amenorea primer

Upload: yoga-wirawan

Post on 11-Jul-2015

37 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DAFTAR ISI Halaman judul .. Daftar isi I. II. III. IV. Pendahuluan . Fisiologi menstruasi . Evaluasi amenorea Gangguan pada kompartement I 1. Anomali duktus Mulleri 1. Agenesis duktus Mulleri 2. Insensitifitas androgen (Feminisasi testikuler) .. V. Gangguan pada kompartement II 1. Sindroma Turner 12 2. Disgenesis gonad XY . .. 13 3. Agenesis gonad 13 4. Sindroma ovarium resisten . 5. Premature ovarian failure .. VI. Gangguan pada kompartement III 1. Gangguan hipofisis anterior .... 16 2. Amenorea galaktorea .. 16 VII. Gangguan pada kompartement IV 1. Kehilangan berat badan, anoreksia, bulimia ... 20 2. Latihan dan amenorea (exercise and amenorrhea) . 21 3. Amenorea dan anosmia, Sindroma Kallmann . 21 VIII. Ringkasan . 22 IX. Daftar rujukan ... 23 14 15 8 9 11 i ii 1 2 4

I.

PENDAHULUAN Secara berkala, fungsi seksual wanita berada di bawah kendali hormon. Tanda yang khas untuk suatu siklus haid adalah timbulnya perdarahan melalui vagina setiap bulan pada seorang wanita. Perdarahan ini terjadi akibat rangsangan hormonal secara siklik terhadap endometrium.1,2,3,4 Amenorea dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu: 1. Amenorea fisiologik Amenorea yang terdapat pada masa sebelum pubertas, masa kehamilan, masa laktasi dan sesudah menopause. 2. Amenorea patologik Lazimnya diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea sekunder. Amenorea primer, apabila seorang wanita berumur 16 tahun ke atas belum pernah dapat haid; sedang pada amenorea sekunder penderita pernah mendapat haid, tetapi kemudian tidak dapat lagi. Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder.1,2,6 Penyebab tidak terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus, hipofisis, ovarium (folikel), uterus (endometrium), dan vagina. Amenorea primer umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk diketahui, seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan-kelainan genetik. Istilah kriptomenorea menunjuk kepada keadaan dimana tidak tampak adanya haid karena darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, misalnya pada ginatresia himenalis, penutupan kanalis servikalis, dan lain-lain.3,4 Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid (menarche) bervariasi lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5 tahun. Statistik menunjukkan bahwa usia menarche dipengaruhi faktor keturunan, keadaan gizi, dan kesehatan umum. Penulisan referat ini adalah bertujuan untuk memperoleh alur pemikiran dalam menghadapi kasus-kasus amenorea primer, sehingga bisa diambil tindakan secara tepat dan efisien.

II.

FISIOLOGI MENSTRUASI Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi, yang memegang peranan penting adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarium axis). Menurut teori neurohumoral yang dianut sekarang, hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi neurohormon yang disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang khusus. Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.1,2,4 Penyelidikan pada hewan menunjukkan bahwa pada hipotalamus terdapat dua pusat, yaitu pusat tonik dibagian belakang hipotalamus di daerah nukleus arkuatus, dan pusat siklik di bagian depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik. Pusat siklik mengawasi lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus haid yang menyebabkan terjadinya ovulasi. Mekanisme kerjanya juga belum jelas benar.4 Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan satu saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus.1,2,4 Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini, beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu bertambah peka terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen

dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus, mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan morfologik pada folikel. Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif yang pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang cukup saja tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi. Pecahnya folikel terjadi 16 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia biasanya hanya satu folikel yang matang. Mekanisme terjadinya ovulasi agaknya bukan oleh karena meningkatnya tekanan dalam folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan degeneratif kolagen pada dinding folikel, sehingga ia menjadi tipis. Mungkin juga prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu.1,2,4 Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 89 hari setelah ovulasi.4 Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesteron banyak, dan luteinized theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 1012 hari setelah ovulasi, korpus luteum mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup korpus luteum pada manusia tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis pada ovarium tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika tidak terjadi kehamilan belum diketahui. Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada siklus haid normal umumnya terjadi variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi dalam fase folikular.4 Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat oleh sinsisiotrofoblas.

Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi), waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya regresi luteal. HCG memelihara steroidogenesis pada korpus luteum hingga 910 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi itu diambil alih oleh plasenta.4 Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari perubahanperubahan kadar estrogen, pada permulaan siklus haid meningkatnya FSH disebabkan oleh menurunnya estrogen pada fase luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan folikel tanpa terjadinya atresia tergantung pada cukupnya produksi estrogen oleh folikel yang berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan siklus yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum tergantung pula pada kadar minimum LH yang terus-menerus. Jadi, hubungan antara folikel dan hipotalamus bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan berupa umpan balik positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi estrogen dengan sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal.4

III. EVALUASI AMENOREA Gejala amenorea dijumpai pada penyakit-penyakit atau gangguan-gangguan yang bermacam-macam. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat berdasarkan etiologi, tidak jarang diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang beraneka ragam, rumit, dan mahal. Tidak semua fasilitas kesehatan mampu melaksanakan semua pemeriksaan, dan hal itu tidak selalu perlu. Ada jenis-jenis amenorea yang memerlukan pemeriksaan lengkap, akan tetapi ada juga yang dapat ditetapkan diagnosisnya dengan pemeriksaan sederhana. Anamnesis yang baik dan lengkap sangat penting. Pertama, harus diketahui apakah amenorea itu primer atau sekunder. Selanjutnya, perlu diketahui apakah ada hubungan antara amenorea dan faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan emosinal, apakah penderita mengidap penyakit akut atau menahun; apakah ada gejala-gejala penyakit metabolik dan lain-lain.4 Sesudah anamnesis, perlu dilakukan pemeriksaan umum yang seksama; keadaan tubuh penderita tidak jarang memberi petunjuk-petunjuk yang berharga. Apakah penderita pendek atau tinggi, apakah berat badan sesuai dengan tingginya, apakah ciri-ciri kelamin

sekunder berkembang dengan baik atau tidak, apakah ada tanda hirsutisme; semua ini penting untuk pembuatan diagnosis. Pada pemeriksaan ginekologik umumnya dapat diketahui adanya berbagai jenis ginatresis, adanya aplasia vaginae, keadaan klitoris, aplasia uteri, adanya tumor, ovarium dan sebagainya. Dengan anamnesis, pemeriksaan umum, dan pemeriksaan ginekologik, banyak kasus amenorea dapat diketahui sebabnya. Apabila pemeriksaan klinik tidak memberi gambaran yang jelas mengenai sebab amenorea, maka dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan. Dalam menangani kasus-kasus amenorea haruslah teliti dalam memilih informasi yang diperlukan. Meskipun data tambahan tersedia pada waktu tersebut, dijabarkan dari latar belakang, pengujian fisik dan evaluasi kelenjar endokrin lainnya seperti tiroid dan adrenalin, hal-hal tersebut semestinya tidak digunakan untuk diagnosis sampai keseluruhan rangkanya lengkap. Pengalaman telah menunjukkan diagnosis yang prematur seringkali terjadi bias, meskipun kadang-kadang bisa tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan investigasi dengan langkah-langkah sebagai berikut: A. Langkah 1 Langkah awal dalam kerangka evaluasi penderita amenorea, dimulai dari pengukuran hormon thyroid stimulating hormones (TSH), kadar prolaktin, dan tes provokasi progesteron. Langkah awal untuk pasien galaktorea, tanpa melupakan riwayat menstruasi, juga harus diperiksa TSH dan pengukuran prolaktin serta perlu ditambahkan pemeriksaan rontgen dari sisi lateral pada sella tursika.1 Hanya sedikit penderita dengan amenorea dan atau galaktorea menderita hipotiroid yang tidak tampak secara klinis. Walaupun kelihatannya berlebihan melakukan pemeriksaan kadar TSH untuk penderita yang hanya memberikan hasil yang kurang berarti, karena pengobatan untuk hipotiroid sangat mudah dan diperoleh hasil yang cepat dari siklus menstruasi. Jika terdapat galaktorea, pengukuran TSH dianjurkan.1 Rangsangan yang konstan hormon RH dari hipotalamus akan menyebabkan hipertrofi atau hiperplasia dari hipofisis. Pemeriksaan rontgen menggambarkan tumor dapat dilihat (kelainan, ekspansi, atau erosi dari sella tursika). Penderita dengan

