analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

112
WORKING PAPER ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI INDUSTRI NASIONAL DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PERDAGANGAN BEBAS Masagus M. Ridhwan Gunawan Wicaksono Linda Nurliana Pakasa Bary Fenty Tri Suryani Redianto Satyanugroho September, 2015 WP/3/2015 Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

Upload: truongdung

Post on 31-Dec-2016

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

WORKING PAPER

ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI INDUSTRI NASIONAL DI ERA MASYARAKAT

EKONOMI ASEAN DAN PERDAGANGAN BEBAS

Masagus M. Ridhwan

Gunawan Wicaksono

Linda Nurliana

Pakasa Bary

Fenty Tri Suryani

Redianto Satyanugroho

September, 2015

WP/3/2015

Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

Page 2: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

1

ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI INDUSTRI NASIONAL DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN

PERDAGANGAN BEBAS

Masagus M. Ridhwan, Gunawan Wicaksono, Linda Nurliana, Pakasa Bary, Fenty Tri Suryani, Redianto Satyanugroho1

Abstrak

Penelitian ini mengkaji kinerja perdagangan internasional Indonesia dan daya saing termasuk faktor pendukung yang berkontribusi terhadap kinerja perdagangan tersebut. Dari hasil analisis yang dilakukan, daya saing produk manufaktur domestik, khususnya yang berbasis teknologi menengah dan tinggi, relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers di ASEAN (Singapura, Malaysia dan Thailand) dan extra ASEAN khususnya Tiongkok. Sementara daya saing produk yang berbasis teknologi rendah hingga saat ini masih cukup baik meskipun ke depan akan semakin berkompetisi ketat dengan Vietnam khususnya. Struktur ekspor industri nasional juga masih sangat berorientasi resource based dengan nilai tambah rendah. Hasil studi ini juga mengidentifikasi sejumlah faktor yang menyebabkan lemahnya daya saing dimaksud terutama berkaitan erat dengan faktor kapabilitas domestik khususnya masalah skill set dan ketenagakerjaan, logistik, kebijakan, dan institusi domestik yang kurang kondusif serta kurangnya dukungan akses pasar. Untuk itu, strategi nasional perlu diarahkan untuk membangun industri yang berdaya saing tinggi. Hal itu dapat dicapai melalui peningkatan (upgrading) dan deepening industri, penciptaan nilai tambah domestik, serta pewujudan Indonesia sebagai basis produksi (hub) yang berorientasi ekspor. Dengan demikian, rekomendasi strategi kebijakan (dengan semangat reformasi) yang perlu dilakukan meliputi aspek industri, investasi, dan perdagangan yang bertumpu pada tujuh aspek, yaitu i) faktor institusi dan leadership, ii) skema insentif trade and investment, iii) faktor sumber daya manusia (SDM) dan ketenagakerjaan, iv) infrastruktur, v) efisiensi teknis dan business services, vi) akses pembiayaan, serta vii) akses pasar.

Key word : ASEAN Economic Community, International Trade,

Industrial Policy

JEL Classification : O2, O57, L52

1 Adalah Peneliti Ekonomi di Grup Riset Ekonomi (GRE), Departemen Kebijakan Ekonomi

dan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak merefleksikan pandangan DKEM atau Bank Indonesia. Penulis menyampaikan penghargaan kepada Bpk. Solikin M. Juhro, Bpk. Yoga Affandi,

Page 3: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

2

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara formal akan diimplementasikan

pada akhir tahun 2015 meskipun prosesnya telah dimulai sejak

ditandatanganinya The ASEAN Framework Agreement on Economic Cooperation oleh

para pemimpin ASEAN pada tahun 1992 (Kemenko, 2015). Dengan demikian,

perdagangan bebas sejatinya telah mulai diterapkan secara bertahap dan progresif

oleh negara anggota ASEAN melalui regional trade agreement (RTA) berbentuk

ASEAN Free Trade Area (AFTA). Berbeda dengan AFTA, MEA lebih bersifat

komprehensif yang mencakup empat pilar dengan tujuan untuk mentransformasi

ASEAN menjadi pasar tunggal dengan basis produksi yang terintegrasi, dalam

suatu kawasan ekonomi yang berdaya saing, dengan tingkat pembangunan

ekonomi yang semakin merata, dan terhubung dengan jaringan produksi global.

Komitmen negara–negara ASEAN di MEA tidak hanya terdiri atas liberalisasi,

tetapi juga meliputi reformasi ekonomi, fasilitasi, dan harmonisasi regulasi. Secara

substansial penerapan MEA sebenarnya sebagian besar telah tercapai, misalnya,

melalui penghapusan tarif, fasilitasi perdagangan, agenda integrasi pasar jasa,

fasilitasi investasi, simplifikasi dan harmonisasi framework kebijakan pasar modal,

fasilitas tenaga kerja terampil, dan lainnya. MEA 2015 bukanlah tujuan akhir,

melainkan merupakan suatu langkah penting bagi perkembangan perekonomian

ASEAN yang semakin terintegrasi.

Bagi Indonesia implementasi MEA merupakan salah satu langkah strategis

yang dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka mengambil manfaat

yang sebesar–besarnya dari globalisasi ekonomi. Aspirasi multilateral, terutama

yang berkaitan dengan integrasi ekonomi kawasan, seperti MEA dan lainnya,

selain memberikan kesempatan/peluang pasar yang lebih luas, juga mengandung

sejumlah tantangan/permasalahan yang kompleks.

Dalam hal ini, pemberlakuan MEA selain meningkatkan perdagangan intra

regional ASEAN, juga akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan

investasi, produksi, dan perdagangan di kawasan. Dengan perdagangan yang akan

semakin meningkat, surplus atau defisit perdagangan yang terjadi bagi suatu

negara cenderung akan semakin dinamis dan multidimensi. Dalam konteks

Page 4: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

3

hubungan dagang internasional itu tentu akan sangat relevan dengan tugas Bank

Indonesia dalam rangka stabilitas makroekonomi domestik, khususnya inflasi dan

nilai tukar.

Defisit transaksi berjalan Indonesia yang telah terjadi sejak akhir tahun

2011 hingga periode berjalan sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu

faktor domestik: masalah struktural pada industri dan perdagangan, dan faktor

eksternal: shock global. Struktur ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh

industri pengolahan berbasis sumber daya alam (SDA) yang kinerjanya bergantung

pada harga komoditas. Berakhirnya commodity super cycle dan perlambatan

ekonomi dunia menyebabkan turunnya harga komoditas yang berdampak negatif

terhadap ekspor Indonesia.

Gambar 1. Alur Pikir Permasalahan dan Strategi

Selain itu, pangsa industri Indonesia semakin menurun pada 1–2 dekade

terakhir dan secara bersamaan rata–rata pertumbuhan ekonomi menjadi lebih

rendah jika dibandingkan dengan tahun 1980-an. Saat ini industri pengolahan

Indonesia sendiri umumnya didominasi oleh industri yang berorientasi domestik

dengan tingkat kandungan impor yang tinggi. Salah satu penyebabnya adalah

lemahnya kebijakan investasi dan kurangnya koneksi pada pasar global.

Indonesia sendiri mempunyai potensi yang jauh melebihi kinerja saat ini.

Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah, mengalami bonus

Page 5: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

4

demografi, dan mempunyai letak geografis yang strategis. Selain itu, Indonesia

juga dapat mengoptimalkan momentum the rise of Asia untuk ikut

mengembangkan ekonominya.

Dalam mengatasi berbagai permasalahan di atas dan untuk

mengoptimalkan potensi Indonesia, transformasi ekonomi perlu dilakukan melalui

peningkatan daya saing industri di pasar global. Industri menjadi sentral dalam

transformasi karena industri merupakan lokomotif pertumbuhan menuju negara

maju. Penyerapan banyak tenaga kerja dapat menciptakan nilai tambah dalam

perekonomian yang pada akhirnya dapat menjadi sumber devisa secara

fundamental.

Studi terkait MEA telah banyak dilakukan sebelumnya, baik dilakukan

Bank Indonesia maupun eksternal. Penelitian sebelumnya oleh Nugroho dan

Yanfitri (2011) yang menganalisis dampak liberalisasi di sektor barang, jasa,

modal, dan investasi menyimpulkan bahwa daya saing Indonesia lemah sehingga

terdapat kemungkinan Indonesia menjadi pihak yang dirugikan dari MEA. Salah

satu studi ERIA menyebutkan bahwa MEA akan memberikan manfaat bagi semua

anggota meskipun besarnya tidak sama. Indonesia tetap tumbuh, tetapi lebih

rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Survei yang dilakukan

oleh BCG (2014) menunjukkan bahwa perusahaan Indonesia cenderung

memandang pemberlakuan MEA sebagai ancaman, sedangkan perusahaan di

Malaysia dan Singapura lebih optimis dan memandang MEA sebagai peluang.

Laporan AT&K (2013) menyebutkan perusahaan lokal yang hanya berfokus pada

pasar domestik adalah perusahaan yang paling rentan terhadap MEA. Temuan

tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan atau industri Indonesia cenderung

berorientasi domestik dan berdaya saing rendah di pasar global.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk

melihat secara mendalam daya saing Indonesia dan kemudian merumuskan

strategi kebijakan nasional untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Secara

khusus kebijakan ekonomi dan perdagangan yang telah diambil harus senantiasa

ditinjau ulang dan dipertajam agar Indonesia sebagai anggota terbesar di ASEAN

dapat menarik manfaat dari MEA. Pendekatan yang digunakan pada tahap awal

adalah analisis daya saing (trade competitiveness diagnostics) yang mengukur

kinerja perdagangan internasional Indonesia dibandingkan peer countries–nya,

dalam hal ini dengan negara ASEAN lainnya. Aktivitas perdagangan merupakan

lensa yang berguna untuk mengukur daya saing. Pasar ekspor umumnya memiliki

Page 6: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

5

tingkat persaingan yang tinggi sehingga negara yang memiliki daya saing tinggi di

ekspor, umumnya juga lebih unggul pada faktor domestik. Hal itu sejalan dengan

hubungan timbal balik antara perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang

produktif menjadi eksportir dan akan semakin produktif dengan adanya

permintaan dari pasar ekspor. Lebih lanjut, Reis dan Farole (2012) menyatakan

bahwa hambatan utama negara berkembang untuk bersaing dalam perdagangan

internasional umumnya bersifat behind the border, yaitu faktor internal dalam

suatu negara seperti logistik, bea cukai, pembiayaan, kondisi faktor produksi, dan

kurangnya kompetisi.

Studi mengenai perdagangan tidak akan terlepas dari studi mengenai

industri dan investasi mengingat eratnya hubungan ketiga hal ini dalam

menentukan daya saing suatu negara, terlebih dalam pola perdagangan global

value chain (GVC) saat ini. Studi tersebut selanjutnya akan menjadi masukan

dalam merumuskan kebijakan industri, perdagangan, dan investasi sebagai

strategi nasional dalam menyambut MEA 2015–2025.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: (a) menganalisis daya saing industri nasional

pada era perdagangan bebas dunia (termasuk MEA, dll), dan (b) menyusun strategi

industri nasional yang berdaya saing tinggi.

Selain dapat memberikan kontribusi pada literatur terkait yang ada

sebelumnya, kontribusi penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan (a)

asesment pada kinerja dan daya saing ekspor Indonesia secara komprehensif dan

menyeluruh (upstream ke downstream); serta (b) perumusan strategi nasional yang

khususnya berkaitan dengan peningkatan daya saing industri.

1.3 Batasan Penulisan

Penelitian ini mencakup analisis dan perumusan rekomendasi strategi

nasional terkait daya saing pada sektor industri manufaktur. Cakupan penelitian

tidak termasuk pada sektor jasa, seperti keuangan dan tenaga kerja, lalu lintas

modal, dan pilar keempat MEA berkaitan dengan integrasi pada ekonomi global.

Page 7: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

6

1.4 Organisasi Penulisan

Penulisan kajian ini akan dibagi ke dalam lima bab yang dimulai dengan

Bab 1 mengenai pendahuluan dan tujuan dari penelitian ini, kemudian

dilanjutkan dengan Bab 2 yang berisi studi literatur yang pernah dilakukan. Pada

Bab 3 diuraikan metode dan data yang digunakan dalam riset ini. Hasil empiris,

analisis, dan rekomendasi kebijakan yang berupa strategi nasional yang dapat

ditempuh untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam upaya menjadikan

Indonesia sebagai basis produksi dan investasi, terutama di kawasan ASEAN, akan

diuraikan pada Bab 4. Kajian ini ditutup pada Bab 5 yang berupa simpulan dan

rekomendasi penelitian lebih lanjut.

Page 8: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

7

II. STUDI LITERATUR

BAB II – STUDI LITERAT

2.1 Sekilas tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Declaration of ASEAN Concord II pada Oktober 2003 untuk pertama kalinya

memperkenalkan konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic

Community) atau MEA yang merupakan perwujudan pasar tunggal bagi negara–

negara anggota ASEAN. Selain itu, pembentukan MEA diharapkan mendorong

terwujudnya kesatuan basis produksi ASEAN yang didukung oleh aliran bebas

barang, jasa, tenaga kerja, dan modal (investasi). MEA diharapkan menjadi

kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan yang

merata, dan terintegrasi dengan ekonomi global. Pasar tunggal ASEAN dapat

menjadi peluang bagi perekonomian Indonesia, dan negara-negara ASEAN lainnya,

untuk mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan

kesejahteraan hidup bangsa Indonesia.

Gambar 2. Pilar MEA

Dalam Cetak Biru MEA 2015 terdapat empat tujuan pilar utama MEA yang

ingin dicapai dan memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Pertama, pembentukan

pasar tunggal dan basis produksi. Tujuan ini akan menciptakan terjadinya aliran

bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, serta aliran modal yang lebih bebas

Page 9: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

8

antarnegara di kawasan. Sebagai tahap awal disepakati dua belas sektor kerja

prioritas yang mewakili lebih dari 50% perdagangan intra-ASEAN, yaitu (1)

pengolahan agro, (2) industri berbasis karet, (3) industri berbasis kayu, (4)

penerbangan, (5) otomotif, (6) elektronik, (7) teknologi komunikasi informasi, (8)

perikanan, (9) kesehatan, (10) logistik, (11) tekstil, serta (12) pariwisata. Indonesia

menjadi negara koordinator untuk sektor otomotif dan industri berbasis kayu.

Tercapainya tujuan tersebut akan mentransformasikan berbagai keragaman

karakteristik di kawasan menjadi peluang bisnis yang dapat menjadikan ASEAN

lebih dinamis dan kuat dalam global supply chain. Terbentuknya pasar tunggal

akan memfasilitasi terbangunnya jejaring produksi di dalam kawasan dan

meningkatkan kapasitas ASEAN sebagai pusat produksi global atau bagian dari

global supply chain.Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap negara anggota ASEAN

dituntut untuk meliberalisasi atau membuka pasar domestiknya.

Kedua, kawasan ekonomi yang kompetitif. Tujuan itu merupakan

prakondisi yang dibutuhkan untuk mendukung pencapaian pasar tunggal dan

basis produksi internasional. Pencapaian tujuan kedua itu dilakukan melalui kerja

sama di berbagai bidang yang meliputi (i) pengembangan infrastruktur, seperti

transformasi, informasi, energi, pertambangan, dan keuangan; (ii) kebijakan

persaingan; (iii) pelindungan konsumen; (iv) hak kekayaan intelektual; (v)

perpajakan; dan (vi) e–commerce.

Ketiga, pembangunan ekonomi yang merata. Kawasan ASEAN memiliki

tahapan pembangunan ekonomi yang berbeda sehingga berdampak pada kesiapan

dan kecepatan dari negara anggota masing–masing untuk melakukan liberalisasi.

ASEAN harus dapat menjamin manfaat integrasi ekonomi kawasan yang dapat

dirasakan seluruh anggota dan masyarakat ASEAN. Hal tersebut dilakukan

melalui pengembangan UMKM dan kerja sama serta bantuan teknis dalam rangka

mengurangi kesenjangan pembangunan di antara negara–negara anggota,

terutama antara negara ASEAN-5 dan Brunei, Cambodia, Myanmar, Laos, dan

Vietnam. Keempat, terintegrasinya perekonomian global. Dengan tercapainya

ketiga tujuan di atas diharapkan pasar ASEAN semakin menarik bagi penanaman

modal asing dan industri ASEAN dapat semakin kompetitif di global supply chain.

Dalam upaya pencapaian tujuan itu, dilakukan pendekatan yang koheren dalam

hubungan ekonomi eksternal ASEAN dengan mitra dagang seperti ASEAN+1

(ASEAN+Tiongkok, ASEAN+India, ASEAN+Jepang) atau ASEAN++ (ASEAN+3, EAS)

Page 10: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

9

untuk memastikan sentralitas dari ASEAN dan memperluas partisipasi ASEAN

dalam global supply chain.

Implementasi cetak biru MEA 2015 secara substansial telah tercapai.

Pencapaian scorecard MEA per 30 Juni 2015 mencapai 91,1% dan ditargetkan

akan mencapai 95% pada akhir tahun 2015. Untuk scorecard MEA Indonesia

sendiri telah mencapai 92,7%. Tingginya pencapaian scorecard MEA baik ASEAN

dan Indonesia mencerminkan bahwa ASEAN dan Indonesia secara konsisten telah

memenuhi komitmennya.

Dalam perjalanannya pada Cebu Declaration Januari 2007 pemimpin

ASEAN menyepakati untuk mempercepat pembentukan MEA menjadi efektif per 1

Januari 2016 untuk sektor–sektor strategis tertentu. Batas waktu implementasi

pasar tunggal ASEAN makin dekat sehingga perlu dilakukan asesment pencapaian

komitmen-komitmen yang telah disepakati dalam pembentukan MEA. Hasil

pengukuran gap analysis yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia secara umum

menunjukkan bahwa upaya untuk mewujudkan aliran bebas perdagangan barang,

jasa, investasi, tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas telah

menunjukkan kemajuan yang cukup tinggi. Di antara pencapaian liberalisasi

tersebut adalah penurunan tarif impor hingga 0%, pemenuhan komitmen

liberalisasi foreign equity participation (FEP) untuk beberapa subsektor jasa,

penghapusan restriksi investasi dan pengembangan sistem informasi investasi,

penandatanganan mutual recognition agreement (MRA), dan liberalisasi aliran

modal.

2.2 Penelitian Sebelumnya

Sejumlah studi yang terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),

khususnya yang mendalami pemetaan pasar barang, jasa, tenaga kerja, modal,

dan investasi di kawasan ASEAN-5 serta melakukan gap analysis terhadap

pencapaian proses liberalisasi yang mengacu pada cetak biru MEA dan pencapaian

key deliverables ASEAN secara keseluruhan, dapat diringkas pada Tabel 1.

Page 11: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

10

Tabel 1. Studi Literatur

Penelitian Ringkasan Studi

Reis dan Farole (2012) – “Trade competitiveness

diagnostic toolkit”

Framework analisis perdagangan internasional dengan dua pendekatan:

1. Trade outcomes analysis: menganalisis kinerja perdagangan dalam dimensi intensive, extensive, quality, dan sustainability

2. Competitivenss diagnostics: menganalisis kinerja faktor yang memengaruhi daya saing perdagangan – akses pasar, macro–incentive framework, factor conditions, trade promotion infrastructure

Reis dan Wrinkler (2012) – “Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing

Sector”

Menganalisis kinerja ekspor dan determinan industri manufaktur untuk sektor apparel, furnitur kayu, dan komponen otomotif.

Indonesia memiliki peluang kedua untuk mengembangkan industri manufaktur tradisional yang menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini didorong ketersediaan tenaga kerja dengan tingkat upah yang lebih rendah dibandingkan Tiongkok, ukuran pasar domestik, serta keterbukaan Indonesia di pasar dunia.

Policy actions yang harus diambil:

• Jangka pendek: mengeksploitasi gap upah dengan Tiongkok

• Jangka menengah: memanfaatkan pasar domestik dan potensi masuk ke Global Value Chain

• Jangka panjang: persiapan saat keunggulan dari sisi biaya tidak lagi berlaku

• Dengan prioritas reformasi di: i) transportasi dan logistik, ii) akses pembiayaan, iii) rigiditas pasar tenaga kerja dan training, iv) inovasi, v) standar, vi) collective actions, vii) transparansi dan predictability, viii) SEZ.

Page 12: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

11

Tabel 1. (lanjutan)

Penelitian Ringkasan Studi

Munandar, et al (2007) –

“Integrasi Ekonomi

Regional, Mobilitas Faktor

Produksi Serta Peran

Otoritas Moneter”

Aplikasi pendekatan equal share relationship

dengan menggunakan database makroekonomi

negara ASEAN untuk mengetahui dampak

kebijakan moneter terhadap investasi.

Nugroho dan Yanfitri (2011)

– “Potensi Dampak

Pembentukan Pasar

Tunggal ASEAN terhadap

Perekonomian Indonesia”

Analisis kualitatif melakukan pemetaan kondisi

pasar barang, jasa, tenaga kerja, investasi di

ASEAN dan mengidentifikasi beberapa potensi

dampak positif dan negatif pasar tunggal terhadap

perekonomian Indonesia.

Hasil Kajian lintas Satker (2011) – “Masyarakat

Ekonomi ASEAN 2015: Proses Harmonisasi di Tengah Persaingan”

Analisis kualitatif dan kuantitatif mengenai dampak implementasi integrasi ASEAN serta tantangan bagi daya saing dan stabilitas makro Indonesia.

Anas, Narjoko, dan Aswicahyono (2015) – “Mapping of Indonesia Potential on Trading

Manufacture Products: A Regional Perspective”

Pemetaan daya saing dan potensi ekspor Indonesia secara regional (daerah), khususnya sektor manufaktur, antara lain dengan Regional Comparative Productivity Advantage (RCPA). Selain itu, dilakukan FGD untuk mengetahui penyebab performa ekspor dibawah potensinya.

Page 13: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

12

III. METODOLOGI DAN DATA

III–METODOLOGI DAN DATA

3.1 Analisis Daya Saing

Analisis daya saing (TCD) sebagian besar merujuk pada Trade

Competitiveness Diagnostic (Reis dan Farole, 2012) yang merupakan pendekatan

yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai posisi, performa, dan

kapabilitas sebuah negara pada pasar ekspor, serta faktor yang memengaruhi daya

saingnya. Aktivitas perdagangan merupakan lensa yang berguna untuk mengukur

daya saing. Pasar ekspor umumnya memiliki tingkat persaingan yang tinggi

sehingga negara yang berdaya saing tinggi pada ekspor umumnya juga lebih

unggul pada faktor domestiknya. Hal itu sejalan dengan hubungan timbal balik

antara perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang produktif menjadi

eksportir dan akan semakin produktif dengan adanya permintaan dari pasar

ekspor.

Di era liberalisasi untuk mengukur kinerja suatu perekonomian, kinerja

ekspor menjadi lebih penting daripada sebelumnya.. Ekspor tetap relevan sebagai

sumber utama penghasilan devisa, sarana untuk mencapai skala ekonomi dan

spesialisasi produksi, serta untuk mengakses teknologi baru. Secara tidak

langsung ekspor juga merupakan indikator efisiensi sektor industri saat

menghadapi kompetisi lebih ketat (akibat liberalisasi) dan lebih intensif (akibat

penurunan biaya transportasi). Sepanjang industri tetap menjadi mesin

pertumbuhan, perubahan struktural, serta pertumbuhan teknologi dan

modernisasi, ekspor manufaktur yang bertumbuh menjadi tanda bahwa mesin

tersebut bekerja.

Analisis daya saing yang dilakukan terdiri atas dua komponen yang

umumnya dilakukan secara berurutan, yaitu sebagai berikut.

1. Analisis kinerja perdagangan (trade outcomes analysis) adalah kerangka untuk

memperoleh gambaran detail atas kinerja ekspor secara historis. Analisis itu

dilakukan melalui berbagai macam pendekatan serta pengolahan data

sekunder.

2. Diagnostik daya saing (competitiveness diagnostics) adalah diagnostik yang

bertujuan untuk menganalisis daya saing, termasuk faktor–faktor yang

berkontribusi terhadap kinerja ekspor seperti pada tahap 1. Diagnostik

Page 14: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

13

dilakukan dengan pendekatan kuantitatif (analisis data sekunder) dan

kualitatif melalui survei dan wawancara (FGD), seperti wawancara dengan

perumus kebijakan, pelaku usaha, akademisi, ahli perdagangan, dan lainnya.

Hasil dari dua analisis tersebut akan dielaborasi lebih lanjut untuk

perumusan rekomendasi kebijakan dan perumusan strategi nasional. Gambar

berikut mengilustrasikan kerangka kerja dari analisis daya saing (TCD).

Sumber: Reis and Farole (2012)

Gambar 3. Framework Analisis Daya Saing

3.1.1 Analisis Kinerja Perdagangan

Analisis kinerja perdagangan (trade outcome analysis) memberikan penilaian

kuantitatif dan kualitatif dari performa perdagangan dengan menggunakan

dekomposisi pertumbuhan perdagangan internasional. Pertumbuhan ekspor dapat

terjadi karena empat dimensi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.

Sumber: Reis and Farole (2012)

Gambar 4. Dimensi Pertumbuhan Ekspor

Page 15: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

14

Dalam melakukan analisis kinerja perdagangan, terdapat empat faktor

utama, yaitu sebagai berikut.

1. Intensive Margin

Pertumbuhan ekspor dalam dimensi ini tercipta dengan menjual produk

yang sama pada pasar yang sama. Peningkatan intensive margin dapat tercipta

melalui spesialisasi, baik pada antarproduk (across) maupun dalam produk

(within). Dimensi ini secara umum mengevaluasi tingkat, pertumbuhan, dan

pangsa pasar ekspor yang terjadi saat ini (existing). Hasil analisis intensive

margin dapat menunjukkan posisi perdagangan Indonesia dibandingkan

dengan negara–negara peers–nya jika dilihat berdasarkan nilai atau volume

ekspornya. Ada beberapa indikator yang dianalisis seperti rasio nilai

perdagangan terhadap PDB, revealed comparative advantage (RCA) sektoral,

trade intensity index, trade complementary index.

2. Extensive Margin

Untuk negara berkembang, dimensi ini kritikal untuk mendorong ekspor

dan penciptaan lapangan kerja. Extensive margin berarti menjual produk baru

atau menjual produk yang ada saat ini (existing) ke pasar yang baru. Struktur

ekspor yang semakin terdiversifikasi akan mengurangi kerentanan akan

demand shocks dan pergerakan harga di luar negeri. Diversifikasi ekspor juga

penting sebagai indikasi arah pertumbuhan pada masa mendatang. Export

diversification melihat konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor

suatu negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan

produk dan pasar dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor

spesifik (sukses atau tidak).

