dalam hal ucapan talak sambil main-main ini. Bagi mereka talak hazl atau

main-main itu tidak jatuh, dengan alasan tidak terdapat padanya unsur

kesengajaan yang menjadi syarat dalam pelaksanaan talak. Mungkin ulama ini

melihat hadis yang disebutkan di atas tidak kuat untuk membatasi keumuman

ayat Al-Qur'an yang menghendaki berhati-hati dalam pelaksanaan talak.

Dalam hal talak bain yang diucapkan suami saat sakit keras yang

membawa kepada kematiannya, juga menjadi perbincangan di kalangan

ulama, karena di satu sisi terlihat ketidakmurnian maksud orang yang

menceraikan isterinya itu. Orang yang ber'iddah dalam talak bain sudah lepas

dari wilayah suami dan ia diceraikan, waktu itu ia tidak berhak mendapatkan

warisan dari suaminya. Bila si suami menjatuhkan talak dalam keadaan

46

demikian terkesan si suami ingin menyingkirkan isterinya dari hak warisan.

Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat.

Imam asy-Syâfi'i dan segolongan ulama berpendapat talak bain yang

dilakukan dalam keadaan sakit yang membawa kepada kematian adalah sah

dan terjadi. Alasannya ialah bahwa orang sakit itu masih sehat akalnya dan dia

berbuat dengan kehendak sendiri, tanpa melihat kepada kemungkinan dia

berbuat untuk tujuan yang tidak baik. Pendapat ini juga berlaku di kalangan

ulama Zhahiriyah.67

Ulama lainnya dan merupakan mayoritas ulama berpendapat bahwa

isteri masih berhak atas warisan suaminya. Hal ini mengandung arti bahwa

talak yang dijatuhkan suami tidak sah. Hanya mereka berbeda dalam cara

pewarisannya. Satu kelompok di antaranya Abu Hanifah dan pengikutnya

mengatakan si isteri menerima warisan selama masih berada dalam 'iddah.

Kelompok kedua termasuk Imam Ahmad dan Ibnu Abi Laila mengatakan

bahwa isteri itu mewarisi selama dia belum kawin; dan sekelompok lagi

mengatakan isteri mewarisi baik dalam 'iddah atau tidak, belum kawin atau

sudah kawin. Dasar pendapat dari kebanyakan ulama ini adalah untuk

mencegah suami berbuat sesuatu yang tidak sejalan dengan tujuan syara'.

Prinsip ini dinamakan sadd al-zari'ah.68

Rukun Kedua: perempuan yang ditalak

Perempuan yang di-talak itu berada di bawah wilayah atau kekuasaan

laki-laki yang men-talak; yaitu isteri yang masih terikat dalam tali perkawinan

67Tidak berarti orang sakit itu sakit pula akalnya dan tidak bisa berbuat dengan kehendak sendiri,

68Ibnu Rusyd, Juz II, op.cit, hlm. 62.

47

dengannya. Demikian pula isteri yang sudah diceraikannya dalam bentuk talak

raj'iy dan masih berada dalam 'iddah; karena perempuan dalam keadaan ini

status hukumnya seperti isteri dalam hampir seluruh seginya. Hal ini sudah

merupakan kesepakatan ulama.

Tentang men-talak perempuan yang belum dikawininya namun dengan

syarat terjatuhnya talak setelah dikawininya menjadi perbincangan di kalangan

ulama.69 Ini yang disebut masalah menggantungkan talak setelah dikawini.

Cara ini ada dalam dua bentuk. Pertama; secara umum terhadap perempuan

mana saja, seperti ucapannya: "Siapa saja perempuan yang ada di daerah ini

bila saya kawini dia akan saya talak", kedua: secara khusus, seperti

ucapannya: "bila saya kawin dengan si Ani ia akan saya talak".

Segolongan ulama yang terdiri dari Imam Ahmad, Imam asy-Syâfi'i,

Daud al-Zhahiriy dan sekelompok ulama berpendapat bahwa talak dalam

bentuk itu tidak jatuh, baik diucapkan untuk perempuan secara umum atau

perempuan tertentu.

Segolongan ulama yang terdiri dari Abu Hanifah dan sekelompok

ulama lainnya berpendapat bahwa talak jatuh baik syarat yang dikaitkan pada

talak itu ditujukan kepada perempuan tertentu atau secara umum. Alasannya

ialah bahwa sewaktu terjatuhnya talak yang disyaratkan itu si perempuan telah

menjadi isterinya.

Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa bila syarat yang

dikaitkan pada talak itu ditujukan kepada perempuan tertentu jatuh talak-nya;

69Ibid, hlm. 63.

48

sebaliknya bila ditujukan kepada perempuan secara umum tidak terjatuh talak-

nya.

Rukun Ketiga: Shigat atau ucapan talak

Dalam akad nikah terdapat dua ucapan yang merupakan rukun dari

perkawinan, yaitu ucapan ijab dari pihak perempuan dan ucapan qabul dari

pihak laki-laki. Kedua ucapan yang bersambung itu dinamai akad. Dalam

talak tidak terdapat ijab dan qabul karena perbuatan talak itu merupakan

tindakan sepihak, yaitu dari suami dan tidak ada tindakan isteri untuk itu. Oleh

karena itu, sebagai imbalan akad dalam perkawinan, dalam talak berlaku

shighat atau ucapan talak.

Jumhur ulama berpendapat bahwa talak terjadi bila suami yang ingin

menceraikan isterinya itu mengucapkan ucapan tertentu yang menyatakan

bahwa isterinya itu telah lepas dari wilayahnya. Oleh karena itu, kalau suami

hanya sekadar berkeinginan atau meniatkan tetapi belum mengucapkan apa-

apa, maka belum terjadi talak. Berbeda dengan pendapat jumhur ulama

tersebut di atas, al-Zuhriy berpendapat meskipun tidak diucapkannya, tetapi ia

telah bertekat atau berazam untuk menceraikan isterinya, maka talak-nya

jatuh.

50

BAB III

PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG KHULU' SEBAGAI TALAK

A. Biografi Imam Malik

1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Imam Malik

Imam Malik memiliki nama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin

Abi Amir bin Amr bin Al-Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin

Al-Harits Al-Ashbahi Al-Humairi, Abu Abdillah Al-Madani dan

merupakan imam Dar Al-Hijrah. Nenek moyang mereka berasal dari Bani

Tamim bin Murrah dari suku Quraisy. Malik adalah sahabat Utsman bin

Ubaidillah At-Taimi, saudara Thalhah bin Ubaidillah.

Imam Malik dilahirkan di kota Madinah, dari sepasang suami-istri

Anas bin Malik dan Aliyah binti Suraik, bangsa Arab Yaman. Ayah imam

Malik bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi seorang tabi'in yang

sangat minim sekali informasinya. Buku sejarah hanya mencatat, bahwa

ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, suatu

tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai

pembuat panah.1 Kakek Malik, Abu Umar, datang ke Madinah dan

bermukim di sana sesudah Nabi wafat. Karenanya kakek Malik ini tidak

termasuk golongan sahabat, tetapi masuk golongan tabi’in. 2

1M. Alfatih Suryadilaga (ed), Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2003, hlm. 2. 2TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT

Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 461

51

Tentang tahun kelahirannya, Adz-Dzahabi berkata, "Menurut

pendapat yang lebih shahih Imam Malik lahir pada tahun 93 Hijriyah,

yaitu pada tahun dimana Anas, pembantu Rasulullah, meninggal.3 Para

ahli tarikh berbeda pendapat, Yasin Dutton menyatakan kemungkinan

pada 93 H/711 M.4 Ibnu khalikan menyebut 95 H, ada pula yang

menyatakan 90 H, 93 H, 94 H dan ada pula yang menyatakan 97 H. Tetapi

mayoritas ulama cenderung menyatakan beliau lahir tahun 93 H pada

masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik ibn Marwan dan meninggal

tahun 179 H. Jadi Imam Malik 13 tahun lebih muda dari rekannya yang

termasyhur, Imam Abu Hanifah.5

Mengenai sifat-sifatnya Mathraf bin Abdillah berkata, "Malik bin

Anas mempunyai perawakan tinggi, ukuran kepalanya besar dan botak,

rambut kepala dan jenggotnya putih, sedang kulitnya sangat putih hingga

kelihatan agak pirang. Dari Isa bin Umar Al-Madani, dia berkata, "Aku

tidak pernah melihat ada orang yang mempunyai kulit putih dan

mempunyai wajah yang kemerah-merahan, sebagus yang dimiliki Malik,

dan aku tidak melihat pakaian yang lebih putih dari pakaian yang

dikenakan Malik.Dari Abdurrahman bin Mahdi, dia berkata, "Aku tidak

3Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60

Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006, hlm. 260. 4Yasin Dutton, The Origin of Islamic Law; the Qur'an, the Muwatta', and 'Amal, Terj. M.