hipotiroid primer dan hiperprolaktinemia dapat muncul dengan amenorea primer maupun amenorea sekunder.1 Tujuan dari uji progesteron adalah untuk menilai kadar estrogen endogen dan kompetensi dari saluran genitalia. Uji progesteron yang dilakukan oleh Davajan dkk adalah dengan menyuntikkan 100 mg progesteron dalam larutan minyak atau medroksiprogesteron asetat (provera) 30 mg peroral selama tiga hari. Respon pemberian progesteron dinilai 214 hari setelah pemberian hormon tersebut dan diukur kadar LH serum. Speroff melakukan uji progesteron dalam dua pilihan yaitu: pemberian progesteron secara parenteral dalam larutan minyak (200 mg) atau secara oral dengan medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama lima hari.1 Dalam 27 hari setelah pemberian progesteron, pasien kemungkinan terjadi perdarahan. Hal ini berarti bahwa sistem saluran pengeluaran berada dalam batas normal dan adanya uterus yang endometriumnya reaktif terhadap estrogen endogen. Dari hasil tersebut dapat ditetapkan adanya estrogen, fungsi yang minimal pada ovarium, hipofisis, dan sistem syaraf pusat. Dengan tidak adanya galaktorea, dengan kadar prolaktin yang normal, dan kadar TSH yang normal, evaluasi selanjutnya tidak diperlukan.1 Terdapat dua situasi yang terjadi bersamaan dengan respon yang negatif walaupun terdapat estrogen endogen yang cukup. Pada kedua situasi, endometrium mengalami reaksi desidua, tetapi kemudian tidak terjadi pelepasan mengikuti penghentian secara tiba-tiba dari pemberian progesteron eksogen. Kondisi yang pertama terdapat reaksi desidua dari endometrium sebagai respon adanya kadar androgen yang tinggi. Pada keadaan kedua merupakan keadaan klinik yang tidak biasa, endometrium mengalami reaksi desidua oleh karena kadar progesteron yang tinggi yang berhubungan dengan kekurangan enzim adrenal spesifik.1 Tanpa adanya galaktorea dan jika level serum prolaktin normal (kurang dari 20 pg/ml), evaluasi lanjutan untuk tumor hipofisis tidak perlu. Jika prolaktin meningkat, evaluasi dari sella tursika sangat diperlukan. Dalam kerangka ini, pernyataan berikut dapat dijadikan petunjuk praktis klinik: pendarahan positif membutuhkan pengobatan progesteron, dan tanpa adanya galaktorea serta kadar prolaktin yang normal dapat dijadikan petunjuk bahwa kita dapat mengabaikan adanya tumor hipofisis.1

Kenaikan sekresi prolaktin menambah perhatian kita pada keadaan kelenjar hipofisis. Untuk menjadi pertimbangan, perlu disampaikan bahwa terdapat laporan kasus dengan sekresi ektopik dari lapisan hipofisis pada faring, karsinoma bronkus, karsinoma sel-sel renal, gonadoblastoma, pada seorang wanita dengan amenorea dan hiperprolaktinemia serta ditemukan juga adanya prolaktinoma pada dinding kista dermoid ovarium.1 B. Langkah 2 Jika rangkaian pengobatan progesteron tidak memberikan hasil seperti pada langkah di atas, apalagi sistem organ target tidak operatif atau perkembangan estrogen dari endometrium tidak terjadi. Langkah 2 didesain untuk membuat klarifikasi terhadap situasi ini. Pemberian estrogen oral, estrogen dapat merangsang secara aktif baik secara kwantitatif maupun durasinya untuk perkembangan endometrium dan pendarahan yang aktif dari uterus pada sistem pengeluaran yang ada. Dosis yang sesuai adalah 1,25 mg estrogen konjugasi setiap hari selama 21 hari. Tambahan lanjutannya adalah progesteron yang aktif secara oral (medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama 5 hari terakhir) diperlukan untuk menghasilkan menstruasi.1,3 Sebagai hasil dari test farmakologis langkah 2, apakah pada penderita dengan amenorea tersebut terjadi perdarahan atau tidak. Jika tidak terjadi, diagnosis dari kerusakan pada kompartemen I (endometrium, aliran pengeluaran) bisa ditegakkan. Jika pendarahan terjadi, bisa diasumsikan bahwa kompartemen I mempunyai kemampuan fungsional yang normal jika mendapat rangsangan esterogen.1 Dari sudut pandang praktis, pada pasien dengan alat genitalia interna dan eksterna yang normal dapat ditetapkan dengan pengujian pada panggul, dan tanpa adanya latar belakang infeksi atau trauma (seperti kuretase), serta tidak didapatkannya ketidaknormalan dari aliran pengeluaran yang tidak sewajarnya. Masalah aliran pengeluaran termasuk kerusakan endometrium, secara umum sebagai akibat dari kuretase yang berlebihan atau akibat dari infeksi, atau akibat amenorea primer dari diskontinuitas atau abnormalitas pada duktus Mulleri.1