3. Quality Margin

Dimensi ini mengevaluasi produk-produk ekspor berdasarkan kualitas

dan kecanggihannya. Produk yang mengandung nilai tambah lebih tinggi dari

sisi orisinalitas (ingenuity), skill, dan teknologi akan memiliki harga yang lebih

tinggi di pasar. Dengan demikian peningkatan (upgrading) kualitas produk

menjadi sumber yang pasti bagi pertumbuhan ekspor dan ekonomi. Dimensi

ini diukur dengan menganalisis teknologi, pendapatan, factor contents dari

ekspor untuk menentukan tingkat kecanggihan dan nilai produk, serta product

space untuk mengidentifikasi sektor tempat suatu negara memiliki atau

kehilangan keunggulan.

Page 16: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

15

4. Sustainability Margin

Agar ekspor baru dapat bertahan dan memberikan pertumbuhan jangka

panjang, diperlukan daya tahan sebagian besar perusahaan yang dapat

memanfaatkan kesempatan dan mengatasi hambatan pada tahun-tahun awal.

Sustainability margin of new exporter mengevaluasi survival rate dari barang-

barang yang diekspor, baik barang baru maupun barang yang sudah lama

diekspor. Selain itu, pada tahap ini dilihat juga pertumbuhan dan survival rate

dari hubungan ekspor, intensitas faktor ekspor, dan perbandingan tingkat

endowment nasional. Bentuk partisipasi perusahaan dan survival pada sektor

ekspor membantu mengidentifikasi faktor utama (biaya entry, faktor, teknologi,

dan efisiensi) yang menjadi hambatan utama terhadap daya saing.

Analisis kinerja perdagangan dilakukan dengan 4 tahapan, yaitu sebagai

berikut.

a. Pemilihan peer countries bertujuan sebagai benchmark dari kinerja negara yang

diukur. Umumnya peer countries meliputi kombinasi antara negara tetangga,

negara dengan ukuran, pertumbuhan ekonomi, struktur yang sama, dan

negara kompetitor.

b. Pengumpulan dan kompilasi data, baik cross section maupun time series.

c. Analisis dan interpretasi.

d. Identifikasi tantangan utama pada daya saing.

3.1.2 Diagnostik Daya Saing

Dalam melakukan diagnostik daya saing, terdapat beberapa aspek yang

dianalisa, yaitu sebagai berikut.

1. Akses Pasar

Akses pasar merupakan sebuah konsep yang membahas kebijakan

perdagangan yang dapat memfasilitasi atau membatasi eksportir untuk masuk

dan menjaga daya saingnya di pasar. Dalam market access dilihat faktor–faktor

yang menghambat penjualan barang ekspor, seperti hambatan tarif dan

hambatan nontarif. Gambar 5 mengilustrasikan cakupan dari analisa market

access.

Page 17: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

16

Sumber: Reis and Farole (2012)

Gambar 5. Cakupan Akses Pasar

2. Faktor Sisi Suplai

Faktor ini mencakup banyak hal, termasuk tata kelola dan macrofiscal,

kebijakan perdagangan dan domestik yang membentuk kerangka insentif bagi

pelaku usaha, serta faktor masukan (input) yang menentukan daya saing dari

sisi produksi.

3. Dukungan Promosi Perdagangan

Dukungan promosi perdagangan meliputi serangkaian intervensi oleh

pemerintah unuk mengatasi kegagalan pasar (market failures, seperti

coordination challenges, dan asymmetric information) dan kegagalan pemerintah

yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor seperti promosi ekspor, special

economic zones (SEZ), serta badan koordinasi industri dan standarisasi.

Masing–masing dimensi tersebut membentuk kinerja ekspor melalui

pengaruhnya terhadap perusahaan melalui jalur sebagai berikut:

a. biaya tetap (fixed cost), risiko produksi, dan export entry;

b. biaya faktor dan transaksi yang menentukan daya saing produksi dari tingkat

pabrik; dan

c. tingkat teknologi dan efisiensi dari sektor atau perusahaan.

Page 18: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

17

3.1.3 Forum Diskusi Terpumpun (Focus Group Discussion (FGD))

Focus group discussion merupakan bagian penting dalam analisis TCD

karena menjadi sarana yang menghubungkan hasil benchmark data/kuantitatif

yang telah dilakukan dengan kondisi faktual yang terjadi. Secara garis besar FGD

dilakukan terhadap tiga kelompok, yaitu pelaku usaha, perumus kebijakan

(pemerintah), dan ahli dengan perincian sebagaimana tertera pada lampiran (Tabel

12).

Selain kegiatan diskusi, juga terdapat kegiatan expert panel dalam

perumusan rekomendasi strategi nasional yang melibatkan kementerian terkait

(Kemendag, Kemenperin, dan Kemenko), panel ahli dan akademisi, serta kalangan

pengusaha (Apindo).

3.2 Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berfrekuensi tahunan dari

periode tahun 2000 hingga 2014, tergantung ketersediaan data. Tabel di bawah ini

menunjukkan data–data yang digunakan secara umum serta sumber datanya.

Mengingat jenis data yang digunakan sangat beragam, detil penggunaan data akan

dijelaskan lebih lanjut pada bagian analisis.

Tabel 1. Data

Variabel Sumber Data

Ekspor (per komoditas HS/SITC, per negara), Impor

(per komoditas HS/SITC, per negara, revealed

comparative advantage, konten teknologi ekspor,

product sophistication, tariff, non tariff barriers, dan

lain–lain.

World Integrated Trade

Solution (WITS), World

Bank.

Populasi, PDB, Suku bunga pinjaman riil, akses

pembiayaan, bandwidth internet, konsumsi listrik,

logistik, dan lain–lain

World Development

Indicators (WDI), World

Bank.

Lisensi teknologi, pelatihan formal, sertifikasi kualitas

internasional, dan lain–lain.

Enterprise Surveys,

World Bank.

Kemudahan berusaha, doing business index, waktu

untuk ekspor/impor, dan lain–lain.

Doing Business, World

Bank.

Global competitiveness World Economic Forum

Page 19: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

18

IV. HASIL DAN ANALISIS BAB IV – HASIL DAN ANALIS

4.1 Pemetaan Daya Saing Indonesia

Analisis daya saing yang dilakukan mengindikasikan adanya banyak

tantangan atas kinerja ekspor dan daya saing Indonesia. Dari hasil analisis kinerja

perdagangan, tantangan utama Indonesia adalah dari aspek intensive margin serta

quality margin. Jika dilihat diagnostik daya saingnya, tantangan pada ekspor

tersebut terjadi karena kurangnya market access, incentive framework, factors

condition, serta trade promotion facilititation.

4.1.1. Analisis Kinerja Perdagangan

Dari hasil analisis kinerja perdagangan (Tabel 3), kinerja ekspor Indonesia

terlihat tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand dan masuk

dalam klasifikasi negara low middle income country yang cenderung bersifat

resource based dan rendah nilai tambah. Vietnam terlihat mengalami peningkatan

kinerja ekspor secara tajam dalam dua dekade terakhir. Secara umum Indonesia

memiliki permasalahan dan terlihat mengalami penurunan kinerja pada keempat

dimensi ekspornya dengan isu utama pada intensive dan quality margin.

Kelemahan ekspor Indonesia mengindikasikan bahwa industri Indonesia

cenderung semakin inward oriented yang didukung dengan temuan analisis

keterkaitan nilai tambah.

Tabel 2. Ringkasan Hasil Analisis Kinerja Perdagangan

Permasalahan Utama Ekspor Keterangan

Intensive Margin ↓↓ Keterbukaan perdagangan Indonesia turun

dibandingkan awal tahun 2000, dengan

pertumbuhan ekspor sebagian besar produk dan

pasar yang lebih rendah dari perdagangan dunia.

Extensive Margin ↓ Kinerja Indonesia secara umum hanya lebih baik

dari Filipina. Jumlah kematian produk Indonesia

tertinggi dengan produk yang bertahan umumnya

berbasis SDA atau primary products.

Page 20: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

19

Tabel 2. (lanjutan)

Permasalahan Utama Ekspor Keterangan

Quality Margin ↓↓ Indonesia tertinggal pada ekspor produk high tech

dan sedikit unggul pada primary products. Selain

itu, bila dibandingkan selama 10–20 tahun

terakhir, terdapat indikasi pergeseran produk

ekspor Indonesia dari low dan hightech menjadi

medtech dan resource–based.

Sustainability Margin ↓ Durasi ekspor Indonesia hanya lebih baik dari

Filipina

Keterangan:

↓ : sedikit tertinggal dibandingkan peers

↓↓ : tertinggal dibandingkan peers

4.1.1.1 Intensive Margin

Intensive margin diukur dengan melakukan asesmen terhadap tingkat,

pertumbuhan, dan pangsa pasar yang mencerminkan struktur dan daya saing dari

basket ekspor yang telah ada. Berdasarkan data neraca perdagangan pada periode

tahun 2009–2013, secara rata-rata Indonesia masih mencatat surplus meskipun

dengan tingkat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan periode tahun 2004–

2008. Beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam memiliki tingkat

ekspor yang cukup tinggi hingga mencapai lebih dari 50% dari PDB-nya. Meskipun

demikian, impor yang tinggi turut membebani kinerja neraca perdagangan negara–

negara tersebut. Namun, Malaysia mampu mencatat surplus neraca perdagangan

hingga 15% dari PDB sepanjang tahun 2009–2013.

Gambar 6 menunjukkan tingkat keterbukaan perdagangan suatu negara

relatif terhadap tingkat PDB per kapitanya. Indikator ini mengindikasikan

seberapa penting ekspor dan impor barang dan jasa dalam sebuah perekonomian

atau seberapa terintegrasi suatu perekonomian dengan dunia jika dibandingkan

dengan peers-nya. Tingkat keterbukaan Indonesia pada tahun 2009–2013

dibandingkan tahun 2004–2008 menurun dari 60% ke 50%. Angka itu lebih

rendah dibandingkan peers seperti Vietnam (150%) dan Filipina (65%) yang juga

mengalami tren peningkatan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya

(Vietnam dan India).

Page 21: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

20

Sumber: WDI, WITS Worldbank, diolah

Gambar 6. Openness to Trade

Indikator lainnya adalah ekspor/kapita yang mengukur keberadaan suatu

ekonomi di pasar internasional. Negara yang memiliki nilai ekspor/kapita yang

tinggi mengindikasikan pendapatan ekspor dolar yang tinggi dari basis produksi

domestik yang terdiversifikasi dengan baik dan tidak berbasis SDA. Ekspor per

kapita Indonesia (Gambar 7) sesuai dengan karakteristik lower middle income, yang

jauh lebih rendah dari upper middle-high seperti Malaysia dan Singapura. Jika

dilihat dari indikator lainnya, yaitu share of merchandise trade (non oil and gas),

rasio Indonesia bahkan lebih rendah dibandingkan lower middle income countries

(Gambar 8).

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 7. Ekspor per Kapita Gambar 8. Share of Merchandise Trade

Page 22: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

21

Pertumbuhan ekspor dapat disebabkan oleh perubahan pada harga (export

value), volume ekspor (export volume), atau keduanya. Export value index

merupakan nilai ekspor (c.i.f) yang dikonversi ke dolar AS dan dinyatakan dalam

persentase dari rata-rata tahun dasar. Export volume index merupakan rasio

antara export value index dan unit value index-nya. Indikator ini (Gambar 9)

merefleksikan indeks perdagangan berdasarkan nilai dan volume perdagangan.

Selama periode tahun 2009–2012, Tiongkok dan Vietnam menunjukkan

pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi berdasarkan nilai dan volume ekspornya.

Meskipun berdasarkan export volume index, Indonesia berada pada posisi terakhir,

tetapi nilai barang ekspor Indonesia relatif moderat.

Jika dilihat dari pasar tujuan ekspornya, pasar ekspor Indonesia

terkonsentrasi ke Tiongkok dan Jepang dengan pangsa 20% dan 18% dari total

ekspor. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga menjadikan Tiongkok sebagai negara

tujuan ekspor utamanya dengan indeks intensitas perdagangan yang lebih tinggi

dibandingkan Indonesia.

Indikator trade intensity index (Gambar 10) menunjukkan tingkat intensitas

ekspor dari suatu negara ke negara mitra dagangnya. Indeks itu digunakan untuk

melihat apakah sebuah negara mengekspor lebih banyak ke mitra dagangnya

dibandingkan dengan ekspor dunia ke negara tersebut. Trade intensity index

menggunakan logika yang sama dengan RCA, tetapi untuk pasar bukan produk.

Jika trade intensity index > 100, hal itu mengindikasikan bahwa hubungan dagang

antara negara–𝑖 dan 𝑗 lebih intensif jika dibandingkan dengan rata–rata dunia (𝑤)

dengan negara-𝑗. Indonesia memiliki intensitas perdagangan yang tinggi ke Jepang

dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika. Pola itu relatif sama dengan

negara berkembang lainnya, kecuali Vietnam yang memiliki trade intensity yang

tinggi ke USA.

Page 23: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

22

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 9. Export Value Index vs. Export Volume Index

Gambar 10. Trade Intensity Index to Japan

Trade complementarity index digunakan untuk melihat apakah profil ekspor

suatu negara sesuai dengan profil impor mitra dagangnya atau justru bersifat

komplementer. Nilai indeks yang tinggi mengindikasikan kedua negara

mendapatkan keuntungan dari hubungan perdagangannya. Berdasarkan trade

complementarity index Indonesia sepanjang periode tahun 2009–2012, semua

negara peers rata–rata memilki besaran indeks yang sama. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa kebutuhan impor Indonesia dipenuhi dari profil–profil

ekspor dari negara–negara tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia

merupakan pasar ekspor bagi negara peers–nya. Sementara itu, trade

complementarity index Malaysia menunjukkan nilai yang rendah dengan Indonesia

dan Jerman, artinya produk ekspor Malaysia tidak sesuai dengan kebutuhan

impor Indonesia dan Jerman.

Indikator lainnya adalah orientasi pertumbuhan yang dapat dilihat dari

Orientasi Pertumbuhan Produk dan Pasar. Orientasi Pertumbuhan Produk

mengevaluasi potensi pertumbuhan ekspor dengan membandingkan compounded

annual growth rate (CAGR) dari produk ekspor utama suatu negara terhadap

pertumbuhan perdagangan dunia untuk produk tersebut. Negara dengan

pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan dunia berarti mengalami

peningkatan pangsa di pasar dunia. Negara yang ekspor utamanya di sektor yang

memiliki pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke

depan. Sementara itu, pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia

mengindikasikan adanya barrier yang menghambat pertumbuhan.

Page 24: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

23

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 11. Pertumbuhan Produk Ekspor Indonesia

Gambar 12. Pertumbuhan Produk Ekspor Vietnam

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 13. Pertumbuhan Pasar Ekspor Indonesia

Gambar 14. Pertumbuhan Pasar Ekspor Vietnam

Gambar 11 memperlihatkan ekspor produk Indonesia yang umumnya

tumbuh lebih rendah dari perdagangan dunia (di bawah garis 45 derajat). Produk

Indonesia yang memiliki pangsa yang besar umumnya bersifatnya komoditas,

seperti mineral fuels. Untuk beberapa produk manufaktur, Indonesia

meningkatkan pangsanya dalam perdagangan dunia, tetapi porsinya masih kecil

pada basket ekspor Indonesia. Hal itu berbeda dengan Vietnam (Gambar 12) yang

mengalami peningkatan pasar untuk hampir semua produk unggulannya.

Pertumbuhan ekspor manufakturnya lebih besar dari pertumbuhan dunia dan

merupakan produk dominan pada basket ekspornya.

Orientasi Pertumbuhan Pasar mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar

ekspor suatu negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar

relatif terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari rest of the world (ROW).

Gambar 13 memperlihatkan pertumbuhan ekspor Indonesia ke mitra dagangnya

Page 25: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

24

lebih rendah dari pertumbuhan impor mitra dagang dari ROW. Pasar dimana

Indonesia meningkatkan pangsanya adalah Tiongkok dan India. Sementara

Vietnam (Gambar 14) justru meningkatkan pangsanya di hampir seluruh mitra

dagangnya dengan pangsa ekspor terbesar ke USA.

4.1.1.2 Extensive Margin

Extensive margin mengukur diversifikasi ekspor dari dua dimensi, yaitu

menjual produk baru atau menjual produk existing ke pasar yang baru. Ukuran

yang digunakan adalah konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor

suatu negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan produk

dan pasar dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor spesifik (sukses

atau tidak).

Dari sisi extensive margin, kinerja Indonesia relatif moderat dibandingkan

dengan peers meskipun dari beberapa ukuran, Indonesia tertinggal. Indikator

pertama menghitung jumlah mitra dagang dan produk yang diekspor suatu

negara, yang dihitung pada 6-digit HS level2. Dalam satu dekade (Lampiran–

Gambar 50) Indonesia mengalami peningkatan moderat dalam jumlah produknya

sebesar 83, sedangkan Vietnam bertambah signifikan sebesar 1024. Selain itu,

hanya sebagian kecil ekspor Indonesia yang ditujukan ke high income countries jika

dibandingkan dengan negara lain (Lampiran–Gambar 51).

Indikator lainnya adalah jangkauan ekspor. Pertumbuhan ekonomi

umumnya disertai dengan adanya produk baru dan kematangan ekonomi ditandai

dengan kemampuan negara tersebut untuk memelihara hubungan dagang.

Indikator jangkauan ekspor menginformasikan kelahiran, survival, dan kematian

produk serta nilai dan jumlah pasarnya. Tingkat kematian yang tinggi pada

beragam sektor mengindikasikan volatilitas ekonomi; sedangkan jika

terkonsentrasi pada beberapa industri, tingkat kematian itu mengindikasikan

evolusi produksi domestik. Gambar 15 memperlihatkan produk Indonesia yang

mencapai lebih dari 10 tujuan ekspor, pada tahun 2010 sebanyak 1.961 produk,

kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi 2.099 produk. Jumlah itu sekitar

50%–53% dari total 3.906 produk yang survive pada kurun waktu tahun 2010–

2013. Angka tersebut memperlihatkan perbedaan yang jauh jika dibandingkan

2 Mitra dagang dihitung apabila telah terjadi ekspor minimal satu barang dengan nilai minimum 10,000 USD dan jumlah produk dihitung apabila setidaknya dikirim ke satu negara dengan nilai setidaknya 10,000 USD.

Page 26: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

25

dengan Tiongkok (Lampiran-Gambar 52), yaitu produk yang mencapai lebih dari

10 pasar adalah sebanyak 4.123 (2010) dan meningkat menjadi 4.133 (2013) yaitu

sekitar 87–88% dari total 4.687 produk yang survive. Selain itu, tingkat kematian

produk Indonesia cukup tinggi dibandingkan peers (Tabel 3) dengan surviving

product bernilai tinggi adalah natural resources–based goods (Tabel 4).

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 15. Jangkauan Ekspor Indonesia Tahun 2010–2013

Tabel 3. Perbandingan ASEAN

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Tabel 4. Top Surviving Product

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Indikator lainnya adalah Hummels-Klenov untuk produk dan pasar.

Indikator ini terdiri atas intensive margin (IM) dan extensive margin (EM). IM produk

SurivivingProduct

ProductDeath

NewProduct

Indonesia 3906 311 308Malaysia 4168 241 247Thailand 4455 132 217Filipina 1990 403 887Vietnam 3242 285 487Cina 4687 99 59India 4655 137 128

2010-2013 TopSurvivingProductPalmoil,otherthancrudeCoalotherthananthracite&bituminousNaturalgas,liquefiedNaturalgas,ingaseousstateLignitePaper&paperboardCarbonpaperOriginalsculptures&statuarySeatswithwoodenframesWomen's/girls'dresses

ByNumberofMarket

ByValue

Page 27: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

26

mengukur apakah suatu negara big player pada produk yang diekspornya (pangsa

suatu negara pada produk yang diekspornya di perdagangan dunia) dan EM

mengukur seberapa penting barang yang diekspornya secara global (ekspor ragam

portofolio relatif terhadap semua ekspor dunia). Untuk Hummels-Klenov pasar, IM

mengindikasikan apakah suatu negara big player pada pasar ekspornya dan EM

mengukur seberapa penting pasar ekspornya secara global. Dalam satu dekade

(Gambar 16 dan Gambar 17) Indonesia mengalami peningkatan moderat dan

hanya lebih baik dari Filipina dalam meningkatkan pangsanya di produk dan

pasar ekspor-nya. Vietnam terlihat signifikan meningkatkan prduk dan pasar yang

bernilai secara global (EM) dan Tiongkok terlihat paling berhasil meningkatkan

perannya pada produk dan pasar ekspornya (IM).

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 16. Hummels Klenov dari Segi Produk

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 17. Hummels Klenov dari Segi Pasar

Page 28: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

27

4.1.1.3 Quality Margin

Quality margin mengukur kinerja ekspor dari sisi kualitas, yang antara lain

dilakukan melalui analisis komponen teknologi, tingkat kecanggihan (product

sophistication), product space, serta relative quality. Klasifikasi produk ekspor

menurut komponen teknologi dimungkinkan menggunakan SITC 3 digit

berdasarkan Hatzichronoglou (1997) dan Lall (2000). Analisis product sophistication

(EXPY)3 merujuk pada Hausmann, Hwang, and Rodrik (2007). Lebih lanjut, product

space merujuk pada Hidalgo et al. (2007) yang memetakan koneksi antarproduk

berkeunggulan komparatif pada suatu negara.

Komponen teknologi dan kecanggihan yang rendah pada produk ekspor

Indonesia membuat margin kualitas produk ekspor Indonesia sangat terbatas,

khususnya jika dibandingkan dengan negara–negara peers. Indonesia tertinggal

pada ekspor produk high tech dan sedikit unggul pada primary products. Selain itu,

apabila dibandingkan selama 10–20 tahun terakhir, terdapat indikasi pergeseran

produk ekspor Indonesia dari low dan high tech menjadi med tech dan resource-

based. Sementara itu, Tiongkok beralih dari low tech menjadi high tech.

Produk ekspor Indonesia memiliki tingkat kecanggihan yang rendah jika

dibandingkan dengan peer countries. Tingkat kecanggihan produk ekspor di

Indonesia mengalami tren penurunan walaupun PDB per kapita secara konsisten

meningkat. Padahal, menurut Felipe (2010), pada umumnya kenaikan EXPY 10%

meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.5%.

Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah

Gambar 18. Perkembangan dan Pangsa Ekspor berdasarkan Komponen Teknologi

3 EXPY diukur dari proporsi ekspor atas PRODY masing–masing produk dan PRODY merupakan tingkat kecanggihan suatu produk yang diukur dari pendapatan per kapita negara (pada PPP) pengekspor utama produk tersebut di dunia.

Page 29: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

28

Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah

Gambar 19. Tingkat Kecanggihan Produk Ekspor dan PDB Per Kapita

Melalui analisis product space 4 , terdapat indikasi bahwa product space

Indonesia semakin menjauh dari core-nya. Indonesia mengalami penurunan

jumlah produk berkeunggulan komparatif pada dense forest (mesin, elektronik,

garmen, tekstil, dan furnitur) yang banyak “diserap” oleh Tiongkok. Keunggulan

komparatif hilang pada elektronik, mesin, dan furnitur yang merupakan tendensi

keunggulan komparatif pada upper-middle countries. Hal itu menunjukkan risiko

(lower) middle income trap. Menurut Hidalgo et al (2007) daya saing rendah pada

klaster industri dengan proximity tinggi (dense forest) akan menyulitkan transisi ke

income group yang lebih tinggi. Sementara itu, Tiongkok mengalami kenaikan

keunggulan komparatif pada mesin dan elektronik yang kemudian

mengindikasikan bahwa Tiongkok juga “menyerap” keunggulan komparatif pada

Jepang.

4Konsep product space mengacu pada Hidalgo et. al. (2007) yang dipetakan dengan product space explorer (http://www.chidalgo.com/productspace/data.htm) dan Cytoscape (www.cytoscape.org). Data RCA dihitung menggunakan data ekspor UN Comtrade dari World Integrated Trade Solution, World Bank.

Page 30: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

29

Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber data ekspor dari WITS.

Gambar 20. Product Space Indonesia Tahun 2000 dan 2013

Tabel 5. Perubahan Product Space pada Beberapa Negara Lain

Negara Perubahan Product Space (2013 vs 2000)

Indonesia Garmen, mesin, dan elektronik turun

Jepang Mesin dan Elektronik turun

Thailand Penurunan garmen dan tekstil, namun machinery naik

Malaysia Penurunan furniture

Tiongkok Machinery dan Electronics naik

Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber data ekspor dari WITS.

Beberapa produk terindikasi masih berkualitas baik dibandingkan peers.

Produk dengan kualitas yang kompetitif sekaligus bernilai tinggi adalah alat berat.

Pada komoditas penyumbang nilai ekspor tertinggi, relative quality5 dari produk

Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah copper, natural rubber, tin,

gold, dan chemical wood pulp. Pada komoditas dengan unit price tertinggi, relative

5 Mengikuti Reis dan Farole (2012), relative quality diproksikan dari rasio unit price suatu produk terhadap unit price peers pada percentile 90. Asumsinya adalah saat suplai kompetitif, harga yang tinggi umumnya terkait dengan kualitas = diferensiasi produk yang lebih tinggi. Kategori produk menggunakan HS 6 digit.

Page 31: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

30

quality dari produk Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah crane

lorries, lifting machinery, dan tower cranes.

Lebih lanjut, pada gambar dibawah, dapat diketahui produk ekspor dengan

pangsa pasar tinggi, tetapi kualitas rendah, yaitu natural gas dan nickel. Copper

mempunyai pangsa pasar tinggi dengan kualitas tinggi. Selain itu, produk yang

mempunyai pangsa pasar rendah, tetapi kualitas tinggi adalah crane lorries dan

lifting machinery. Lebih lanjut, antara tahun 2010 ke 2013 terdapat peningkatan

pangsa pasar dan kualitas pada crane lorries, pesawat, dan natural gas. Sementara

itu, terdapat penurunan pangsa pasar pada tower crane.

Sumber: Perhitungan peneliti; sumber data ekspor dari WITS.

Gambar 21. Posisi Pangsa Pasar dan Relative Quality Produk Ekspor

4.1.1.4 Sustainability Margin

Kemampuan untuk mempertahankan hubungan perdagangan merupakan

suatu ukuran perekonomian yang berkembang dengan baik (well developed

economy). Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengevaluasi durasi dan

ketahanan hubungan produk-partner serta menjelaskan faktor–faktor yang

memengaruhi product birth dan extinction.

Export Duration yang mengukur tingkat kelangsungan hidup selama periode

tahun dari hubungan produk baru-pasar dengan nilai minimal USD10.000.

Selama rentang waktu 10 tahun (tahun 2003–2013), pangsa kelangsungan hidup

Page 32: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

31

hubungan produk baru-pasar yang bertahan di Indonesia adalah sebesar 61,2%

dengan jumlah hubungan ekspor sebesar 326. Export duration ini hanya lebih baik

dibandingkan Filipina dan Malaysia, tetapi lebih rendah dibandingkan Vietnam,

Thailand, Tiongkok, dan India (Gambar 22).