Maufur, "Asal Mula Hukum Islam: al-Qur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah", Yogyakarta: Islamika, 2003, hlm. 16

5Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 104.

52

melihat ada orang yang lebih mulia dari Malik, dan aku tidak melihat ada

orang yang lebih sempurna akal dan ketakwaannya dari Malik.6

Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang melahirkan 3

anak laki-laki (Muhammad, Hammad dan Yahya) dan seorang anak

perempuan, Fatimah (yang mendapat julukan Umm al-Mu'minin).

Menurut Abu Umar, Fatimah termasuk di antara anak-anaknya yang

dengan tekun mempelajari dan hafal dengan baik Kitab al-Muwatta'.

Menurut Munawar Khalil, Imam Malik sesudah berputra beberapa

orang, yang dari antaranya ada yang dinamakan Abdullah, maka beliau

lalu terkenal dengan sebutan Abu Abdillah. Kemudian setelah beliau

menjadi seorang alim besar dan terkenal dimana-dimana; juga setelah

ijtihad beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh

sebagian kaum muslimin, maka hasil ijtihad beliau dikenal dengan sebutan

mazhab Maliki.7

Setelah menjadi ulama besar, Imam Malik mempunyai dua tempat

pengajian yaitu masjid dan rumahnya sendiri. Beliau sering

menyampaikan hadis dan masalah-masalah fiqh. Dalam mengajar, Imam

Malik sangat menjaga diri agar tidak salah dalam memberi fatwa. Oleh

karena itu, untuk masalah-masalah yang ditanyakan, sedang beliau belum

yakin betul akan kebenaran jawabannya, sering menjawab la adri (saya

6Syaikh Ahmad Farid, loc.cit 7Munawar Khalil, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta:

Bulan Bintang, 1977, hlm. 80.

53

tidak tahu).8

Imam Malik terdidik di kota Madinah, tempat berkumpulnya para

sahabat, tabi'in, cerdik-pandai dan para ahli hukum agama. Beliau terdidik

di tengah-tengah mereka sebagai seorang anak yang cerdas, cepat

menerima pelajaran, kuat dalam berfikir, setia dan teliti.

Dari kecil beliau membaca al-Qur'an dengan lancar dan

mempelajari sunnah. Setelah dewasa beliau belajar kepada para ulama dan

fuqaha di kota Madinah, menghimpun pengetahuan yang didengar dari

mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, mengutip atsar-atsar

mereka, dan mengambil ka'idah-ka'idah mereka, sehingga beliau menjadi

orang yang paling pandai diantara mereka, dan menjadi seorang pemuka

sunnah serta pemimpin ahli hukum agama di negeri Hijaz.9

Perlu diterangkan, bahwa Malik, datuk beliau adalah termasuk

pembesar tabi'in dan ulama terkemuka. Semenjak kecil beliau seorang

fakir karena bukan berasal dari keturunan orang mampu. Sekalipun dalam

keadaan demikian, beliau tetap sebagai seorang pelajar yang setia dalam

menuntut ilmu pengetahuan. Karena itu, setelah beliau menjadi seorang

alim besar di kota Madinah, banyak hadiah yang diberikan kepadanya.10

Imam Malik sering mengunjungi para syekh, sehingga Imam

Nawawi mencatat bahwa ia berguru pada 900 syekh, 300 tabi'in dan 600

tabi'it-tabi'in. la juga berguru kepada syekh-syekh pilihan yang terjaga

8A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,

Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 128. 9Munawar Khalil, loc. cit. 10Ibid, hlm. 80.

54

agamanya dan memenuhi syarat-syarat untuk meriwayatkan hadis yang

terpercaya. la menghindari berguru pada syekh yang tidak memiliki ilmu

riwayat meskipun istiqamah dalam agamanya. Secara khusus, Imam

Malik berguru kepada Abdurrahman bin Hurmuz al-A'raj selama tujuh

tahun lebih. Selama masa itu ia tidak berguru pada syekh lain. la selalu

memberi kurma anak-anak Syekh Abdurrahman bin Hurmuz dan berkata,

"Bila ada yang mencari syekh, katakan ia sedang sibuk." la bermaksud

agar ia bisa konsentrasi belajar semaksimal mungkin.11

Di antara guru-gurunya adalah Rabi'ah bin Abi Abdurrahman, guru

Imam Malik di masa kecilnya. Ibunya berkata, "Pergilah mencari ilmu!"

Lantas ibunya memberinya seragam dan sorban "Pergilah ke Rabi'ah.

Belajarlah adab sebelum mempelajari ilmu." la pun menaati perintah

ibunya. Nafi', budak Abdullah bin Umar, juga termasuk guru Imam Malik.

la sering mendatanginya dan bertanya padanya. Demikian juga Ja'far

Muhammad al-Baqir, Muhammad bin Muslim al-Zuhri, Abdurrahman bin

Dzakwan, Yahya bin Sa'ad al-Anshari, Abu Hazim Salamah bin Dinar,

Muhammad bin Munkadir, Abdullah bin Dinar dan lain-lain.12

Kepandaian Imam Maliki tentang pengetahuan ilmu agama dapat

diketahui melalui para ulama pada masanya, seperti pernyataan Imam

Hanafi bahwa beliau tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih alim

daripada Imam Maliki. Imam al-Laits bin Sa'ad pernah berkata, bahwa

pengetahuan Imam Maliki adalah pengetahuan orang yang takwa kepada

11Ahmad asy-Syarbasy, Empat Mutiara Zaman Biografi Empat Imam Mazhab, Terj. Futuhal Arifin, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 82

12Ibid

55

Allah dan boleh dipercaya bagi orang-orang yang benar-benar hendak

mengambil pengetahuan".13

Imam Yahya bin Syu'bah menyebutkan bahwa pada masa itu tidak

ada seorang pun yang dapat menduduki kursi mufti di masjid Nabi Saw

selain Imam Maliki. Karena kepandaian Imam Maliki tentang ilmu agama

dan seorang alim besar, beliau terkenal sebagai seorang ahli kota Madinah

dan imam di negeri Hijaz.14

Imam Malik adalah ulama pendiri mazhab, karena itu, ia memiliki

murid dan pengikut yang meneruskan dan melestarikan pendapat-

pendapatnya. Di antara pengikut Imam Malik yang terkenal adalah (1)

Asad ibn al-Furat, (2) 'Abd al-Salam al-Tanukhi (Sahnun), (3) Ibnu

Rusyd, (4) Al-Qurafi, dan (5) Al-Syathibi.

Malik bin Anas wafat pada hari kesepuluh bulan Rabi'ul Awal

tahun 179 H dalam usia 60 tahun. Beliau berwasiat bahwa kalau wafat,

hendaknya dikafani dengan kain putih dan disalati di tempat jenazah.

Beliau disalati oleh banyak manusia, diantaranya adalah Ibnu Abbas

Hasyim, Ibnu Kinanah, Sya'bah bin Daud, sekretaris beliau Habib, dan

putra beliau. Pendudukan Madinah dari berbagai usia mengiringi

pemakamannya di Baqi' di Madinah.15

13M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.

196. 14Ibid, hlm. 196 - 197 15Ali Fikri, Kisah-Kisah Imam Mazhab, Terj. Abd Aziz, Yogyakarta: Mitra Pustaka,

2003, hlm. 71.

56

2. Karya-karyanya

Karya Imam Malik adalah (a) al-Muwatta'. Kitab ini merupakan

hadis dan fikih sekaligus yang di dalamnya dihimpun hadis-hadis dalam

tema-tema fikih yang dibahas Imam Malik, seperti praktek atau amalan

penduduk Madinah, pendapat tabi'in yang ia temui, dan pendapat sahabat

serta tabi'in yang tidak sempat ditemuinya.16 Karya lainya, adalah: (b)

Kitab 'Aqdiyah, (c) Kitab Nujum, Hisab Madar al-Zaman, Manazil

al'Qamar, (d) Kitab Manasik, (e) Kitab Tafsir li Garib al-Qur'an, (f)

Ahkam al-Qur'an, (g) al-Mudawanah al-Kubra, (h) Tafsir al-Qur'an (i)

Kitab Masa' Islam (j) Risalah ibn Matruf Gassan (k) Risalah ila al-Lais,

(1) Risalah ila ibn Wahb. Namun, dari beberapa karya tersebut yang

sampai kepada kita hanya dua yakni, al-Muwatta' dan al-Mudawwanah al-

Kubra.17

Kitab ini sudah disyarahi oleh Muhammad Zakaria al-Kandahlawi

dengan judul Auzhaz al-Masalik ila Muwatta' Malik, dan Muhammad ibn

'Abd al-Baqi al-Zarqani dengan judul Syarh al-Zarqani 'al-Muwatta' al-

Imam Malik, dan Jalal al-Din 'Abd al-Rahman al-Suyuthi al-Syafi'i yang

berjudul Tanwir al-Hawalik Syarh 'al-Muwatta' Malik.

