anak uar nikah
DESCRIPTION
DERTRANSCRIPT
1.0 PENDAHULUAN
Ilmu Usul adalah satu ilmu yang wujud sejak dari zaman Rasulullah s.a.w. lagi.
Seperti juga ilmu-ilmu Islam yang lain, ia hanya dikumpulkan menjadi satu ilmu yang
tersendiri dan lebih sistematik oleh para ulama‘ di zaman-zaman terkemudian. Sekiranya
ada suara yang mengatakan ilmu Usul al-Fiqh atau ilmu Usul al-Tafsir atau ilmu Mustalah al-
Hadith adalah ilmu-ilmu yang baru dan tidak terdapat dalam agama Islam, kita menjawab
dengan mengatakan “Ini satu kenyataan yang betul dan salah.” Penjelasannya adalah
seperti berikut:
Betul dari sudut ilmu ini tidak wujud dalam bentuk yang tersendiri dan terasing dari
ilmu-ilmu Islam yang lain pada zaman Rasulullah s.a.w.. Perlu diketahui bahawa pada
peringkat awal kedatangan Islam, semua ilmu-ilmu Islam wujud dalam amalan-amalan
Rasulullah s.a.w. dalam bentuk yang serasi dan saling kuat-menguatkan. Di samping itu,
pengasingan satu ilmu dari ilmu yang lain tidak diperlukan memandangkan kewujudan
Rasulullah s.a.w. yang senang dirujuk pada bila-bila masa. Pun begitu, kita juga mendapati
Rasulullah s.a.w. telah memberikan gambaran terhadap pengasingan ilmu-ilmu Islam demi
pemantapannya dalam sebuah hadith yang menjelaskan tentang kemahiran para sahabat
dalam disiplin-disiplin ilmu tertentu iaitu hadith berikut:
حياء وأصدقهم عمر الله أمر في وأشدهم بكر أبو بأمتى أمتى أرحمثابت بن زيد وأفرضهم كعب بن أبي الله لكتاب وأقرؤهم عثماناألمة هذة وأمين أمين امة ولكل جبل بن معاذ والحرام بالحالل وأعلمهم
الجراح بن عبيدة .أبوMaksudnya: Di kalangan umatku; orang yang paling merahmati umatku ialah Abu Bakr.
Orang yang paling tegas dalam pelaksanaan agama Allah ialah Umar. Orang yang paling
pemalu ialah Uthman. Orang yang paling mahir dalam bacaan al-Qur'an ialah Ubayy bin
Ka'b. Orang yang paling mahir dalam pembahagian pusaka ialah Zaid bin Thabit. Orang
yang paling mahir tentang halal dan haram ialah Muaz bin Jabal. Setiap umat mempunyai
pemegang amanah, dan pemegangn amanah umatku ialah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.
Salah jika kenyataan ini diertikan bahawa: ilmu ini bercanggahan dengan ajaran
agama Islam. Sebenarnya ilmu ini tidak bercanggahan dengan ajaran agama Islam,
sebaliknya ilmu ini merupakan khulasah atau intipati atau formula asli ajaran agama Islam.
Sesiapa sahaja yang meneliti ilmu ini akan mendapatinya seratus peratus berlandaskan
sumber-sumber Islam yang asasi iaitu al-Quran dan al-Sunnah.
1
Menurut Muhammad Sulayman Abdullah (2001) secara umumnya, cendekiawan
pertama yang mengarang ilmu Usul al-Fiqh ialah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‘i di
dalam kitabnya yang masyhur iaitu al-Risalah yang merupakan pembuka bagi kitabnya al-
Umm. Selepas beliau, para ulama‘ Islam tidak jemu-jemu meneruskan usaha murni
memakmurkan lagi ilmu ini dengan pelbagai bentuk penulisan dan huraian. Sehingga
kinipun usaha ini masih berterusan. Dalam konteks Malaysia pula, dirasakan amat penting
dan amat digalakkan jika ada mana-mana institusi atau individu-individu yang dapat
mengarang satu kitab menyeluruh berkenaan ilmu ini besesuaian dengan kefahaman dan
keadaan semasa di iklim ini. Semoga Allah Ta‘ala menggerakkan dan memimpin mereka ke
arah kecemerlangan.
2
2.0 STATUS NASAB ANAK DALAM HUKUM ISLAM
2.1 Pengertian Nasab
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak
memiliki arti yang berbeza-beza bagi setiap orang. Menurut Mohd. Said Ishak (2000)
menyatakan bahawa, anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa
depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia
dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol
status sosail orang tua. Menurut Yusuf al-Qadhawi (2013) dalam bukunya ‘The lawful and
the prohibited in islam’ menyatakan bahawa anak merupakan pemegang keistimewaan
orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua
telah meninggal, Anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. anak mewarisi
tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya termasuk ciri khas baik maupun buruk, tinggi,
maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.
Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT
mensyari’atkan adanya perkawinan. Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain
untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari
penyakit dan menciptakan keluarga yang sakinah. (Wahbah al- Zuhailiy, 2005)
Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya:“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepdanya, dan
dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S. al-Rum ayat 21) Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Definisi yang dijelaskan oleh Dr Muhammad Bakir Hj. Yaakub (2004) menjelaskan
kata nasab yang terambil dari kata nasaba (Bahasa Arab) diartikan hubungan pertalian
keluarga Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Sedangkan dalam kamus
bahasa Indonesia kata nasab yang diambil dari bahasa arab tidak mengalami pergeseran
3
arti yang signifikan. Nasab diartikan dengan Keturunan (terutama pihak Bapak) atau
Pertalian keluarga. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili ( 1998), nasab didefinisikan
sebagai suatu sandaran yang kukuh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan
berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang
lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian
dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang
yang satu pertalian darah.
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah (1996), dari pengertian bahasa dapat
dipahami bahwa nasab itu berarti hubungan darah yang terjadi antara satu orang dengan
yang lain baik jauh maupun dekat. Namun, jika membaca literatur hukum Islam, maka kata
nasab itu akan menunjuk pada hubungan keluarga yang sangat dekat, yaitu hubungan anak
dengan orang tua terutama orang tua laki-laki.