C. Langkah 3 Pasien amenorea tidak sanggup menyediakan rangsangan estrogen yang memadai. Untuk memproduksi estrogen, ovarium memiliki folikel yang normal dan hormon hipofisis yang cukup untuk merangsang organ yang diperlukan. Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah 2 komponen yang penting (gonadotropin atau aktifitas folikel) berfungsi secara wajar atau tidak.1 Langkah ini mengikutsertakan pengujian tingkat gonadotropin pada pasien. Karena langkah 2 mengikutsertakan pemberian estrogen eksogen, kadar gonadotropin endogen mungkin tidak nyata. Sebab itu, penundaan selama 2 minggu setelah langkah 2 mesti dilakukan sebelum melaksanakan langkah 3, pengujian gonadotropin.1 Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah kekurangan estrogen menyebabkan kesalahan pada folikel (kompartemen II) atau pada sistem aksis syaraf pusat-hipofisis (kompartemen III dan IV). Hasil pengujian gonadotropin pada wanita amenorea yang tidak mengalami pendarahan setelah pemberian pemicu progestagen akan menghasilkan kadar gonadotropin abnormal yang tinggi, abnormal yang rendah, atau pada kadar yang normal.1 Prinsip dasar fisiologi fungsi menstruasi memungkinkan dibuatnya suatu sistem yang memisahkan dalam beberapa kompartemen dimana menstruasi yang normal tergantung. Hal ini berguna untuk memakai evaluasi diagnostik yang memilah penyebab amenorea dalam 4 kompartemen, yaitu: Kompartemen I Kompartemen II Kompartemen III Kompartemen IV : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract : kelainan pada ovarium. : kelainan pada pituitri anterior : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus).

IV. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN I A. Anomali duktus Mulleri Pada keadaan amenorea primer, diskontinuitas oleh gangguan/kelainan segmental dari tubulus Mulleri harus disingkirkan. Observasi langsung dapat menentukan ada tidaknya himen imperforata, obliterasi orifisium vaginae dan adanya diskontinuitas kanalis

vaginalis. Keadaan lain yang jarang ditemukan, yaitu terdapat uterus tetapi tanpa terbentuknya kavum uteri, atau terdapat kavum uteri tetapi endometriumnya kurang secara kongenital. Kecuali pada kelainan kongenital yang disebutkan terakhir, problem klinik amenorea yang didasarkan pada adanya obstruksi menimbulkan adanya keluhan nyeri yang disertai distensi dari hematokolpos, hematometra, atau hematoperitoneum. Penanganan yang dapat dilakukan dengan insisi dan drainage. Bahkan pada keadaan yang disertai komplikasi, perbaikan kontinuitas duktus Mulleri biasanya dapat dicapai dengan pembedahan. Sayangnya dapat terjadi konsekuensi dari tindakan ekstirpasi operatif terhadap massa yang nyeri di atas berupa kerusakan/trauma pada kandung kencing, ureter, dan rektum.1,3,4,7 Merupakan suatu keuntungan bila mengetahui jenis kelainan sebelum koreksi bedah dilakukan. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk mengetahui abnormalitas anatomik yang akurat. Diagnosis preoperatif akan memudahkan rencana dan pelaksanaan terapi bedah.1

B. Agenesis duktus Mulleri Terhambatnya perkembangan duktus Mulleri (Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome) merupakan diagnosis pada individu dengan keluhan amenorea primer dan tidak terbentuknya vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab amenorea primer, lebih sering dari pada insensitifitas androgen kongenital dan lebih jarang dibandingkan disgenesis gonad. Pada penderita sindroma ini tidak ada vagina atau adanya vagina yang hipoplasi. Uterus dapat saja normal, tetapi tidak mempunyai saluran penghubung dengan introitus, atau dapat juga uterusnya rudimenter, bikornu. Jika terdapat partial endometrial cavity, penderita dapat mengeluh adanya nyeri abdomen yang siklik. Karena adanya kemiripan dengan beberapa tipe pseudohermafroditism pria, diperlukan pemeriksaan untuk menunjukkan kariotipe yang normal perempuan. Fungsi ovarium normal dan dapat dilihat dari suhu basal tubuh atau kadar progesteron perifer. Pertumbuhan dan perkembangan penderita normal.1,4 Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan ultrasonografi dapat dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya struktur uterus tersebut. Bila gambaran anatomis sebagai hasil USG tidak jelas, merupakan