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 22. Durasi Ekspor

Perubahan pada arus ekspor dapat terjadi sepanjang dua margin yang

berbeda, yaitu intensif dan ekstensif. Intensive margin meliputi perubahan pada

arus perdagangan saat ini (existing) yang dapat dibagi lagi menjadi peningkatan,

penurunan, dan kepunahan (extinction). Extensive margin meliputi penambahan

arus perdagangan baru yang mungkin terjadi karena pengenalan produk baru

(introduction of a new product), masuk ke pasar baru (entry into new market), atau

diversifikasi produk dengan mitra dagang saat ini. Indikator decomposition of export

growth along margins of trade mendekomposisi semua pertumbuhan perdagangan

menjadi salah satu dari tujuh kategori eksklusif sesuai dengan margin tersebut.

Suatu negara yang sudah mengekspor ke berbagai pasar dan telah sangat

terdiversifikasi portofolio ekspornya mungkin memiliki potensi terbatas untuk

ekspansi pada extensive margin. Bahkan, untuk negara–negara berkembang,

extensive margin umumnya menyumbang tidak lebih dari 20% pertumbuhan

ekspor (Brenton dan Newfarmer, 2009). Sementara itu, bagi eksportir yang telah

mature, pertumbuhan umumnya terjadi pada intensive margin.

Dari Gambar 53 (Lampiran) dapat dilihat keenam negara menghadapi

tantangan persaingan yang kompetitif dalam produk dan pasar tradisional dengan

Page 33: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

32

kerugian terjadi dalam intensive margin, termasuk punahnya hubungan produk–

pasar. Dalam EM kinerja ekspor negara–negara tersebut tidak menunjukkan

pertumbuhan yang berarti, hanya sebagian kecil peningkatan pada penjualan

produk yang ada ke pasar baru. Indonesia relatif lebih baik dari Filipina dan

Malaysia dari sisi IM (IM tumbuh 108,73% dan turun 9,15%). Namun, dapat

dilihat bahwa pertumbuhan Tiongkok relatif lebih baik karena IM tumbuh

105,04% dan penurunan ekspor sebesar 4,97%. Dari dimensi EM, Vietnam

tumbuh 2,73%, lebih tinggi dibandingkan Indonesia sebesar 0,96%.

Indonesia Vietnam

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 23. Dekomposisi Pertumbuhan Ekspor tahun 2003–2013

Indikator export suspension and factor endowments mengidentifikasi aliran

perdagangan yang bernilai paling sedikit 10.000 dolar AS yang menghilang sejak

tahun awal. Indikator itu dipilih untuk membandingkan faktor intensitas produk

tersebut terhadap faktor pendukung tertentu milik negara tersebut. Harapannya

adalah kematian produk lebih mungkin terjadi jika faktor intensitas suatu produk

berada jauh dari faktor pendukungnya. Jika titik faktor pendukung suatu negara

diwakili oleh perpotongan antara rata–rata intensitas modal manusia dan fisik,

dapat dilihat seberapa jauh atau seberapa dekat faktor intensitas ekspor dari titik

rata–rata faktor pendukungnya. Dari Gambar 24 terlihat bahwa ekspor Indonesia

pada tahun 2013 tidak begitu selaras dengan faktor pendukungnya. Hal itu

ditunjukkan jarak antara faktor intensitas ekspor dengan titik perpotongan faktor

pendukungnya yang cukup jauh. Berbeda halnya dengan Thailand, mayoritas

ekspor besarnya berada relatif lebih dekat dengan faktor pendukungnya. Hal itu

dapat mengindikasikan kelangsungan ekspor produk–produk di Thailand akan

lebih bertahan lama.

0 0 0.96 0 -0.53 -9.15

108.73

0.96

99.05

-10

10

30

50

70

90

110

-10

10

30

50

70

90

110

Creatio

nofoldprodu

cts

inoldm

arkets

Introd

uctio

nofold

prod

uctsinnew

markets

Increaseofn

ewprodu

cts

inoldm

arkets

Increaseofn

ewprodu

cts

innew

markets

Extin

ctionofexportsof

oldprod

uctsinold

markets

Fallofoldprodu

ctsinold

markets

Increaseofo

ldprodu

cts

inoldm

arkets

0 0 2.73 0 -0.09 -0.47

97.83

2.73

97.27

-10

10

30

50

70

90

-10

10

30

50

70

90

Creatio

nofoldprodu

cts

inoldm

arkets

Introd

uctio

nofold

prod

uctsinnew

markets

Increaseofn

ewprodu

cts

inoldm

arkets

Increaseofn

ewprodu

cts

innew

markets

Extin

ctionofexportsof

oldprod

uctsinold

markets

Fallofoldprodu

ctsinold

markets

Increaseofo

ldprodu

cts

inoldm

arkets

IntensiveMargin

ExtensiveMargin

Page 34: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

33

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 24. Export Relative to Endowment – Indonesia 2013

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 25. Export Relative to Endowment – Thailand 2013

4.1.2 Diagnostik Daya Saing

Indonesia memiliki permasalahan pada keempat dimensi daya saing dengan

isu terutama pada tenaga kerja (skill set), logistik, kebijakan, dan institusi

domestik yang tidak kondusif serta kurangnya dukungan market access dari sisi

free trade agreement (FTA) dan non-tariff measures (NTMs). Hal itu juga ditemukan

dari hasil FGD dengan pelaku usaha, faktor utama yang disebutkan adalah

ketidakpastian hukum.

Page 35: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

34

Tabel 6. Ringkasan Diagnostik Daya Saing

Tantangan Utama Ekspor Indonesia

Keterangan

Akses Pasar ↓↓ Didominasi oleh non-tariff measures dari negara

maju. FTA Indonesia relatif tertinggal dibandingkan

negara kawasan.

Incentive Framework ↓↓ Kebijakan FDI Indonesia paling tertinggal

dibandingkan peers. Dari sisi kebijakan dan

institusi domestik, kemudahan berusaha Indonesia

terendah di ASEAN dan menurun dalam 10 tahun

terakhir.

Factors Condition ↓↓ Tenaga kerja khususnya pada skill set, kondisi

logistik merupakan hambatan utama.

Trade and Invesment

Facilitation

↓ Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi

Indonesia adalah di bidang standar dan sertifikasi

yang belum memenuhi standar internasional dengan

promosi investasi dan ekspor yang tergolong lemah.

Keterangan:

↓ : Sedikit tertinggal dibandingkan peers

↓↓ : Tertinggal dibandingkan peers

4.1.2.1 Akses Pasar

Hambatan terbesar dari segi akses pasar didominasi oleh non-tariff

measures yang banyak diterapkan oleh negara-negara maju yang merupakan

tujuan ekspor. Rendahnya tarif bea masuk di negara-negara maju seharusnya

menjadi peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia. Namun, proteksi dari segi

non-tariff measures, seperti sanitary and phytosanitary (SBS) dan technical barriers

(TBT) yang berlaku di beberapa negara maju dapat menjadi hambatan bagi

eksportir dalam melakukan penetrasi pasar.

Page 36: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

35

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 26. Tarif Impor di Beberapa Negara

Rata–rata tarif bea masuk untuk barang impor yang diterapkan oleh

Indonesia berkisar antara 5%–10%. Negara–negara maju tujuan ekspor, seperti

USA dan Jepang menerapkan tarif bea masuk barang impor <5%. Amerika,

Jepang, Tiongkok, Korea, India, dan Eropa memberlakukan tarif bea masuk yang

tinggi untuk produk–produk pertanian, berkisar antara 5%–35%. Di Indonesia,

tarif bea masuk untuk produk pertanian relatif sama dengan produk–produk non-

pertanian. Beberapa negara di kawasan, seperti Thailand dan Vietnam

memberlakukan tarif bea masuk yang lebih tinggi untuk produk pertanian.

Bilateral trade arrangement antara Indonesia dan beberapa negara tujuan ekspor

menyebabkan produk–produk Indonesia bisa mendapatkan tarif bea masuk yang

lebih rendah. Jika dibandingkan dengan negara–negara kawasan, tarif bea masuk

yang berlaku di Indonesia dan Filipina tergolong paling rendah, terutama untuk

produk–produk impor dari negara–negara Asia Tenggara. Eropa memberlakukan

non-tariff measures yang cukup tinggi, terutama dalam bentuk TBT dan SPS. Oleh

karena itu, respon yang krusial adalah membentuk trade agreement dengan Eropa

untuk mengeliminasi non-tariff measures tersebut.

Page 37: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

36

Tabel 7. Daftar Non–Tariff Measures di Beberapa Negara

Sumber: WITS World Bank, diolah

Indonesia relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers dalam

menjajaki dan ikut serta dalam regional trade agreements (RTA) dengan negara–

negara di luar ASEAN. Misalnya, Indonesia tidak mempunyai RTA dengan Eropa

atau AS, padahal negara–negara di kawasan tersebut mempunyai produk yang

bersifat komplementer dengan Indonesia. Sebagai salah satu implikasi,

berdasarkan hasil FGD dengan pelaku usaha, beberapa perusahaan asing lebih

memilih melakukan ekspansi ke Vietnam daripada ke Indonesia karena negara

Vietnam mempunyai keunggulan dalam hal akses pasar. Indonesia juga akan

berisiko terkena dampak negatif trade diversion atas RTA yang tidak diikuti.

4.1.2.2 Incentive Framework

Incentive framework merupakan salah satu determinan daya saing dari sisi

suplai, yaitu kerangka insentif yang dihadapi pelaku usaha. Terdapat dua hal yang

dikupas, yaitu kebijakan perdagangan dan investasi serta kebijakan dan institusi

domestik. Dari sisi kebijakan perdagangan dan investasi, kebijakan FDI Indonesia

paling rendah dibandingkan peers (Gambar 27) karena hanya sektor

pertambangan, minyak dan gas, serta listrik dan perbankan yang keterbukaan

Page 38: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

37

terhadap investasi asing lebih tinggi daripada rata–rata. Sementara itu, dari sisi

kebijakan dan institusi domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah di

ASEAN dan jika dibandingkan dengan peers-nya menurun dalam 10 tahun

terakhir (Gambar 28) meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2014

(peringkat 120). Beberapa aspek jauh lebih rendah dari peers seperti starting a

business, registering property, enforcing contracts, dan paying taxes (Gambar 29).

Sumber: Doing Business, diolah

Sumber: Doing Business, diolah

Gambar 27. Ease of Establishment Index

Gambar 28. Ease of Doing Business

Sumber: Doing Business, diolah

Gambar 29. Kemudahan Berusaha di Indonesia

Page 39: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

38

4.1.2.3 Factor Conditions

Kondisi tenaga kerja, logistik, serta beberapa faktor lain yang kurang baik

menjadi hambatan keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara peers

lainnya.

Untuk kondisi tenaga kerja, terdapat biaya yang tinggi. Upah minimum

terlalu tinggi (apabila mempertimbangkan produktivitas), jika dibandingkan

dengan kondisi negara maju. Upah minimum yang terlalu tinggi menyebabkan

PHK serta pemindahan pabrik ke provinsi dengan UMR lebih rendah. Biaya

pemecatan juga sangat tinggi dibandingkan peers, yaitu sekitar 50 kali gaji

mingguan. Selain itu, terdapat beberapa implicit cost seperti banyaknya labor union

yang menyulitkan proses negosiasi, banyaknya demonstrasi, serta meningkatnya

risiko operasional.

Dari sisi skill, terdapat permasalahan yang lebih serius. World Bank (2014)

menyatakan bahwa (1) terdapat skill mismatch, 50% lulusan SMA/setara dan 15%

lulusan universitas bekerja di unskilled position; (2) 70% pengusaha manufaktur

mengatakan ‘sangat sulit’ untuk mengisi skilled positions; (3) hanya 5% pekerja

yang memperoleh on-the-job training formal. Lebih lanjut, hasil FGD

mengindikasikan bahwa Indonesia membutuhkan medium dan high skilled workers

pada tahun 2020. MEA menyebabkan Indonesia akan mengalami shortage skilled

labor.

Sumber: World Development Indicators, diolah

Sumber: Global Competitiveness Index,

WEF

Gambar 30. Upah Minimum dan Produktivitas

Gambar 31. Biaya Pemecatan

Page 40: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

39

Kondisi logistik memprihatinkan dan sangat menghambat perkembangan

daya saing. Walaupun data WDI menunjukkan bahwa Logistic Performance Index

dan kondisi infrastruktur Indonesia sedikit meningkat, kondisinya masih lebih

rendah dibandingkan peers. Skor international shipments turun dan menempati

peringkat terbawah. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan untuk ekspor-impor

relatif lama dibandingkan negara peers, yang antara lain karena adanya hambatan

akses di darat dan proses bongkar muat di pelabuhan.

Beberapa masalah lain yang diketahui adalah (1) kecepatan, bandwidth,dan

harga internet broadband tidak kompetitif; (2) kurangnya sertifikasi internasional

dan compliance atas produk ekspor dan proses industri; (3) kurangnya

penggunaan lisensi teknologi; (4) listrik yang bermasalah; serta (5) regulasi tidak

tepat sasaran.

Sumber: Doing Business, World Bank

Sumber: World Bank

Gambar 32. Upah Minimum dan Produktivitas

Gambar 33. Logistic Performance Index

Sumber: Ookla Net Index

Sumber: Enterprise Surveys, World Bank

Gambar 34. Biaya Bulanan Internet Gambar 35. Persentase Perusahaan dengan Lisensi

Teknologi Asing

Page 41: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

40

4.1.2.4 Trade Promotion Infrastructure

Infrastruktur promosi perdagangan meliputi berbagai intervensi Pemerintah

untuk mengatasi kegagalan pasar (tantangan koordinasi dan informasi asimetrik)

dan kegagalan Pemerintah yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor,

termasuk promosi ekspor tradisional dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),

lembaga koordinasi industri, standar dan sertifikasi, serta inovasi.

Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi Indonesia adalah di

bidang standar dan sertifikasi. Meskipun banyak hal yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan hal tersebut dari perspektif kelembagaan, masalah yang timbul

lebih banyak dari rendahnya tingkat kecanggihan industri/perusahaan Indonesia,

yang pada gilirannya terkait dengan salah satu tantangan daya saing fundamental,

yaitu inovasi.

a. Standar dan Sertifikasi

Tantangan utama untuk meningkatkan daya saing kualitas produk

ekspor Indonesia adalah mampu memberikan standar internasional (bahkan

mempunyai sertifikasi untuk membuktikannya). Berdasarkan data pada

Gambar 36, hanya 3% perusahaan Indonesia yang memiliki sertifikasi

berkualitas internasional, jauh tertinggal dengan negara kawasan lainnya.

Kebanyakan standar teknis penting diberlakukan oleh pembeli internasional

atau mitra dagang agar para eksportir memenuhi standar tersebut sehingga

dapat berlanjut dengan pemberian kontrak. Sebagian besar perusahaan

industri Indonesia sudah memenuhi standar nasional, tetapi belum dapat

memenuhi standar internasional. Kendala utamanya adalah masalah besarnya

biaya sertifikasi standar internasional dan implikasinya terhadap daya saing.

Sertifikasi ternyata meningkatkan biaya produksi, sementara biaya tersebut

sukar untuk ditransmisikan ke konsumen.

Selain itu, masih lemahnya infrastruktur standardisasi Indonesia juga

menjadi penyebab kurang kompetitifnya produk ekspor Indonesia. Banyak

laboratorium penguji di Indonesia tidak mendapat pengakuan internasional

sehingga memengaruhi proses sertifikasi dan pemenuhan standar yang

dibutuhkan oleh pembeli internasional. Daya saing eksportir Indonesia juga

ditentukan oleh rezim standar nasional. Rezim standar nasional yang lemah

Page 42: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

41

ditambah dengan kurangnya monitoring dan penegakan peraturan

berkontribusi pada terjadinya kompetisi kualitas rendah pada pasar domestik.

Sumber: WDI, diolah

Gambar 36. Internationally–Recognized Quality Certification

b. Inovasi

Industri di Indonesia perlu terus meningkatkan kualitas produk dan daya

tambah agar dapat mempertahankan daya saing dalam jangka panjang. Untuk

mencapai hal tersebut bergantung pada kapasitas inovasi dari sektor industri

masing–masing. Gambar 37 dan Gambar 38 menunjukkan kesenjangan (gap)

yang terjadi pada kapasitas inovasi Indonesia, baik pada tingkat nasional

maupun perusahaan. Alokasi anggaran untuk riset dan penelitian di Indonesia

lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Kebanyakan

industri di Indonesia masih mengandalkan pembeli internasional untuk

memberikan persyaratan spesifikasi desain dan teknik sehingga hanya

memproduksi sesuai dengan spesifikasi. Hal itu membatasi kemampuan

potensial sektor industri untuk dapat menciptakan inovasi dan bergabung pada

Global Production Networks (GPN). Bahkan, proses replikasi produk pun tidak

selamanya berhasil dilakukan oleh industri di Indonesia karena persyaratan

presisi yang begitu ketat dan rendahnya toleransi yang diperbolehkan.

Kurangnya perhatian terhadap kualitas dan desain berhubungan erat dengan

rendahnya tingkat kecanggihan suatu perusahaan. Banyak perusahaan yang

telah berdiri sejak tahun 1980-an merasa telah nyaman dan tidak merasa perlu

mengambil risiko untuk mendorong inovasi desain industri. Walaupun

Page 43: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

42

demikian, berdasarkan informasi dari pelaku usaha, hanya sedikit industri

yang mulai melakukan inovasi dengan mendesain beberapa produk untuk

pasar domestik dan juga mulai bergabung dalam Global Value Chain (GVC).

Sumber: WDI, diolah Sumber: World Economic Forum GCI,

diolah

Gambar 37. Pengeluaran R&D (% PDB)

Gambar 38. Kualitas dari Lembaga Riset

Pada tingkat perusahaan, investasi pada riset dan pengembangan masih

tergolong rendah. Institusi atau lembaga untuk mendukung pengembangan

keahlian teknis ataupun desain pada sektor–sektor industri masih tetap lemah.

Industri tekstil menjadi salah satu industri yang memiliki sekolah tinggi

khusus teknologi tekstil di Bandung (setara D4), selain terdapat institusi

swasta yang fokus pada pengembangan industri adibusana. Tahun 2015 ini

Kementerian Perindustrian meresmikan pendirian Akademi Komunitas Industri

Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Solo Techno Park sebagai bentuk jawaban

dari peningkatan kebutuhan tenaga kerja di sektor tersebut. Akademi

Komunitas Industri TPT ini merupakan pendidikan vokasi industri berbasis

kompetensi sehingga dilengkapi sarana dan prasarana pendidikan berupa

laboratorium, workshop, dan teaching factory. Selain itu, akademi tersebut juga

dilengkapi dengan Lembaga Sertifikasi Profesi dan Tempat Uji Kompetensi.

Harapannya akademi industri TPT ini akan mulai beroperasi pada tahun

akademik 2015.

Sementara itu, di sektor ICT (information-communication technology) baru

terdapat satu Pusat Pendidikan Khusus Elektronika dan Telematika di

Surabaya. Balai Diklat Industri (BDI) di Surabaya yang dikelola oleh

Kementerian Perindustrian juga menyediakan pendidikan dan pelatihan di

bidang elektronika dan garmen. Pada masa yang akan datang Kementerian

3.7

5.2

4.4

5.1

3.4

4.1

3.2

4.34.0

4.3

5.2

3.63.9

3.3

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

China India Indonesia Malaysia Philippines Thailand Vietnam

2006-2007

2014-2015

Page 44: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

43

Perindustrian bekerja sama dengan universitas di Banten akan mendirikan

Akademi Komunitas Petrokimia Banten. Pendirian akademi tersebut

merupakan sebuah jawaban atas tantangan industri petrokimia terhadap

kualitas sumber daya lokal yang berbasis kompetensi sehingga akhirnya dapat

meningkatkan daya saing industri petrokimia nasional.

Masih minimnya sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan bagi

sektor industri disebabkan oleh masih kurangnya perhatian dari pemerintah

untuk inovasi dan juga masih minimnya inisiasi dari tingkat industri itu

sendiri. Namun, Pemerintah sudah terlihat mulai lebih agresif dan berinisiatif

dalam membangun pusat-pusat pelatihan dan pendidikan terlihat dari

ditandatanganinya beberapa nota kesepahaman pembangunan akademi atau

pusat inovasi di berbagai daerah.

c. Promosi Ekspor dan Investasi

Indonesia telah menginvestasikan sumber daya yang cukup besar untuk

menarik dan mengoordinasikan investasi ke Indonesia. Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM) telah ditunjuk menjadi agen promosi investasi (IPA)

pada tingkat pusat sejak tahun 1970-an. BKPM merupakan institusi yang

mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan sektor swasta dan pemerintah

karena dapat melapor langsung ke Presiden dan posisi ketua institusinya

sejajar dengan menteri. Selain itu, juga terdapat agen promosi investasi pada

tingkat regional, khususnya pada sektor dan daerah tertentu. Berdasarkan

Laporan Global Investment Promotion Benchmarking (2009) yang mengukur

kinerja pelayanan dan online marketing investasi, Malaysia memiliki kinerja

yang terbaik disusul oleh Filipina dan Thailand, sedangkan kinerja Indonesia

masih tergolong tertinggal (Tabel 8).

Page 45: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

44

Tabel 8. IPI Performance Score

Sumber: GIPB 2009 Summary Report (World Bank)

Sama halnya dengan promosi investasi, promosi ekspor juga sudah

mendapat perhatian khusus Pemerintah, yaitu melalui Direktorat Jenderal

Pengembangan Ekspor Nasional (DJPEN) di bawah Kementerian Perdagangan.

DJPEN secara rutin menghadiri pameran perdagangan, forum–forum

internasional untuk mempromosikan sektor industri unggulan Indonesia, dan

juga berdialog dengan kementerian perdagangan negara lain. Dalam hal

pembiayaan perdagangan atau ekspor, kehadiran Lembaga Pembiayaan Ekspor

Indonesia atau Indonesia Eximbank membantu dalam penyediaan modal kerja,

jaminan, dan asuransi bagi eksportir.

Terkait FDI, penelitian menunjukkan bahwa saat ini Indonesia cenderung

lebih protektif dengan hambatan nontarif dan hambatan investasi yang lebih

tinggi dibandingkan peers (Patunru dan Rahardja, 2015). Hambatan tersebut

perlu dihilangkan, khususnya pada FDI yang berorientasi ekspor.

d. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

KEK merupakan kawasan yang dipersiapkan dan yang memiliki

keunggulan geoekonomi dan geostrategis serta berfungsi untuk menampung

kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai

ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di dalam KEK perlu dibangun

fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Pada setiap KEK disediakan

lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik sebagai

pelaku usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada

dalam KEK.

Page 46: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

45

Jumlah KEK Indonesia relatif setara dengan negara peers meskipun jika

dibandingkan dengan luas wilayah, jumlah itu masih relatif kecil. Selain itu,

pengembangan kawasan ekonomi/industri di Indonesia masih terbatas. Hal itu

disebabkan, antara lain, oleh beberapa faktor berikut.

(1) Dukungan infrastruktur yang masih terbatas (energi, konektivitas, dll.).

Beberapa KEK yang didirikan berada jauh dari infrastruktur pendukungnya

seperti pelabuhan. Seyogianya, pendirian KEK dilakukan beserta dengan

pendirian infrastruktur pendukung.

(2) Kurangnya fungsi pemantauan (monitoring) dan pengelolaan yang efektif

akan manajemen kawasan serta relatif minimnya promosi zona ekonomi

tersebut.

Sumber: Economic Zones in The ASEAN (UNIDO)

Gambar 39. Gambaran Kawasan Ekonomi Khusus di Kawasan

4.1.3. Focus Group Discussion (FGD)

Kegiatan FGD merupakan sarana untuk mengonfirmasi hasil benchmark

data/kuantitatif (desk analysis) dengan kondisi yang terjadi sebenarnya di

lapangan. Dari hasil FGD terungkap tiga hal utama yang menjadi perhatian para

pelaku usaha, yakni terkait regulasi, kemampuan sumber daya manusia, dan

koordinasi. Berikut ini merupakan beberapa hambatan yang disarikan

berdasarkan hasil FGD.

Page 47: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

46

a. Kejelasan aturan main dan kepastian hukum

Regulasi yang mendukung pengembangan sektor industri dan

perdagangan di Indonesia masih dirasakan kurang optimal dan cenderung

tidak jelas implementasinya. Regulasi yang ada banyak yang tumpang tindih

antara satu sektor dan sektor lainnya. Khusus terkait kebijakan mengenai tarif

tenaga listrik (TTL) dan upah tenaga kerja, pelaku usaha mengharapkan bahwa

ada penetapan mekanisme yang terencana terkait penetapan tarif dan upah

tersebut.

b. Keterbatasan jumlah free trade agreement (FTA) yang dilakukan Indonesia, baik

multilateran maupun bilateral

Pelaku usaha mengharapkan adanya penambahan jumlah trade

agreement dengan negara maju tujuan ekspor untuk mendorong perluasan

akses pasar Indonesia dan upaya tergabung dalam global supply chain. Selain

itu, dalam FGD juga terungkap bahwa trade agreement yang sudah terjadi

mengalami hambatan dalam implementasinya (menemui jalan buntu).

Keterhambatan implementasi tersebut disebabkan oleh kurang detilnya pihak

Indonesia menjelaskan poin-poin yang dibutuhkan dalam trade agreement

tersebut. Hal itu disinyalir akibat dari kurangnya koordinasi antara pihak yang

melakukan trade agreement dan perwakilan pelaku usaha dalam memetakan

kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh pelaku usaha sebagai subjek yang

melakukan proses produksi ataupun perdagangan. Selain itu, pemanfaatan

butir-butir kesepakatan dalam FTA juga masih sangat terbatas sehingga

dibutuhkan lebih banyak upaya memperkenalkan dan mempermudah

pemanfaatan butir–butir kesepakatan FTA tersebut.

c. Kemampuan sumber daya manusia (SDM)

Secara teknis kemampuan SDM Indonesia masih kurang bersaing

dengan negara lain. Keunggulan upah buruh yang murah di Indonesia pada

masa lampau sudah tidak terlalu dapat diandalkan lagi apalagi sejalan dengan

niat Indonesia untuk menyasar peningkatan ekspor pada industri med-tech dan

hi-tech. Indonesia harus melakukan peningkatan keahlian (skill) pekerjanya

sesuai dengan kebutuhan industri. Selain itu, ketentuan tenaga kerja asing

yang akan bekerja di Indonesia juga seyogianya disusun lebih selektif dengan

mempertimbangkan kebutuhan industri dan ketersediaan tenaga kerja

domestik.

Page 48: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

47

d. Aturan perpajakan

Aturan perpajakan Indonesia merupakan salah satu hambatan yang

cukup besar perannya dalam sektor industri dan perdagangan di Indonesia.