3. Situasi Politik dan Sosial Keagamaan

Situasi ketika Malik hidup memberikan pengaruh besar terhadap

sikap konsistensinya pada hadis dan keengganannya pada ijtihad rasio.

16Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta: PT.Ichtiar Baru

Van Hoeve, 1994, hlm. 142. 17M. al-Fatih Suryadilaga (ed), op.cit., Yogyakarta: Teras, 2003, hlm. 6

57

Selama empat puluh tahun ia hidup dalam periode Umayyah dan empat

puluh enam tahun dalam periode Abbasiyah, maka masa-masa ini

merupakan orde penuh gejolak dan sarat gelombang fitnah dan politik.

Dalam lapangan politik, misalnya, muncul aliran Syi'ah dan Khawarij,

dalam teologi muncul aliran Qadariyah, Jahmiyah dan Murji'ah. Masing-

masing aliran ini berusaha keras membela mazhabnya. Kadang-kadang

mereka menggunakan hadis-hadis Nabi Saw secara serampangan.

Terkadang pula mereka membuat atau mengubahnya sesuai dengan dan

untuk kepentingannya masing-masing yang akhirya menimbulkan

(memunculkan) hadis-hadis palsu dan pertentangan di kalangan

masyarakat. 18

Akibat dari kecerobohan-kecerobohan terhadap hadis-hadis Nabi

itu, Imam Malik merasa perlu untuk meneliti riwayat-riwayat hadis. Kitab

monumentalnya, al-Muwatta' adalah bukti sejarah yang nyata hingga

sekarang. Kitab ini memuat hadis-hadis shahih, perbuatan orang-orang

Madinah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi'ien yang disusun secara sistematis

mengikuti sistematika penulisan fiqih. Keistimewaan dari al-Muwatta' '

adalah bahwa Imam Malik memerinci berbagai persoalan dan kaidah-

kaidah fiqhiyah yang diambil dari hadis-hadis. Kitab yang disusun selama

empat puluh tahun ini merupakan satu-satunya kitab yang paling

komprehensif di bidang hadis dan fiqih, sistematis dan ditulis dengan cara

yang sangat baik, minimal, yang muncul pada saat itu. Kitab ini diberi

18Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah

Gusti,1995, hlm. 95.

58

judul al-Muwatta' yang berarti "kemudahan" dan "kesederhanaan", karena

penulisannya diusahakan sebaik mungkin untuk memudahkan dan

menyederhanakan kajian-kajian hadis dan fiqih. Seperti diakui sendiri

oleh Imam Malik, kitab ini ditulis karena ada desakan-desakan dan

kebutuhan memberikan pemahaman yang mendasar terhadap masyarakat.

Abu Ja'far al-Mansur yang saat itu menjabat sebagai khalifah kedua dari

Bani Abbas juga pernah menyarankan Malik untuk melakukan kerja

agung itu.

Ada beberapa versi yang mengemukakan tentang latar belakang

penyusunan al-Muwatta'. Menurut Noel J. Coulson,19 problem politik dan

sosial keagamaan-lah yang melatarbelakangi penyusunan al-Muwatta.

Kondisi politik yang penuh konflik pada masa transisi Daulah Umayyah-

Abasiyyah yang melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij, Syi'ah-

Keluarga Istana) yang mengancam integritas kaum Muslim. Di samping

kondisi sosial keagamaan yang berkembang penuh nuansa perbedaan.

Perbedaan-perbedaan pemikiran yang berkembang (khususnya dalam

bidang hukum) yang berangkat dari perbedaan metode nash di satu sisi

dan rasio di sisi yang lain, telah melahirkan pluratis yang penuh konflik.20

Versi lain menyatakan, penulisan al-Muwatta dikarenakan adanya

permintaan Khalifah Ja'far al-Mansur atas usulan Muhammad ibn al-

Muqaffa' yang sangat prihatin terhadap perbedaan fatwa dan pertentangan

yang berkembang saat itu, dan mengusulkan kepada Khalifah untuk

19Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad, Jakarta: P3M, 1987, hlm. 59

20M. al-Fatih Suryadilaga (ed), op. cit, hlm. 7

59

menyusun undang-undang yang menjadi penengah dan bisa diterima

semua pihak. Khalifah Ja'far lalu meminta Imam Malik menyusun kitab

hukum sebagai kitab standar bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik

menerima usulan tersebut, namun ia keberatan menjadikannya sebagai

kitab standar atau kitab resmi negara. Sedangkan versi yang lain, di

samping termotivasi oleh usulan Khalifah Ja'far al-Mansur, sebenarnya

Imam Malik sendiri memiliki keinginan kuat untuk menyusun kitab yang

dapat memudahkan umat Islam memahami agama.21

"Sekarang ini tidak ada orang alim kecuali saya dan anda," kata al-

Mansur, "Sedangkan saya sibuk dengan urusan politik. Saya berharap

anda akan menulis buku tentang fiqih dan Sunnah. Usahakan hindari

kelonggaran Ibnu Abbas, keekstriman Ibnu Umar dan pandangan-

pandangan kontroversial Ibnu Mas'ud. Usahakan untuk mempermudah

dan menyederhanakan sedapat mungkin."22 al-Muwatta' mendapat

sambutan hangat dari masyarakat, terutama kalangan ulama. Banyak

ulama yang datang minta riwayat hadis dari Imam Malik. Melihat

sambutan yang sangat semarak itu, al-Mansur berhasrat untuk

menyebarkannya ke berbagai daerah. "Saya bermaksud meletakkan al-

Muwatta' di pintu Ka'bah dan menyebarkannya ke seluruh daerah agar

menjadi pegangan umum masyarakat," kata al-Mansur. "Jangan," kata

Imam Malik, menolak, "Jangan lakukan itu. Sebab para sahabat menyebar

di mana-mana dan mereka meriwayatkan suatu hadis yang tidak

21Ibid, hlm. 7 – 8. 22Mun’im A. Sirry, op. cit, hlm. 95.

60

diriwayatkan oleh ulama-ulama Hijaz yang saya jadikan pegangan.

"Biarkan mereka tetap seperti semula."23

B. Pendapat Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak

Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta' menyatakan sebagai berikut:

ت معوذ بن عفراء حدثني يحيى عن مالك عن نافع أن ربيع بنجاءت هي وعمها إلى عبد الله بن عمر فأخبرته أنها اختلعت من زوجها في زمان عثمان بن عفان فبلغ ذلك عثمان بن

24ن عمر عدتها عدة المطلقة عفان فلم ينكره وقال عبد الله بArtinya: "Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik, dari Nafi'

bahwa Rubayyi' bint Mu'awwadh ibn 'Afra' datang bersama pamannya kepada 'Abdullah ibn 'Umar dan memberitahunya bahwa ia telah bercerai dari suaminya dengan membayar pengganti kepadanya pada masa 'Utsman ibn 'Affan, dan 'Utsman ibn 'Affan mendengar tentang itu dan tidak menyalahkannya. 'Abdullah ibn 'Umar berkata: "Masa 'iddahnya adalah 'iddah seorang wanita yang dicerai."

ليمان بن أن سعيد بن المسيب وسحدثني عن مالك أنه بلغهويسار وابن شهاب آانوا يقولون عدة المختلعة مثل عدة المطلقة

25ثلاثة قروء Artinya: "Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik bahwa ia telah

mendengar bahwa Sa'id ibn al-Musayyab, Sulayman ibn Yasar dan Ibn Shihab mereka berkata bahwa seorang wanita yang meminta cerai kepada suaminya dengan membayar iwad masa 'iddahya seperti seorang wanita yang bercerai tiga periode menstruasi/suci".

23Ibid, hlm. 96. 24Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi, al-Muwatta'

Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, tth, hlm. 345. 25Ibid

61

إال بنكاح جديد إنها الترجع إلى زوجها: قال مالك في المفتدية عليها عدة من فإن هو نكحها ففارقها قبل أن يمسها لم يكن له

26الطالق االخر وتبني على عدتها األولىArtinya: Malik mengatakan tentang wanita yang menebus dirinya (untuk

bercerai dari suaminya): bahwa wanita itu tidak bisa kembali kepada suaminya kecuali dengan akad nikah baru. Bila kemudian suaminya menikahinya lalu menceraikannya sebelum menggaulinya, maka ia tidak perlu lagi menjalani iddah dari talak yang terakhir ini, tapi ia tetap berpatokan pada iddahnya yang pertama, (yakni melanjutkannya).