Nasab dalam doktrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dapat
dilihat dalam sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang
bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi,
mendapatkan keteguran dari Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang
berbunyi:
Artinya: “Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu,
dan dia tidak sebagai anak-anak kandungmua (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan
jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama
dan maulamaulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha
pengampun lagi maha penyayang”.(Q.S. al-Ahzab ayat 4-5) Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan Terjemahnya
4
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung, Dan
kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan
kepada bapak angkatnya.
Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa nasab adalah pertalian kekeluargaan
berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah. Nasab adalah hubungan
antara orang yang satu dengan orang tua atau leluhurnya ke atas. J. Satrio, Hukum
Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undan Nasab atau keturunan yang
artinya pertalian atau perhubungan merupakan indikasi yang dapat menentukan asal-usul
seorang manusia dalam pertalian darahnya. Disyariatkannya pernikahan adalah untuk
menentukan keturunan menurut Islam agar anak yang lahir dengan jalan pernikahan yang
sah memiliki status yang jelas. Artinya anak itu sah mempunyai bapak dan mempunyai ibu.
Akan tetapi, kalau anak itu lahir di luar pernikahan yang sah, maka anak itu statusnya
menjadi tidak jelas hanya mempunyai ibu, tetapi tidak mempunyai bapak secara hukum.
Slamet Abidin
2.2 Konsep Nasab dalam Perspektif Fiqih
Penetapan nasab anak dalam perspektif Islam memiliki arti yang sangat penting, karena
dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan nasab antara anak dengan ayahnya.
Disamping itu, penetapan nasab itu merupakan hak pertama seorang anak ketika sudah
terlahir ke dunia yang harus dipenuhi. Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syahsiyah
dalam Fiqih, seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya
jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang terlahir di luar perkawinan yang
sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah. Biasa disebut dengan anak zina atau anak
di luar perkawinan yang sah.16 Untuk mengenalpasti status anak yang sah, ada empat
syarat yang harus dipenuhi, antara lain iaitu:
a. Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk
hamil. Ini adalah syarat yang disetujui oleh kebanyakkan Ulama’ kecuali Imam Hanafi.
Menurutnya, meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir
dari seorang isteri yang dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah
b. Tempoh waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkahwinan sedikitnya enam bulan sejak
perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam sebagai masa
terpendek dari suatu kehamilan. Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata
5
Islam di Indonesia Dalam hal ini, Seluruh mazhab Fiqih, baik Sunni maupun syiah, sepakat
bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan Sebab sekurang-kurangnya wanita
hamil adalah selama enam bulan.18 Wahbah Al-Zuhali Al fikih Al- Islami Wa Adillatuhu Allah
SWT. Berfirman dalam (Q.S. al-Ahqaf:15)
Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah
payah (pula). Mengandungnya sampai menyusunya adalah tiga puluh bulan. (Q.S. Al-
Ahqaf:15) Departmen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa masa mengandung sampai menyusunya anak
adalah selama tiga puluh bulan. Ini menujukkan bahwa masa hamil paling sedikit adalah
enam bulan, karena dalam ayat lain disebutkan bahwa menyusu anak itu ketika ia berumur
dua Tahun (dua puluh empat bulan). Allah SWT. Berfirman dalam Q.S. Luqman ayat 14
Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu
bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah,
dan menyusunya dalam dua Tahun.(Q.S. Luqman:14) Departmen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya
Jika diambil waktu dua Tahun (selambat-lambatnya waktu menyusu) dari waktu tiga
puluh bulan, maka yang tersisa adalah enam bulan, dan itulah masa minimal kehamilan.
Ilmu kedokteran modern menguatkan pendapat ini, dan para ahli hukum Perancis pun
menggunakanl pendapat ini.
c. Anak yang lahir terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan. Tentang
hal ini masih dipersilihkan oleh para pakar hokum Islam. Madzhab Hanafi berpendapat
bahwa batas maksimum kehamilan adalah dua Tahun, berdasarkan ungkapan A’isyah RA.
yang menyatakan bahwa, kehamilan seorang wanita tidak akan melebihi dua Tahun.
Wahbah Al Zuhaili (2007) dalam kitabnya Al fikih Al- Islami Wa Adillatuhu menyatakan
bahawa Madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa masa kehamilan adalah empat
Tahun. Para ulama madzhab ini menyandarkan pada riwayat yang menyatakan bahwa isteri
suku Ajlan mengalami kehamilan selama empat Tahun. Anehnya, isteri anakanya,
6
Muhammad, juga hamil selama empat Tahun, bahkan semua wanita suku Ajlan hamil
selama empat Tahun
Pendapat yang dilontarkan oleh ketiga madzhab tersebut berbeza dengan pendapat
madzhab Maliki. Menurutnya, batas maksimum kehamilan adalah lima Tahun. Pendapat ini
didukung oleh Al-laith bin Said dan Ibad bin Al Awwam. Bahkan menurut cerita Malik, suatu
ketika ada seorang wanita hamil yang datang kepadanya sambil mengatakan bahwa masa
kehamilannya mencapai 7 Tahu
d. Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki-laki ragu-
ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masa kehamilan atas batas maksimum
kehamilan terlampaui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung
oleh isterinya dengan cara li’an.
3.0 HUKUM MENASABKAN ANAK TIDAk SAH TARAF
3.1 Menasabkan Anak Kepada Suami Ibu Sekalipun Perkahwinan Kurang Daripada
Enam Bulan
Berpandukan bacaan saya hasil tulisan Suzana Ghazali (2009) melaporkan bahawa
Jawatankuasa Syariah Negeri Perlis yang dipengerusikan oleh Mufti Perlis Dr. Mohd Asri bin
7
Zainul Abidin yang bermesyuarat pada September 2008 telah memutuskan mengenai nasab
anak yang tempoh perkahwinan ibubapanya kurang daripada enam bulan seperti berikut:
“Anak yang lahir kurang daripada 6 bulan ibunya berkahwin, boleh dibinkan kepada suami
ibunya, kecuali jika dinafikan oleh si suami”.
Keputusan ini telah disahkan oleh Mesyuarat Majlis Agama Islam Dan Adat Istiadat Melayu
Perlis yang dipengerusikan oleh DYTM Raja Muda Perlis Tuanku Syed Faizuddin Putra Ibn
DYMM Tuanku Syed Sirajudin Jamalullail pada 4 November 2008.