Salah satunya adalah PPN berganda dan restitusi pajak yang memerlukan

waktu lama sebagai keluhan utama pelaku usaha di lapangan.

e. Koordinasi Pemerintah Pusat (Pempus), Pemerintah Daerah (Pemda), maupun

dengan pelaku usaha

Kendala birokrasi dan koordinasi, baik antarkementerian maupun

pempus dan pemda, terutama dengan pelaku usaha masih menjadi kendala

yang signfikan dalam mewujudkan industri yang berdaya saing tinggi. Proses

keberhasilan pengembangan sektor industri bergantung pada perencanaan dan

pengembangan sektor-sektor industri yang dicanangkan oleh pemerintah,

termasuk infrastruktur yang diarahkan untuk mendukung penanganan dan

perkembangan sektor industri tersebut.

4.1.4. Analisis Keterkaitan Nilai Tambah

Analisa keterkaitan nilai tambah6 menggunakan pengkinian data terhadap

Asian I/O 2005 dengan menggunakan data tahun 2013 untuk melihat posisi

industri Indonesia di rantai nilai global. Hal itu terkait perubahan pola

perdagangan dunia dari semula berdasarkan trade in goods menjadi trade in task.

Secara umum, hasil analisis dekomposisi perdagangan (Gambar 40) menunjukkan

bahwa tiga negara yang paling kompetitif dalam ASEAN-5, terkait rantai nilai

global, adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Ukuran kompetitif tersebut diperoleh berdasarkan analisis daya saing

internal dan eksternal. Analisis daya saing internal menunjukkan bahwa Malaysia

dan Singapura memiliki kapabilitas ekspor yang tertinggi dalam memproses foreign

value added atau memiliki produktivitas impor yang tinggi (kemampuan

mengekspor setelah mengimpor tinggi). Sementara itu, analisis daya saing

eksternal menunjukkan bahwa Malaysia, Thailand, dan Singapura tercatat sebagai

negara dengan skala ekspor terbesar. Perbandingan hasil antara tahun 2005,

2009, dan 2013 menunjukkan bahwa daya saing antarnegara tidak mengalami

perubahan yang signifikan.

6Analisis Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia dengan Fokus pada Indonesia sebagai Masukan dalam Penyusunan Strategi Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN oleh Rakhman dkk. (2015).

Page 49: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

48

Dari sisi investasi, (Tabel 10) dapat dilihat bentuk FDI yang berbeda

antarnegara ASEAN. Di Thailand FDI mendorong ekspor; di Indonesia FDI

mendorong penyerapan tenaga kerja dan memasok permintaan domestik; di

Vietnam FDI mendorong investasi modal, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja;

dan di Malaysia FDI berdampak pada ekspor dengan penyerapan tenaga kerja yang

lebih terampil (sektor skill-intensive). Hal itu menguatkan temuan analisis kinerja

perdagangan bahwa Indonesia belum menjadi lokasi pilihan untuk menjadi

industri yang berorientasi ekspor, tetapi cenderung menjadi pasar yang ditandai

dengan daya saing internal yang lemah dan tipe investasi yang masuk yang lebih

bertujuan memasok permintaan domestik.

Sumber: Rakhman et al (2015)

Gambar 40. Daya Saing Internal dan Eksternal Negara ASEAN5

Tabel 9. Perbandingan Dampak FDI Negara ASEAN

ASEAN–5 Productivity Ratios

FDI Value/Foreign Affiliates

Export Value/Foreign Affiliates

Employment/Foreign Affiliates

Indonesia USD4.85 USD69.39 809.40

Vietnam USD10.80 USD107.81 896.36

Malaysia USD3.48 USD122.25 388.96

Thailand USD6.10 USD204.24 709.25

Sumber: ITC database

Page 50: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

49

4.2 Pelajaran dari Negara Lain

“The right model for industrial policy is not that of an autonomous government

applying Pigovian taxes or subsidies (i.e. lump sum taxes or subsidies), but of

strategic collaboration between the private sector and the government with the aim

of uncovering where the most significant obstacles to restructuring lie and what type

of interventions aremost likely to remove them” (Dani Rodrik, Harvard University,

Industrial Policy in the Twenty First Century).

Dari studi yang dilakukan terhadap transformasi perekonomian beberapa

peer countries, dapat ditarik beberapa benang merah. Model pertumbuhan yang

diadopsi untuk keluar dari lower income country umumnya merupakan

pertumbuhan yang didorong industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Untuk

melakukan hal itu, struktur endowment perlu ditingkatkan melalui akumulasi

modal dan peningkatan tenaga kerja. Strategi yang dilakukan berfokus dengan

menjadikan negaranya sebagai basis produksi industri yang efisien dan sebagai

tempat berproduksi ekspor. Pertumbuhan itu dimotori oleh perusahaan swasta

dengan peran pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan usaha dan menyediakan

kompetisi yang efektif tanpa menciptakan birokrasi dan mengganggu pasar. Untuk

mencapai hal tersebut, reformasi yang dilakukan berpusat pada keterbukaan

terhadap perdagangan dan investasi, reformasi institusi untuk menciptakan

kondisi yang kondusif bagi investasi dan bisnis, serta reformasi industrial

upgrading bertahap sesuai dengan struktur endowment.

Sebagai gambaran, strategi industri yang telah dilakukan Tiongkok dan

beberapa negara lainnya, seperti Singapura, Korea Selatan, Thailand, Malaysia,

dan Vietnam dibahas dalam penelitian ini. Namun, dalam bab ini hanya dijelaskan

strategi industri Tiongkok sementara negara-negara lainnya dijelaskan pada

lampiran.

4.2.1 Tiongkok

Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, Tiongkok berhasil bertransformasi

dari perekonomian tertutup berbasis sumber daya alam dan agrikultur menjadi

negara dengan PDB riil terbesar di dunia pada tahun 2014 (PDB PPP) yang

berbasis manufaktur dan berorientasi ekspor. Reformasi di Tiongkok meliputi tiga

aspek, yaitu transformasi struktural, liberalisasi ekonomi, dan transisi institusi.

Page 51: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

50

Reformasi yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mendorong partisipasi

sektor swasta (private sector-led growth).

Strategi reformasi Tiongkok berlangsung secara bertahap dimulai dari isu

sederhana yang bersifat mikro hingga ke isu kompleks yang bersifat makro.

Strategi tersebut terdiri atas (1) reformasi gradual yang berorientasi pasar, (2)

keterbukaan pada perdagangan dan investasi, dan (3) strategi industri yang

bersifat comparative advantage following (CAF). CAF adalah reformasi yang

mengikuti alur learning and innovation untuk mengeksplorasi comparative

advantage.

Gambar 41. Reformasi Tiongkok

Proses reformasi dan keterbukaan terjadi secara bersamaan, saling terkait

dan menguatkan. Strategi pengembangan industri CAF pada dasarnya

menegaskan bahwa suatu negara tidak dapat tumbuh di luar tahapan

pertumbuhannya (struktur endowment yang dimilikinya) atau melakukan ekspor

yang sektornya tidak memiliki comparative advantage.

1. Strategi Industri Tiongkok

Untuk meningkatkan industrinya, strategi Tiongkok adalah meningkatkan

endowment structure. Terdapat dua endowment yaitu modal dan tenaga kerja.

Modal (capital) harus terakumulasi lebih cepat dari pertumbuhan tenaga kerja dan

SDA. Akumulasi modal dapat diperoleh melalui investasi asing dalam bentuk FDI.

Page 52: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

51

FDI tidak hanya membawa akses pasar terkait produk dan pesanan, tetapi juga

memungkinkan terjadi transfer teknologi yang mendorong peningkatan struktur

tenaga kerja. Seiring pertumbuhan struktur endowment tersebut, struktur

industri/teknologi juga akan meningkat melalui proses belajar dan akumulasi

pengetahuan. Secara khusus relokasi tenaga kerja dan pertumbuhan human

capital akan tercipta pada sektor ketika harga telah terliberalisasi dan terdapat

comparative advantage. Secara bertahap industrial upgrading Tiongkok berlangsung

seperti paparan berikut.

a. 1986: Transformasi Tiongkok dari eksportir berbasis SDA menjadi eksportir

manufaktur labor intensive yang sesuai dengan comparative advantage

Tiongkok pada waktu itu, yaitu saat ekspor TPT melampaui ekspor minyak

mentah.

b. 1995: Transformasi Tiongkok dari eksportir industri labor intensive menjadi

nontraditional labor intensive, yaitu saat ekspor mesin dan elektronik

melampaui TPT.

c. 2001: Transformasi Tiongkok menjadi eksportir produk baru yang memiliki

kecanggihan tinggi (high tech) yang didorong saat Tiongkok masuk sebagai

anggota WTO.

2. Reformasi institusi yang bertujuan untuk menyediakan kondisi ketika sektor

swasta dapat berproses dengan cepat dengan mengurangi dominasi dan

kontrol pemerintah. Hal itu dilakukan melalui manajemen mikro seperti

mengganti pertanian sifat kolektif menjadi sistem berbasis rumah tangga

(household-responsibility system), melakukan privatisasi terhadap SOE, dan

melonggarkan mekanisme alokasi sumber melalui non–state enterprises-TVE,

serta membuat kebijakan yang bersifat makro seperti merelaksasi kontrol

pemerintah dalam sistem harga komoditas dengan dual track price system,

meliberalisasi harga, dan melakukan relaksasi pada sistem nilai tukar.

3. Kebijakan investasi yang bertujuan mendorong investasi asing masuk untuk

membawa Tiongkok masuk ke pasar internasional, membangun SDM, serta

melakukan transfer ilmu pengetahuan. Strategi yang ditempuh adalah (1)

menyediakan kondisi bagi investor sehingga menjadikan Tiongkok sebagai

basis produksi ekspornya, (2) mendorong pengusaha lokal untuk melakukan

joint venture dengan investor asing dan melakukan ekspor, serta (3)

menjadikan Tiongkok sebagai bagian dari global supply chain dan pusat

manufaktur. Untuk mencapai strategi tersebut, program yang dilakukan

Page 53: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

52

adalah (a) menyelaraskan regulasi untuk trade promotion dan preferential

treatment untuk menarik FDI, (b) memberikan otonomi dan tax assignment

system pada pemerintah daerah sehingga mendorong pemda untuk

mereformasi daerahnya agar lebih terbuka pada perdagangan dan investasi, (c)

menyediakan insentif untuk FDI, ekspansi ekspor, dan pertumbuhan sektor

swasta, serta (d) memprioritaskan investasi pada high-tech firms, managerial

know-how, dan talent.

4. Kebijakan peningkatan human capital untuk mendorong pertumbuhan

endowment melalui learning and capital accumulation. Akumulasi kapital

dilakukan dengan kebijakan investasi di atas, sedangkan pertumbuhan human

capital dilakukan dengan berinvestasi pada sektor kesehatan dan pendidikan

(training, pertukaran pelajar, work-study training program, magang/vocational

training di negara lain) serta menyediakan kondisi learning process untuk

sektor swasta dengan melakukan liberalisasi harga dan mendorong relokasi

tenaga kerja dan human capital dari sektor publik ke swasta dan ekspor.

4.3 Strategi Kebijakan Nasional

Berdasarkan hasil analisis daya saing yang dilakukan, kurang optimalnya

kinerja perdagangan Indonesia berasal dari adanya berbagai permasalahan pada

faktor enablers (antara lain, SDM dan ketenagakerjaan), akses pasar, logistik dan

infrastruktur, serta kurangnya skema insentif. Untuk menjawab berbagai

tantangan tersebut, dilakukan formulasi strategi dengan menggunakan kerangka

pikir seperti pada Gambar 42. Untuk mencapai sasaran akhir yang berupa

kesejahteraan sosial dan stabilitas makroekonomi, diperlukan peningkatan daya

saing ekonomi melalui upgrading dan deepening industri, penciptaan nilai tambah,

serta berorientasi ekspor. Industri yang dimaksud adalah seluruh industri secara

umum, baik yang berbasis SDA, padat karya, teknologi menengah ataupun

teknologi tinggi. Untuk itu, diperlukan strategi kebijakan industri nasional yang

mencakup tujuh elemen dasar, yaitu (1) institusi dan leadership; (2) skema insentif

perdagangan dan investasi; (3) SDM dan ketenagakerjaan; (4) infrastruktur; (5)

efisiensi teknis dan business services; (6) akses pembiayaan; serta (7) akses pasar.

Page 54: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

53

Gambar 42. Kerangka Strategi Kebijakan Industri Nasional

4.3.1 Institusi dan Leadership

Aspek institusi dan leadership menjadi aspek sentral yang akan

memengaruhi efektivitas implementasi strategi secara umum karena

kemampuannya dalam memengaruhi implementasi strategi pada kategori lain.

a. Koordinasi (antarsektor, pusat-daerah)

Diperlukan penguatan fungsi koordinasi antarsektor dan antardaerah

yang mencakup kelembagaan, sinkronisasi KPI (key performance indicators)

institusi, dan organisasi yang sejalan dengan pembangunan industri berdaya

saing. Selain itu, juga diperlukan sinergi perencanaan dan pengendalian

kebijakan, regulasi, anggaran, dan pengembangan wilayah (RTRW).

b. Trust dan collective actions

Beberapa hal yang perlu dilakukan ialah (1) penyamaan visi dan persepsi

segenap elemen dalam mendukung pembangunan nasional; (2) karakter

leadership yang membangun kepercayaan publik serta mendorong kinerja

aparat yang akuntabel dan kredibel; serta(3) penegakan hukum yang adil dan

konsisten.

c. Efektivitas manajemen pemerintahan dan tata kelola

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas

manajemen pemerintahan dan tata kelola, antara lain (1) penyederhanaan

Page 55: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

54

birokrasi (debirokratisasi); (2) penempatan pejabat yang lebih berdasarkan pada

kompetensi; (3) manajemen pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan

publik yang bersih dan tata kelola; (4) membangun mekanisme umpan balik

masyarakat; (5) kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam

perumusan kebijakan publik dan kerja sama pembangunan (a.l. kerja sama

antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur); serta (6)

pelayanan publik yang mendukung industri (call center, resource sharing, dan

konsultasi publik).

4.3.2 Skema Insentif Trade and Investment

a. Promosi Ekspor

Untuk memperbaiki promosi ekspor, diperlukan revitalisasi peran

Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) sebagai marketer yang dikelola secara

profesional. Selain itu, diperlukan promosi dagang yang lebih intensif dan

permanen, antara lain dengan pembukaan outlet di ruang publik.

b. Fasilitasi Investasi

Selain penguatan koordinasi institusi (BKPM dan BKPMD), peningkatan

fasilitasi investasi juga dapat dilakukan dengan integrasi pelayanan terpadu

satu pintu (PTSP) pusat dan daerah sehingga terdapat standar yang sama

dalam pelayanan perizinan.

c. Kawasan industri

Dalam pembangunan kawasan industri, terdapat dua hal yang patut

diperhatikan, yaitu (1) pembangunan kawasan industri di luar Pulau Jawa

berorientasi pada bisnis dan pemerataan (KEK); (2) penyediaan lahan oleh

pemerintah untuk pengembangan kawasan industri (Kawasan Berikat

Nusantara/KBN) yang terintegrasi dengan dukungan konektivitas dan

infrastruktur.

d. Insentif fiskal

Beberapa insentif fiskal dapat dilakukan untuk mendorong perdagangan

dan investasi, antara lain berupa (1) penerapan insentif perpajakan bagi

industri berorientasi ekspor; (2) penghilangan hambatan kebijakan perpajakan

yg memperberat industri; dan (3) penyelesaian restitusi pajak yang lebih cepat

dan efisien.

Page 56: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

55

e. Lingkungan makroekonomi yang kondusif

Diperlukan upaya pengendalian inflasi secara lebih intensif dan

menyeluruh. Selain itu, kestabilan nilai tukar rupiah perlu dijaga dengan

bauran kebijakan.

4.3.3 SDM dan Ketenagakerjaan

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah terkait

tenaga keraja antara lain adalah sebagai berikut.

a. Penyempurnaan sistem pendidikan nasional (link and match)

Beberapa upaya dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem

pendidikan, antara lain ialah (i) melakukan kebjakan pro dan insentif yang

tinggi untuk menjadi tenaga terampil (tamatan nonuniversitas), misalnya

dengan gratis biaya pendidikan D1, D2, D3 di bidang teknik; (ii) membangun

paradigma positif terhadap tenaga kerja terampil; (iii) mengarahkan talent

pooling mulai dari SMA/sederajat; (iv) mendorong hubungan universitas-

industri dengan adopsi kurikulum yang aplikatif dengan kebutuhan industri,

termasuk magang; (v) menyediakan beasiswa pascasarjana untuk

pengembangan studi terkait industri strategis (prioritas); (vi) meningkatkan

kualitas pengajar dan laboratorium dan fasilitas riset sesuai dengan kebutuhan

pengembangan industri daerah; serta (vii) mempermudah izin utk pendirian

universitas asing yang berkualitas internasional, khususnya pada science,

technology, math, and health (STEM–H).

b. Ketrampilan dan produktivitas pekerja

Keterampilan dan produktivitas pekerja dapat ditingkatkan, antara lain,

melalui (1) revitalisasi balai pelatihan tenaga kerja (mencakup kurikulum,

pengajar, dan fasilitas); (2) industri dipersyaratkan untuk mengalokasikan

anggaran bagi pelatihan karyawan; (3) peningkatan peran aktif industri/swasta

dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja melalui

program apprentice; (4) standardisasi kompetensi kerja nasional Indonesia

untuk industri dan jasa pendukung (transportasi, logistik, dan lain-lain); serta

(5) upaya mendorong karyawan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris

aktif.

c. Kebijakan ketenagakerjaan

Kebijakan yang dapat dilakukan, antara lain adalah (1) pemberian

insentif bagi industri yang mengalokasikan anggaran untuk peningkatan

Page 57: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

56

keahlian tenaga kerja; (2) pendirian serikat buruh harus mendapat izin formal

dari pemerintah pusat dan daerah; dan (3) regulasi khusus yang

mempermudah pengadaan tenaga kerja asing (TKA) di bidang industri dengan

jangka waktu tertentu.

4.3.4 Infrastruktur

Tingginya biaya logistik yang diperkirakan mencapai 24% PDB (ALFI, 2015)

dan rendahnya Logistics Performance Index Indonesia di ASEAN-5 memengaruhi

lemahnya daya saing Indonesia. Dari perspektif Global Value Chain, besarnya biaya

logistik di Indonesia mengakibatkan Indonesia kurang efisien untuk dipilih sebagai

lokasi offshoring dan hub dalam produksi global. Oleh karena itu, Indonesia

cenderung dipilih hanya sebagai pasar untuk produk akhir. Hal ini perlu ditangani

melalui berbagai kebijakan mikro untuk memperbaiki kinerja logistik dan fasilitasi

perdagangan. Reformasi infrastruktur menjadi salah satu solusi untuk

memperbaiki kinerja logistik.

a. Konektivitas (jalan, logistik, pelabuhan, dan customs)

Perbaikan konektivitas dapat ditempuh, antara lain, dengan (1)

pengalihan logistik dari jalan darat ke kereta dan angkutan laut (short sea

shipping) dengan menambah jumlah stasiun dan pelabuhan; (2) peningkatan

akses jalan dari kawasan industri ke pelabuhan untuk mempercepat waktu

tempuh dan menurunkan biaya transportasi; (3) pembangunan infrastruktur

(antara lain trans Java highway, perbaikan jalan, aerocity, logistics center,

fasilitas kargo udara, pengembangan kawasan pelabuhan, dan broadband);

serta (4) sistem informasi antarpenyedia logistik yang terintegrasi.

b. Energi dan utilitas

Untuk mendukung industri, diperlukan (1) kebijakan energi yang

mendukung peningkatan daya saing industri; dan (2) dukungan utilitas yang

sustainable.

c. Kebijakan fiskal bidang logistik

Kebijakan fiskal bidang logistik mencakupi (1) insentif perpajakan bagi

penyedia jasa logistik domestik yang mendukung industri ekspor; dan (2)

peningkatan moda transportasi logistik (kereta api dan kapal laut).

d. Regulasi pendukung

Regulasi pendukung terutama meliputi (1) penguatan status hukum

transportasi dan logistik dari Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Sislognas

Page 58: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

57

menjadi UU Logistik. Dengan status dan kedudukan hukum setingkat UU,

regulasi yang mengatur aktivitas logistik akan mengarah pada sinkronisasi

dan harmonisasi hukum. Dengan demikian, stakeholder terkait akan memiliki

acuan pada saat menyusun peraturan-perundangan di bawahnya, baik di

tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan UU Logistik akan membuat

aktivitas bisnis logistik melalui berbagai kelembagaan akan lebih memperoleh

kepastian hukum; (2) koordinasi antarsektor dalam pemeriksaan barang

impor; dan (3) Penerapan cash less payment untuk pengurusan customs

clearance.

4.3.5 Efisiensi Teknis dan Business Services

a. Technological improvement

Untuk mengembangkan teknologi, hal yang perlu dilakukan ialah (1)

revitalisasi mesin yang digunakan oleh industri; (2) adopsi/modifikasi dan

penciptaan teknologi baru yang difasilitasi oleh pemerintah.

b. R&D dan inovasi

Untuk mendorong terciptanya proses research and development (RD) dan

inovasi, perlu dilakukan, antara lain (1) pendirian fasilitas RD oleh pemerintah

untuk dapat digunakan publik; (2) pemerintah (kemenristek) menyediakan

sistem informasi riset yang terintegrasi dari seluruh instansi (termasuk

universitas dan swasta); (3) insentif bagi instansi untuk pemanfaatan dan

pengembangan hasil riset oleh user (industri); (4) insentif fiskal bagi

perusahaan dengan alokasi anggaran research and development tinggi; serta (5)

dorongan bagi kalangan usaha dan industri untuk pengembangan networking

untuk inovasi dan adopsi teknologi.

c. Business services

Di sisi lain untuk peningkatan efisiensi teknis, perlu dikeluarkan

kebijakan untuk mendorong/memberikan insentif bagi peningkatan business

service provider (a.l. supply chain, marketing, dan accounting, dan lain–lain).

d. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Aspek terkait HAKI tidak terlepas dari pencapaian efisiensi teknis.

Untuk itu, kebijakan yang ada perlu mempermudah perolehan atas hak cipta/

paten serta dalam tatanan implementasi secara umum perlu dilakukan

penegakan hukum yang tegas atas pelanggaran HAKI.

Page 59: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

58

4.3.6 Akses Pembiayaan

a. Akses pembiayaan dan financial inclusion

Peningkatan akses pembiayaan dapat dilakukan, antara lain, melalui (1)

penguatan lembaga pembiayaan ekspor; (2) penyediaan skema pembiayaan

khusus untuk industri yang berorientasi ekspor; dan (3) peningkatan akses

pembiayaan bagi industri daerah yang strategis.

b. Modal ventura

Terkait modal ventura, perlu dibangun awareness (social responsibility)

bagi industri besar yang sukses untuk mengembangkan industri pemula,

antara lain, melalui pembiayaan ekuitas. Selain itu, kebijakan hendaknya

mengurangi hambatan masuknya modal ventura asing untuk meningkatkan

alternatif pendanaan.

c. Sumber pembiayaan jangka panjang

Sebagai sumber pembiayaan jangka panjang, industri perlu didorong

untuk masuk ke pasar modal dan obligasi.

4.3.7 Akses Pasar

a. Keikutsertaan pada trade agreement (TA) harus dilakukan secara strategis

1) Perlunya grand strategy dan positioning Indonesia terhadap TA

Kerja sama perdagangan (TA) berguna untuk memfasilitasi

perusahaan agar lebih kompetitif di pasar yang lebih besar, menarik FDI,

dan mendorong industrial upgrading7 (Laksono dan Situmorang, 2014). TA

juga dapat menjadi sarana untuk mengeliminasi tarif dan relaksasi non-

tariff measures. Hal itu akan menyebabkan harga input lebih murah (bahan

mentah dan capital goods) dan pengembangan akses pasar untuk ekspor

Indonesia lebih mudah.

Jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, kerja sama

perdagangan Indonesia relatif tertinggal, baik dalam regional trading

(Gambar 43) maupun bilateral trading (Tabel 10). FTA Indonesia sebagian

besar dilakukan dalam regional trading system ASEAN dengan bilateral FTA

hanya dengan Jepang dan Pakistan (berbentuk PTA). Dalam mega block

7 Uni Eropa menerapkan tarif yang lebih besar untuk barang jadi dibandingkan dengan bahan mentah yang berimplikasi mengurangi insentif untuk melakukan industrial upgrading.

Page 60: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

59

trading, Indonesia sedang melakukan negosiasi regional comprehensive

economic partnership (RCEP) yang juga diikuti negara ASEAN lainnya.

Tabel 10. Trade Agreement Negara ASEAN

Mitra Indonesia Filipina Thailand Malaysia Vietnam

ASEAN AFTA, ACFTA–Tiongkok, AKFTA–Korea, AJCEP– Jepang, AIFTA–

India, AANZFTA– Australia New Zeland, dan RECP (dalam proses

yang terdiri dari 10 ASEAN member states, Australia, Tiongkok,

India, Jepang, Korea, dan New Zealand)

Jepang √ √ √ √ √

Pakistan √ √

Australia Konsultasi √ √

Chile JSG** √ √ √

India Akan

negosiasi

New

Zealand

√ √

Turki JSG √

Korea Perundingan

berhenti

Eropa Wacana √ √ √

Peru √

Tiongkok √

Tunisia,

Mesir

JSG

TPP √ √ √

*) Tidak tersedia informasi **) Joint Study Group

Page 61: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

60

Gambar 43. Kerjasama Perdagangan Mega Block Trading

2) Kolaborasi strategis antara pemerintah dan pengusaha dalam proses FTA

Agar FTA dapat memberikan manfaat yang optimal, penyusunan

FTA harus dilakukan bersama dengan pengusaha. Hasil FGD dengan

pelaku usaha mengonfirmasi bahwa dukungan akses pasar Indonesia

belum cukup memadai, terutama pada beberapa negara besar tujuan

ekspor (contoh Eropa dan Amerika Serikat) khususnya bagi sektor yg cost

sensitive seperti TPT, cocoa dan lainnya. Untuk pasar Eropa saat ini

produk tekstil Indonesia masih menikmati skema generalised scheme of

preferences (GSP 8 ) walaupun akan segera berakhir pada tahun 2017.

Tanpa GSP harga produk Indonesia akan lebih tinggi 10%–30%.

Selain dari sisi tarif, FTA juga dapat menjadi media untuk

pengurangan dan streamlining non-tariff barriers (NTB) yang dihadapi

produk ekspor Indonesia. Produk ekspor Indonesia, baik dalam pertanian

maupun manufaktur menghadapi NTB yg “berat” di pasar. Laksono dan

Situmorang (2014) menyebutkan bahwa NTB yang dihadapi bersifat ketat,

inkonsisten, tidak transparan, dan cenderung tidak terstandardisasi.

Contoh NTB di pasar Eropa adalah pada rotan (legalitas), palm oil

8 Dengan Amerika Serikat, Indonesia memiliki GSP untuk beberapa produk manufaktur, perhiasan, karpet, produk pertanian, kimia, dan produk plastik serta karet.