27وهذا أحسن ما سمعت فى ذلك: قال مالك Artinya: Malik mengatakan, ini adalah pendapat terbaik yang pernah aku

dengar dalam masalah ini.

المرأة من زوجها بشيء على أن يطلقها إذا افتدت: قال مالكفطلقها طالقا متتابعا نسقا فذلك ثابت عليه فإن آان بين ذلك

28صمات فما أتبعه بعد الصمات فليس بشيءArtinya: Malik mengatakan, bila seorang wanita menebus dirinya dari

suaminya dengan sesuatu juga memberikan iwadh agar ia menceraikan dirinya, lalu suaminya itu mentalaknya dengan talak yang berturut-turut tanpa berhenti, maka hal itu berlaku padanya, tapi bila ada diam di antara ucapan talak itu, maka apa yang setelah diam itu tidak lagi dianggap.

مع الطالق تطليقتان إال أن يكون لم يطلق قبله شيئا الخلع 29فالخلع تطليقة

Artinya: khulu' disertai talak menjadi dua talak kecuali suami tersebut belum pernah mentalak sebeumnya maka khulu' menjadi talak satu.

26Ibid 27Ibid 28Ibid 29Imam Malik, Mudawanah al-kubra, Juz. II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994, hlm.

242

62

Dengan demikian dalam perspektif Imam Malik bahwa khulu' itu

mempunyai kedudukan sebagai talak. Kesimpulan yang dapat diambil dari

pendapat Imam Malik yaitu dalam pandangan Imam Malik bahwa khulu' itu

mempunyai kedudukan sebagai talak, sehingga khulu' mempunyai sifat

mengurangi jumlah talak yang dimiliki suami dan suami dapat merujuk

kembali istrinya selama dalam masa 'iddah. Imam Abu Hanifah menyamakan

khulu'' dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i

berpendapat bahwa khulu'' itu adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam

Ahmad, Imam Abu Daud dan Ibnu Abbas ra.

C. Alasan Hukum Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak

Imam Abu Hanifah menyamakan khulu'' dengan talak dan fasakh

secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa khulu'' itu

adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Daud dan

Ibnu Abbas ra. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa khulu'' itu adalah

talak.30

Imam Malik tidak menuliskan secara langsung dasar-dasar fiqhiyah

yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi murid-muridnya kemudian

menuliskan dasar-dasar fiqhiyah Malik dari beberapa isyarat yang ada dalam

fatwa-fatwanya dan kitabnya, Muwatta',.

Al-Qarafi dalam kitabnya, Tanqih al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar

mazhab Maliki sebagai berikut: Al-Qur'an, Sunnah, ijma', perbuatan orang-

30Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,

1409 H/1989, hlm. 52.

63

orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, 'urf, sadd al-zara`i',

istihsan dan istishab. Al-Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki,

menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu al-

Qur'an, Sunnah, ijma' dan ra'y (rasio). Penyederhanaan Syatibi ini memang

cukup beralasan, sebab, qaul sahabat dan tradisi orang-orang Madinah yang

dimaksud Imam Malik adalah bagian dari Sunnah, sedangkan ra'y itu meliputi

maslahah mursalah, sadd al-zara-i', 'urf, istihsan dan istishab.31

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa metode dan dasar-

dasar kajian fiqih Malik sepenuhnya mengambil kerangka acuan mazhab ahli

hadis yang muncul di Hijaz. Penggunaan qiyas, misalnya jarang sekali

dilakukan, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Malik dalam

menetapkan atau memutuskan hukum mendahulukan "perbuatan orang-orang

Madinah". Sampai sejauh itu Imam Malik tidak berani menggunakan rasio

secara bebas. Ibnu Qasim, salah seorang muridnya yang sering melakukan

dialog dengannya, mengatakan bahwa Imam Malik mengaku, dalam masa

lebih dari sepuluh tahun ini, untuk menjawab suatu masalah ia tidak pernah

mendahulukan rasio. Keteguhan Imam Malik dalam memegang al-Qur'an dan

hadis sedemikian rupa, sehingga dalam masalah-masalah yang tidak ada nash

yang jelas baik dari keduanya, ia tidak berani memutuskannya, sebagaimana ia

juga tidak suka memprediksikan masalah-masalah yang belum muncul.

Ada beberapa hal menarik dari dasar-dasar mazhab Maliki. Pertama,

Imam Malik mendahulukan perbuatan orang-orang Madinah sebelum qiyas,

31Mun’im A. Sirry, op.cit., hlm. 96-97.

64

suatu metode yang tidak dipergunakan fuqaha lainnya. Perbuatan orang-orang

Madinah, menurut Imam Malik, termasuk bagian dari sunnah mutawatirah

karena pewarisannya melalui generasi ke generasi yang dilakukan secara

massal sehingga menutup kemungkinan untuk terjadi penyelewengan. Para

sahabat yang berada di Madinah bergaul dengan Nabi Saw dan

mengembangkan tradisi hidup Nabi Saw yang kemudian diwariskan kepada

tabi'in dengan cara yang sama. Pewarisan itu berlangsung secara

berkesinambungan hingga sampai kepada tabi'it tabi'in.32

Dalam suratnya kepada Laits bin Sa'ad, Imam Malik berkata,

"Madinah adalah tempat hijrah, tempat turunnya al-Qur'an, dihalalkannya

yang halal dan diharamkannya yang haram. Para sahabat mengikuti jejak Nabi

Saw dalam segala hal, demikian pula tabi'in. Jika demikian halnya, menurut

pendapat saya, tidak seorang pun yang boleh melanggarnya." Laits bin Sa'ad

menjawab surat Malik secara panjang lebar dan menanggapi beberapa point

dari pendapatnya. "Sebagaimana anda, saya pun ingin mengemukakan

pendapat saya dalam masalah ini," tulis Laits, "Karena perbedaan pendapat ini

sebenarnya merupakan warisan para sahabat dan tabi'in. Bagaimana anda

dapat berkesimpulan bahwa perbuatan orang-orang Madinah sebagai sumber

hukum padahal anda pun tahu bahwa sahabat sendiri berbeda pendapat dalam

berbagai persoalan, kemudian tradisi ikhtilaf itu pun, diikuti oleh tabi'in?33

Tradisi dialog seperti itu akan menguatkan hipotesa kita bahwa betapapun

Imam Malik sangat tertutup terhadap perkembangan yang ada di sekitarnya,

32Ibid, hlm. 97. 33Ibid

65

tetapi ia pun berusaha membuka dialog terbuka dengan para ulama yang tidak

sealiran dengannya.

Kedua, Imam Malik juga menganggap qaul sahabat sebagai dalil

syar'i, yang harus didahulukan daripada qiyas. Pendapat ini ditanggapi keras

oleh seluruh ulama, termasuk Syafi'i. Sebab suatu dalil, demikian para

penyanggah, hanya dapat diperoleh dari orang-orang ma'shum, sedangkan

yang tidak ma'shum tidak dapat dijadikan dalil karena ada kemungkinan untuk

salah.34

Ketiga, maslahah mursalah. Teori ini semula hanya dikenal dalam

mazhab Maliki kemudian mendapat pengakuan dari hampir semua mazhab

meski dengan sebutan yang berbeda. Dalam teori ini dapat diketahui bahwa

ternyata fiqih mazhab Maliki pun memakai rasio. Karena betapapun sejauh

masalahnya menyangkut fiqih pasti mengandung unsur pemakaian rasio.

Maslahah mursalah yaitu suatu kemaslahatan dimana syar’i tidak

mensyari’atkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada

dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.35 Tegasnya,

maslahah mursalah artinya suatu kemaslahatan yang tidak ada ketegasan nash

Al-Qur'an dan Sunnah, tetapi dirujukkan pada tujuan-tujuan moral dan

pemahaman menyeluruh dari nash-nash itu.

34Ibid, hlm. 98 35Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm 84.

Maslahah mursalah termasuk sumber hukum yang masih dipertentangkan di antara ulama ahli fiqh. Golongan mazhab Hanafi dan Syafi’i tidak menganggap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dan memasukkannya ke dalam bab atau kategori qiyas. Jika di dalam suatu maslahat tidak ditemukan nash yang bisa dijadikan acuan qiyas, maka maslahat tersebut dianggap batal, tidak diterima. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 280.