3.2 Maksud Fatwa
Seorang wanita yang berkahwin dan melahirkan anak sekalipun tempoh perkahwinannya
kurang kurang daripada tempoh 6 bulan tetap boleh menasabkan (membinkan) anak yang
dilahirkan kepada suaminya dengan syarat si suami tidak membantahnya.
3.3 Senario
Di Malaysia, pihak pendaftaran enggan mendaftarkan anak orang Islam secara di
‘bin’ kan kepada bapanya jika tempoh perkahwinan mereka kurang daripada enam bulan.
Dalam ertikata lain anak tersebut dianggap ‘anak luar nikah’.
Hasil daripada peraturan ini maka ramai anak yang tidak dibinkan kepada bapa
mereka. Lebih menyedihkan apabila anak tersebut mendapati hanya dia yang tidak
berbinkan bapanya sedangkan adik-beradiknya yang lain berbinkan bapanya. Ini merupakan
satu tekanan kepadanya yang tidak berdosa dalam perkara tersebut.
Pihak ibubapa pula, amat sukar untuk menerangkan masalah tersebut kepada anak
berkenaan kerana itu akan membuka ‘aib yang telah cuba ditutup. Di samping boleh
menghilangkan rasa hormat anak kepada ibubapa yang telah insaf dan sedang membina
dan mendidik keluarga. Atas keadaan tersebut maka, isu ini dibincangkan dalam Fatwa
Negeri Perlis. Setelah meneliti dalil-dalil syarak dan alasan-alasan para sarjana yang
berbagai, maka keputusan tersebut dibuat.
3.4 Antara Asas Alasan
8
Dalil yang dijadikan asas perbincangan dalam kes ini adalah sabda Nabi s.a.w.
“Anak itu (nasabnya) kepada suami menyetubuhinya” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini disebutkan oleh Nabi s.a.w apabila berlaku perebutan nasab anak pada
zaman baginda antara antara Sa’d bin Abi Waqqas dengan ‘Abd bin Zam’ah. Sa’d membuat
tuntutan dengan mendakwa bahawa saudaranya ‘Utbah bin Abi Waqqas memberitahu
bahawa anak Zam’ah yang masih budak ketika itu sebenarnya adalah anaknya. Namun
‘Abd bin Zam’ah membantah dengan menyatakan itu ialah anak ayahnya Zam’ah yang
mengahwini ibu anak berkenaan. Sa’d mengukuhkan dakwaannya dengan menyatakan
anak berkenaan begitu jelas menyerupai saudaranya ‘Utbah. Apabila kes ingin diangkat
kepada Nabi s.a.w, baginda mendapati ternyata anak berkenaan jelas menyerupai ‘Utbah
bin Abi Waqqas, saudara Sa’d. Namun baginda memutuskan anak itu ialah anak Zam’ah
dengan bersabda:
“Anak itu (nasabnya) kepada suami yang menyetubuhinya, sementara bagi perzinaan itu
hanya kekecewaan (tiada hak yang dituntut) ”.
Daripada hadis ini dapat disimpulkan bahawa Rasulullah s.a.w memberikan hak
nasab kepada suami si isteri sekalipun anak itu ada kemungkinan anak zina. Juga hadis ini
menunjukkan penyelesaian Nabi s.a.w yang tidak ingin membongkar keburukan yang lepas.
Jika baginda memutuskan kes seperti itu mesti diselidiki maka sudah pasti berbagai
keburukan peribadi akan terdedah dan menyebabkan keruntuhan kepada keluarga. Selagi
mana si suami sendiri menerima anak itu adalah anaknya, maka tiada alasan untuk mereka
yang tidak berkahwin secara sah dengan si ibu membuat tuntutan.
Bahkan di kalangan sarjana Islam ada yang berpegang bahawa anak zina boleh
dinasabkan kepada bapa zinanya sekalipun jika wanita berkenaan tidak berkahwin dengan
lelaki yang berzina dengannya. Namun syaratnya mestilah wanita tersebut juga tidak
berkahwin dengan lelaki lain seperti dalam kes hadis di atas.
Kata Dr Yusuf al-Qaradawi: “Lelaki dan wanita yang berzina jika bertaubat kepada
Allah dan ingin keluar dari yang haram kepada yang halal, dari kehidupan yang dicemari
kepada kehidupan yang bersih, berubah kehidupan mereka dari zina yang haram kepada
persetubuhan yang halal, maka perkahwinan mereka sah dengan ijmak (sepakat tanpa
kecuali seluruh para mujtahid)…beberapa tokoh fiqh salaf; ‘Urwah bin al-Zubair, al-Hasan al-
Basri, Ishaq bin Rahuyah dan selain mereka berpendapat harus dinasabkan anak zina
9
kepada bapa zinanya jika wanita berkenaan tidak pernah berkahwin (selepas itu). Pendapat
ini disokong oleh Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah dan muridnya Ibn al-Qayyim”.
4.0 KAEDAH MENENTUKAN HUKUM NASAB ANAK ZINA
Telah berlaku masalah dalam masyarakat Malaysia berkenaan nasab anak zina
sama ada boleh dinasabkan kepada penzina yang telah berkahwin dengan ibunya dan
bolehkah lelaki itu menjadi wali perkahwinan kepada anknya dari zina. Penelitian
10
mengemukakan pendapat berkenaan masalah ini sesuai dengan kehendak Al-Quran dan
AsSunnah.Dasar Pendalilan
4.1 Hukum dalam masalah ini :
Hadis yang menjadi asas kepada perbincangan nasab anak zina adalah :
Maksudnya : “Daripada Aishah RA katanya : ‘Utbah (Utbah Bin Abi Waqqash) berpesan
kepada sudaranya Saad (Saad Bin Abi Waqqash RA) : “Anak lelaki Zam’ah dengan
sahayanya adalah anakku maka engkau ambillah dia”. Pada 2 tahun pembukaan Makkah,
Saad mengambil budak tersebut dan berkata : “Dia ini anak saudaraku, dia berpesan
supaya aku menjaganya (budak tersebut itu iaitulah Abdul Rahman Bin Zam’ah) “.