Page 62: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

61

(standardisasi, lingkungan hidup), dan tembakau. Sektor makanan dan

minuman juga menghadapi tantangan terkait metode higienis dan sanitasi

dalam menembus pasar ekspor global serta standardisasi di pasar ASEAN

(GAPMMI, 2015). FTA dapat menjadi salah satu media untuk mencapai

kesepakatan dengan pasar terkait standar, sertifikasi, testing, dan

transparansi informasi, selain peningkatan kapasitas industri Indonesia.

3) Melakukan diseminasi manfaat FTA terhadap pengusaha

Pemanfaatan fasilitas FTA oleh pengusaha juga masih rendah.

Sesuai dengan kajian DInt (2015), meskipun tarif ATIGA sudah rendah

(terutama utk ASEAN6), utilisasinya masih rendah. Hal itu dapat

disebabkan oleh rendahnya pemahaman atas FTA dan rendahnya margin

preference dan prosedur utilisasi tarif ATIGA yang kompleks (costly).

b. Sertifikasi/Standardisasi

Penetapan standar nasional yang sesuai dengan standar internasional

serta penguatan infrastruktur standardisasi Indonesia, antara lain, berupa

laboratorium uji berstandar internasional.

c. Sistem informasi/repository

Pembangunan dan updating sistem informasi mengenai FTA yang

lengkap, transparan, dan dapat diakses dengan mudah.

d. Perluasan pasar dan sistem

Perluasan pasar ekspor nonkonvensional serta mendorong eksportir

untuk mengoptimalisasi sistem pengiriman barang dari free on board (FOB) ke

cost, insurance, and freight (CIF).

Sementara itu, terkait strategi substitusi impor dan bagaimana paket

kebijakan industri saat ini terkait strategi di atas karena tidak terlalu terkait

dengan pembahasan dalam riset ini, secara khusus dapat dilihat pada lampiran.

Menurut jangka waktu (timing) penerapan, strategi nasional dapat dibagi

menjadi jangka pendek, jangka menengah, serta jangka panjang. Detil atas hal ini

dijelaskan lebih lanjut pada Gambar 44.

Page 63: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

62

Gambar 44. Timeline Penerapan Strategi Nasional

JANGKA PENDEK

Faktor Institusi dan Leadership

Debirokratisasi, Penempatan sesuai kompetensi, Manajemen pemerintahan serta mekanisme umpan balik

SDM dan ketenagakerjaan

Gratis pendidikan D1/D2/D3 (teknik), talent pool–ing mulai dari SMA, Insentif training untuk industri, Merger serikat buruh, Regulasi khusus TKA

Skema insentif trade & investment

Revitalisasi peran ITPC (Indonesia Trade Promotion Center), insentif perpajakan untuk industri ekspor, Menghilangkan hambatan perpajakan, restitusi pajak yang efisien

JANGKA MENENGAH Faktor Institusi dan Leadership Penyamaan visi/persepsi, leadership, Penegakan hukum, Sinergi (antar sektor, antar daerah, perencanaan–pengendalian, Kemitraan dengan swasta & masyarakat SDM dan ketenagakerjaan Kurikulum beasiswa, pengajar & fasilitas riset–sains aplikatif untuk industri, izin utk universitas asing, Alokasi anggaran training, Standarisasi kompetensi kerja Skema insentif trade & investment Promosi dagang intensif dan permanen, Integrasi institusi (BKPM–BKPMD, PTSP Pusat–daerah, lahan yg terintegrasi dengan infrastruktur, Integrasi daerah hulu–hilir, Bauran kebijakan untuk stabilitas makro Infrastruktur Akses jalan kawasan industri, Sistem informasi logistik, utilitas yang sustainable, Koordinasi dalam barang impor Technical efficiency Revitalisasi mesin, fasilitas R&D untuk publik, sistem informasi riset, Insentif fiskal untuk R&D, pengembangan networking, insentif pendirian business service provider, Mempermudah hak cipta /paten, Penegakan hukum Akses pembiayaan Social responsibility bagi industri besar untuk industri pemula, industri untuk masuk ke pasar modal dan obligasi Akses pasar Grand strategy FTA, Kolaborasi pemerintah–pengusaha, standar nasional=internasional, infrastruktur standarisasi

JANGKA PANJANG Infrastruktur Pengalihan logistik ke kereta dan angkutan laut, Pembangunan infrastruktur, Peningkatan moda transportasi logistik Akses pasar Perluasan pasar ekspor, Optimalisasi eksportir untuk CIF (cost, insurance & freight)

Page 64: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

63

V. SIMPULAN

BAB V – KESIAN DAN SARAN

Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Hasil analisis kinerja perdagangan menunjukkan bahwa ekspor Indonesia

memiliki permasalahan dalam keempat dimensinya (extensive, intensive, quality

dan sustanaibility). Ekspor Indonesia cenderung mengalami kemunduran dari

seluruh aspek, terutama dari sisi kualitas yang saat ini berbasis pada resource

based dengan nilai tambah yang rendah serta intensitasyang semakin menurun.

Jika dibandingkan dengan negara kawasan, kinerja ekspor Indonesia tertinggal

dari Malaysia dan Thailand. Sementara itu, Vietnam mencapai peningkatan

kinerja yang signifikan dalam satu dekade terakhir.

2. Diagnostik daya saing mengidentifikasi permasalahan melemahnya daya saing

Indonesia yang terutama bersumber dari tenaga kerja (skill set), tidak

kondusifnya lingkungan bisnis, dan rumitnya birokrasi terkait kebijakan dan

institusi domestik, biaya produksi dan logistik yang tinggi, serta lemahnya

market access (nonitariff measures dan FTA).

3. Hasil FGD mengonfirmasikan temuan dari Competitiveness Diagnostics yang

menjadi perhatian utama dunia usaha adalah regulasi dan kebijakan

pemerintah, kemampuan SDM, infrastruktur dan logistik, serta koordinasi dan

aksi kolektif.

4. Berdasarkan permasalahan pada kinerja ekspor Indonesia, diindikasikan

industri Indonesia yang cenderung bersifat domestik (inward looking). Hal itu

sejalan dengan temuan analisis triangular trade (analisis keterkaitan nilai

tambah/value added linkages). Tiga negara yang paling kompetitif di antara

ASEAN-5 dalam rantai nilai global adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Malaysia dan Singapura memiliki kapabilitas ekspor yang tertinggi dalam

memproses foreign value added (FVA), atau memiliki produktivitas impor yang

tinggi (kemampuan mengekspor setelah mengimpor tinggi). Kemampuan

Indonesia terlibat dalam salah satu aktvitas di rantai nilai global akan lebih

banyak ditentukan oleh kemampuan daya saing Indonesia untuk menjadi

location of choice pada berbagai tahapan produksi. Analisis FDI menunjukkan

bahwa FDI di Indonesia bersifat mendorong penyerapan tenaga kerja dan

memasok permintaan domestik.

Page 65: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

64

5. Studi terhadap strategi negara lain dalam mengembangkan industrinya

menunjukkan model pertumbuhan yang diadopsi saat bertransformasi dari

lower income country ke middle income country umumnya menggunakan strategi

pertumbuhan dengan tulang punggungnya adalah industri manufaktur

berorientasi ekspor. Kebijakan industri yang dilakukan adalah kebijakan yang

meningkatkan struktur endowment melalui akumulasi modal via investasi asing,

dan peningkatan human capital. Strategi yang ditempuh difokuskan pada

menjadikan negaranya sebagai basis produksi industri yang efisien yang

berorientasi ekspor. Pertumbuhan ekonomi dimotori oleh perusahaan swasta

dengan peran pemerintah sebagai fasilitator bagi kegiatan usaha dan

penyediaan kompetisi yang efektif tanpa menciptakan birokrasi berlebih dan

seminimal mungkin mengganggu mekanisme pasar. Untuk mencapai hal

tersebut, strategi yang ditempuh pada umumnya adalah melalui keterbukaan

terhadap perdagangan dan investasi, reformasi institusi untuk menciptakan

kondisi yang kondusif bagi investasi dan bisnis serta melakukan industrial

upgrading bertahap sesuai dengan endowment structure yang dimilikinya.

Berdasarkan hasil studi tersebut dapat direkomendasikan untuk agenda

penelitian terkait ke depan, yaitu sebagai berikut.

1. Penelitian analisis daya saing dan ketersediaan services pendukung

manufaktur (antara lain: jasa logistik, ICT services, dll).

2. Dengan lingkungan geografis kepulauan dan perbedaan gap pertumbuhan

antar daerah yang relatif tinggi, diperlukan penelitian terkait kebijakan industri

yang juga melihat aspek spasial dan local competitive advantage yang dimiliki

berbagai daerah di Indonesia.

3. Dengan mayoritas pola kehidupan masyarakatnya adalah agraris, diperlukan

penelitian terkait kebijakan pengembangan industri yang dikaitkan dengan

upaya mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan bagi beberapa komoditas

strategis tertentu. Membangun linkages industri bagi komoditas–komoditas

srategis tersebut akan membuka peluang yang lebih besar bagi tumbuhnya

agroindustri yang memanfaatkan komoditas dimaksud.

Page 66: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

65

DAFTAR PUSTAKA

Anggara, Sondang, 2014. ASEAN Economic Community 2015: Kesiapan Nasional dalam Liberalisasi Perdagangan Barang dan Jasa dalam AEC 2015.

Anglingkusumo, R., Anugrah, D. F., Fridayanti, Y. dan Hendharto, H. S. (2014). Perubahan Struktural dalam Perekonomian Global dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia melalui Jalur Perdagangan. Working Paper No. LHP/4/DKEM/2014, Bank Indonesia.

Bank Indonesia, 2014. Progress, Challenges, And Opportunities of the AEC 2015: Indonesia’s Perspective. Presented on Indonesian Scholars International Convention 2014 , Oxford, 25–26 October 2014.

Bosch, Peter et al, 2012. The Future of Manufacturing Opportunities to drive economic growth A World Economic Forum Report in collaboration with Deloitte Touche Tohmatsu Limited.

Cahyadi, G., Kursten, B., Weiss, M., Yang, G., “Singapore’s Economic Transformation”, Global Urban Development Singapore Metropolitan Economic Strategy Report, June 2004.

Chin, Vincent, Michael Meyer, Evelyn Tan, and Bernd Waltermann, 2014. Winning in ASEAN How Companies Are Preparing for Economic Integration. Part of the Winning with Growth series #bcgGrowth.

Civil Service College (CSS), “Trade Facilitation & Internationalisation”, March 2015, Singapore.

Das, Sanchita Basu et al, 2013. The ASEAN Economic Community a Work in Progress: Asian Development Bank.

Deloitte, 2014. The ABC of AEC to 2015 and beyond. Deloitte.

Departemen Perdagangan, 2011. Menuju ASEAN Economic Community 2015.

Farole, T. And Winkler, D., “Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing Sector”, The World Economic Forum, 2012.

Goh, A.L., “Towards an Innovation–Driven Economy through Industrial Policy–Making: An Evolutionary Analysis of Singapore”, The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 10(3), article 34, 2011.

Hatzichronoglou, T. (1997), “Revision of the High Technology Sector and Product Classification”, OECD Science, Technology and Industry Working Papers, 1997/02, OECD Publishing.

Hausmann, R., J. Hwang, and D. Rodrik. 2007. “What You Export Matters.” Journal of Economic Growth, Vol. 12, No. 1, pp. 1–25.

Hidalgo, C. A., Klinger, B., Barabasi, A. L., dan Hausmann, R. (2007). “The Product Space Conditions the Development of Nations”, Science, Vol. 317 no. 5837 pp. 482–487.

Page 67: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

66

Hosono, Akio (2013), “Industrial Strategy and Economic Transformation: Lessons of Five Outstanding Cases”, Working paper prepared for JICA/IPD Africa Task Force Meeting

Jin, N.K., “Singapore as a Financial Center: New Developments, Challenges, and Prospect” in Financial Deregulation and Integration in East Asia, NBER–EASE, Ed. by Ito, T. And Krueger, A.O., University of Chicago Press, January 1996, http://www.nber.org/chapters/c8569

JWT, 2013. ASEAN Consumer Report.

Keliat, Makmur et. Al, 2013. Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN. ASEAN Study Center UI dan Kementerian Luar Negeri RI.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2015. Dampak ASEAN Economic Community (AEC) terhadap Perekonomian & Perumusan Strategi Nasional dalam Persiapan Menghadapi AEC.

Kohpaiboon, A. and N. Yamashita (2011), ‘FTAs and the Supply Chain in the Thai Automotive Industry’, in Findlay, C. (ed.), ASEAN+1 FTAs and Global Value Chains in East Asia. ERIA Research Project Report 2010–29, Jakarta: ERIA. pp.321–362.

Lall, Sanjaya (2000), “The Technological Structure and Performance of Developing Country Manufactured Exports, 1985–1998”. QEH Working Paper Series, QEHWPS44.

Laksono, Riandy dan Rosa Situmorang, 2014. In Facing the Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement: Perspective from Indonesia’s Business Sector. APINDO Policy Series Vol. P.001/DPN–EUKAJ–I/2014.

Lin, Justin Yifu and Yan Wang, 2008. Tiongkok’s Integration with the World Development as a Process of Learning and Industrial Upgrading. The World Bank WPS4799.

Lin, J.Y. and Treichel, V., “Making Industrial Policy Work for Development” in Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014.

Menon, S.V., “Governance, Leadership and Economic Growth in Singapore”, MPRA, ICFAI Business School, Ahmedabad, August 2007.

Milberg, W., Jiang, X. And Gereffi, G., “Industrial Policy in the Era of Vertically Specialized Industrialization” in Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014.

National Economic Advisory Council, 2010. New Economic Model for Malaysia.

Neng, W.W., “Pursuing Prosperity, Making a Living: Singapore’s Economic Institutions and the Pursuit of Economic Development”, Civil Service College, 2015.

Page 68: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

67

Nubler, I., “A Theory of Capabilities for Productive Transformation: Learning to Catch Up”, in Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014.

Nugroho, M. Noor dan Yanfitri, 2011. Potensi Dampak Pembentukan Pasar Tunggal ASEAN terhadap Perekonomian Indonesia: OP

OECD, 2013. OECD Investment Policy Reviews: Malaysia 2013.

Patunru, Arianto A. dan Sjamsu Rahardja (2015), Trade protectionism in Indonesia: Bad times and bad policy. Lowy Institute for International Policy.

Rakhman, R. N., R. Khasananda, H. Werdaningtyas, G. Wicaksono, R. Anglingkusumo (2015), Analisa Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia dengan Fokus pada Indonesia sebagai Masukan dalam Penyusunan Strategi Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bank Indonesia.

Reis, José Guilherme dan Thomas Farole (2012), Trade competitiveness diagnostic toolkit. Washington D.C.: The World Bank.

Robinson, J.A., “Industrial Policy and Development”, Harvard University, Department of Government and IQSS, May 2009.

Rodrik, D., “Growth Strategies”, Harvard University, John F. Kennedy School of Government, August 2004.

Warr, Peter (2011), Thailand’s Development Strategy and Growth Performance. Working Paper No. 2011/02, UNU–WIDER.

World Economic Forum Report, “The Future of Manufacturing: Opportunities to Drive Economic Growth”, in collaboration with Deloitte Touche Thmatsu Ltd., 2012.

World Investment Report, 2012. Global Value Chains: Investment and Trade for Development.

Yue, C.S., “Singapore Model of Industrial Policy – Past and Present”, Second LAEBA Annual Meeting, Buenos Aires, Argentina, November 28–29, 2005.

Zhu, T., “Rethinking Import–substituting Industrialization: Development Strategies

and Institutions in Taiwan and Tiongkok”, Research Paper No.2006/76, UNU–

WIDER, July 2006.

Page 69: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

68

Box 1. Summary Paket Kebijakan Ekonomi Tahun 2015

Serangkaian paket kebijakan (I s.d. VIII) dikeluarkan sejak awal September

2015 dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan

daya saing industri nasional dan perbaikan iklim investasi di dalam negeri. Paket–

paket kebijakan itu secara ringkas disajikan sebagai berikut.

1. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I dikeluarkan untuk mendorong kemudahan

investasi, efisiensi industri, kelancaran perdagangan dan logistik, serta

kepastian bahan baku dalam negeri

2. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II dimaksudkan untuk meningkatkan investasi

berupa deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk mempermudah

investasi, baik PMDN maupun PMA. Langkah–langkah yang ditempuh lebih

konkrit agar dapat langsung diimplementasikan, antara lain layanan investasi

3 jam, pengurusan yang lebih cepat terhadap tax allowance dan tax holiday,

penghapusan PPN transportasi, insentif di kawasan pusat logistik berikat,

pengurangan pajak deposito, dan perampingan izin kehutanan.

3. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III ditujukan untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi melalui penurunan harga bahan bakar untuk

peningkatan daya beli, penurunan harga bahan bakar industri untuk

peningkatan daya saing, perluasan wirausaha penerima KUR, serta

penyederhanaan izin pertanahan.

4. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV dimaksudkan untuk menjaga daya beli

masyarakat melalui formulasi upah buruh untuk peningkatan kesejahteraan

pekerja dan pemberian kredit modal kerja untuk UKM dalam rangka

mendorong ekspor serta perluasan kebijakan KUR.

5. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid V dimaksudkan untuk lebih mendorong

pertumbuhan ekonomi melalui pemberian insentif pajak untuk revaluasi aset,

penghapusan pajak berganda untuk real estate, properti dan infrastruktur,

dan deregulasi perbankan syariah.

6. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VI dilakukan melalui pemberian insentif berupa

tax allowance dan tax holiday untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),

kepastian izin bagi investor di bidang pengelolaan sumber daya air, serta

penyederhanaan izin obat dan bahan bakunya.

7. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VII yang memberikan keringanan untuk

industri padat karya, termasuk di dalamnya keringanan pengenaan PPh Pasal

Page 70: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

69

21 bagi karyawan perusahaan s.d. penghasilan 50 juta rupiah per tahun yang

lebih 50% produknya dieskpor.

8. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VIII yang pada saat penulisan laporan ini masih

baru berupa rencana yang akan diarahkan bagi peningkatan kualitas produk

menghadapi daya saing pada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Secara umum apabila semua paket kebijakan itu dapat terlaksana dengan

baik segera dan sesuai dengan harapan, paket kebijakan tersebut akan sangat

bermanfaat dalam meningkatkan daya saing Indonesia dan memicu pertumbuhan

ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Namun, konteks paket kebijakan

lebih bersifat jangka pendek dan hulu (dalam rangkaian proses membuka usaha)

sehingga masih perlu dilengkapi dengan kebijakan lainnya yang bersifat jangka

panjang dan lebih bersifat hilir.

Paket kebijakan tersebut berpotensi untuk meningkatkan konsumsi,

memperbaiki iklim investasi, dan mendorong pengadaan infrastruktur.

Peningkatan konsumsi dapat tercapai melalui penurunan harga bahan bakar dan

kebijakan peningkatan kesejahteraan pekerja (penentuan upah minimum dan

harga rumah/rusunami untuk buruh). Peningkatan investasi dapat terjadi melalui

prosedur investasi yang semakin cepat, kepastian bahan baku industri,

kemudahan perizinan, insentif penempatan dana di dalam negeri, penurunan

bunga KUR, insentif revaluasi aset, insentif KEK, dan penyederhanaan impor

bahan baku obat. Infrastruktur sendiri dapat didorong melalui penghapusan PPN

alat transportasi, penghilangan pajak berganda dana investasi real estate, properti

dan infrastruktur, serta jaminan hukum bagi investor pengelola sumber daya air.

Selain itu, pembangunan kawasan logistik berikat diharapkan dapat

mempermudah proses distribusi barang, baik dari sisi input maupun output-nya.

Namun, semua kebijakan dimaksud tidak akan efektif apabila tidak dapat

dilaksanakan secara efektif dan efisien. Untuk itu, dibutuhkan perangkat

pelaksana yang tidak saja trampil, tetapi juga punya integritas, bertanggung jawab

dan berkinerja tinggi. Pengelolaan SDM untuk memenuhi hal tersebut menjadi

suatu keharusan di samping prinsip-prinsip leadership yang berintegritas dan

bertanggungjawab yang sangat diperlukan pada semua lapisan birokrasi

pemerintah.

Page 71: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

70

Gambar 45. Ringkasan Analisis Daya Saing Industri Indonesia

Gambar 45 menjelaskan secara ringkas Analsis Daya Saing Industri

Indonesia dalam riset ini. Berdasarkan hal itu, dapat dilihat bahwa paket

kebijakan telah menyentuh beberapa aspek yang memengaruhi daya saing

(misalnya dari sisi infrastruktur, insentif investasi pada industri yang padat modal

dan bernilai tambah, serta kebijakan pengupahan). Namun, masih banyak yang

dapat dilakukan khususnya untuk perspektif jangka panjang, seperti

pengembangan SDM dan yang bersifat hilir seperti masalah lahan untuk industri.

Secara ringkas beberapa usulan rekomendasi kebijakan antara lain adalah sebagai

berikut.

1. Pengembangan human capital,

2. Promosi ekspor/investasi, baik di dalam maupun di luar negeri.

3. Integrated KEK dengan infrastruktur pendukung seperti sumber energi dan

sarana dan prasarana transportasi dengan berbagai moda transportasi.

4. Regulasi ketenagakerjaan yang juga memungkinkan free entry dan free exit

yang lebih mudah.

5. Regulasi terkait tenaga kerja asing (TKA) dalam rangka investasi dan

peningkatan nilai tambah industri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan

kondisi TK domestik.

Page 72: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

71

6. Faktor leadership yang nyata dan bertanggung jawab serta memberikan contoh

yang mulia, jauh dari nilai-nilai tercela seperti korupsi, penggelapan, dan

ketidakefisienan.

7. Penentuan strategi dalam rangka free trade agreement (FTA) yang akan

menguntungkan secara agregat bagi Indonesia dan berdampak positif bagi

daya saing Indonesia di pasar ekspor.

8. Sistem informasi yang lengkap dan mudah diakses baik oleh pengusaha,

birokrat, akademisi maupun masyarakat umum yang memuat informasi dan

persyaratan yang dibutuhkan untuk ekspor produk tertentu. Kenyataan

bahwa sebagian besar kesepakatan perdagangan intra-ASEAN dan FTA lainnya

masih belum banyak dimanfaatkan pengusaha Indonesia memberikan sinyal

bahwa informasi dan birokrasi bagi pemenuhan ketentuan ekspor itu masih

rumit dan memakan biaya. Selain sistem informasi harus terdapat

kelembagaan yang dapat memberikan bantuan, terutama bagi pengusaha kecil

dan menengah yang berusaha memanfaatkan peluang pasar akibat

kesepakatan perdagangan yang telah dibuat.

9. Terlepas dari semua itu, pelaksanaan semua insentif dan paket kebijakan

tersebut haruslah konsisten dan bukan hanya sebatas retorika sehingga akan

terdapat hasil nyata dari segala kemudahan yang semestinya diberikan melalui

berbagai paket kebijakan itu.

Page 73: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

72

Box 2. Retrospeksi Kebijakan Industri Substitusi Impor

Kebijakan substitusi impor (SI) adalah kebijakan perdagangan dan ekonomi

yang didasarkan pada premis bahwa negara berkembang harus berusaha untuk

menggantikan produk impor dengan produksi dalam negeri. Kebijakan ini memiliki

tiga prinsip utama, yaitu (1) kebijakan industri yang aktif untuk mempromosikan

industri dalam negeri untuk memproduksi produk pengganti yang strategis, yang

sering melibatkan investasi pemerintah pada infrastruktur dan sektor strategis,

serta pembentukan bank pembangunan untuk mendukung kegiatan tersebut; (2)

trade barriers yang bersifat protektif (yaitu, tarif dan kuota untuk melindungi

industri baru/infant industry) dan mengubah terms of trade dari pola ekspor utama

tradisional; dan (3) kebijakan moneter terkait nilai tukar dengan sistem multiple

exchange rate untuk mendukung import nonkompetitif terhadap barang antara

dan modal. Umumnya, tahap pertama SI bersifat "mudah" karena industri yang

diproteksi adalah non-durable goods dan kemudian ke tahapan "dewasa", yaitu

memperdalam SI, yaitu industri memproduksi nondurable consumer goods serta

barang antara dan modal.

Kebijakan SI telah dianalisis dalam sejumlah studi oleh OECD, World Bank

dan NBER (Reinert and Rajan, 2010). Analisis tersebut menunjukkan bahwa ada

biaya makroekonomi terkait kebijakan SI. Pertama, SI menyebabkan inefisiensi

dalam alokasi sumber daya. Kebijakan nilai tukar yang overvalued menyebabkan

bias terhadap ekspor dan mendukung sektor padat modal domestik sehingga

mengarah pada underutilized capital, penurunan produktivitas modal, dan

kegagalan investasi yang secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan

pengangguran. Kedua, SI umumnya menyebabkan impor naik lebih cepat dari

yang diharapkan karena permintaan barang modal dan barang antara untuk

mendukung industri baru; sebagai akibatnya, masalah neraca pembayaran justru

makin mendalam sehingga daripada mengurangi ketergantungan pada input impor

(energi dan teknologi), strategi SI justru semakin meningkatkan impor secara

signifikan. Ketiga, SI dinilai mendorong aktivitas mencari laba yang tidak produktif

(directly unproductive profit seeking) yang mengalihkan sumber daya dari kegiatan

produktif menjadi tidak produktif, tetapi menguntungkan. Yang selanjutnya akan

mengurangi investasi dan pertumbuhan produktivitas serta pertumbuhan jangka

panjang. Keempat, di negara–negara tempat pasar domestik relatif kecil, SI

menciptakan pasar yang kurang kompetitif, yang dalam beberapa kasus

menyebabkan menurunnya efisiensi, pertumbuhan produktivitas, dan inovasi.

Page 74: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

73

Pada era 1990-an dampak SI pada kinerja ekonomi dipertimbangkan

kembali, khususnya dalam konteks perekonomian Asia Timur yang bertumbuh

pesat. Pandangan ini berargumen bahwa SI akan mendahului kegiatan ekspor dan

merupakan prasyarat untuk export led growth. Argumen pandangan ini adalah

tidak mungkin suatu negara dapat mengekspor tanpa mengakumulasi

kemampuan teknologi pada fase SI yang mendahuluinya. Perbedaannya adalah

pada tahap “matang” dari kebijakan SI tersebut. Pada tahap ini negara Latin

Amerika melakukan pendalaman SI yang dibarengi dengan kebijakan moneter dan

fiskal. Sementara itu, negara Asia Timur, pada tahap “matang” karena tetap

melakukan SI dengan penekanan pada promosi ekspor serta mengaitkan insentif

dengan kinerja ekspor. Model campuran SI ini dinilai lebih berhasil jika

dibandingkan dengan pendalaman SI karena pemerintah (1) dapat melakukan

disiplin terhadap sektor swasta berdasarkan kinerja standar (target ekspor)

sebagai ganti dari subsidi terhadap sektor swasta; (2) menghindari

ketidakseimbangan eksternal dengan promosi ekspor dan menjaga nilai tukar yang

kompetitif; dan (3) berhasil melakukan desain proteksi dan promosi ekspor yang

mendorong proses pembelajaran teknologi dan akumulasi pengetahuan.