66

Contoh dari penggunaan teori ini dapat dilihat pada tindakan Umar bin

Khathab terhadap beberapa orang Yaman yang membunuh satu orang. Ketika

itu sekelompok dari orang-orang Yaman mengadakan konspirasi dalam

pembunuhan satu orang. Tidak ada nash yang menegaskan kasus ini, yang ada

adalah annafs bin nafsi (satu jiwa dengan satu jiwa). Sesudah mendiskusikan

kasus ini dengan Ali bin Abi Thalib, Umar memutuskan qisas terhadap orang-

orang yang terlibat dalam konspirasi itu. Sikap itu, demikian kata Umar,

adalah suatu upaya mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan, yaitu mencegah

pertumpahan darah dan terjadinya hukum rimba. Kemaslahatan ini juga

merupakan suatu kemaslahatan yang menjadi sasaran utama al-Qur'an. Sebab

jika orang-orang yang terlibat itu tidak dibunuh, maka cara konspirasi seperti

itu akan dianggap sebagai cara yang paling aman untuk menghindar dari qisas.

"Kalau saja semua orang Yaman sepakat untuk melakukan pembunuhan, saya

akan bunuh mereka semua," kata Umar.36 Dan inilah yang dimaksudkan

maslahah mursalah.

Keempat, keteguhan Imam Malik dalam memegang "tradisi orang-

orang Madinah" dalam penerimaan hadis ahad. Menurut Imam Malik, suatu

hadis ahad dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-

orang Madinah, karena kedudukan dan perbuatan orang-orang Madinah sama

dengan hadis mutawatir. Sedangkan hadis mutawatir harus didahulukan dari

qiyas.37

36M. Alfatih Suryadilaga (ed), op. cit, hlm. 3. 37Qiyas adalah mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum ada kedudukan

hukumnya dengan sesuatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi

67

Berdasarkan keterangan di atas barangkali dapat disimpulkan bahwa

Imam Malik adalah seorang yang berpikiran tradisional. Hanya karena

kedalaman ilmunya ia dapat mengimbangi berbagai perkembangan yang

terjadi saat itu.

Secara umum, metode dan dasar-dasar istinbat yang digunakan Imam

Malik adalah:

1. Al-Qur'an

Seperti halnya para imam mazhab yang lain, Imam Malik

meletakkan Al-Qur'an di atas semua dalil karena Al-Our'an merupakan

pokok syariat dan "hujjahnya. Imam Malik mengambil dari:

a Nash yang tegas yang tidak menerima takwil dan mengambil bentuk

lahirnya;

b Mafhum muwafaqah atau fahwa al-khitab, yaitu hukum yang semakna

dengan satu nash (Al-Qur'an dan Al-Hadis) yang hukumnya sama

dengan yang disebutkan oleh nash itu sendiri secara tegas;

c Mafhum mukhalafah, yaitu penetapan lawan hukum yang diambil dari

dalil yang disebutkan dalam nash (Al-Qur'an dan Al-Hadis) pada

sesuatu yang tidak disebutkan dalam nash; dan

d 'Illat-'illat hukum (sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum).

2. Sunnah

Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur'an. Sunah yang

diambil oleh Imam Malik ialah:

persamaan antara keduanya yang disebut illat. Lihat A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, hlm. 63. .

68

a Sunah mutawatir;

b Sunah masyhur, baik kemasyhurannya itu di tingkat tabiin ataupun

tabi' at-tabi'in (generasi sesudah tabiin). Tingkat kemasyhuran setelah

generasi tersebut di atas tidak dapat dipertimbangkan; dan

c Khabar (hadis) ahad yang didahului atas praktek penduduk Madinah

dan kias. Akan tetapi kadang-kadang khabar ahad itu bisa tertolak oleh

kias dan maslahat.

3. Praktek Penduduk Madinah

Hal itu dipandang sebagai hujah, jika praktek itu benar-benar

dinukilkan dari Nabi Saw. Sehubungan dengan itu praktek penduduk

Madinah yang dasarnya ra'yu (akal, penalaran) bisa didahulukan atas

khabar ahad. Imam Malik mencela ahli fikih yang tidak mau mengambil

praktek penduduk Madinah, bahkan menyalahinya.

4. Fatwa Sahabat

Fatwa ini dipandang sebagai hadis yang wajib dilaksanakan.

Dalam kaitan ini Imam Malik mendahulukan fatwa sebagian sahabat

dalam soal manasik haji dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan

alasan sahabat yang bersangkutan tidak melaksanakannya karena hal ini

tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perintah dari Nabi Saw.

Sementara itu, masalah manasik haji tidak mungkin bisa diketahui

tanpa adanya penukilan langsung dari Nabi Saw. Imam Malik juga

mengambil fatwa tabiin besar, tetapi tidak disamakan kedudukannya

dengan fatwa sahabat.

69

5. Qiyas, al-Maslahah al-Mursalah, dan Istihsan.

Imam Malik mengambil kias dalam pengertian umum yang

merupakan penyamaan hukum perkara, yakni hukum perkara yang tidak

ditegaskan dengan hukum yang ditegaskan. Hal ini disebabkan adanya

persamaan sifat (illat hukum). Sementara istihsan adalah memandang

lebih kuat ketetapan hukum berdasarkan maslahat juz'iyah (sebagian) atas

ketetapan hukum berdasarkan kias berdasarkan kias. Jika dalam kias ada

keharusan menyamakan suatu hukum yang tidak tegas dengan hukum

tertentu yang tegas, maka maslahat juz'iyah mengharuskan hukum lain dan

ini yang diberlakukan, yang kemudian dinamakan istihsan. Akan tetapi

dalam Mazhab Maliki, istihsan itu sifatnya lebih umum yang mencakup

setiap maslahat, yaitu hukum maslahat yang tidak ada nash, baik dalam

tema itu dapat diterapkan kias ataupun tidak, sehingga pengertian istihsan

itu mencakup al-maslahah al-mursalah.

6. Az-Zara'i', yaitu sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan

maka akan menjadi haram pula, sarana yang membawa pada hal-hal yang

dihalalkan maka akan menjadi halal juga, dan sarana yang membawa pada

kerusakan maka diharamkan juga. Sarana yang membawa pada kerusakan

(mafsadah) dalam Mazhab Maliki dibagi menjadi empat.

Pertama, sarana yang secara pasti membawa pada kerusakan, seperti

menggali sumur di belakang pintu rumah.

70

Kedua, sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan,

seperti jual-beli anggur dengan dugaan akan dibuat khamar (minuman keras)

oleh pembelinya.

Ketiga, sarana yang jarang bisa membawa pada kerusakan, seperti

menggali sumur di suatu tempat yang tidak membahayakan orang lain.

Keempat, sarana yang banyak mengantarkan pada kerusakan, tetapi

tidak dipandang umum, seperti jual-beli dengan tenggang waktu yang dapat

membawa pada praktek riba

Setelah mengungkapkan metode istinbath hukum Malik secara umum,

maka alasan Imam Malik secara khusus dalam konteksnya dengan khulu'

sebagai talak, alasannya adalah karena kata-kata khulu' itu hanya dimiliki

suami atau dengan kata lain bahwa khulu' itu diucapkan oleh suami, meskipun

atas permintaan istri dengan memberikan iwadh (tebusan). Karena itu hakikat

khulu' sama dengan talak.38

Dalam perspektif Imam Malik bahwa fatwa sahabat dianggap tidak

jauh berbeda dengan hadis yang harus dilaksanakan. Dalam konteks ini Imam

Malik juga menganggap qaul sahabat sebagai dalil syar'i, yang harus

didahulukan daripada qiyas. Pendapat ini ditanggapi keras oleh seluruh ulama,

termasuk Syafi'i. Sebab suatu dalil, demikian para penyanggah, hanya dapat

diperoleh dari orang-orang ma'shum, sedangkan yang tidak ma'shum tidak

dapat dijadikan dalil karena ada kemungkinan untuk salah.39

38Ibnu Rusyd, op.cit, hlm. 52. 39Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah

Gusti,1995, hlm. 98

71

Adapun alasan Imam Malik yang berpendapat bahwa khulu' sebagai

talak ba'in adalah karena apabila suami dapat merujuk istrinya pada masa

'iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi.40 Imam Abu Hanifah

menyamakan khulu'' dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan

Imam Syafi'i berpendapat bahwa khulu'' itu adalah fasakh. Demikian pula

pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Daud dan Ibnu Abbas ra. Sedangkan

Imam Malik berpendapat bahwa khulu'' itu adalah talak. Abu Tsaur

berpendapat bahwa apabila khulu' tidak menggunakan kata-kata talak, maka

suami tidak dapat merujuk istrinya. Sedang apabila khulu' tersebut

menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha

yang menganggap khulu' sebagai talak mengemukakan alasan, bahwa fasakh

itu tidak lain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang

kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari

kehendaknya. Sedang khulu' ini berpangkal pada kehendak. Oleh karenanya,

khulu' itu bukan fasakh.