Kemudian berkata pula Abdun Bin Zam’ah RA : “Dia ini (Abdul Rahman) adalah saudaraku,
anak sahaya bapaku, dilahirkan, dilahirkan atas hamparannya”. Maka, Nabi SAW kemudian
memutuskan hukum dengan sabda baginda : “Sesungguhnya Dia ini adalah bagi kamu
wahai Abdun Bin Zam’ah kerana anak itu milik hamparan (wanita) dan bagi penzina adalah
batu (tidak mendapat apa-apa hak)” kemudian baginda bersabda pula kepada Saudah Binti
Zam’ah RA (isteri baginda) : “Berhijablah kamu di hadapan dia (Abdul Rahman) dengan
‘Utbah, maka Saudah tidak pernah berjumpa dengannya sehingga dia wafat. ” (Al-Bukhari,
Muslim, Abu Daud, An-Nasai , AtTarmizi)
Begitu juga sebuah hadis lagi:
11
Maksudnya: “Daripada Shuaib daripada datuknya Abdullah Bin Amru RA bahawa Rasulullah
SAW bersabda : “Setiap anak yang didapati setelah kematian ayahnya, yang anak itu
dinasabkan kepadanya, maka ahli warisnya hendaklah menasabkan anak tersebut kepada
ayahnya”. Maka, Nabi SAW memutuskan:
1. Setiap anak yang dilahirkan oleh sahaya yang dimiliki tuannya semasa hayat
tuannya dan disetubuhi maka anak itu dinasabkan pada tuannya dan anak itu tidak
mendapat harta warisan yang telah dibahagikan sebelum dia (anak) ditemui, maka dia
mendapat bahagiannya tetapi jika bapa yang hendak dinasabkan anak kepadanya ingkar
(bahawa budak itu anaknya), maka, dia tidak dinasabkan. Jika seorang anak dilahirkan oleh
seorang sahaya yang belum dimiliki tuannya atau dilahirkan oleh seorang wanita merdeka
hasil perzinaan keduanya, maka anak itu tidak boleh dinasabkan padanya (bapa) dan tidak
boleh mendapat pusaka. Jika bapanya mengakui bahawa anak itu anaknya, maka
anak itu adalah anak zina yang mewarisi harta sebelah ibunya sama ada
darpada wanita sahaya atau merdeka”( Abu Daud & Ahmad dengan sanad Hasan menurut
Al-Albani dan Al-Arnauth, didhaifkan oleh Ibn Al-Qayyim AlJawziyyah)
Kedua-dua hadis ini memiliki sabab wurud yang semakna iaitu menceritakan
masalah nasab anak yang diragukan siapakah bapanya kerana di zaman
Jahilliyah, sahaya-sahaya itu dilacurkan oleh tuannya lalu berlaku pertikaian nasab anak
yang dilahirkan.
4.2 Komentar Ulama’ dalam masalah Nasab Anak Zina :
Dalam menjelaskan pandangan ulama’ berkenaan masalah ini dapat disimpulkan seperti
berikut :
12
Seseorang mendakwa bahawa seorang budak adalah anak zina sedangkan wanita itu
mempunyai suami dan kelahiran budak itu dalam tempoh yang memungkinkan hamil
semenjak berlakunya persetubuhan. Dalam kes seperti ini ulama’ bersepakat bahawa anak
itu dinasabkan kepada bapa asal (suami kepada ibu budak tersebut). Ini berdasarkan hadis
yang kita sebutkan di atas apabila Utbah menuntut Abdul Rahman Bin Zam’ah, oleh kerana
Abdul Rahman Bin Zam’ah lahir ketika ibunya menjadi sahaya kepada Zam’ah dinasabkan
Abdul Rahman kepada Zam’ah bukan Utbah.
2. Wanita yang tidak bersuami kemudian melahirkan anak yang nyata anak itu anak zina.
Dalam kes ini, jumhur ulama’ menetapkan juga bahawa anak itu tidak dinasabkan kepada
bapanya dari zina bahkan dinasabkan kepada ibu.(Kementerian Waqf Kuwait, Al-Mausuah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaityyah, 40/237).
Mereka berhujjah dengan sabda Nabi SAW :
Maksudnya : “Anak itu untuk hamparan (isteri) dan bagi penzina adalah batu (tidak
mendapat hal nasab)”
Berkata As-Syeikh Wahbah Az-Zuhaili Hafizahullah ( 2007) :
Maksudnya: “Dan nasab anak itu tsabit bagi ibunya dalam semua keadaan sama ada
dilahirkan secara syar’i atau tidak syar’i, adapun nasab anak kepada bapa, tidak tersabit
kecuali dengan jalan perkahwinan yang sahih atau fasid, wati syubhat atau iqrar dan Islam
telah membatalkan amalan jahiliyyah yang menasabakan anak (kepada bapa) melalui zina”
(Az-Zuhaili, Dr. Wahbah, AlFiqahul Islami Wa Adillatuh, 10/3)
Tetapi, para ulama’ menetapkan juga bahawa anak zina itu mahram kepada ayahnya dari
zina sebagaimana disebut dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (45/221)
13
Maksudnya: “Telah sepakat para fuqaha’ bahawa anak zina itu mahram kepada lelaki yang
berzina dengan ibunya dan jumhur mereka juga berpendapat diharamkan juga anak zina
kepada usul seperti datuk, dan bapa) kepada penzina dan furuknya (seperti anak dan cucu
penzina) kerana sebahagian darinya (penzina)...”
Tetapi, mereka menetapkan penzina tidak mewarisi harta anak zinanya dan
sebaliknya (Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwai5yyah, 3/70 & 45/223). Mazhab Syafi’e
menetapkan anak zina bukan mahram kepada bapanya dari zina dan bapanya itu boleh
berkahwin dengan anak perempuannya dari hasil zina. Berkata An Nawawi RH (w646H) :
Maksudnya: “Seorang lelaki berzina dengan seorang wanita lalu wanita itu melahirkan
seorang anak perempuan (hasil perzinaan mereka) maka harus bagi penzina itu bernikah
dengan anak perempuan tersebut tetapi makruh dikatakan (satu wajah dalam mazhab) jika
dia yakin anak perempuan itu hasil air maninya haram bernikah dan terdapat pendapat
mengatakan haram secara mutlak (sama seperti jumhur) adapun yang sahih (pada mazhab)
adalah halal secaramutlak” (An-Nawawi, Abu Zakaria, Muhyiddin, Raudhah At-Tolibin wa
Umdah Al-Muftin, 2/483)
Namun, terdapat sebahagian ulama’ salaf yang lain berpendapat bahawa anak zina
itu adalah anak yang haqiqi kepada bapanya dari zina maka, menurut golongan ini, anak itu
dinasabkan kepada penzina dan mewarisi hartana dan sebaliknya.