Sebagaimana sejumlah negara berkembang lain di Asia, Indonesia juga

menempuh jalur kebijakan industrialisasi dalam bentuk substitusi impor pada

tahap awal proses industrialisasinya. Namun, berbeda dengan Korea, kebijakan SI

di Indonesia tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif.

Perbedaannya adalah kebijakan SI Korea--yang diterapkan secara selektif pada

industri tertentu--terintegrasi dengan kebijakan lainnya seperti perdagangan,

sumber daya manusia, dan teknologi. Sementara itu, kebijakan selektif di

Indonesia tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan komplementer dalam

perdagangan, SDM, dan teknologi (Kim, 2004).

Kebijakan SI diterapkan pemerintah pada tahun 70-an, terutama setelah oil

boom. Pada masa itu pemerintah menerapkan kebijakan industri SI yang dibiayai

dari devisa berlimpah dari minyak. Tujuan kebijakan tersebut adalah

memproduksi sendiri produk yang selama ini harus diimpor sehingga bisa

menghemat devisa. Dalam perspektif industri kebijakan tersebut bertujuan untuk

membangun kapasitas industri berat nasional berbasiskan proyek besar SDA.

Kebijakan industri itu diwarnai dengan proteksi yang tinggi serta pembangunan

industri berat yang justru bertentangan dengan keunggulan komparatif Indonesia,

yaitu industri berbasiskan tenaga kerja murah (Basri, 2001 sebagaimana

Page 75: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

74

Damayanthi, 2008). Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja,

gas alam, kilang minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank–bank

BUMN.

Jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1982 dan 1986 serta

ambruknya nilai tukar dollar AS pasca–Plaza Accord menyebabkan pemerintah

harus mencari sumber pembiayaan dalam negeri yang lain (Kim, 2004).

Pemerintah kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan

dan investasi asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang

ditempuh adalah industrialisasi berorientasi ekspor. Fase ini ditandai dengan

diluncurkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi

pasar, termasuk di dalamnya deregulasi perizinan investasi dan deregulasi sektor

perbankan dan keuangan yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai

tukar rupiah untuk menjaga daya saing.

Industri manufaktur padat karya Indonesia mengalami masa keemasan di

era ini dengan terjadinya relokasi industri dan investasi di sektor industri padat

karya, seperti pakaian jadi dan sepatu dari Korsel, Taiwan, Hongkong, dan

Singapura. Ekspor manufaktur yang menyumbang hingga 53 persen dari total

ekspor (1993) nasional mencatat pertumbuhan riel hampir 30 persen per tahun

pada kurun 1980–1993. Pertumbuhan GNP di periode tersebut tercatat berkisar

pada tingkat 7%, tidak terlalu jauh dari negara Asia timur lainnya.

Menurut Basri (2001), perubahan orientasi kebijakan ke arah pasar pada

masa itu terjadi karena pilihan yang pragmatis–rasional dan bukan karena alasan

yang bersifat ideologis.

Dalam era ‘70-an, ketika dana minyak tersedia dan peran kelompok

nasionalis menguat, pilihan kebijakan yang non–pasar dan proteksionis … memiliki

harga yang relatif ‘murah’ dibandingkan kebijakan pro–pasar … karena untuk

memperoleh dukungan politik, pemerintah akan mengakomodasi tekanan kelompok

kepentingan yang kuat pada waktu itu, sedangkan pada pertengahan 1980-an,

ketika harga minyak jatuh, … pilihan kebijakan yang non-pasar menjadi relatif lebih

‘mahal’….

Liberalisasi yang terjadi waktu itu bersifat parsial dan gradual. Masih

banyak proteksi industri dalam bentuk nontariff barriers dan beberapa sektor

industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat. Kebijakan industrialisasi

pada fase itu berorientasi untuk melakukan lompatan teknologi. Pemerintah

Page 76: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

75

menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi

yaitu industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor

transportasi darat, industri telekomunikasi, sektor energi, industri rekayasa,

industri mesin pertanian, industri pertahanan, dan industri pendukung yang

terkait.

Argumen waktu itu adalah Indonesia tidak bisa selamanya

menggantungkan diri pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan

ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Untuk mempertahankan kesinambungan

pertumbuhan, diperlukan investasi pada teknologi canggih dan industri-industri

bernilai tambah tinggi. Sumber penerimaan negara dalam jumlah besar diarahkan

pada industri-industri yang mendapat proteksi dari pemerintah ini. Kebijakan

proteksi dan subsidi terhadap kelompok industri strategis itu tetap dipertahankan

pada masa 1985-1997, demikian pula kebijakan substitusi impor untuk industri–

industri berat.

Proteksi ini dinilai tidak berhasil karena industri–industri yang diproteksi

secara ketat itu tidak menyumbang banyak pada pertumbuhan ekspor dan

pertumbuhan industri nasional. Hal itu berbeda dengan di Korea, industri berat di

Korea mampu menjadi sektor generatif yang ikut melahirkan berbagai industri lain

yang terkait dan menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja,

yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi justru menjadi penyumbang terbesar

pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an, seperti tekstil dan

pakaian jadi, sepatu, dan elektronik. Namun, karena problem struktural,

munculnya pesaing baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat

karya yang berorientasi ekspor itu tidak mampu tumbuh secara optimal. Problem

struktural yang melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah

sempitnya basis produk dan basis pasar ekspor, tingginya kandungan impor, tidak

adanya pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta

rendahnya produktivitas (Kim, 2004).

Kim (2004) melihat problem struktural industri Indonesia sangat kompleks,

lintas sektor dan kait-mengait; melibatkan pula kebijakan perdagangan, teknologi,

sumber daya manusia, dan persaingan. Kesan yang ada selama ini, kebijakan

pada tiap–tiap sektor berjalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk menyukseskan

suatu proses industrialisasi, perlu kebijakan lintas sektoral yang saling

mendukung, konsisten, dan koheren.

Page 77: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

76

Kelemahan struktural industri Indonesia adalah hasil dari kegagalan

kebijakan pada masa lalu yang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu

sebagai berikut.

1) Tidak adanya kebijakan industrialisasi yang konsisten dan terintegrasi dengan

kebijakan sektor lain (perdagangan, SDM, dan teknologi). Contohnya

pembangungan berbasis teknologi yang ambisius tidak didukung oleh kebijakan

teknologi pada tingkat industri yang harus dimotori oleh sektor swasta. Di Korea

setiap kebijakan industri selalu disertai dengan kebijakan SDM dan

pengembangan teknologi jangka panjang yang dikoordinasikan dalam

framework pembangunan berjangka 5 tahun.

2) Kegagalan strategi industri yang dimotori perusahaan pemerintah. Kelemahan

perusahaan pemerintah adalah adanya inefisien, korupsi, perilaku rent–seeking

yang selanjutnya menyebabkan proteksi industri dalam jangka panjang dan

merusak perkembangan sektor swasta.

3) Kegagalan dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM),

kegiatan riset dan pengembangan (R&D) swasta. Mengingat kebijakan industri

pemerintah ditujukan pada 10 industri strategis, dukungan dana untuk

perusahaan pemerintah dan swasta di sektor lain lebih terbatas sehingga

menyebabkan menurunnya pembiayaan bagi pusat riset dan laboratorium

pengujian pendukung sektor swasta. Selain itu, tidak ada insentif fiskal untuk

mendorong kegiatan inovatif pada perusahaan swasta.

4) Kegagalan dalam mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM).

Ekonomi pasar hanya dapat berkembang jika disertai dengan pertumbuhan

UMKM yang sehat. UMKM tidak hanya merupakan sumber penyedia lapangan

pekerjaan, tetapi juga sumber penting untuk inovasi dan kompetisi. UMKM di

Korea terhubung dengan industri manufaktur dalam sistem subkontrak yang

menandakan hubungan antar industri yang erat. Sementara itu, di Indonesia

sistem subkontrak antara UMKM dan industri besar belum berkembang. UMKM

umumnya hanya menyediakan permintaan konsumen akhir dan bukan

menyediakan input untuk perusahaan besar. Sebagai hasilnya, hubungan

antarindustri sangat lemah sehingga menghambat pertumbuhan industri supply

yang cost effective.

Sumber:

Kim, Chuk Kyo (2004). Industrial Development Strategy for Indonesia: Lessons from Korean Experience. Policy Recommendation Paper for Korea

Page 78: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

77

Development Institute (KDI) and Korea International Cooperation Agency (KOICA).

Reinert, Kenneth A. and Ramkishen S. Rajan, eds., 2010. The in Princeton Encyclopedia of the World Economy. Princeton and Oxford: Princeton University Press.

Damayanthi, Vivin Retno, 2008. Proses Industrialisasi Di Indonesia Dalam Prespektif Ekonomi Politik. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 2 No.1 pp. 68–89.

Page 79: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

78

Box 3. Studi Kasus Strategi Kebijakan Sektoral

1. Industri TPT

Pakaian merupakan salah satu industri ekspor tertua dan terbesar serta

yang paling lazim. Industri tersebut merupakan batu loncatan untuk

pembangunan nasional dan sering kali berperan sebagai industri pemula bagi

negara yang terlibat dalam industrialiasi yang berorientasi ekspor karena biaya

tetap yang rendah dan penekanan pada manufaktur padat karya. Secara historis,

ekspansi global industri pakaian didorong oleh kebijakan perdagangan. Industri

pakaian merupakan salah satu industri yang paling dilindungi dari semua

industri, mulai dari subsidi pertanian pada bahan input (kapas, wol, dan rayon)

serta sejarah panjang kuota berdasarkan general agreement on tariff and trade

dalam MFA dan perjanjian penerusnya di bawah WTO, The Agreement on Textiles

and Clothing (ATC).

Struktur dari rantai nilai pakaian (apparel value chain) dapat digambarkan

seperti smile curve yaitu aktivitas yang bernilai tambah tertinggi berada di tahap

praproduksi (R&D dan desain) dan pascaproduksi (pemasaran merk, logistik, dan

jasa) dari proses produksi. Produksi aktual dari pakaian, yaitu penciptaan

pekerjaan banyak terjadi, telah menjadi sangat kompetitif, terkonsentrasi, dan

selalu terpapar tekanan beban biaya. Tahap-tahap utama dari peningkatan

ekonomi (economic upgrading) dalam rantai nilai pakaian adalah sebagai berikut.

1. Assembly/Cut, Make and Trim (CMT)

Produsen pakaian memotong dan menjahit kain tenunan atau rajutan atau

merajut pakaian langsung dari benang.

2. Original Equipment Manufacturing (OEM)/Full Package/Free on Board (FOB)

Produsen pakaian bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan produksi

termasuk CMT dan finishing. Perusahaan harus memiliki kemampuan logistik

hulu, termasuk pengadaan (sourcing dan pembiayaan) bahan baku yang

diperlukan, barang, dan trim yang diperlukan untuk produksi.

3. Original Design Manufacturing (ODM)/Full Package With Design

Model bisnis yang berfokus pada penambahan kemampuan desain untuk

produksi pakaian.

4. Original Brand Manufacturing (OBM)

Model bisnis yang berfokus pada merk dan penjualan produk merk sendiri.

Negara berkembang masuk ke segmen yang paling rendah dari rantai nilai

karena berbagai keuntungan, termasuk perjanjian perdagangan yang

Page 80: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

79

menguntungkan, buruh kerja upah murah, dan faktor kedekatan dengan pasar.

Untuk masuk ke tingkatan segmen rantai nilai yang lebih tinggi, berbagai faktor

lainnya perlu dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut di antaranya keberadaan

industri tekstil domestik atau regional; produsen tekstil dan pakaian yang besar di

suatu negara; komitmen yang kuat terhadap pertumbuhan industri dari

pemerintah dan sektor swasta dibutuhkan dalam hal peningkatan desain dan

merk agar dapat mengembangkan bakat yang dibutuhkan dan mendirikan merk

nasional.

Meskipun industri pakaian global telah berkembang secara cepat sejak awal

tahun 1970-an dan telah disediakan lapangan kerja bagi puluhan juta pekerja di

beberapa negara kurang berkembang di dunia, industri tersebut telah mengalami

dua krisis besar dalam lima tahun terakhir. Krisis pertama adalah peraturan The

Multi Fibre Arrangement (MFA) yang menetapkan bahwa kuota dan tarif preferensial

pada pakaian dan barang tekstil yang diimpor oleh Amerika Serikat, Kanada, dan

banyak negara Eropa sejak awal tahun 1970-an dihapus oleh World Trade

Organization (WTO) dan digantikan dengan perjanjian WTO tentang tekstil dan

pakaian, yakni ATC (berlaku tahun 1995–2005). MFA/ATC membatasi ekspor ke

pasar konsumen utama dengan memberlakukan batasan per negara (kuota) akan

volume produk impor tertentu. Sistem itu dirancang untuk melindungi industri

domestik Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan membatasi impor dari pemasok

kompetitif seperti Tiongkok. Kekhawatiran negara berkembang kecil dan miskin

yang bergantung pada ekspor pakaian bahwa mereka akan terdorong keluar dari

sistem perdagangan global oleh persaingan kompetitor yang lebih besar seperti

Tiongkok, India, dan Bangladesh. Krisis yang kedua adalah ekonomi. Resesi global

yang terjadi baru-baru ini, yang dipicu oleh krisis perbankan di Amerika Serikat

pada tahun 2008, dan yang menyebar cepat ke sebagian besar negara industri dan

berkembang membawa dunia ke ambang krisis ekonomi yang paling parah sejak

The Great Depression tahun 1930-an. Penutupan pabrik dan PHK pekerja di

negara-negara industri berujung pada menurunnya permintaan konsumen yang

mengakibatkan berkurangnya order dan menyusutnya pasar untuk ekonomi

berorientasi ekspor di negara berkembang. Resesi tersebut berdampak cukup

besar pada industri pakaian dan menyebabkan penutupan pabrik, peningkatan

tajam pada angka pengangguran, serta tumbuhnya kekhawatiran akan munculnya

kerusuhan sosial akibat terlantarnya pekerja mencari pekerjaan baru.

Page 81: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

80

Penghapusan kuota pada 1 Januari 2005 menandai akhir dari terbatasnya

akses ke pasar Eropa dan Amerika Utara. Pengecer dan pembeli lain bebas

mengakses ke sumber tekstil dan pakaian dengan jumlah tak terbatas dari negara

mana saja, hanya tunduk pada sistem tarif dan transitional safeguards yang akan

berakhir pada akhir tahun 2008. Peluang itu dimanfaatkan dengan baik oleh

produsen pakaian biaya terendah terbesar, yakni Tiongkok, India, Bangladesh, dan

Vietnam. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya pangsa impor pakaian dari

negara-negara tersebut di negara konsumen pakaian terbesar, yakni Amerika

Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Sementara itu, pangsa ekspor pakaian Indonesia

hanya terlihat meningkat di pasar Amerika Serikat. Namun, saat ini Tiongkok

menghadapi tantangan baru, yakni upah buruhnya yang semakin meningkat

hingga 20% per tahun sehingga dapat berdampak pada daya saing produk yang

dihasilkannya. Hal itu dilakukan melalui dua tren secara simultan, yaitu

pergeseran produksi CMT ke negara Asia yang biaya produksinya lebih rendah,

dan meningkatkan tekanan kompetitif pada industri Tiongkok agar peningkatan

mutu terjadi secara cepat untuk menjaga daya saing. Kondisi pergeseran produksi

dari Tiongkok ini merupakan peluang dan dapat dimanfaatkan oleh Indonesia

untuk mencoba meningkatkan pangsa pasarnya. Berbagai langkah dan strategi

dapat ditempuh, yakni dengan cara sebagai berikut.

1. Tingkatkan investasi pada pendidikan dan pelatihan (training)

Kesempatan untuk menjalani pendidikan dan training dapat membantu

mengatasi skill deficit yang dapat menghambat economic upgrading. Pendidikan

sebaiknya mencakup keahlian teknis maupun soft skills dalam area, seperti

manajemen, pengembangan produk, desain, dan riset pasar.

2. Menciptakan fungsi pemasaran (marketing) dan jejaring

Perusahaan dan pemerintah sebaiknya bekerja sama menciptakan organisasi

untuk memasarkan negara/kawasan dan menyelaraskan perusahaan dengan

organisasi internasional yang berhubungan dengan pengembangan standar,

industry advocacy, riset dan pengembangan, serta praktik terbaik.

3. Mempromosikan investasi langsung (FDI) atau joint ventures untuk

mengembangkan kemampuan vertikal (vertical capabilities)

Strategi ini sangat bagus, terutama bagi kawasan yang masih didominasi

model produksi perakitan atau CMT (cut, make, dan trim). Hal itu akan

membantu menciptakan backward linkages dan mengembangkan keahlian

bukan di dalam negara. Otoritas ekonomi harus menyediakan layanan satu

Page 82: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

81

pintu bagi investor atau pemasok yang merencanakan untuk mendirikan

perusahaan baru.

4. Investasi pada teknologi dan sistem produksi fleksibel

Investasi diperlukan untuk meningkatkan kapasitas mesin produksi, logistik,

dan teknologi informasi yang memungkinkan pemasok menjadi lebih

terintegrasi pada jaringan pembeli.

5. Mengembangkan full package capabilities

Perusahaan harus bisa atau mempunyai aliansi dengan perusahaan yang

dapat menyediakan produk akhir dan jasa tambahan berkaitan dengan

pengembangan produk, desain, logistik, dan pengendalian kualitas.

6. Mengembangkan standar agar dapat memenuhi sertifikasi standar regional

dan internasional

7. Melakukan praktik produksi yang berkelanjutan

Perusahaan yang dapat bertahan adalah perusahaan yang memilih untuk

bersaing pada kredensial lingkungan mereka di samping biaya, kualitas, dan

faktor tradisional lainnya.

8. Mendiversifikasi pembeli, produk, dan pasar akhir

Perusahaan harus melakukan diversifikasi menjadi berbagai lini produk, pasar

pengguna akhir, dan pasar geografis yang berbeda.

2. Industri Otomotif

Industri otomotif di Indonesia saat ini pada umumnya masih terkonsentrasi

pada kegiatan perakitan (assembly). Padahal, nilai tambah tertinggi tidak berasal

dari aktivitas itu. Sesuai dengan keniscayaan pada Global Value Chain (GVC),

yaitu bahwa suatu negara akan mengupayakan efisien dalam suatu aktivitas

dalam rantai produksi yang bernilai tambah tinggi. Sesuai dengan smile curve,

aktivitas yang bernilai tambah tinggi pada GVC adalah desain, research and

development, serta aktivitas penjualan yang berorientasi ekspor. Namun, Indonesia

masih terkendala pada aspek human capital dalam melakukan aktivitas tersebut.

Saat dunia sudah memiliki negara desainer otomotif yang efisien seperti Jepang

dan Korea, Indonesia sangat berat untuk mengembangkan merek dan desain

otomotif sendiri. Terkait dengan itu, langkah selanjutnya yang mungkin dilakukan

Indonesia adalah meningkatkan keunggulan komparatif pada parts dan

components otomotif sehingga secara keseluruhan produk otomotif, nilai tambah

yang dihasilkan di Indonesia akan menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan semula.

Berdasarkan pendapat Kohpaiboon dan Yamashita (2011), penentuan lokasi

Page 83: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

82

produksi dari komponen otomotif terutama hanya didasarkan atas daya saing dari

sisi biaya.

Terkait dengan hal tersebut, Indonesia dapat mencontoh Thailand untuk

mengembangkan industri ini. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian

sebelumnya, beberapa hal krusial yang dilakukan oleh Thailand adalah (1) tidak

takut dalam memiliki tingkat integrasi yang tinggi dalam hal investasi dan

perdagangan; (2) mengembangkan infrastruktur secara terpusat, yang sangat

memberikan kenyamanan bagi investor, baik dari sisi regulasi, logistik, maupun

industri pendukung; (3) memastikan proses knowledge transfer dan learning by

doing berjalan secara maksimal; dan (4) memanfaatkan peran teknokrat dalam

pembangunan kawasan industri yang independen dari proses politik.

Sebagai tambahan yang perlu dikoreksi dari Thailand adalah aspek human

capital. Secara jangka pendek, diperlukan pembebasan tenaga kerja untuk skill

tertentu yang dibutuhkan sesuai dengan preferensi investor. Namun, investasi

untuk human capital dalam negeri harus segera dimulai. Beberapa hal yang dapat

mendukung, antara lain, adalah (1) diskusi intensif antara kementerian tenaga

kerja, investor, serta kementerian yang menaungi pendidikan menengah atas dan

tinggi untuk mengetahui jenis skill yang dibutuhkan dan upaya memfasilitasinya

dalam kurikulum; (2) memberikan kebebasan bagi universitas luar negeri

membuka cabangnya di Indonesia, khususnya untuk jurusan penting yang masih

belum mampu dipenuhi oleh universitas dalam negeri; dan (3) melonggarkan

peraturan pembatasan tenaga kerja asing untuk mekanisme pertukaran tenaga

kerja temporer. Hal itu untuk mendukung lancarnya proses learning tenaga kerja

Indonesia, khususnya untuk skill yang hanya dapat diperoleh di head office.

3. Industri Information and Communication Technology

Industri ICT di Indonesia memiliki potensi yang besar, Business monitoring

International (2015) memperkirakan industri ICT di Indonesia akan tumbuh rata-

rata 12,5% per tahunnya dengan kapitalisasi pasar mencapai 275 trilliun rupiah

pada 2019. Untuk penjualan perangkat lunak diperkirakan akan mencapai lebih

dari 50 trilliun rupiah, sedangkan pada 2019 penjualan perangkat keras berupa

komputer pribadi dan jasa layanan IT masing-masing akan mencapai 100 trilliun

rupiah dan 80 trilliun rupiah. Jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga,

seperti Malaysia dan Singapura, porsi belanja IT per PDB Indonesia masih sangat

Page 84: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

83

rendah, yaitu hanya sekitar 1,6%, sedangkan Malaysia dan Singapura masing-

masing sebesar 6,42% dan 6,37%.

Saat ini, Indonesia memiliki koneksi internet yang paling rendah jika

dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia–Pasifik. Permasalahan lain

yang dihadapi adalah kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan sehingga

biaya pembangunan infrastruktur menjadi sangat mahal. Oleh karena itu,

pemerintah berusaha untuk menggenjot pertumbuhan industri ICT dengan

meningkatkan infrastruktur layanan internet dengan program Indonesia

Broadband Plan 2014–2019. Pemerintah menargetkan seluruh penduduk di kota

besar memiliki akses ke internet, sedangkan untuk wilayah perdesaan ditargetkan

52% penduduknya terjamah dengan layanan internet.

Bagi para pelaku usaha di industri ICT, permasalahan yang kerap mereka

temui adalah permasalahan sumber daya manusia, perpajakan, dan persaingan

usaha. Menurut para pelaku usaha, sumber daya manusia Indonesia tidak

memiliki kesiapan kerja, khususnya para tenaga kerja dengan latar belakang

pendidikan sarjana. Meskipun demikian, para tenaga kerja dengan latar belakang

pendidikan SMK dirasa lebih cepat beradaptasi dengan dunia kerja sehingga

pelaku usaha membutuhkan waktu yang relatif singkat dan biaya investasi yang

lebih sedikit dalam mempersiapkan tenaga kerja tersebut untuk terjun langsung

ke dalam dunia kerja. Selain itu, permasalah double tax juga masih menjadi

hambatan bagi pelaku usaha industri ICT untuk berkembang. Pengeluaran mereka

menjadi bertambah seiring dengan pajak yang dikenakan dua kali. Iklim usaha

industri ICT di Indonesia saat ini juga dirasa sangat kompetitif mengingat banyak

perusahaan asing yang ikut bersaing dalam memperebutkan tender. Oleh karena

itu, diperlukan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri ICT. Pertama,

kegiatan magang bagi mahasiswa perlu lebih digalakkan sehingga pengalaman

kerja mereka dapat meningkat dan mempermudah mereka dalam beradaptasi

dengan dunia kerja. Selain itu, kebijakan perpajakan perlu dikaji kembali guna

menghindari double tax. Untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang lebih

baik, diperlukan kebijakan yang memprioritaskan perusahaan lokal dalam

mengikuti tender yang dilakukan oleh perusahaan BUMN.

Page 85: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

84

Box 4. Pelajaran Kebijakan Singapura, Korea Selatan, Thailand,

Malaysia, dan Vietnam

1. Singapura

Sejak mencapai pemerintahan sendiri pada 1959, Singapura menghadapi

berbagai ketidakpastian ekonomi dan gejolak perekonomian. Singapura

memandang penyediaan tenaga kerja dan perumahan yang layak merupakan dua

masalah pokok yang perlu segera dibenahi. Terkait penyediaan tenaga kerja,

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sustainable merupakan satu-satunya

jawaban. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, beberapa tujuan kebijakan

yang lain akan dapat dipenuhi dengan lebih mudah. Pada tahun 1960 GDP/capita

hanya SGD1,310 sementara saat ini 2014 SGD71,318, meningkat lebih dari lima

puluh kali lipat. Penghasilan pekerja dengan 44 jam kerja/seminggu pada 1960

sebesar SGD120, sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi SGD3,770.

Sejak awal berdirinya, Singapura memiliki visi untuk menjadi bagian dari

first world economics dalam waktu 3–40 tahun. Kunci untuk mencapai itu

disesuaikan dengan keberadaan Singapura sebagai kota perdagangan tanpa

sumber daya alam, tetapi memanfaatkan economic dynamism, menawarkan high

quality of life, serta memiliki a strong national identity dan suatu konfigurasi kota

global (global city).

Beberapa strategi utama yang dilakukan adalah (1) meningkatkan sumber

daya manusia; (2) mempromosikan kerja sama tim nasional (promoting national

teamwork); (3) berorientasi internasional; (4) menciptakan iklim kondusif untuk

inovasi; (5) mengembangkan klaster manufaktur dan jasa; (6) spearheading

economic redevelopment; (7) mempertahankan keunggulan daya saing

internasional; dan (8) mengurangi vulnerabilitas.

Pertumbuhan ekonomi Singapura tidak terlepas dari peran aktif EDB

(economic development board) yang bertugas mempersiapkan perkembangan

ekonomi untuk medium dan long term, yaitu menerapkan prinsip realignment,

redirecting, dan reorientation dilakukan secara fleksibel sesuai dengan

perkembangan zaman.

Tiga tahapan utama perkembangan ekonomi Singapura (CSS, 2015):

(1) 1950s–1970s: membangun ekonomi nasional;

(2) 1980s–1990s: refining strategies: deepening and diversifying engines of growth

Page 86: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

85

(3) 1998–2000s: globalization and the challenges of sustainable, inclusive growth

Mendiang Perdana Menteri Lee pada 2012 (Neng, 2015) mengungkapkan

“Without growth, we have no chance of improving our collective being… Slow growth

will mean that new investments will be fewer, good jobs will be scarcer, and

unemployment will be higher. Enterprising and talented Singaporeans will be lured

away by the opportunities and the incomes they can earn in other leading cities. Low–

income workers will be hardest hit, just as they were each time our economy slowed

down in the last decade. Over time, our confidence will be dented. Thoughtful

Americans have told me that a major challenge for the US after years of slow growth

has been a profound loss of optimism. The same is true for Japan, and will be true of

Singapore too if ever our economy stagnates.” Hal utama yang perlu dibenahi bagi

Lee adalah menciptakan economic viability yang ditopang oleh struktur

administratif yang bersih dan efisien untuk melaksanakan kebijakan ekonomi

(Menon, 2007).