40Ibnu Rusyd, op.cit, hlm. 52.

72

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG KHULU' SEBAGAI

TALAK

A. Analisis Pendapat Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak

Sebelum menganalisis pendapat Imam Malik tentang khulu' sebagai

talak, ada baiknya dikemukakan sepintas pendapat para ulama lainnya tentang

tentang khulu' sebagai talak ataukah sebagai fasakh. Berdasarkan hal itu maka

dalam sub ini hendak diketengahkan tiga hal: (1) pendapat para ulama lainnya;

(2) Pendapat Imam Malik; (3) Analisis penulis.

Pertama, pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah menyamakan

khulu'' dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i

berpendapat bahwa khulu'' itu adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam

Ahmad, Imam Abu Daud dan Ibnu Abbas ra. Sedangkan Imam Malik

berpendapat bahwa khulu'' itu adalah talak. Abu Tsaur berpendapat bahwa

apabila khulu' tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat

merujuk istrinya. Sedang apabila khulu' tersebut menggunakan kata-kata talak,

maka suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha yang menganggap khulu' sebagai

talak mengemukakan alasan, bahwa fasakh itu tidak lain merupakan perkara

yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan

perkawinan tetapi tidak berasal dari kehendaknya. Sedang khulu' ini

berpangkal pada kehendak. Oleh karenanya, khulu' itu bukan fasakh. Fuqaha

yang tidak menganggap khulu' sebagai talak mengemukakan alasan bahwa

dalam al-Qur'an, mula-mula Allah Swt. menyebutkan tentang talak:

73

)229: البقرة( الطالق مرتان

Artinya: "Talak yang dapat dirujuki itu dua kali" (QS. al-Baqarah: 229).1

Kemudian Dia menyebutkan tentang tebusan (khulu'), dan selanjutnya

Dia berfirman:

تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيرهفإن طلقها فال )230: البقرة(

Artinya: "Jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain." (QS. al-Baqarah: 230).2

Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri

tidak halal lagi bagi suami kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang

lain itu menjadi talak yang keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu

dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan dengan fasakh dalam

jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri. Fuqaha yang menentang

pendapat ini mengatakan bahwa ayat tersebut memuat kedudukan tebusan

sebagai suatu tindakan yang disamakan dengan talak, bukan tindakan yang

berbeda dengan talak. Jadi, silang pendapat ini terjadi disebabkan, apakah

adanya imbalan untuk memutus ikatan perkawinan mi dapat dianggap keluar

dari jenis pemutusan perkawinan karena talak, menjadi jenis pemutusan

perkawinan karena fasakh atau tidak?3

Kedua, pendapat Imam Malik.

1Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:

DEPAG RI, 1978, hlm. 55. 2 Ibid., 3Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,

1409 H/1989, hlm. 52.

74

Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta' menyatakan sebagai berikut:

بيع بنت معوذ بن عفراء حدثني يحيى عن مالك عن نافع أن رجاءت هي وعمها إلى عبد الله بن عمر فأخبرته أنها اختلعت من زوجها في زمان عثمان بن عفان فبلغ ذلك عثمان بن

الله بن عمر عدتها عدة المطلقة عفان فلم ينكره وقال عبدحدثني عن مالك أنه بلغه أن سعيد بن المسيب وسليمان بن يسار وابن شهاب آانوا يقولون عدة المختلعة مثل عدة المطلقة

4وء ثلاثة قرArtinya: Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik, dari Nafi' bahwa

Rubayyi' bint Mu'awwidh ibn 'Afra' datang dengan paman dari rumpun bapaknya kepada 'Abdullah ibn 'Umar dan memberitahunya bahwa ia telah bercerai dari suaminya dengan membayar pengganti kepadanya pada masa 'Utsman ibn 'Affan, dan 'Utsman ibn 'Affan mendengar tentang itu dan tidak menyalahkannya. 'Abdullah ibn 'Umar berkata: "Masa 'iddahnya adalah 'iddah seorang wanita yang bercerai." Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Sa'id ibn al-Musayyab, Sulayman ibn Yasar dan Ibn Shihab kesemuanya berkata bahwa seorang wanita yang diceraikan suaminya demi pengganti memiliki masa 'iddahya seperti seorang wanita yang bercerai tiga periode menstruasi.

Dengan demikian dalam perspektif Imam Malik bahwa khulu' itu

mempunyai kedudukan sebagai talak. Dengan demikian pada saat itu tidak

ada peluang lagi bagi kedua belah pihak untuk bersatu kecuali jika istri

menikah lagi dengan pria lain, kemudian bercerai, maka dalam hal ini harus

terlebih dahulu ada proses muhallil.

Ketiga, analisis pendapat

4Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi, al-Muwatta'

Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, tth, hlm. 345.

75

Menurut penulis bahwa pendapat Imam Malik yang menempatkan

khulu' sebagai talak mempunyai akibat hukum yang berbeda dengan ulama

lain yang mendudukkan khulu' sebagai fasakh. Jika berpijak pada pendapat

yang mendudukkan khulu' sebagai fasakh maka itu berarti boleh melakukan

khulu' berapa kali pun tanpa memerlukan muhallil.5

Istilah muhallil adalah berkaitan dengan istilah pernikahan muhallil,

maka yang dimaksud dengan nikah muhallil adalah nikah untuk menghalalkan

mantan istri yang telah ditalak tiga kali. Menurut Ibnu Rusyd, nikah muhallil

adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas istri yang telah

ditalak tiga kali.6 Sayyid Sabiq mendefinisikan kawin tahlil adalah seorang

laki-laki menikahi seorang perempuan yang sudah bertalak tiga sesudah habis

masa iddahnya dan dia telah dukhul kepadanya kemudian ia mentalak wanita

itu dengan maksud agar dia dapat nikah kembali dengan bekas suaminya yang

pertama.7

Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya

adalah haram. Kalau dikaitkan kepada nikah akan berarti perbuatan yang

menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan nikah menjadi

boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain

melakukan nikah itu disebut muhallil, sedangkan orang yang telah halal

5Ibid 6Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 44. 7Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 134.

76

melakukan nikah disebabkan oleh nikah yang dilakukan muhallil dinamai

muhallallah.8

Nikah tahlil dengan demikian adalah nikah yang dilakukan untuk

menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali

kepada istrinya dengan nikah baru. Bila seseorang telah menceraikan istrinya

sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak

boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah

menikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya.

Kembali pada persoalan khulu' bahwa sebagaimana dikatakan di atas

bahwa pendapat yang mengatakan khulu' itu fasakh maka itu berarti boleh

melakukan khulu' berapa kali pun tanpa memerlukan muhallil. Sedangkan jika

berpegang pada pendapat Imam Malik yang menempatkan khulu' sebagai

talak maka khulu' tidak boleh lebih dari tiga kali. Bila istri yang telah

melakukan khulu' sebanyak tiga kali, ia baru dapat kembali kepada istrinya itu

setelah adanya muhallil sebagaimana yang berlaku dalam talak. Dengan

demikian pendapat Imam Malik ini mengandung konsekuensi yaitu khulu' itu

mengurangi jumlah bilangan cerai. Maksudnya yaitu kalau khulu' dianggap

talak, maka khulu' terbatas hanya sampai tiga kali, namun jika khulu' sebagai

fasakh maka berapa kali pun khulu' tidak jatuh sebagai talak.9

Bila terjadi fasakh baik dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum

perkawinan atau terdapatnya halangan yang tidak memungkinkan melanjutkan

perkawinan, terjadilah akibat hukumnya. Khusus akibat hukum yang

8Amir Syarifuddin, Hukum Nikah Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm.. 103.

9Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 52.

77

ditimbulkan oleh putus perkawinan secara fasakh itu adalah suami tidak boleh

ruju' kepada mantan istrinya selama istri itu menjalani masa iddah, oleh

karena perceraian dalam bentuk fasakh itu berstatus bain sughra. Bila mantan

suami dan mantan istri berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya,

mereka harus melakukan akad nikah baru, baik dalam waktu mantan istri

menjalani masa iddah dari suami itu atau setelah selesainya masa iddah.10

Akibat yang lain dari fasakh itu ialah tidak mengurangi bilangan talaq.

Hal itu berarti hak suami untuk men-talaq istrinya maksimal tiga kali, tidak

berkurang dengan fasakh itu. Dalam bahasa sederhana fasakh boleh terjadi

berkali-kali tanpa batas.