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Sirin RH (w110H), Al-Hasan Al-Basri RH
(w110), Al-Fiqhiyyah Al-Kuwai5yyah, 45/222) dan disokong oleh Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah RH (w728H) dan muridnya Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah RH (w751H).
Disebutkan dalam Al-Furuk oleh Ibnu Muflih RH (w763H) :
14
Maksudnya: “Dan memilih Syeikh kami bahawa jika seorang lelaki menuntut nasab anaknya
dari zina dan wanita itu bukan firash dinasabkan padanya. Adapun yang dinaskan daripada
Imam Ahmad tidak dinasabkan. Dalam Kitab Al-Intisar dinyatakan : Masalah berkahwin
dengan wanita zina adalah masalah ijtihad, kemudian dinyatakan : Ibnu Al-Labban
menyebut dalam Al-Ijaz bahawa ini (menasabkan anak zina kepada penzina) adalah
mazhab Al-hasan Al-Basri, Ibnu Sirin, Urwah, An-Nakha’i dan Ishaq dan demikian lagi
disebut dalam Uyun Al-Masail tetapi tidak dinyatakan bahawa ini pendapat Ibnu Al-Labban”
(AlHanbali, Ibnu Muflih, Al-Furuk, 10/251)
Dalil pihak ini adalah berdasarkan beberapa atsar :
4.2.1 Kisah Juraij RH seorang ahli Ibadat di zaman dahulu :
Maksudnya: “Daripada Abu Hurairah RA katanya : Bersabda Rasulullah SAW : “Ada
seorang lelaki daripada Bani Israel bernama Juraij, (suatu hari) dia sedang bersolat lalu
datang ibunya memanggilnya tetapi dia enggan menjawab. Dia (Juraij) berkata : ‘Aku
menjawab atau meneruskan solat? ! ‘Kemudian ibunya datang lalu berdoa : ‘Ya Juraij
berada dalam biaranya berkata seorang wanita (pelacur) :’ Aku akan menimbulkan fitnah
pada Juraij’. Lalu dia datang menggoda Juraij tetapi gagal dan dia pergi pula menggoda
seorang penggembala sehingga berjaya dan melahirkan seorang anak. Dia (pelacur)
menghebohkan anak itu hasil dari zinanya dengan Juraij. Lalu penduduk kampung
menyerang Juraij, merobohkan biaranya, megeluarkannya dari situ dan mencercanya. Juraij
15
berwudhu’ dan bersolat (setelah selesai) dia datang kepada bayi itu dan bertanya:
“Siapakah bapamu wahai bayi?” Kata bayi itu : “Si pengembala”. Lalu penduduk kampung
berkata : “kami akan bina semula biaramu daripada emas.” Juraij menjawab : “Tidak,
cukuplah dari tanah sahaja”. (Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Berdasarkan hadis ini, jelas menunjukkan dinisbahkan kalimah bapa kepada anak
zina tersebut dengan penzina. Mengikut kaedah : ‘Asal sesuatu kalimah adalah hakikat’, jika
penzina itu bukan bapa kepada anak hasil zinanya tentulah tidak digunakan kalimah bapa di
sini.
Berkata Ibnu Hajar Al-Asqalani RH :
Maksudnya: “Dan sebahagian ulama’ Maliki berdalilkan perkataan Juraij : ‘Siapakah
bapamua wahai bayi? ‘ bahawa sesiapa yang berzina dengan seorang wanita lalu dia
melahirkan anak perempuan, tidak boleh dia berkahwin pula dengan anak perempuan
tersebut bersalahan dengan pendapat mazhab Shafi’I dan Ibnu Majisyun dari Malikiyyah.
Wajah dilalahnya adalah Juraij mensabkan anak zina itu kepada penzina dan Allah
membenarkan tindakan Juraij itu dengan dijadikan bagi Juraij perkara yang menyalahi adat
apabila bayi itu bercakap dan demikian juga ucapan bayi itu, bapaku adalah si fulan
pengembala’ adalah nasab yang sahih maka wajib melaksanakan hukum hakam anak dan
bapa antara keduanya kecuali hukum waris dan wali kerana ada dalil maka kekal lah
selain itu atas hukumnya. “ ( Fathul Bari, 10/239).
16
Perkataan Ibnu Hajar itu memberi faedah bahawa di sana ada ulama’ yang
berpendapat anak zina itu dinasabkan kepada bapanya tetapi dikecualikan hukum
pewarisan dan perwalian berdasarkan dalil-dalil hadis yang kita utarakan sebagai hadis Al-
Bab diatas. Namun, kita telah sebutkan sebahagian tabi’in melaksanakan hukum anak zina
ini seperti anak yang sah juga dalam masalah pusaka dan perwalian jika dia berkahwin
dengan ibu anaknya dari zina.
4.2.2 Hadis-hadis yang menyatakan tidak dihubungkan nasab anak zina kepada penzina
hanya berlaku dalam kes-kes di mana ibu anak tersebut adalah firash (isteri orang) dan tidak
ada nas yang jelas tentang nasab anak zina yang ibunya bukan firash (bukan isteri orang),
maka kembali kepada asal anak itu adalah yang datang dari sulbi seorang lelaki. Jika diteliti
hadis-hadis yang dijadikan hujah oleh mereka yang melarang dinasabkan anak zina kepada
penzina ternyata mereka keliru. Jikalaulah anak zina tidak boleh dinasabkan kepada
penzina tentulah Utbah Bin Abi Waqqas tidak akan menuntut nasab Abdul Rahman Bin
Zam’ah demikian juga dalam hadis yang kedua, tentulah para penzina tidak akan berebut
nasab anak zina mereka dengan tuan-tuan sahaya yang mereka zinai. Berkata Ibnu Al-
Qayyim Al-Jauziyyah.