indikasi untuk dilakukan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak diperlukan. Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan pemeriksaan USG dan lebih murah serta tidak invasif bila dibandingkan laparoskopi. Ekstirpasi sisa duktus Mulleri tidak diperlukan kecuali kalau menimbulkan masalah seperti berkembangnya uterine fibroid, hematometra, endometriosis, atau herniasi simptomatis ke dalam kanalis inguinalis.1,9 Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan, maka bila memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk melakukan konstruksi bedah dengan membuat vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff menganjurkan penggunaan dilatasi yang progresif seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh Frank dan kemudian oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke arah posterior vagina, dan kemudian setelah 2 minggu diubah ke arah atas dari aksis vagina, tekanan dengan dilator vagina dilakukan selama 20 menit setiap hari. Dengan menggunakan dilator yang ditingkatkan makin besar, vagina yang fungsional dapat terbentuk kurang lebih dalam 6-12 minggu. Terapi operatif ditujukan bagi penderita yang tidak dapat dilakukan penanganan dengan metode Frank, atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas masih mungkin untuk dipertahankan. Penderita seperti ini dapat diidentifikasi dengan adanya simptom retained menstruation. Ada juga yang merekomendasikan untuk melakukan laparotomi inisial yang gunanya untuk mengevaluasi kanalis servikalis; jika serviks atresia, uterus harus diangkat.1,2 Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan kanalisasi sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan frekuensi urin. Septum transversalis dapat dibedakan dari himen imperforata dengan kurang-nya distensi introitus pada manuver Valsava.1,2 Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian distal merupakan satu-satunya kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan emergensi. Keterlambatan dalam terapi bedah dapat menyebabkan terjadi infertilitas sebagai akibat perubahan peradangan dan endometriosis. Pembedahan definitif harus dilakukan sesegera mungkin. Diagnostik dengan aspirasi menggunakan jarum tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan hematokolpos berubah menjadi pyokolpos.1

C. Insensitifitas androgen (Feminisasi testikuler) Insensitifitas androgen komplit (sindroma feminisasi testikuler) merupakan diagnosis yang paling mungkin bilamana terjadi kanalis vaginalis yang buntu dan uterus tidak ada. Kelainan ini merupakan penyebab amenorea primer yang ketiga setelah disgenesis gonad dan agenesis mullerian. Penderita dengan feminisasi testikuler merupakan pseudohermafrodit pria. Kata pria disini, didasarkan pada gonad yang dimiliki penderita; jadi individu ini memiliki testes dan kariotipe XY. Pseudohermafrodit artinya bahwa alat genitalnya berlawanan dengan jenis gonad-nya; jadi, individu tersebut secara fenotif wanita tetapi dengan tidak ada atau sangat kurangnya rambut kemaluan dan ketiak.1,2,3,4,7 Pseudohermafrodit pria adalah genetik dan gonad yang dimilikinya pria dengan kegagalan virilisasi. Kegagalan dalam perkembangan pria dapat meliputi suatu spektrum dengan bentuk insensitifitas androgen yang inkomplit. Transmisi kelainan ini melalui X-linked recessive gene yang bertanggung-jawab terhadap reseptor androgen intraseluler.1 Diagnosis klinik harus dipertimbangkan pada keadaan berikut: 4 - anak perempuan dengan hernia inguinal karena testes seringkali mengalami parsial descensus - penderita dengan amenorea primer dan tidak ada uterus - penderita tanpa bulu-bulu di tubuh. Penderita kelihatan normal pada saat lahir kecuali mungkin adanya hernia inguinal, dan penderita tidak dibawa ke dokter sampai usia pubertas. Pertumbuhan dan perkembangan normal. Payudara abnormal dimana didapatkan jaringan kelenjar tidak cukup, puting susu kecil, dan areola mammae pucat. Lebih dari 50% dengan hernia inguinalis, labia minora biasanya kurang berkembang, dan blind vagina kurang dalam daripada normal. Tuba fallopi yang rudimenter terdiri dari jaringan fibromuskuler kadang kala dengan hanya selapis epitel.1 Karena penderita ini sudah merasakan dirinya sebagai seorang wanita, maka kadang-kadang tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Testis yang berada intraabdominal perlu dilakukan tindakan pengangkatan karena 10% dari kasus dengan testis intraabdominal dapat menjadi ganas. Bila telah diputuskan untuk mengangkat testis, maka perlu diberikan pengobatan substitusi hormon.3,4

V.

GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN II A. Sindroma Turner Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang dijumpai dengan sindroma yang terdiri atas trias yang klasik, yaitu infantilisme, webbed neck, dan kubitus valgus. Penderita-penderita ini memiliki genitalia eksterna wanita dengan klitoris agak membesar pada beberapa kasus, sehingga mereka dibesarkan sebagai wanita.1,3,4 Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang kromatin seks negatif. Pola kromosom pada kebanyakan mereka adalah 45-XO; pada sebagian dalam bentuk mosaik 45-XO/46-XX. Angka kejadian adalah satu di antara 10.000 kelahiran bayi wanita. Kelenjar kelamin tidak ada, atau hanya berupa jaringan parut mesenkhim (streak gonads), dan saluran Muller berkembang dengan adanya uterus, tuba, dan vagina, akan tetapi lebih kecil dari biasa, berhubung tidak adanya pengaruh dari estrogen.1,3,4 Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma Turner dapat dijumpai tubuh yang pendek tidak lebih dari 150 cm, dada berbentuk perisai dengan puting susu jauh ke lateral, payudara tidak berkembang, rambut ketiak dan pubis sedikit atau tidak ada, amenorea, koarktasi atau stenosis aortae, batas rambut belakang yang rendah, ruas tulang tangan dan kaki pendek, osteoporosis, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, anomali ginjal (hanya satu ginjal), dan sebagainya. Pada pemeriksaan hormonal ditemukan kadar hormon gonadotropin (FSH) meninggi, estrogen hampir tidak ada, sedang 17-kortikosteroid terdapat dalam batas-batas normal atau rendah.4 Diagnosis dapat dengan mudah ditegakkan pada kasus-kasus yang klasik berhubung dengan gejala-gejala klinik dan tidak adanya kromatin seks. Pada kasuskasus yang meragukan, perlu diperhatikan dua tanda klinik yang penting yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk menduga sindrom Turner, yaitu tubuh yang pendek yang disertai dengan pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder yang sangat minimal atau tidak ada sama sekali.4 Pengobatan terhadap penderita sindroma Turner adalah pengobatan substitusi yang bertujuan untuk: 4 1. merangsang pertumbuhan ciri-ciri seks sekunder, terutama pertumbuhan payudara

2. menimbulkan perdarahan siklis yang menyerupai haid jika uterus sudah berkembang 3. mencapai kehidupan yang normal sebagai istri walaupun tidak mungkin untuk mendapat keturunan 4. alasan psikologis, untuk tidak merasa rendah diri sebagai wanita. Hormon yang diberikan adalah estrogen dalam kombinasi dengan progestagen secara siklis sampai masa menopause atau pascamenopause. Berhubung dengan kemungkinan bahwa pemberian estrogen mengakibatkan penutupan garis epifisis secara prematur sehingga menghalangi pertumbuhan tubuh, terapi ditunda sampai penutupan garis epifisis sudah terjadi.1,4 B. Disgenesis gonad XY Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan sistem Mulleri yang teraba, kadar testoteron wanita normal dan kurangnya perkembangan seksual dikenal sebagai sindroma Swyer. Terdapat vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi pada usia pubertas gagal terjadi perkembangan mammae dan amenorea primer. Gonad hampir seluruhnya berupa berkas-berkas tak berdiferensiasi kendati pun terdapat kromosom Y yang secara sitogenetik normal. Pada kasus ini, gonad primitif gagal berdiferensiasi dan tak dapat melaksanakan fungsi-fungsi testis, termasuk supremasi duktus Mulleri. Sel-sel hillus dalam gonad mungkin mampu memproduksi sejumlah androgen; maka dapat terjadi sedikit virilisasi, seperti pembesaran klitoris pada usia pubertas. Pertumbuhan normal; tidak terdapat cacat penyerta. Transformasi tumor pada gonadal ridge dapat terjadi pada berbagai usia, ekstirpasi gonadal streaks harus dilakukan segera setelah diagnosis dibuat, tanpa memandang usia.1 C. Agenesis gonadal Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad pada keadaan agenesis ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis gonad XY atau sindroma regresi testis embrionik. Pada sindroma yang langka ini, genitalis eksterna sedikit meragukan, namun hampir menyerupai bentuk wanita. Ditemukan hipoplasia labia, derajat tertentu fusi labioskrotum, penis kecil mirip klitoris, dan muara uretra pada

perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak ditemukan. Pada usia pubertas tidak terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin meningkat. Umumnya penderita diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi ini, jaringan testis dianggap telah aktif selama kehidupan janin sehingga mampu menghambat perkembangan duktus mulleri, tetapi fungsi sel leydig minimal. Tanpa informasi yang tepat, hanya dapat diperkirakan saja apa yang menjadi penyebab tidak terjadinya perkembangan gonad tersebut. Jadi harus diduga bahwa virus dan metabolik yang berpengaruh pada awal kehamilan. Meskipun demikian hasil akhirnya berupa hipergonadotropik hipogonadism yang tidak dapat diperbaiki kembali. Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan adalah wanita.1 Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk menghindari kemungkinan terjadi neoplasia.

D. Sindroma ovarium resisten Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang menimbulkan gangguan haid ialah sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang dikenal pula dengan istilah sindroma ovarium insensitive atau ovarium hiposensitif gonadotropin. Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum seluruhnya terungkap. Kini yang banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan pembentukan reseptor-reseptor gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun.3,15 Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma ovarium resisten gonadotropin ditegakkan baik secara klinis mau pun secara laboratoris dan histopatologis. Secara klinis kelainan ini ditandai dengan sindroma yang terdiri dari gangguan haid berupa oligomenorea sampai amenorea, sedangkan secara laboratoris dijumpai hipergonadotropin dan hipoestrogen. Secara histologis pada kelainan ini masih dijumpai struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang masih utuh.3 Jarang terjadi penderita amenorea disertai peningkatan kadar gonadotropin walaupun terdapat folikel-folikel ovarium normal dan tidak ada bukti penyakit autoimun. Laparotomi diperlukan untuk sampai pada diagnosis yang benar dengan menghasilkan evaluasi histologis ovarium yang adequat. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya folikel-folikel tetapi tidak adanya infiltrasi limfositik dengan penyakit autoimun. Karena kelainan ini jarang dan kesempatannya sangat kecil untuk

dapat hamil bahkan dengan pemberian gonadotropik eksogen dosis tinggi, Speroff berpendapat bahwa tidak ada manfaat untuk melakukan laparotomi untuk biopsi ovarium pada setiap penderita amenorea, gonadotropin tinggi, dan normal kariotipe.1 Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka pengobatannya lebih bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan pemberian substitusi siklik estrogen dan progesteron. 3 E. Premature ovarian failure Keadaan ini seringkali terjadi, yaitu berupa habisnya folikel ovarium yang terjadi lebih awal dari semestinya. Sekitar 1% wanita akan mengalami kegagalan ovarium sebelum usia 40 tahun, dan pada wanita dengan amenorea primer, frekuensi berkisar antara 10%-28%. Etiologi POF tidak diketahui pada kebanyakan kasus. Kemungkinan merupakan akibat kelainan genetik dengan peningkatan laju hilangnya folikel. Seringkali, kelainan kromosom seks yang spesifik dapat diidentifikasi. Kelainan yang paling sering adalah 45-X dan 47-XXY diikuti oleh mosaicism dan kelainan struktur kromosom seks yang spesifik. Akselerasi atresia paling sering karena 46-X (sindroma Turner). POF dapat disebabkan suatu proses autoimun, atau mungkin destruksi folikel oleh infeksi seperti oofritis mumps, atau irradiasi maupun kemoterapi.1,8 Masalah yang timbul dapat terjadi pada berbagai usia tergantung pada jumlah folikel yang tersisa. Jika hilangnya folikel berlangsung cepat, akan terjadi amenorea primer dan terhambatnya perkembangan seksual. Jika hilangnya folikel terjadi selama atau setelah pubertas, kemudian berlanjut sampai dewasa, perkembangan fenotipe dan onset terjadinya amenorea sekunder akan sesuai.1 Mengingat meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan dimana terjadi mulai laginya fungsi yang normal, tidak dapat dipastikan bahwa penderita-penderita ini akan steril selamanya. Di sisi lain, laparotomi dan biopsi ovarium full thickness tidak diperlukan pada semua pasien ini. Sperrof berpendapat bahwa pendekatan yang minimal, dengan survey untuk penyakit autoimun (meskipun diakui bahwa tidak ada metode klinik yang dapat mendiagnosis secara akurat autoimmune ovarium failure) dan penilaian aktivitas ovarium-pituitary sudah mencukupi.1