Khulu' adalah pemberian hak yang sama bagi wanita untuk

melepaskan diri dari ikatan perkawinan yang dianggap sudah tidak ada

kemaslahatan sebagai imbalan hak talak yang diberikan kepada laki-laki.

Dimaksudkan untuk mencegah kesewenangan suami dengan hak talaknya,

dan menyadarkan suami bahwa istri pun mempunyai hak sama untuk

mengakhiri perkawinan. Artinya dalam situasi tertentu, istri yang sangat

tersiksa akibat ulah suami atau keadaan suami mempunyai hak menuntut cerai

dengan imbalan sesuatu.11

Bahkan, khulu' dapat dimintakan istri kepada suaminya akibat telah

hilangnya perasaan cinta dari istri kepada suaminya walaupun suami tidak

melakukan suatu perbuatan yang menyakiti istrinya. Hak yang sama juga

dapat dilakukan suami terhadap istrinya, yaitu manakala suami memang tidak

10Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 103. 11Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 172.

78

mempunyai lagi perasaan cinta kepada istrinya, dengan menjatuhkan talak.

Intisari dari terjadinya suatu perikatan perkawinan adalah keridaan serta

kecintaan kedua belah pihak untuk melaksanakan hidup bersama. Oleh karena

itu kalau seandainya kecintaan itu tidak didapati lagi dalam perkawinan,

keridaan itu pun akan musnah. Akibatnya, persekutuan itu tidak akan lagi

dapat diharapkan kemaslahatannya. Apabila hal itu terjadi, besar

kemungkinan mereka yang terlibat persekutuan itu tidak dapat melaksanakan

ketentuan-ketentuan Allah dan mereka akan terseret untuk memasuki wilayah-

wilayah yang diharamkan Allah.

Alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk bercerai yang dikemukakan

undang-undang, pada akhirnya bermuara pada ketidaksenangan salah satu

pihak karena keadaan atau perlakuan pihak lain. Alasan-alasan yang

dikemukakan undang-undang tersebut bukanlah alasan yang otomatis dapat

menceraikan mereka, tetapi merupakan option bagi yang bersangkutan untuk

memakainya atau tidak. Kalau yang bersangkutan menerima keadaan atau

perlakuan seperti itu dari pasangannya, perkawinan dapat berjalan terus

walaupun keadaannya semrawut, kadang-kadang aman, kadang-kadang

gawat.12

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi

Muhammad SAW. pernah meluluskan permintaan khulu' dari istri Tsabit bin

Qais, hanya karena wanita tersebut tidak menyukai penampilan suaminya.

Padahal Tsabit bin Qais, secara moral maupun agamis sama sekali tidak

12Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm.

104

79

bercacat. Sepintas permintaan si wanita itu seperti mengada-ada, namun kalau

kita kembalikan kepada inti suatu perkawinan, yaitu keridaan dan kecintaan,

itu adalah sesuatu yang prinsip. Jadi, ketiadaaan kecintaan dan keridaan kedua

pihak atau salah satunya dapat menyebabkan terputusnya perkawinan sebab

mempertahankan pada kondisi yang serupa itu hanya akan membuat mereka

melanggar batas-batas Allah.

Namun demikian, seperti halnya penjatuhan talak, permintaan khulu'

pun hanya dapat diajukan dalam keadaan yang luar biasa. Namun, apabila

khulu' diadakan karena alasan yang lemah, mengada-ada, si wanita diancam

oleh Nabi SAW. dengan sabdanya: "... Wanita manapun yang meminta cerai

dari suaminya tanpa alasan (yang dapat diterima) diharamkan baginya

wewangian surga."13

Khulu' juga dinamai dengan talak tebus, karena si istri menebus

dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa-apa yang pernah

diterimanya dari suaminya. Tindakan istri seperti ini dibenarkan oleh Al-

Quran, seperti tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 229.

Talak tebus ini boleh dilakukan dalam segala keadaan, di waktu suci

maupun di waktu haid sebab talak ini diajukan atas kemauan si istri dan dia

sendiri yang menanggung segala akibatnya. la akan menanggung risiko

materil berupa pengeluaran harta serta risiko immateril yang mengakibatkan

panjangnya masa 'iddah. Talak tebus ini biasanya tidak terjadi, kecuali bila

13Rahmat Hakim, op.cit., hlm. 173.

80

karena perasaan istri sudah tak tertahankan lagi, sehingga semua risiko

kerugian sudah tidak dihiraukan lagi.

Akibat hukum dari talak tebus ini adalah ba'in shughra sehingga suami

tidak dapat meruju' istrinya dalam 'iddah. Hal ini karena suami tidak

mempunyai hak lagi pada istrinya karena kehendak perceraian datang dari

pihak istri. Hak-hak itu hilang karena suami telah menerima imbalan tadi.

Kalau hak ruju' itu tidak hilang apalah artinya pengorbanan materil si istri.

Kalau ada keinginan untuk bersatu lagi dari pihak suami, harus melalui

perkawinan baru. Itu pun harus ditentukan oleh kerelaan mantan istri sebab ia

mempunyai hak pilih mutlak yang tidak dapat dipaksa, seperti keadaan suami

yang mempunyai ruju' pada kasus talak raj'i.14

Mantan istri tentu berpikir panjang intuk kembali sebab perceraian itu

adalah kehendaknya dengan pengorbanan yang relatif besar. Apa artinya

pengorbanan tadi kalau akhimya dia menikah kembali dengan mantan

suaminya. Oleh karena itu, bersatunya kembali suami-istri dalam kasus talak

tebus agak sulit terlaksana kalau tidak dikatakan mustaliil terjadi. Mengenai

besanya jumlah tebusan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan

bahwa kadar tebusan istri tersebut harus lebih banyak daripada mahar (Imam

Syafi'i dan Imam Malik), sebagian lain berpendapat sejumh harta yaiig pernah

diterima istri, dan sebagian lainnya lagi mengatakan tidak boleh lebih dari

mahar. Kalau mahamya sangat tinggi atau mahal, sedangkan pembayaran

iwadh harus lebih banyak daripada mahar, hal itu akan sangat memberatkan

14Ibid., hlm. 174.

81

pihak istri dan kehendaknya untuk lepas dari beban penderitaan akibat

ketidaksenangan kepada suami, akan sulit terlaksana. Sebaliknya, bila nilai

maharnya sangat rendah dan bentuk maharnya bukan materil, maka pihak

suami tentu tidak mau menerima 'iwadh yang kecil. Jalan tengah mengatasi

masalah 'iwadh ini menurut penulis adalah permufakatan kedua belah pihak

untuk mencari titik temu yang saling menguntungkan kedua pihak.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah khulu' ini tidak dijelaskan

secara detil. Oleh karena itu, pasal yang membahas masalah ini juga sangat

terbatas. Di dalam KHI, tidak dijelaskan suatu proses bagaimana khulu' terjadi

secara khusus serta penyelesaian khulu'. Hal ini disebabkan KHI memandang

khulu' sebagai salah satu jenis talak. Alasan untuk melakukan khulu' juga

disandarkan pada alasan dalam menjatuhkan talak. Pasal yang langsung

berkaitan dengan khulu', yaitu pasal 124 dan pasal 161, serta pasal 119 ayat

(2) b, yang menyebutkan khulu' sebagai bagian dari talak ba'in shughra.

Adapun alasan yang dapat mendasari terjadinya khulu', sama dengan alasan

talak, yaitu mengikuti pasal 116 dari huruf a sampai huruf h.15 Adapun berapa

besarnya 'iwadh, adalah berdasarkan kesepakatan atau permufakatan kedua

belah pihak, pasal 148 ayat (4). Namun, untuk menyelesaikan kasus khulu',

KHI memberikan prosedur khusus melalui pasal 148 yang lengkapnya sebagai

berikut:

15Lihat Kompilasi Hukum Islam

82

Pasal 148

1. Seorang istri yang mengajukan gugatan dengan jalan khulu',

menyampaikan permohonannya ke Pengadilan Agama yang mewilayahi

tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.

2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan

suaminya untuk di dengar keterangannya masing masing.

3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan

tentang akibat khulu' dan memberikan nasihat-nasihatnya;

4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya 'iwadh atau tebusan,

maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami

untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama.

Terhadap penetapan ini tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.

5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal

131 ayat(5).

6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau

'iwadh, Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara

biasa.