17
Maksudnya: “Jika dikatakan hadis ini (Al-Walad lil firash) adalah untuk hukum menasabkan
anak jika ibunya itu firash maka bagaimana pula jika seorang penzina menuntut nasab anak
yang ibunya bukan firash (tidak ada pertindihan tuntutan) adakah anak itu dinasabkan
kepada penzina? Maka dikatakan ini adalah masalah yang sangat halus telah berbeza
pandangan ahli ilmu padanya, Ishaq Bin Rahuwaih RH berpendapat jika anak zina itu ibunya
bukan firash dan ditakwilkan maksud hadis Nabi SAW : “ anak itu untuk hamparan “, adalah
dilaksanakan apabila bertelagah antara penzina dengan empunya firash (suami
atau tuan sahaya) seperti yang telah disebutkan. Ini juga adalah mazhab AlHasan Al-Basri
yang diriwayatkan Ishaq dengan sanadnya berkenaan lelaki yang berzina kemudian wanita
yang dizinainya melahirkan anak dan dia mengaku itu anaknya hendaklah (menurut Al-
Hasan Al-Basri) disebat lelaki itu dan anak itu dinasabkan padanya. Ini juga mazhab Urwah
Bin Az-Zubair dan Sulaiman Bin Yasar, keduanya berkata : ‘ Sesiapa yang mendakwa
seseorang budak sebagai anaknya dan dia berzina dengan ibu budak itu dan tidak ada
orang lain yang turut mendakwa demikian maka budak itu adalah anaknya. Sulaiman
berhujah dengan perbuatan Umar Bin Al-Khattab RA menasabkan anak-anak jahiliyyah
(hasil zina) dengan bapa yang mengaku sebagai penzina (yang menghasilkan anak-anak
itu) setelah Islam. Mazhab ini adalah kuat dan jelas sebagaimana yang kamu lihat dan tidak
ada dalil bagi Jumhur melainkan hadis ‘ anak itu untuk hamparan ‘, sedangkan mazhab itu
telah pun berdalil dengan hadis tersebut (dan mentafsirkan hadis itu dengan lebih jelas) dan
qias yang sahih menyokong pendapat ini kerana bapa adalah salah seorang penzina (yang
18
menghasilkan anak tersebut), jika anak itu dinasabkan pada ibunya dan berlaku hukum
pusaka antara dia dan keluarga ibunya sedangkan dia (ibu anak zina itu) juga telah berzina
dan air mani keduanya telah bercampur (dalam kejadian anak tersebut) dan kedua mereka
(ibu dan bapa dari zina) mengaku budak itu sebagai anak mereka, maka apakah yang
menghalang daripada dinasabkan budak tersebut kepada bapa dari zina jika tiada pihak lain
mendakwa nasabnya? Ini adalah persoalan qias sahaja...” (al-Jawziyyah, Ibn Al-Qayyim,
Zad Al-Maad fi Hadyi Khairil Ibad, 5/381-382)
Kemudian beliau berdalilkan dengan hadis berkenaan peristiwa Juraij di atas.
4.2.3 Demikian lagi ulama’ telah sepakat (Jumhur) anak zina adalah mahram kepada
bapanya. Sebab menjadi mahram itu sama ada nasab, muhasarah (persemendaan) atau
radha’ah (penyusuan). Telah pasti sebab mahramnya anak zina dengan bapanya si penzina
bukan kerana muhasarah atau radha’ah (penyusuan), maka kekal lah asal sebab
mahramnya anak zina dengan nasab iaitu dia bernasab kepada bapanya yang berzina
dengan ibunya (Ibnu Kathir, Abul Fida’ Ismail, Tafsir Al-Quran Al-Azim, 2/248).
Pendapat Jumhur yang mengatakan anak zina tidak mewarisi harta bapanya dari zina tidak
menafikan nasab anak tersebut kepada bapanya. Imam Ibnu A-Qayyim menyatakan :
Maksudnya: “Dan hukum-hukum itu terbahagi-bahagi dalam satu masalah yang sama
beramal dengan kesamaan yang berlaku (dalam kes itu) seperti berbezanya hukum dalam
hal penyusuan di mana susuan itu menetapkan hukum warisan dan nafkah, maka demikian
juga dalam kes anak zina di mana dia mahram pada ayahnya dari zina dan tidak berlaku
pula hukum warisan antara keduanya dan misalnya banyak lagi untuk disebut.” (Al-
Jawziyyah, Ibnu Al-Qayyim, Iklamul Muwaqqiin An Rabbil Alamin, 6/2)
4.3 Kesimpulan Hukum :
4.3.1 Ulama’ bersepakat bahawa anak yang didakwa anak zina jika dia dilahirkan
19
dalam tempoh ibunya mempunyai suami dan tempoh kelahirannya memungkinkan
proses kehamilan dan melahirkan daripada suami dia dihubungkan kepada suami
ibunya.
4.3.2 Ulama’ berbeza pendapat jika jelas anak itu anak zina :
• Anak zina tidak dinasabkan kepada bapa zina tetapi dia adalah mahram kepada
ayahnya. Tidak berlaku hukum pewarisan antara keduanya. Inilah qaul Jumhur.
• Anak zina tidak dinasabkan pada ayahnya dari zina dan dia bukan mahram kepada
ayahnya dan tidak berlaku hukum faraidh. Ini Qaul Syafi’iyyah.
• Anak zina dinasabkan pada bapanya tetapi tidak berlaku hukum pewarisan
sebagaimana yang disebut oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahawa ini pendapat al-
Malikiyyah.
• Anak zina dinasabkan kepada bapanya secara syar’i dan berlaku segala hukum
seperti anak yang sah taraf juga. Ini adalah pendapat Al-Hasan AlBasri, Sulaiman Bin
Yasar, Ishaq Bin Rahuwaih, Urwah Bin Zubair, Ibnu Taimiyyah sebagaimana disebut
dalam Ikhtiyarat Ilmiyyah, dan salah satu pandangan Ibnu Al-Qayyim Al-Jawziyyah.
Keputusan masab anak zina ini lebih cenderung untuk mentarjihkan pendapat yang keempat
kerana tidak ada nas-nas yang sahih berkenaan masalah ini dan jika adapun adalah dalam
bentuk dilalah yang zhanni sahaja. Maka, kembali berpegang kepada kaedah asal, anak
adalah hasil sulbi seorang lelaki dikekalkan hokum nasab kepada bapanya dari zina.