Strategi Industri Singapura dapat dijelaskan dalam prinsip sebagai berikut

(CSS, 2015).

(1) Melihat dengan keterbatasan yang ada, yaitu negara kecil tanpa sumber daya

alam, tetapi memiliki lokasi geografi yang strategis. Oleh karena itu, filosofi

pengembangan ekonominya harus berdasarkan free market system dan outward

orientation didukung oleh pemerintahan yang menyediakan kerangka legislatif,

lingkungan yang stabil dan kondusif untuk bisnis, corporate governance yang

baik, kebijakan yang memfasilitasi bisnis, investasi dalam infrastruktur dan

tenaga kerja, serta kebijakan bagi pengembangan pemerataan kesempatan

hidup layak.

(2) Strategi industri meliputi bebarapa fase (Cahyadi dll., 2004; Yue, 2005, Neng,

2015)

a. 1965–1978: proses industrialisasi melalui strategi berorientasi ekspor

dengan menarik investor asing dan mengembangkan industri manufaktur

dan sektor keuangan. Perbaikan iklim tenaga kerja dan investasi serta

menasionalisasi perusahaan karena sektor swasta tidak mampu

menyediakan kapital yang cukup dan keahlian yang cukup, seperti

Singapore Airlines, Nepture Orient Lines, Development Bank of Singapore,

dan Sembawang Shipyard.

b. 1979–1985: memperbarui penekanan pada penngembangan tenaga kerja

melalui pendidkan dan pelatihan. Mendorong otomatisasi industri,

Page 87: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

86

mekanisasi, dan komputerisasi. Memberi insentif untuk beralih ke teknologi

dengan nilai tambah yang lebih besar dan kebijakan yang mendorong

penanaman modal dalam industri padat modal dan keahlian.

c. 1986–2000: memperdalam basis teknologi industri, mengembangkan klaster

industri, serta mempromosikan industri manufaktur dan jasa sebaai twin

pillars dari perekonomian Singapura. Regionalisasi atau mendorong

perusahaan-perusahaan di Singapura untuk melebarkan sayapnya ke

wilayah di sekitar Singapura, di antaranya memanfaatkan gold triangle:

Riau–Johor–Singapura.

d. 2000–sekarang: mengalihkan perhatian pada inovasi, pengetahuan, serta

riset dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan menjadi bagian

penting dari pengembangan perekonomian Singapura pada masa yang akan

datang (Goh, 2005). Untuk itu, pelindungan hak properti intelektual

diterapkan dan didukung penerapannya dengan law enforcement yang kuat.

Oleh karena itu, fokus pada teknologi informasi harus dilakukan termasuk

web–based commercial strategies dan e–government initiatives. Agar

kemampuan entrepreneurship berkembang, kemampuan ini terus didorong

dan termasuk dalam bagian penting dalam penelitian dan pengembangan.

Terakhir, potensi manusia semakin dikembangkan, termasuk di dalamnya

change management agar performa perusahaan semakin baik.

(3) Pada tahun 2010 ada tiga prioritas utama yang ingin dicapai, yaitu sebagai

berikut.

a. Mendorong keahlian dalam setiap pekerjaan agar tingkat upah yang lebih

tinggi dapat dipertahankan. Perusahaan didorong agar berinovasi,

memperbaiki efisiensi dan membuat pekerjaan lebih baik, serta

meningkatkan keahlian pekerja pada semua tingkat. Sedapat mungkin

dihindari ketergantungan kepada tenaga kerja asing.

b. Memperdalam kemampuan perusahaan untuk menangkap peluang di Asia.

Perusahaan perlu menumbuhkan ekosistem bisnis yang beragam, tetapi

kuat menahan goncangan, mengomersialisasi R&D sebagai sumber

competitiveness, dan mengembangkan fasilitas berdasarkan pasar untuk

melebarkan pembiayaan internasional bank.

c. Membuat Singapura sebagai suatu distinctive global city and endearing

home. Hal itu dicapai melalui pendalaman keahlian dalam berbagai bidang,

menarik sumber daya manusia berpotensi tinggi dari luar negeri, dan

membuat Singapura sebagai a distinctive global city.

Page 88: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

87

(4) Strategi utama dalam satu dekade ke depan untuk mencapai tiga prioritas

utama tersebut adalah sebagai berikut.

a. Tumbuh melalui keahlian dan inovasi

b. Menjadi Global–Asia Hub untuk industri manufaktur dan jasa

c. Ekosistem perusahaan yang beragam

d. Inovasi yang tajam

e. Smart energy economy

f. Meningkatkan produktivitas tanah

g. Global city, endearing home

Pada prinsipnya Singapura telah menerapkan apa yang diperlukan bagi

suatu transformasi produktif yang berhasil (Nubler, 2014), yang ditopang oleh

kebijakan industri yang baik (Lin and Treichel, 2014) dan dengan memanfaatkan

keberadaan GVC yang semakin besar dalam ekonomi global saat ini (Milberg, Jiang

dan Gereffi, 2014).

2. Korea Selatan

Hanya dalam jangka waktu kurang lebih 60 tahun, Korea Selatan (Korsel)

berhasil melakukan transisi dari perekonomian tidak berkembang, bahkan

merupakan salah satu negara termiskin pada 1960an, menjadi negara maju.

Keberhasilan tersebut dikenal dengan sebutan “The Korean Miracle” dan

merupakan perkembangan ekonomi yang paling berhasil selama abad ke-20. Gross

National Income (GNI) per kapita meningkat dari 85 dolar AS pada tahun 1961

menjadi lebih dari 20.000 dolar AS pada tahun 2006. Korsel menjadi negara

dengan perekonomian terbesar ke-13 pada tahun 2014. Perkembangan ekonomi

Korsel patut diperhatikan karena merupakan pembangunan dengan ekuitas,

pengentasan kemiskinan yang tergolong cepat, dan tanpa peningkatan

kesenjangan (inequality) selama proses transisi. Elemen-elemen yang menjadikan

Korsel pemain utama dalam ekonomi global adalah bantuan dari komunitas

internasional, pengabdian masyarakat Korsel untuk bekerja, usaha konsisten dari

Pemerintah untuk membuka perekonomiannya, dan upaya perusahaan untuk

berinovasi dan meningkatkan daya saing di pasar internasional.

Page 89: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

88

Gambar 46. Transformasi Perekonomian Korea Selatan

Investasi pendidikan telah memainkan peran penting terhadap

pertumbuhan Korsel yang cepat dan berkelanjutan. Strategi pembangunan

berfokus pada pencapaian pertumbuhan produktivitas berkelanjutan dengan

secara konsisten meningkatkan nilai tambah dari output. Untuk mencapai hal itu,

tenaga kerja yang berpendidikan tinggi sangatlah diperlukan. Sejak berakhirnya

perang Korea sampai dengan tahun 1960-an, Korsel mengadaptasikan kebijakan

substitusi impor untuk pembangunan ekonominya. Tujuan utama perekonomian

pada periode itu adalah meningkatkan lapangan pekerjaan dan memperbaiki

neraca pembayaran. Korsel mulai mempromosikan industri substitusi ekspor dan

impor dimulai dengan subsistensi pertanian (beras) dan padat karya, sektor

manufaktur ringan (tekstil dan sepeda). Perekonomian Korsel kala itu banyak

bergantung pada bantuan dana asing, salah satunya bantuan dari Amerika Serikat

yang menyediakan bahan baku untuk industri three white pada tahun 1950 di

Korea berupa gula, benang katun, dan tepung gandum. Akumulasi modal dan

investasi dalam pendidikan dasar selama periode itu memungkinkan pergeseran

bertahap ke atas rantai nilai tambah menuju komoditas yang lebih canggih. Kunci

pergeseran itu adalah penggunaan teknologi yang diperoleh melalui lisensi asing

dan diadaptasi untuk produksi dalam negeri.

Pada awal tahun 1960-an, perekonomian Korea Selatan masih terjebak

dalam lingkaran kemiskinan. Untuk membebaskan diri dari jeratan kemiskinan,

Pemerintah Korsel mencanangkan Five–Year Economic Development Plan pada

1960s 1970s 1980s 1990s 2000sDevelopment

Stage

IndustrialPolicy

Science&Technology(S&T)Policy

Factor-Driven Investment-Driven Innovation-Driven

SupportExportDevelopment

Expandexport-orientlightindustries

PromoteHeavy&ChemicalIndustries

(HCI)

Expandtechnology-intensiveindustries

ShiftfromIndustryTargettingtoR&DSupport

Promotehigh-technologyinnovation

ProvideInformationInfrastructureandR&D

Support

TransitiontoKnowledge-BasedEconomy

PromoteNewEnginesofGrowthandUpgradeR&D

ScientificInfrastructureSetting§ GovernmentResearchInstitutes(GRI)

§ TechnicalandVocationSchools

§ R&DPromotionAct§ Daedeok ScienceTown

§ KAIST:highlyqualifiedpersonnel

ScientificInstitutionBuilding

§ MOST/KIST§ S&TPromotionAct§ Five-YearEconomicPlanincl.S&T

R&DandPrivateResearchLabPromotion

§ NationalR&DPlan(NRDP)

§ PrivateSectorInitiativesinR&D

§ PromotionofIndustrialR&D

LeadingRoleinStrategicArea

§ Informatization§ E-Government§ GRIRestructuring§ U-I-GLinkages§ Enhancinguniv-researchcapability

§ Promotingco-opresearch

§ Policycoordination

<NewChallenges>§ Universities’LeadingRole

§ EfficientNationalInnovationSystems(NIS)

§ RegionalInnovationsSystem(RIS)andInnovationClusters

SourcesofCompetition

cheaplabormanufacturingcapability innovativecapability

CATCH- UP INNOVATIONStrategy

Page 90: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

89

tahun 1962. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, Pemerintah membantu

perkembangan industri impor subsitusi yang memproduksi barang antara dasar,

seperti semen dan pupuk. Setelah itu, Pemerintah mempromosikan industri

ekspor padat karya seperti tekstil dan plywood yang memiliki daya saing

internasional akibat dari biaya tenaga kerja murah dan mampu menyerap

pengangguran maupun pengangguran terselubung. Dalam rangka mendukung

industri ekspor, langkah-langkah mempromosikan ekspor secara luas diambil.

Pinjaman dengan kebijakan suku bunga rendah diberikan untuk membantu

perusahaan-perusahaan ekspor yang mengalami kesulitan keuangan. Berbagai

bentuk perlakuan pajak diferensial diberlakukan kepada industri ekspor, seperti

pembebasan pajak dan rabat tarif pajak. Pemerintah juga fokus pada mobilisasi

yang efisien dan alokasi sumber daya investasi. Beberapa bank khusus didirikan

untuk membiayai sektor–sektor strategis terbelakang seperti UMKM dan

konstruksi perumahan. Bersamaan dengan hal tersebut, untuk mendorong

masuknya arus modal asing, The Foreign Capital Inducement Act disahkan pada

tahun 1966 dan bank asing diperbolehkan untuk membuka cabang sejak tahun

1967. Proses industrialisasi ekonomi Korsel yang cepat dibawah bimbingan

Pemerintah selama tahun 1960-an menunjukkan kinerja yang mengesankan.

Selama proses industrialisasi berorientasi pada pertumbuhan, sejumlah besar

modal asing perlu didorong karena dana simpanan domestik tidak mencukupi

untuk membiayai permintaan investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, jumlah

uang beredar meningkat dengan cepat untuk membiayai berbagai proyek

pemerintah.

Pertengahan tahun 1970-an implementasi kebijakan industri yang tepat

guna oleh Pemerintah berdampak pada pergeseran ke pengembangan industri

berat (contoh bahan kimia, besi dan baja, otomotif, serta pembangunan kapal).

Seiring dengan industrial targeting, berbagai kebijakan diberlakukan untuk lebih

meningkatkan kemampuan teknologi bersamaan dengan memperbaiki akses ke

dan kualitas dari pelatihan teknis dan kejuruan. Tujuan mendorong HCI adalah

untuk mendorong industri pertahanan, mengejar Jepang dalam industri HCI,

merespons peningkatan proteksionisme dalam industri ringan, serta mencapai

impor subsitusi pada barang kapital. Investasi dalam sektor–sektor baru didukung

oleh insentif pajak dan keuangan serta pemberian bantuan pada grup perusahaan

besar (Chaebol). Suksesnya transformasi industri berat dan kimia ke sektor ekspor

baru mengakibatkan Korsel mampu mempertahankan laju pertumbuhan yang

kuat sepanjang tahun 1970. Namun, dalam melaksanakan rencana pembangunan

Page 91: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

90

ekonomi yang ambisius dengan dana tabungan domestik yang tidak mencukupi,

perekonomian diwarnai dengan kekurangan dana yang cukup besar. Kesenjangan

investasi-tabungan ini dijembatani dengan mendorong masuknya dana asing atau

dengan meningkatkan pasokan uang. Sebagai konsekuensinya, utang luar negeri

terus menumpuk dan inflasi kronis tetap terjadi. Efek samping hal tersebut

menyebabkan pergeseran stance kebijakan pemerintah menuju strategi

pertumbuhan berorientasi stabilitas.

Awal tahun 1980-an, efek samping dari manajemen ekonomi berorientasi

pertumbuhan makin mencolok. Krisis minyak yang kedua dan kekacauan politik

dalam negeri memberikan dampak yang cukup berarti. Akibatnya, perekonomian

Korsel mengalami berbagai kesulitan selama tahun 1980 dan mencatat

pertumbuhan negatif pertama sejak Development Plan pertama kali dicanangkan

dan defisit transaksi neraca berjalan yang besar. Untuk mengatasi kesulitan itu,

Pemerintah melakukan langkah–langkah penyesuaian struktural untuk

meningkatkan efisiensi ekonomi. Pertama, Pemerintah menggeser prioritas

kebijakan ekonomi dari pertumbuhan ke stabilitas dan secara aktif mendorong

penyesuaian investasi berganda dan likuidasi perusahaan-perusahaan

bermasalah. Bersamaan dengan kebijakan itu, pergeseran ke ekonomi yang lebih

terbuka dan deregulasi dilakukan secara bertahap, sebagai bagian dari langkah

menuju private–initiative pada manajemen ekonomi. Sayangnya, upaya tersebut

tidak begitu membuahkan hasil karena situasi ekonomi politik yang rentan.

Meskipun demikian, kebijakan moneter dan fiskal yang ketat serta kestabilan baru

harga minyak internasional, berkontribusi pada pembangunan dasar

perekonomian Korsel yang stabil. Namun, pertumbuhan ekonomi yang terus tinggi

menyebabkan ketidakstabilan harga baru. Selain peningkatan inflasi, upah juga

mengalami peningkatan.

Korsel terus menekuni manufaktur bernilai tambah tinggi pada tahun 1990-

an dengan mempromosikan inovasi teknologi tinggi. Kenaikan upah buruh

domestik dan apresiasi mata uang Won telah mengakibatkan defisit neraca

transaksi berjalan yang cukup besar, yang memicu serangkaian reformasi,

termasuk reformasi pasar keuangan. Bersamaan dengan pendirian infrastruktur

informasi yang modern dan lebih mudah diakses, ekspansi kemampuan

pengembangan riset tetap dilakukan di industri Korsel, yang pada akhirnya

menarik minat tenaga kerja terampil yang dihasilkan dari ekspansi pemerintah

akan sistem pendidikan tinggi. Pasca-terjadinya krisis keuangan pada pertengahan

Page 92: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

91

tahun 1990-an, upaya kebijakan dilakukan untuk mentransformasi perekonomian

Korsel menjadi ekonomi berbasis pengetahuan yang memunculkan berbagai

inovasi serta meningkatkan produktivitas secara keseluruhansehingga dapat

mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Banyak faktor yang berperan dalam

perubahan ekonomi Korsel yang cepat. Salah satu faktornya adalah pembangunan

infrastruktur informasi dan memanfaatkan potensi dari ilmu pengetahuan dan

teknologi.

3. Thailand

Thailand berhasil menjadi “Detroit of Asia” dengan keunggulannya menjadi

pusat industri otomotif di ASEAN. Hal tersebut dicapai dari skill, teknologi,

industri pendukung, dan klaster melalui learning dan akumulasi kemampuan.

Analisis product space menunjukkan bahwa pada tahun 2013 yang dibandingkan

dengan tahun 2010, jumlah produk berkeunggulan komparatif untuk garmen di

Thailand berkurang.

Pencanangan untuk menjadi negara dengan keunggulan pada industri

otomotif sudah dilakukan sekurangnya sejak 3 dekade lalu. Pertumbuhan ekonomi

Thailand pada tahun 1980 hingga awal tahun 1990-an sangat tinggi. Hal itu

didorong oleh tingkat investasi yang sangat tinggi dengan 20% pertumbuhan

jangka panjang dikontribusikan oleh stok modal fisik (Warr, 2011). Terkait dengan

hal itu, Warr (2011) menjelaskan bahwa Thailand sejak beberapa dekade lalu tidak

takut untuk memiliki tingkat integrasi yang dalam pada sisi investasi dan

perdagangan dengan seluruh dunia.

Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer. Data ekspor dari WITS.

Gambar 47. Product Space Thailand tahun 2000 dan 2013

Page 93: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

92

Sumber: Hosono (2013)

Gambar 48. Perkembangan Industri Otomotif di Thailand

Secara khusus pengembangan infrastruktur The Eastern Seaboard berperan

besar dalam perkembangan industri otomotif (Hosono, 2013). Infrastruktur

tersebut berperan sebagai export hub dan pusat industri padat teknologi.

Infrastruktur tersebut menjadi tempat bagi 14 lahan industri, yang menyerap

360.000 tenaga kerja, serta 1.300 pabrik, dimana yang 516 di antaranya terkait

dengan produksi otomotif. Industri parts dan components tumbuh karena adanya

mekanisme learning dengan memanfaatkan investasi yang sangat tinggi.

Menurut JICA/JIBC (2008) beberapa hal yang menjadi kunci kesuksesan

pembangunan industri otomotif di Thailand adalah(1) peran serta teknokrat yang

berkemampuan tinggi dan independen dari politik; (2) mekanisme check and

balance serta proses politik yang transparan; dan (3) orientasi pembangunan yang

terpusat di sentral sehingga efisien jika ditinjau dari aspek spasial.

Namun, terdapat risiko dari desain pembangunan industri seperti di

Thailand. Walaupun kesuksesan mengalihkan keunggulan komparatif secara

langsung pada machinery sesuai dengan profil keunggulan komparatif pada high–

income country, terdapat risiko pada tenaga kerja, khususnya jika terdapat bonus

demografi. Terkait dengan itu, ERIA (2013) menyatakan bahwa salah satu problem

di Thailand adalah adanya human capital bottleneck pada sektor manufaktur.

Page 94: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

93

4. Malaysia

Malaysia menerapkan strategi export–led development yang berhasil

membawanya bertransisi ke upper middle income country (GDP per kapita saat ini

USD10.800). Visi Malaysia pada tahun 2020 adalah menjadi high income countries

(GDP USD15.000/kapita) yang akan dicapai dengan menggerakkan perekonomian

naik ke high value chain dengan mempromosikan investasi di sektor high value

added dan jasa.

Strategi menjadi HIC dilakukan melalui program pemerintah yang disebut

Economic Transformation Programme dan berciri sebagai berikut.

a. Model pertumbuhan dimotori sektor swasta. Pemerintah memfasilitasi

lingkungan yang kondusif untuk tercapainya pertumbuhan sosial dan ekonomi

yang lebih kuat.

b. Pertumbuhan didorong dengan strategi dan reformasi yang market–friendly,

berpusat pada inovasi dan peningkatan nilai tambah, berfokus pada

peningkatan kualitas, standar dan produktivitas pada sektor keunggulan yang

dimiliki Malaysia.

c. Kebijakan utama berpusat pada liberalisasi pasar, meningkatkan kompetisi,

memberikan insentif untuk investasi, menghapuskan hambatan, dan

membiarkan sektor swasta “memimpin”.

Program yang dicanangkan Malaysia berpusat pada hal berikut.

1. Strategi industri dilakukan dengan menetapkan 12 National Key Economic

Areas (NKEAs) yang akan berkontribusi signifikan terhadap GNI 9 . Secara

umum strategi industri berpusat menjadikan industri berskala besar dan naik

ke rantai nilai yang lebih tinggi dengan menjadikan Malaysia sebagai hub

produksi atau jasa. Beberapa contoh strategi sektor tersebut adalah

sebagaimana tampak pada tabel di bawah.

9 i) minyak, gas, dan energi, ii) pendidikan, iii) pariwisata, iv) wholesale and retail, v) electronics and electrical, vi) layanan kesehatan, vii) kelapa sawit, viii) communications content infrastructure, ix) agrikultur, x) business services, xi) greater Kuala Lumpur/Klang Valley dan xi) jasa keuangan.

Page 95: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

94

Tabel 11. Strategi Industri Malaysia

No. Sektor Strategi

1. Electronics

and

electrical

Bertujuan untuk 1) merevitalisasi industri, 2) mempercepat

pertumbuhan pendapatan dan 3) mempersiapkan industri

dalam merespon shock eksternal seperti global demand.

Terdiri dari 5 cluster yaitu1) jasa/desain manufaktur, 2)

advanced assembly, 3) industrial/integrated electronics, 4)

advanced materials, dan 5) wafer technology. Tujuan dari

cluster adalah menggiring industri menuju aktivitas yang

bernilai tambah tinggi seperti desain, rakitan, packaging dan

penyediaan total solusi

2. Minyak,

gas, dan

energi

Bertujuan untuk mentransfromasi Malaysia menjadi pusat

perdagangan dan penyimpanan minyak di regional serta

memastikan ketahanan energi untuk pasar domestik.

Beberapa project adalah 1) mendukung investasi di industri

Oil & Gas Services and Equipment, 2) mendukung

perusahaan lokal untuk mengekspor jasa dan produknya, 3)

mengurangi ketergantungan pada proyek lokal, dan 4)

menarik MnCs untuk mendirikan operasinya di Malaysia

dengan bermitra dengan perusahan lokal.

3. Kelapa

sawit dan

karet

Strategi yang dilakukan adalah mendorong industri untuk

bergerak di rantai nilai dengan memproduksi produk

makanan dan kesehatan yang bersifat high end dan

mendorong produktivitas lahan untuk mencapai supply chain

kelapa sawit yang lebih efisien.

4. Pendidikan Bertujuan untuk membangun pendidikan di Malaysia dan

memanfaatkan posisi dan akses Malaysia untuk menjadi

regional education hub. Tujuan ini dicapai dengan

meningkatkan partisipasi swasta, menarik universitas luar

negeri yang berkualitas untuk membuka cabang di Malaysia

dan membangun cluster pendidikan baru.

Page 96: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

95

Tabel 11. (lanjutan)

No. Sektor Strategi

5. Pertanian Bertujuan untuk mentransformasi pertanian yang berskala

kecil menjadi industri agribisnis yang berskala besar.

Strateginya adalah kapitalisasi, berfokus pada pasar

premium, menyelaraskan tujuan ketahanan pangan dengan

peningkatan GNI dan berpartisipasi di rantai regional value

chain.

6. Health

Care

Strategi pengembangan sektor dengan mengundang investasi

swasta dalam industri produk farmasi, peralatan kesehatan,

riset klinis, jasa perawatan lansia serta mendorong

kolaborasi penyedia jasa kesehatan pemerintah dan swasta.

7. Financial

Services

Tujuan untuk mengembangkan industri keuangan dimana

hambatan utama adalah kurangnya skala dalam beberapa

segmen di industri perbankan, keterbatasan investor, produk

dan mata uang di pasar modal.

2. Peningkatan Human Capital, khususnya di high skill labor dilakukan dengan

meningkatkan kapasitas TK domestik melalui pelatihan, pendidikan kejuruan,

program universitas atau menarik talent dari luar negeri dengan menyediakan

insentif dan mempermudah fasilitas dan ketentuan imigrasi.

3. Pembangunan infrastruktur secara forward looking melalui pembangunan

broadband untuk mendukung sektor komunikasi, elektronik, keuangan, retail,

bisnis dan edukasi serta mendukung peningkatan infrastruktur, seperti jalan,

pelabuhan, dan airport untuk mendukung bisnis dan pergerakan orang dan

barang.

4. Perbaikan iklim usaha untuk mendukung program promote investment dengan

mendirikan lembaga PEMUDAH (unit khusus untuk memfasilitasi dunia

usaha) dan melakukan deregulasi untuk mengurangi biaya dan kerumitan

serta meningkatkan efisiensi kegiatan pemerintah untuk mendorong sektor

swasta.

Page 97: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

96

5. Vietnam

Pada tahun 1986 Vietnam menerapkan kebijakan Doi Moi (renovation) yang

bertujuan untuk mereformasi sistem ekonomi Vietnam yang sebelumya berbentuk

centrally–planned economy menjadi socialist–oriented market economy. Reformasi

tersebut dilakukan untuk mengintegrasikan Vietnam ke dalam perekonomian

global. Untuk mencapai visi tersebut, Vietnam memiliki strategi pembangunan per

sepuluh tahun (10-year socio-economic development strategy) yang kemudian

dipecah menjadi strategi pembangunan per lima tahun.

Vietnam memiliki visi untuk mempercepat proses industrialisasi dan

modernisasi serta membangun fondasi untuk menjadikan Vietnam sebagai negara

industri pada tahun 2020, sedangkan pada tahun 2025, Vietnam memiliki visi

yang jelas sehingga struktur sektor industri Vietnam telah terbentuk dengan baik.

Sektor industri akan menjadi sektor yang kompetitif, memiliki teknologi yang

maju, dan berpartisipasi dalam nilai rantai global serta secara fundamental

memenuhi persyaratan ekspor. Tenaga kerja Vietnam akan memiliki kualifikasi

yang memenuhi kebutuhan sistem produksi modern. Rasio ekspor industri

terhadap total ekspor mencapai 85%–88% dan nilai produk industri hi-tech

mencapai 45% dari PDB.

Visi Vietnam pada 2035 adalah sektor industri Vietnam akan terbangun

dengan didominasi oleh industri spesialis yang berteknologi tinggi dan produknya

memenuhi standar internasional, berpartisipasi secara mendalam di rantai nilai

global, dan berkompetisi secara adil dalam integrasi internasional. Tenaga

kerjanya profesional, disiplin, berproduktivitas tinggi, serta aktif dalam riset,

desain, dan manufaktur. Rasio ekspor industri terhadap total ekspor mencapai

90% dan nilai produk industri hi–tech mencapai 50% dari PDB.