B. Alasan Hukum Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak

Berdasarkan keterangan tersebut, maka jelaslah bahwa khulu' adalah

pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan diri dari ikatan

perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan sebagai imbalan hak

talak yang diberikan kepada laki-laki. Dimaksudkan untuk mencegah

kesewenangan suami dengan hak talaknya, dan menyadarkan suami bahwa

83

istri pun mempunyai hak sama untuk mengakhiri perkawinan. Artinya dalam

situasi tertentu, istri yang sangat tersiksa akibat ulah suami atau keadaan

suami mempunyai hak menuntut cerai dengan imbalan sesuatu.16 Bahkan,

khulu' dapat dimintakan istri kepada suaminya akibat telah hilangnya perasaan

cinta dari istri kepada suaminya walaupun suami tidak melakukan suatu

perbuatan yang menyakiti istrinya. Hak yang sama juga dapat dilakukan

suami terhadap istrinya, yaitu manakala suami memang tidak mempunyai lagi

perasaan cinta kepada istrinya, dengan menjatuhkan talak. Intisari dari

terjadinya suatu perikatan perkawinan adalah keridaan serta kecintaan kedua

belah pihak untuk melaksanakan hidup bersama. Oleh karena itu, kalau

seandainya kecintaan itu tidak didapati lagi dalam perkawinan, keridaan itu

pun akan musnah. Akibatnya, persekutuan itu tidak akan lagi dapat

diharapkan kemaslahatannya. Apabila hal itu terjadi, besar kemungkinan

mereka yang terlibat persekutuan itu tidak dapat melaksanakan ketentuan-

ketentuan Allah dan mereka akan terseret untuk memasuki wilayah-wilayah

yang diharamkan Allah.17

Alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk bercerai yang dikemukakan

undang-undang, pada akhirnya bermuara pada ketidaksenangan salah satu

pihak karena keadaan atau perlakuan pihak lain. Alasan-alasan yang

dikemukakan undang-undang tersebut bukanlah alasan yang otomatis dapat

menceraikan mereka, tetapi merupakan option bagi yang bersangkutan untuk

memakainya atau tidak. Kalau yang bersangkutan menerima keadaan atau

16Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 172. 17Ibid

84

perlakuan seperti itu dari pasangannya, perkawinan dapat berjalan terus

walaupun keadaannya semrawut, kadang-kadang aman, kadang-kadang

gawat.18

Dalam konteksnya dengan alasan hukum Imam Malik, bahwa

argumentasi Imam Malik sehingga berpendapat bahwa khulu' sebagai talak

yaitu karena kata-kata khulu' itu hanya dimiliki suami atau dengan kata lain

bahwa khulu' itu diucapkan oleh suami, meskipun atas permintaan istri dengan

memberikan iwadh (tebusan). Karena itu hakikat khulu' sama dengan talak.19

Menurut penulis bahwa alasan Imam Malik ini dapat dimengerti,

karena jika khulu' hanya dianggap sebagai fasakh, maka setiap waktu khulu'

dapat dijatuhkan tanpa terbatas. Dengan demikian makna khulu' akan

kehilangan fungsinya. Dengan kata lain, jika khulu' hanya dianggap sebagai

fasakh maka itu berarti boleh melakukan khulu' berapa kali pun tanpa

memerlukan muhallil. Sedangkan jika berpegang pada pendapat Imam Malik

yang menempatkan khulu' sebagai talak maka khulu' tidak boleh lebih dari

tiga kali. Bila istri yang telah melakukan khulu' sebanyak tiga kali, ia baru

dapat kembali kepada istrinya itu setelah adanya muhallil sebagaimana yang

berlaku dalam talak. Dengan demikian pendapat Imam Malik ini mengandung

konsekuensi yaitu khulu' itu mengurangi jumlah bilangan cerai. Maksudnya

yaitu kalau khulu' dianggap talak, maka khulu' terbatas hanya sampai tiga kali.

18Ibid 19Ibnu Rusyd, op.cit, hlm. 52.

85

Menurut penulis, pendapat Imam Malik itu ada baiknya dikritisi

karena mengandung manfaat yaitu agar khulu' tidak dijadikan mainan dan

digunakan secara seenaknya.

86

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan melihat dan mencermati uraian bab pertama sampai dengan

bab keempat skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Menurut Imam Malik bahwa khulu' itu mempunyai kedudukan sebagai

talak, sehingga khulu' mempunyai sifat mengurangi jumlah talak yang

dimiliki suami dan suami dapat merujuk kembali istrinya selama dalam

masa iddah. Imam Abu Hanifah menyamakan khulu' dengan talak dan

fasakh secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa

khulu' itu adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam Ahmad, Imam

Abu Daud dan Ibnu Abbas ra.

2. Alasan Imam Malik yang berpendapat bahwa khulu' sebagai talak

didasarkan pada qaul sahabat, yaitu pendapat Abdullah bin Umar. Di

samping itu, karena kata-kata khulu' itu hanya dimiliki suami, meskipun

atas permintaan istri dengan memberikan iwadh (tebusan). Karena itu,

tepat kiranya jika khulu' dianggap sebagai talak dan bukan fasakh. Karena

kalau khulu' sebagai fasakh maka fasakh itu merupakan perkara yang

menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan

perkawinan dan yang bukan berasal dari kehendak istri. Sedangkan khulu'

ini berpangkal pada kehendak istri, oleh karena itu khulu' bukanlah fasakh.

87

B. Saran-Saran

Meskipun pendapat Imam Malik bersifat klasik, namun hendaknya

pendapat dan argumentasinya dijadikan studi banding ketika pembentuk

undang-undang atau para pengambil keputusan membuat peraturan undang-

undang yang baru atau pada waktu merevisi atau merubah undang-undang

yang sedang berlaku.

C. Penutup

Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah

SWT yang dengan karunia dan rahmatnya telah mendorong penulis hingga

dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat

disadari bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi materinya jauh dari kata

sempurna. Namun demikian tiada gading yang tak retak dan tiada usaha besar

akan berhasil tanpa diawali dari yang kecil. Semoga tulisan ini bermanfaat

bagi pembaca budiman.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.

Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

Anshori, Abdul Ghofur, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.

Asbahi, Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir, al-Muwatta' Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, tth.

Ash Shiddieqy, TM. Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.

Asy-Syarbasy, Ahmad, Empat Mutiara Zaman Biografi Empat Imam Mazhab, Terj. Futuhal Arifin, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Bukhari, Imam, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M.

Bukhary, Abu Abdillah, Sahih al-Bukhari, Juz. 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M.

Coulson, Noel J., The History of Islamic Law, Terj. Hamid Ahmad, "Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah", Jakarta: P3M, 1987.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2004.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Djazuli, A., Ilmu Fiqh, Penggalian Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Dutton, Yasin, The Origin of Islamic Law; the Qur'an, the Muwatta', and 'Amal, Terj. M. Maufur, "Asal Mula Hukum Islam: al-Qur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah", Yogyakarta: Islamika, 2003.

Farid, Syaikh Ahmad, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006.

Fikri, Ali, Kisah-Kisah Imam Mazhab, Terj. Abd Aziz, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, 1981.

Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978.

Hanafi, A., Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Hasan, M.Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Hussaini, Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayah Al Akhyar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth.

Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986.

Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1972.

Khalaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.

Khalil, Munawar, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

M. Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Marwazi, Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani, hadis No. 2079. dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

Muchtar, Kamal, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.

Naisaburi, Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, Juz. II, Mesir: Tijariah Kubra, t.th.

Nasa’i, Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr, hadis No. 1210 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.

Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993.

Rusyd, Ibnu, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989.

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970.

Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994.

San'any, Subul al-Salam, Juz III, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950.

Sijistani, Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi, hadis no. 1887 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti,1995.

Surahmad Winarno, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989.

Suryadilaga, M. Alfatih (ed), Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2003.

Syarifuddin, Amir, Hukum Nikah Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006.

Uwaidah, Syekh Kamil Muhammad, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul Ghofar, " Fiqih Wanita", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.

Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978.

Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya Agung, 1990.

-------, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973.

Zahrah, Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : A. Agus Salim Ridwan

Tempat/Tanggal Lahir : Purworejo, 22 Agustus 1985

Alamat Asal : Lubang Sampang, RT 01 RW 01, Butuh, Purworejo

Pendidikan : - SDN Lubanglor Purworejo lulus th 1998

- MTs Al-Imam Bulus Purworejo lulus th 2001

- MA al-Imam Bulus Purworejo lulus th 2004

- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

Angkatan 2004

Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk

dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

A. Agus Salim Ridwan

BIODATA DIRI DAN ORANG TUA

Nama : A. Agus Salim Ridwan NIM : 042111153

Alamat : Lubang Sampang, RT 01 RW 01, Butuh, Purworejo.

Nama orang tua : Bapak Solahul Amal dan Ibu Istiqomah Alamat : Lubang Sampang, RT 01 RW 01, Butuh, Purworejo

Pekerjaan : Guru SMA N Prembon