5.0 RUMUSAN
Kesimpulanya di kalangan sarjana Islam ada yang berpegang bahawa anak zina
boleh dinasabkan kepada bapa zinanya sekalipun jika wanita berkenaan tidak berkahwin
dengan lelaki yang berzina dengannya. Namun syaratnya mestilah wanita tersebut juga
tidak berkahwin dengan lelaki lain seperti dalam kes hadis yang telah dikemukan dalam
tajuk-tajuk diatas.
Kata Dr Yusuf al-Qaradawi: “Lelaki dan wanita yang berzina jika bertaubat kepada
Allah dan ingin keluar dari yang haram kepada yang halal, dari kehidupan yang dicemari
kepada kehidupan yang bersih, berubah kehidupan mereka dari zina yang haram kepada
persetubuhan yang halal, maka perkahwinan mereka sah dengan ijmak (sepakat tanpa
20
kecuali seluruh para mujtahid)…beberapa tokoh fiqh salaf; ‘Urwah bin al-Zubair, al-Hasan al-
Basri, Ishaq bin Rahuyah dan selain mereka berpendapat harus dinasabkan anak zina
kepada bapa zinanya jika wanita berkenaan tidak pernah berkahwin (selepas itu). Pendapat
ini disokong oleh Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah dan muridnya Ibn al-Qayyim”.
6.0 REFLEKSI
Syukur ke hadrat Allah S.W.T kerana dengan izin-Nya saya telah diberikan ruang
dan peluang untuk menyiapkan tugasan kerja kursus ini. Tajuk bagi tugasan kerja kursus ini
ialah Pengajian Fiqh dan saya memilih untuk membincangkan dengan lebih terperinci
berkenaan kaedah usul fiqh dalam membahaskan permasalahan nasab anak tidak sah taraf.
Sepanjang menjalankan tugasan kerja kursus ini, pelbagai cabaran dan halangan telah saya
hadapi.
Pertama kali menerima tugasan ini, persoalan pertama yang berlegar-legar di kotak
minda saya ialah mampukah saya menyiapkan tugasan kerja kursus ini memandangkan
pada masa yang sama terdapat beberapa tugasan kerja kursus yang lain yang perlu
21
disiapkan dalam tempoh yang sama. Ditambah lagi perbincangan dalam permasalahan fiqh
bukanlah satu perkara yang boleh dipandang remeh, ianya memerlukan kepada pembacaan
dan penelitian yang rapi dalam mengenalpasti sebab-sebab satu hukum diambil. Keadaan
ini sedikit sebanyak memberi tekanan dan menguji daya tahan saya untuk melaksanakan
tugasan tersebut. Walau bagaimanapun, saya tetap tidak mengambil mudah memberi
alasan dan helah untuk tidak menyiapkan tugasan ini dalam tempoh yang telah diberikan.
Sebaliknya, saya menyahut cabaran ini dengan melaksanakan tugasan mengikut arahan
yang telah diberikan dan sentiasa merujuk sumber-sumber bacaan yang terdapat
diperpustakaan IPG, UTHM dan buku-buku rujukan yang diperolehi secara online
Bagi mengatasi kekangan dan kesukaran yang saya nyatakan di atas, saya telah
mengambil inisiatif berbincang dan berkolaborasi dengan rakan-rakan. Perbincangan dan
kolaborasi ini sangat membantu saya menyiapkan tugasan ini dengan sempurna kerana
saya berpeluang untuk bertanya kepada rakan-rakan tentang kaedah usul fiqh dalam
mentarjih satu-satu hukum. Banyak pecahan dari 4 asas usul fiqh yang perlu difahami
bersama bagi mengelakkan kesilapan dalam memahami istinbat hukum.
Selain itu, saya dan beberapa orang rakan bergerak secara kolaboratif dalam cara
pemilihan bahan yang tepat dan baik, perkongsian idea, pengetahuan dan kemahiran dan
pertukaran bahan-bahan dengan rakan. Kami mencari sumber rujukan tambahan di
perpustakaan UTHM, kerana maklum bahawa bahan yang akan kami perolehi di IPG agak
terhad. Walaupun tajuk setiap diantara kami berbeza, namun kami bertuah kerana banyak
buku-buku fiqh yang menghimpunkan pelbagai permasalahan fiqh dalam buku yang sama.
Kolaborasi seumpama ini telah banyak membantu saya menyiapkan tugasan dengan baik.
Sepanjang menyiapkan tugasan ini dengan jayanya, saya menyedari beberapa
perkara penting sebagai iktibar dan panduan kepada diri saya dalam menempuhi cabaran
pendidikan yang mendatang. Melalui pelaksanaan tugasan subjek ini, saya mempelajari
bahawa seseorang guru haruslah menguasai dan mempunyai pengetahuan dalam isu
semasa berkaitan fiqh munakahat. Hal ini kerana, saya mendapati banyak isu kekeluargaan
yang berlaku dalam masyarakat hari ini yang memerlukan kepada penyelesaian segera.
Oleh itu, sebagai pendidik khusus dalam Pendidikan Islam, saya mestilah sentiasa
meningkatkan pengetahuan dalam hukum hakam berkaitan isu semasa dalam pelbagai
bidang dan mengikuti pengajian-pengajian fiqh tambahan yang sedang pesat diluar .
Manakala, dari segi nilai-nilai murni yang dapat saya pelajari sepanjang pelaksanaan
tugasan ini, saya belajar untuk lebih menghargai masa. Maksudnya di sini ialah, apabila
sudah mendapat soalan tugasan daripada pensyarah, saya haruslah bertindak lebih proaktif
22
dengan melaksanakan tugasan ini dengan seberapa langsung. Sebagai penambahbaikan,
saya melihat aspek pengurusan masa ini sebagai kelemahan saya yang paling ketara sekali
apabila berlaku pengagihan kerja dalam satu masa. Dalam hal ini, saya mengambil sedikit
pengajaran agar lebih proaktif dengan membina pelan tindakan tugasan kajian dan saya
akan memastikan, saya megikut pelan tindakan yang telah saya bina secara berdisiplin.