Kebijakan Doi Moi yang diambil oleh Vietnam memberikan citra positif bagi

Vietnam dalam hubungan perdagangan internasional. Pada tahun 1994 Amerika

Serikat mencabut embargonya terhadap Vietnam. Selain itu, pada tahun 2001

terbentuk perjanjian perdagangan bilateral antara Vietnam dan Amerika Serikat.

Vietnam terus membuka diri ke pasar perdagangan internasional dengan

bergabung menjadi anggota WTO pada tahun 2007. Vietnam juga telah menjadi

anggota perjanjian perdagangan negara-negara Asia Pasifik (TPP) pada tahun 2013.

Penetrasi Vietnam ke pasar internasional semakin dalam dengan rencana Vietnam

untuk membentuk free trade agreement antara Eropa dan Vietnam.

Page 98: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

97

Perjanjian-perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh Vietnam dengan

negara-negara lain memberikan banyak keuntungan bagi Vietnam, bukan hanya

meningkatkan daya saing produk Vietnam dengan menurunnya tarif, melainkan

juga meningkatkan daya tarik Vietnam bagi investor asing, khususnya investor-

investor dalam rantai nilai global (GVC). Chaponniere and Cling (2009)

menyatakan bahwa foreign direct investment merupakan kunci keberhasilan dalam

export–led growth strategy Vietnam. Selain itu, Cushman and Wakefield (2015) juga

menyatakan bahwa pada tahun 2014 Vietnam menempati urutan pertama sebagai

negara yang paling cocok untuk berinvestasi dalam sektor manufaktur.

Dalam 25 tahun terakhir industri Vietnam terus bertransformasi. Pada

tahun 1990-1995 pemerintah Vietnam fokus dalam menggenjot pertumbuhan

industri berat, seperti industri semen dan baja untuk memenuhi kebutuhan

domestik dalam pembangunan usai perang. Selain itu, Vietnam juga fokus dalam

membangun industri manufaktur untuk memenuhi kebutuhan domestik,

khususnya industri makanan dan minuman. Vietnam juga mengedepankan

industri-industri yang berbasis pada sumber daya alam, seperti industri

pertambangan dan industri migas. Pada periode tahun 1996 hingga tahun 2000

Vietnam mulai bertransformasi ke industri manufaktur yang berorientasi ekspor,

seperti industri tekstil, apparel, alas kaki, dan kertas. Setelah tahun 2001 Vietnam

mulai fokus dalam menggenjot sektor industri hi-tech.

Untuk menggenjot masuknya foreign direct investment, pemerintah Vietnam

menerapkan beberapa insentif bagi investor, antara lain adalah sebagai berikut.

1. Pajak penghasilan perusahaan yang rendah selama periode waktu tertentu.

2. Pengurangan atau penghapusan pajak penghasilan perusahaan.

3. Pengurangan atau penghapusan pajak impor untuk barang-barang impor

yang berupa aset tetap, bahan mentah, suplai, dan suku cadang.

4. Pengurangan atau penghapusan biaya sewa lahan.

Page 99: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

98

LAMPIRAN

1. Intensive Margin

1. Trade openness

Trade openness mengindikasikan seberapa penting ekspor dan impor

barang dan jasa dalam sebuah perekonomian. Hal tersebut menunjukkan

ketergantungan produsen domestik terhadap permintaan luar negeri serta

konsumen domestik terhadap suplai dari luar negeri. Trade openness

diukur sebagai rasio perdagangan terhadap PDB dengan persamaan sbb.

𝑋!" + 𝑀!"

𝑌!"

Keterangan: 𝑋 merupakan total ekspor, 𝑀 merupakan total impor, dan 𝑌

merupakan PDB; subscript 𝑖 dan 𝑡 masing-masing merepresentasikan

negara dan waktu.

2. Trend in trade growth

Beberapa indikator yang digunakan dalam menganalisis trend in trade

growth, antara lain adalah (i) volume ekspor, (ii) pertumbuhan ekspor, dan

(iii) rasio perdagangan terhadap PDB. Sumber data: WDI.

𝑆ℎ𝑎𝑟𝑒 𝑜𝑓 𝑀𝑒𝑟𝑐ℎ𝑎𝑛𝑑𝑖𝑠𝑒 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒 =𝑀𝑇!"𝐺𝐷𝑃!"

×100

𝐴𝑛𝑛𝑢𝑎𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝑜𝑓 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑥𝑝𝑜𝑟𝑡𝑠 = 100× (𝑋!𝑋!!!

− 1)

Keterangan: 𝑀𝑇 merupakan total merchandise trade dan 𝑋 merupakan total

ekspor; subscript 𝑖 dan 𝑡 masing-masing merepresentasikan negara dan

waktu.

3. Komposisi ekspor, RCA dan integrasi perdagangan

𝐶𝐴𝐺𝑅!"# = 100×𝑥!"#!!𝑥!"#!!

!!!!!!

− 1

Keterangan: 𝑥!"#$ merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke negara 𝑗

pada waktu 𝑡 ; 𝑡! mengindikasikan start year dan 𝑡! mengindikasikan end

year.

Page 100: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

99

Revealed comparative advantage (RCA) mengukur tingkat relative

advantage atau disadvantage pada suatu industri.

𝑅𝐶𝐴!"# =

𝑥!"#𝑋!"

𝑥!"#𝑋!"

Keterangan: 𝑅𝐶𝐴!"# merupakan RCA untuk produk 𝑘 yang diekspor dari

negara 𝑖 ke negara 𝑗; 𝑥!"# merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke

negara 𝑗; 𝑋!" merupakan total ekspor negara 𝑖 ke negara 𝑗; 𝑥!"# merupakan

nilai ekspor dunia (𝑤) ke negara 𝑗 untuk produk 𝑘; dan 𝑋!" merupakan total

ekspor dunia (𝑤) ke negara 𝑗.

Nilai indeks RCA antara 0 dan 1 menunjukkan adanya comparative

disadvantage. Jika indeks RCA > 1, negara 𝑖 memiliki keunggulan dalam

sektor 𝑘.

4. Trade intensity index

Trade intensity index menunjukkan tingkat intensitas ekspor dari

suatu negara ke negara mitra dagangnya. Indeks ini digunakan untuk

melihat apakah sebuah negara mengekspor lebih banyak ke mitra

dagangnya jika dibandingkan dengan ekspor dunia ke negara tsb. Trade

intensity index menggunakan logika yang sama dengan RCA, tetapi untuk

pasar bukan produk.

𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥 = 100×𝑥!"#𝑋!"

𝑥!"#𝑋!"

Keterangan: 𝑥!"# merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke negara 𝑗;

𝑋!" merupakan total ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ; 𝑥!"# merupakan nilai

ekspor produk 𝑘 dari dunia (𝑤) ke negara 𝑗; dan 𝑋!" merupakan total ekspor

dunia (𝑤) untuk produk 𝑘.

Trade intensity index > 100 mengindikasikan hubungan dagang

antara negara 𝑖 dengan 𝑗 yang lebih intensif dibandingkan dengan rata–rata

dunia (𝑤) dengan negara 𝑗.

5. Trade complementarity index

Trade complementarity index digunakan untuk melihat apakah profil

ekspor suatu negara sesuai dengan profil impor mitra dagangnya atau

Page 101: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

100

justru bersifat komplementer. Nilai indeks yang tinggi mengindikasikan

kedua negara mendapatkan keuntungan dari hubungan perdagangannya.

𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒 𝑐𝑜𝑚𝑝𝑙𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑟𝑖𝑡𝑦 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥 = 100× 1 − Σ!𝑚!"𝑀!

−𝑥!"𝑋!

Keterangan: 𝑥!" merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ; 𝑋!

merupakan total ekspor negara 𝑖; 𝑚!" merupakan nilai impor produk 𝑘 dari

negara 𝑗; dan 𝑀! merupakan total impor negara 𝑗.

Trade complementarity index = 100 mengindikasikan mitra dagang

yang ideal; sedangkan trade complementarity index = 0 mengindikasikan

bahwa kedua negara tsb. adalah perfect competitors.

6. Pertumbuhan nilai vs volume

Export value index dan export volume index digunakan untuk melihat

pertumbuhan ekspor yang mungkin dapat disebabkan dari perubahan pada

harga, volume ekspor, ataupun keduanya. Export value index adalah nilai

ekspor (c.i.f) yang dikonversi ke USD dan dinyatakan dalam persentase dari

rata-rata tahun dasar. Export volume index adalah rasio antara export value

index dengan unit value index–nya.

𝐸𝑥𝑝𝑜𝑟𝑡 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥 = 100×𝑋!

𝑋!!!"""

𝐸𝑥𝑝𝑜𝑟𝑡 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥 =𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥!

𝑈𝑛𝑖𝑡 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥!

Keterangan: 𝑋! merupakan nilai ekspor pada waktu 𝑡 dan 𝑋!!!"""

merupakan nilai ekspor pada tahun 2000.

7. Orientasi Pertumbuhan (Produk dan Pasar)

Terdapat dua indikator growth orientation (GO) yaitu GO product dan

GO market, yaitu sbb.

a. GO product mengevaluasi potensi pertumbuhan ekspor dengan

membandingkan CAGR dari produk ekspor utama suatu negara

terhadap pertumbuhan perdagangan dunia untuk produk tersebut.

Negara dengan pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan

dunia berarti negara tersebut mengalami peningkatan pangsa di pasar

dunia. Negara yang ekspor utamanya adalah sektor yang memiliki

pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke

Page 102: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

101

depan. Pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia mengindikasikan

adanya barrier yang menghambat pertumbuhan.

𝐶𝐴𝐺𝑅!"# = 100 ∗𝑥!"#!!𝑥!"#!!

!!!!!!

− 1

Keterangan: 𝑥𝑖𝑗𝑘 merupakan nilai ekspor produk k dari negara 𝑗 ke

negara 𝑖

GO market mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar ekspor suatu

negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar relatif

terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari ROW.

2. Extensive Margin

1. Jumlah Produk dan Pasar

Indikator ini menghitung jumlah mitra dagang dan produk yang

diekspor suatu negara, yang dihitung pada 6-digit HS level. Partner dagang

dihitung apabila telah terjadi ekspor minimal satu barang dengan nilai min

10,000 USD dan jumlah produk dihitung apabila setidaknya dikirim ke

satu negara dengan nilai setidaknya 10,000 USD. Semakin besar jumlah

produk dan pasar, semakin terdiversifikasi ekspor suatu negara. Selama 1

dekade Indonesia mengalami peningkatan moderat dalam jumlah

produknya. Vietnam terlihat berhasil secara signifikan meningkatkan

variasi produknya.

2. Pangsa Ekspor

Pangsa 3 atau 5 barang/tujuan ekspor tertinggi terhadap total ekspor

dihitung dari HS-4 digit level. Semakin kecil persentase semakin kecil

market concentration,dan semakin terdiversifikasi ekspor.

3. Orientasi Pertumbuhan (Produk dan Pasar)

Terdapat dua indikator growth orientation (GO) yaitu GO product dan

GO market yaitu sbb.

a. GO product mengevaluasi potensi pertumbuhan ekspor dengan

membandingkan CAGR dari produk ekspor utama suatu negara

terhadap pertumbuhan perdagangan dunia untuk produk tersebut.

Negara dengan pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan

Page 103: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

102

dunia berarti negara tersebut mengalami peningkatan pangsa di pasar

dunia. Negara yang ekspor utamanya adalah sektor yang memiliki

pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke

depan. Pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia mengindikasikan

adanya barrier yang menghambat pertumbuhan.

𝐶𝐴𝐺𝑅!"# = 100 ∗𝑥!"#!!𝑥!"#!!

!!!!!!

− 1

Keterangan: 𝑥𝑖𝑗𝑘 merupakan nilai eksport produk k dari negara 𝑗 ke

negara 𝑖

b. GO market mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar ekspor suatu

negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar relatif

terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari ROW.

4. Nilai Ekspor (Value of Reach Export)

Pertumbuhan ekonomi umumnya disertai dengan adanya produk

baru. Kemampuan negara untuk memelihara hubungan dagang umumnya

merupakan tanda kematangan ekonomi. Indikator itu menginformasikan

kelahiran, survival, dan kematian produk serta nilai dan jumlah pasarnya.

Tingkat kematian yang tinggi dalam beragam sektor mengindikasikan

volatilitas ekonomi; sementara jika terkonsentrasi di beberapa industri,

diindikasikan terjadi evolusi produksi domestik.

5. Hummels Klenov Product dan Market

Indikator ini mengukur margin intensif dan ekstensif untuk produk

dan pasar. Konsep ini menangkap diversifikasi (seberapa jauh suatu negara

menambah produk dan pasar dalam portofolionya) dan survival (memilah

pertumbuhan ekspor dalam pertumbuhan produk lama di pasar lama

versus lainnya). Dengan menghitung IM dan EM dimungkinkan untuk

disimpulkan hal-hal berikut, yaitu (1) apakah suatu negara big player pada

produk yang diekspornya (IM) dan (2) seberapa penting barang yang

diekspornya ke dunia (EM).

𝐼𝑀! =!!,!!!

!!,!!! 𝐸𝑀! =

!!,!!!

!!,!!!

Keterangan: 𝐾! merupakan set produk yang diekspor negara i ;

𝑋!! merupakan nilai ekspor negara i untuk produk k ke rest of the world;

𝑋!! merupakan nilai ekspor dunia untuk produk k; 𝐼𝑀! menghitung pangsa

Page 104: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

103

negara dalam ekspor produknya; dan 𝐸𝑀! menghitung cakupan ekspornya

terhadap ekspor dunia.

3. Quality Margin

1. Muatan teknologi

Indikator ini mengukur muatan teknologi pada ekspor suatu negara

melalui jenis produk ekspornya. Klasifikasi teknologi menggunakan SITC 3

digit berdasarkan Hatzichronoglou (1997) dan Lall (2000). Produk dibagi

menurut lima klasifikasi, yaitu primary, resource-based, low techonology,

medium technology, serta high technology. Sumber data diperoleh dari World

Bank.

2. Kualitas

Kualitas produk didekati dengan unit values dari tiap-tiap produk

ekspor. Hal itu didasari atas asumsi bahwa saat suplai kompetitif, harga

yang tinggi umumnya terkait dengan kualitas yang diferensiasi produk

yang lebih tinggi. Perbandingan unit value antarnegara dilakukan

berdasarkan SITC 5 digit atau HS 6 digitdengan perhitungan relative quality

sebagai berikut.

𝑅 !"# =𝑢𝑣 !"#𝑢𝑣!"!"

Keterangan: 𝑢𝑣 !"# adalah unit value komoditi i di waktu t pada negara c,

dan 𝑢𝑣!"!" adalah percentile 90 unit value komoditi i di waktu t

dibandingkan peers.

3. Kecanggihan (Sophistication)

Kecanggihan ekspor suatu negara diukur dengan EXPY yang

diperoleh dari tingkat kecanggihan tiap-tiap produk (PRODY). Perhitungan

EXPY menggunakan formula sebagai berikut.

𝐸𝑋𝑃𝑌 ! =𝑥!"𝑋!

𝑃𝑅𝑂𝐷𝑌 !!

PRODY diukur dengan asumsi bahwa suatu produk yang umumnya

diproduksi negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi akan

mempunyai tingkat kecanggihan yang lebih tinggi.

Page 105: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

104

𝑃𝑅𝑂𝐷𝑌 ! =

𝑥!"𝑋!𝑥!"𝑋!!

𝑌!!

Keterangan: 𝑌! merupakan income per capita negara j, 𝑥!" merupakan

ekspor komoditi k negara j, dan 𝑋! merupakan total ekspor negara j.

4. Revealed factor intensity

Revealed factor intensity mengukur tingkat intensitas penggunaan

capital (RPCI) serta intensitas penggunaan human capital (RHCI).

𝑅𝑃𝐶𝐼 ! =

!!"!!!!"!!

!

!!!!! 𝑅𝐻𝐶𝐼! =

!!"!!!!"!!

!𝐻!!

Keterangan: !!!!

merupakan per capita capital stock, 𝐻! merupakan average

years of schooling, 𝑥!" merupakan ekspor komoditi k negara j, dan 𝑋!

merupakan total ekspor negara j.

5. Product space

Konsep product space mengacu pada Hidalgo et. al. (2007). Product

space menjelaskan posisi keunggulan komparatif suatu negara, keterkaitan

antar produk, dan mengindikasikan apakah keunggulan existing dapat

menopang pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pemetaan dilakukan

menggunakan data kategori produk pada SITC 4 digit.

Gambar 49. Product Space per Jenis Produk

Page 106: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

105

Jika product space menunjukkan adanya keunggulan komparatif

pada denser forest, hal tersebut mengindikasikan kesempatan untuk

diversifikasi dan peningkatan teknologi. Oleh karena itu, negara yang

beralih ke denser forest akan mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih

tinggi.

4. Sustainability Margin

a. Export Duration

Indikator ini menunjukkan jumlah hubungan antara produk baru-

partner dagang dengan nilai perdagangan setidaknya USD 10.000 pada

tahun awal dan jumlah serta prosentase hubungan tersebut yang bertahan

sampai dengan tahun akhir yang ditentukan. Indikator durasi ekspor

dihitung berdasarkan grup standar produk pada HS kode 2002.

𝒔𝒉𝒂𝒓𝒆𝒊𝒕 =𝒏𝒊𝒋𝒕

𝒏𝒊𝒋𝒕𝒔𝒕𝒂𝒓𝒕*100

Keterangan: n merupakan jumlah produk yang diekspor dari negara i ke

partner dagang j pada tahun t; tstart merupakan tahun awal yang

ditentukan

b. Decomposition of Export Growth Along Trade Margins

Pertumbuhan ekspor dapat dibagi menjadi perluasan arus

perdagangan saat ini (intensive margin) dan penambahan produk baru dan

pasar (extensive margin). Indikator tersebut mengelompokkan semua

pertumbuhan dan kontraksi dari suatu produk ke salah satu dari tujuh

kategori intensive dan extensive margin. Perincian kategorikal tersebut

digambarkan dengan menggunakan diagram batang vertikal. Tiap kategori

dicantumkan pada axis horisontal, sedangkan porsi kategori tersebut pada

total pertumbuhan ekspor dicantumkan pada axis vertikal. Nilai porsi

tersebut bisa positif atau negatif tergantung pada apakah produk yang

diekspor di grup tersebut tumbuh atau kontraksi. Indikator ini dihitung

berdasarkan grup standar produk pada HS kode 2002.

𝒔𝒉𝒂𝒓𝒆𝒃𝒊𝒏 = 𝟏𝟎𝟎 ∗𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝑿𝒊𝒋𝒕𝒌𝝐𝜴𝒃𝒊𝒏

∀ 𝒃𝒊𝒏 𝝐 {𝟏… 𝟕}

X merupakan total nilai dari seluruh ekspor dari pelapor i ke partner

j, dan x merupakan nilai ekspor produk k pada tahun t. Tahun awal dan

Page 107: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

106

akhir dinyatakan sbg 𝑡! dan 𝑡!. 𝜴𝒃𝒊𝒏 mewakili group produk dengan

keseluruhan produk dibagi menjadi 7 kelompok pada intensive dan

extensive margin. Produk dikelompokkan berdasarkan karakteristik sebagai

berikut.

𝑩𝒊𝒏 𝟏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕 > 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡 = 𝒕𝟏, 𝒕𝟐 𝒅𝒂𝒏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 − 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 > 0

𝑩𝒊𝒏 𝟐 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕 > 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡 = 𝒕𝟏, 𝒕𝟐 𝒅𝒂𝒏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 − 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏< 0

𝑩𝒊𝒏 𝟑 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 > 0 dan 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 = 𝟎

𝑩𝒊𝒏 𝟒 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 = 𝟎, 𝑿𝒊𝒋𝒕𝟏 = 𝟎, 𝒅𝒂𝒏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 > 0𝒋

𝑩𝒊𝒏 𝟓 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 = 𝟎, 𝑿𝒊𝒋𝒕𝟏 > 0, 𝑑𝑎𝑛 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 > 0𝒋

𝑩𝒊𝒏 𝟔 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 > 0, 𝑿𝒊𝒋𝒕𝟏 = 𝟎, 𝒅𝒂𝒏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 > 0𝒋

𝑩𝒊𝒏 𝟕 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 > 0, 𝑿𝒊𝒋𝒕𝟏 > 0, 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 = 𝟎, 𝒅𝒂𝒏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 > 0𝒋

Intensive Margin

(1) Increase of existing products in established markets,

(2) Decrease of existing products in established markets,

(3) Extinction of exports of products in established markets,

Extensive Margin

(4) Introduction of new products in new markets,

(5) Introduction of new products in established markets,

(6) Introduction of existing products in new markets,

(7) Product diversification in established markets.

c. Export Suspension and Factor Endowments

Indikator ini mengindentifikasi arus perdagangan yang bernilai

minimal USD 10.000 yang menghilang sejak tahun awal terpilih dan

membandingkan faktor intensitas produk tersebut dengan faktor

pendukung (endowments) negara terpilih. Faktor intensitas diukur sebagai

rata–rata tertimbang dari faktor pendukung (endowments) seluruh negara

pengekspor suatu produk. Dengan demikian, invers dari euclidean distance

antara faktor pendukung dan faktor intensitas suatu produk dijadikan

suatu ukuran keunggulan komparatif.

Indikator ini digunakan untuk menjelaskan mengapa ekspor suatu

negara tidak dapat dipertahankan. Salah satu area yang dapat diinvestigasi

Page 108: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

107

adalah apakah ekspor yang mati mewakili usaha untuk memproduksi

barang yang memerlukan berbagai variasi faktor pendukung dari yang

didukung oleh ekonomi.

𝒔𝒉𝒂𝒓𝒆𝒊 = 𝒙𝒊𝒋𝒌𝑿𝒊𝒋

∗ 𝟏𝟎𝟎

Keterangan: X merupakan total nilai seluruh ekspor dari pelapor ekspor i

ke mitra dagang j dan x merupakan nilai ekspor dari produk k

Tabel 12. Target Grup FGD

Target Grup No. Rincian

Pelaku usaha 1 APINDO

2 HIPMI Jaya

3 Asosiasi Pertekstilan Indonesia

4 Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia

5 Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman

6 American Chamber

7 Adis Dimension Footwear (Sepatu)

8 Pan Brothers (Garment)

9 Anabatic (IT)

10 Matari Advertising

11 Baba Rafi (UMKM Makanan)

12 Perbankan (Mandiri, OCBC NISP, DBS)

13 PT. Berlian Laju Tanker

14 Bank Ekspor Impor Indonesia

15 PT. Bukit Muria Jaya

16 WIKA (liaison)

Pemerintah 1 Kementerian Perdagangan

2 Kementerian Perekonomian

3 Kementerian Perindustrian

4 BKPM

5 Bappenas

Lembaga Peneliti 1 CSIS

Lembaga Internasional 1 IMF

2 AIPEG

Page 109: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

108

Sumber: WITS World Bank, diolah

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 50. Jumlah Produk dan Pasar

Gambar 51. Pangsa Ekspor ke Negara Maju (2013)

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 52. Jangkauan Ekspor Tiongkok 2010–2013

Page 110: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

109

Indonesia Malaysia

Thailand Vietnam

Filipina Tiongkok

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 53. Dekomposisi Pertumbuhan Ekspor tahun 2003–2013

0 0 0.96 0 -0.53 -9.15

108.73

0.96

99.05

-10

10

30

50

70

90

110

-10

10

30

50

70

90

110

Creatio

nofoldprodu

cts

inoldm

arkets

Introd

uctio

nofold

prod

uctsinnew

markets

Increaseofn

ewprodu

cts

inoldm

arkets

Increaseofn

ewprodu

cts

innew

markets

Extin

ctionofexportsof

oldprod

uctsinold

markets

Fallofoldprodu

ctsinold

markets

Increaseofo

ldprodu

cts

inoldm

arkets

0 0 0.17 0 -0.3-20.01

120.14

0.17

99.83

-30-101030507090110130

-30-101030507090

110130

Creatio

nofoldprodu

cts

inoldm

arkets

Introd

uctio

nofold

prod

uctsinnew

markets

Increaseofn

ewprodu

cts

inoldm

arkets

Increaseofn

ewprodu

cts

innew

markets

Extin

ctionofexportsof

oldprod

uctsinold

markets

Fallofoldprodu

ctsinold

markets

Increaseofo

ldprodu

cts

inoldm

arkets

IntensiveMargin

0.01 0 1.01 0 -0.64 -9.48

109.1

1.02

98.98

-10

10

30

50

70

90

110

-10

10

30

50

70

90

110

Creatio

nofoldprodu

cts

inoldm

arkets

Introd

uctio

nofold

prod

uctsinnew

markets

Increaseofn

ewprodu

cts

inoldm

arkets

Increaseofn

ewprodu

cts

innew

markets

Extin

ctionofexportsof

oldprod

uctsinold

markets

Fallofoldprodu

ctsinold

markets

Increaseofo

ldprodu

cts

inoldm

arkets

IntensiveMargin

ExtensiveMargin

0 0 2.73 0 -0.09 -0.47

97.83

2.73

97.27

-10

10

30

50

70

90

-10

10

30

50

70

90

Creatio

nofoldprodu

cts

inoldm

arkets

Introd

uctio

nofold

prod

uctsinnew

markets

Increaseofn

ewprodu

cts

inoldm

arkets

Increaseofn

ewprodu

cts

innew

markets

Extin

ctionofexportsof

oldprod

uctsinold

markets

Fallofoldprodu

ctsinold

markets

Increaseofo

ldprodu

cts

inoldm

arkets

IntensiveMargin

ExtensiveMargin

0.02 0 5.21 0 -12.87 -69.04

176.67

5.23

94.76

-70

-20

30

80

130

180

-70

-20

30

80

130

180

Creatio

nofoldprodu

cts

inoldm

arkets

Introd

uctio

nofold

prod

uctsinnew

markets

Increaseofn

ewprodu

cts

inoldm

arkets

Increaseofn

ewprodu

cts

innew

markets

Extin

ctionofexportsof

oldprod

uctsinold

markets

Fallofoldprodu

ctsinold

markets

Increaseofo

ldprodu

cts

inoldm

arkets

IntensiveMargin

ExtensiveMargin

0 0 0.01 0 -0.08 -4.97

105.04

0.01

99.99

-10

10

30

50

70

90

110

-10

10

30

50

70

90

110

Creatio

nofoldprodu

cts

inoldm

arkets

Introd

uctio

nofold

prod

uctsinnew

markets

Increaseofn

ewprodu

cts

inoldm

arkets

Increaseofn

ewprodu

cts

innew

markets

Extin

ctionofexportsof

oldprod

uctsinold

markets

Fallofoldprodu

ctsinold

markets

Increaseofo

ldprodu

cts

inoldm

arkets

IntensiveMargin

ExtensiveMargin

Page 111: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

110

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 54. Export Relative to Endowment – Malaysia 2013

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 55. Export Relative to Endowment – Philippines 2013

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 56. Export Relative to Endowment – Vietnam 2013

Page 112: analisis daya saing dan strategi industri nasional di era masyarakat

111

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 57. Export Relative to Endowment – Tiongkok 2013