Perkara yang sangat mengesani hati saya adalah cara ulama pengikut al-Shafiie dan
ulama kalam menyusun usul fiqh dengan membuat kaedah berdasarkan nas atau
menetapkan kaedah yang disokong oleh dalil. Mereka meninggalkan kaedah yang
bertentangan dengan dalil tanpa mengambil kira keselarasan kaedah yang mereka ambil itu
dengan masalah fiqh yang diambil daripada imam mereka, ataupun kaedah yang mereka
tetapkan itu menyamai atau tidak dengan kaedah yang ditetapkan oleh imam mereka. Oleh
sebab itu, ulama al-kalam dan pengikut al-Shafie tidak menyatakan dalam kitab-kitab usul
fiqh mereka tentang masalah fiqh yang termasuk di dalam kaedah, kecuali hanya sekadar
untuk memberi penjelasan. Setelah menulusuri kepayahan, kesungguhan dan kejujuran
ulama dalam mengeluarkan satu-satu hukum fiqh, ini menjadikan saya lebih menghargai
satu-satu bidang ilmu lebih-lebih lagi melihat betapa kerdilnya usaha saya berbanding
keazaman mereka.
Selain itu, dalam mempelajari dan meneliti ilmu Usul Fiqh ini, saya memperoleh
faedah tambahan yang besar. Antaranya ialah dapat mengetahui cara dan bagaimana
ulama dan mujtahid mengeluarkan hukum dan menggunakan ilmu Usul Fiqh dalam
menetapkan hukum bagi sesuatu masalah dan dapat mengetahui bagaimana cara ulama
menetapkan sesuatu hukum dan menetapkan sesuatu hukum dengan berdasarkan dalil-dalil
syarak. Melalui ilmu Usul Fiqh juga, saya boleh mengetahui hukum syarak yang telah
dikeluarkan oleh para mujtahid melalui kaedah usul dan dipadukan dengan pendapat
ulamak yang berselisih di antara mereka untuk mencari yang kukuh dan pendapat yang
berpegang dengan dalil yang paling kuat untuk beramal dengan hukumnya. Saya merasa
bertuah kerana ilmu ini telah dapat saya pelajari dalam sesi kuliah dan penelitian bahan
tambahan.
Akhir sekali, saya bersyukur kerana dapat menyiapkan tugasan ini dengan
sempurnanya dan berharap hasil yang saya berikan menepati kehendak yang diperlukan.
Paling penting, pengetahuan dan kemahiran yang telah saya pelajari sepanjang
melaksanakan tugasan ini sudah pasti menjadi nilai tambah kepada pengetahuan dan
kemahiran sedia ada saya. Semoga dengan terhasilnya kerja kursus ini dapatlah
memberikan manfaat kepada umat Islam khususnya untuk mengetahui dengan lebih
23
mendalam berkenaan ilmu-ilmu Fiqh yang meliputi segala aspek kehidupan manusia sama
ada melalui bidang muamalat, munakahat, jenayah dan lain-lain lagi. Sesungguhnya ilmu
yang diturunkan melalui wahyu Allah SWT dan disampaikan melalui sunnah Rasulullah
SAW adalah ilmu yang berguna dan bernilai serta bermanfaat kepada seluruh manusia di
dunia seterusnya di akhirat kelak..
7.0 BIBLIOGRAFI
Abdul Karim Zaidan. 1992. Al-Wajiz Fi Usul Fiqh. Qaherah: Darul Tauziq Wa An-Nashr Al-Islamiah.
Abu Zakaria, Muhyiddin, Raudhah At-Tolibin Wa Umdah Al-Muftin, Maktabah Syamilah
Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah
Al-Mughni, Ibnu Qudamah juz 9 hal. 561 s/d 565 tahqiq Doktor Abdullah bin Abdul Muhsin At Turky.
Al-Shaykh al-Albani dalam 1408h-1988, Sahih al-Jami‘ al-Saghir wa Zayadatih, cetakan ke 3, jil. hlm. 216, hadith no. 895. Al-Maktab al-Islami, Bayrut
24
Amir Nuruddin Dan Azhari Akmal Tarigan 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 281-282, Jakarta: Prenada Media.
Dr Muhammad Bakir Hj. Yaakub 2004, Usul Fiqh Dalam Konteks Masyarakat Malaysia: Antara Keperluan Dan Pemahaman, dalam Prosiding Seminar Usul Fiqh hlm. 157, K.U.I.M
Ibnu Kathir, Abul Fida’ Ismail, Tafsir Al-Quran Al-Azim, Maktabah Syamilah AnNawawi.
Jabatan Kemajuan Islam Malaysia 2013, Fatwa Isu-Isu Munakahat : Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) Bahagian Pembangunan Keluarga Pusat Pentadbiran Kerajaan Persekutuan, 62519, W.P Putrajaya.
Jabatan Perdana Menteri 1987, Tafsir Pimpinan Al-Qur’an Kepada Pengertian Al-Qur’an Edisi Kelapan, Bahagian Hal Ehwal Islam Jabatan Perdana Menteri, Kuala Lumpur
J. Satrio 2010, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang
Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili 2007, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,Terjemahan dari kitab: Al Fiqh Al Islami Wa Adillah. Jilid 10 Membahas: Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, dan Warisan, Gema insani.
Mohd. Said Ishak 2000, Hudud Dalam Fiqh Islam University Teknologi Malaysia 81310 Skudai Johor Darul Ta’azim Malaysia.
Muhammad Sulayman Abdullah al-Ashqar 2001, Al-Wadih fi Ushul Al-Fiqh li Al-Mubtadi’in Ma‘as’ilah li Al-Munaqashah wa Tamrinat, Cetakan 5, Hlm. 14-15. Dar Al-Nafa’is, Al-Urdun,
Musnad Ahmad Takhrij Al-Arnauth, Maktabah syamilah Kementerian Waqf Kuwait,
Suzana Ghazali 2009, Buatmu Wanita, Buku Prima Sdn.Bhd Bilik 101, Tingkat 1 Seksyen 15 40200 Shah Alam Selangor Darul Ehsan
Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Utsaimin, Fatawa Al Islamiyyah juz 2 hal. 353-354 dan 374-375
Yusuf Al-Qardawi 2013,The Lawful And The Prohibited In Islam, Islamic Book Trust 607 Mutiara Majestic Jalan Othman 46000 Petaling Jaya Selangor Malaysia.
Wahbah Zuhaili. 2005. Al-Wajiz Fi Usul Fiqh. Beirut: Darul Fikr
Wahbah Zuhaili. 1998. Usul Fiqh Al-Islami. Juzu’2. Damshik: Darul Fikh
Disunting daripada http://www.e-fatwa.gov.my/fatwa-negeri/anak-tak-sah-taraf-1
25