VI. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN III A. Gangguan hipofisis anterior Adanya gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis pertama kali fokus kita harus tertuju pada adanya masalah tumor hipofisis. Dengan munculnya amenorea, penderita dengan perkembangan tumor hipofisis yang perlahan dapat muncul beberapa tahun sebelum tumor menjadi besar dan dapat dideteksi secara radiologis. Untungnya, tumor maligna tidak terlalu banyak dijumpai. Sampai dengan tahun 1989 tidak lebih dari 40 kasus yang dilaporkan di literatur internasional. Tetapi tumor jinak dapat menimbulkan problem sebab dapat berkembang dan terjadi pendesakan ruangan maupun jaringan lain, tumor akan tumbuh ke atas, akan menekan chiasma nervi optici yang menyebabkan hemianopsia bitemporalis. Dengan ukuran tumor yang kecil, kelainan visual kadang sulit dideteksi.1,4 Tidak semua massa intrasellar adalah neoplasma. Gumma, tuberkuloma, dan deposit lemak telah dilaporkan dan menyebabkan penekanan dan menyebabkan amenorea hipogonadotropin. Lesi pada daerah sekitar sella tursika seperti aneurisma arteri karotis, obstruksi aquaeduktus Sylvii dapat juga menyebabkan amenorea.1 B. Amenorea galaktorea Wanita dengan hiperprolaktinemia secara khas muncul dengan galaktorea dan berbagai keadaan gangguan menstruasi mulai dari menstruasi yang normal sampai amenorea yang diikuti dengan infertilitas. Gangguan yang terlihat mungkin berkaitan dengan hiperprolaktinemia ketika adenoma hipofisis yang menekan nervus optikus, traktus nervus optikus, chiasma nervi optici atau nervus kranialis yang lain. Pada pengamatan secara radiografi terhadap kelenjar hipofisis pada wanita dengan hiperprolaktinemia mungkin didapatkan makroadenoma, mikroadenoma, atau tidak didapatkan adenoma. Meskipun untuk memiliki kadar prolaktin yang tingggi, ukuran dari adenoma tidak berhubungan secara linier dengan kadar prolaktin.1,2,6,7 Prolaktin merupakan polipeptida yang terdiri atas 200 asam dengan berat molekul antara 19.000 22.000 Dalton. Prolaktin dihasilkan oleh sel-sel laktotrof yang terletak di dalam bagian distal lobus anterior kelenjar hipofisis. Hiperprolaktinemia adalah suatu gejala yang merupakan hasil dari suatu spektrum yang luas dari kelebihan

produksi laktotrof dari prolaktin dengan keadaan mulai dari ukuran hipofisis yang normal sampai perubahan adenomatosa dengan pembesaran hipofisis. Follow up jangka panjang pada wanita hiperprolaktinemia yang tidak diobati menunjukkan bahwa wanita dengan adenoma atau tanpa adenoma hipofisis biasanya tidak menunjukkan perkembangan dari penyakit sebagai hasil yang nyata dari adanya pengamatan secara radiologis.1,3 Wanita dengan amenorea anovulatoar yang disebabkan oleh perubahan fungsional dari hipotalamus mungkin masuk pada kelompok I (insufisiensi hipotalamus-hipofisis) atau grup II (disfungsi hipotalamus-hipofisis) dari klasifikasi amenorea yang dikeluarkan oleh WHO. Penderita-penderita ini memiliki beberapa macam gangguan hipotalamus-hipofisis, tetapi mereka berada dalam prolaktin plasma yang normal. Biasanya, beberapa wanita dengan bermacam gangguan diberikan klomifen sitrat untuk merangsang ovulasi, termasuk pada penderita dengan kadar prolaktin yang normal. Bagaimanapun juga, beberapa dari mereka tidak ada respon pada klomifen sitrat.1 Bromokriptin diketahui dapat digunakan untuk mengembalikan siklus ovulasi dan fertilitas pada beberapa penderita dengan anovulasi hipotalamus, termasuk bila mereka memiliki prolaktin darah yang normal. Di lain pihak, bromokriptin dan klomifen sitrat dapat secara sinergi sebagai induksi ovulasi, kemungkinan karena memiliki tempat kerja yang berlainan.1,3 Akhir-akhir ini dapat dipastikan, bahwa dari hipofisis bagian depan terdapat hormon pelepas tirotropin (TRH) yang mengeluarkan tidak hanya tirotropin, melainkan juga hormon pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Karena arti fisiologik hubungan fungsional antara kedua sistem tersebut sangat kecil, maka dapat disimpulkan bahwa tripeptida TRH sesungguhnya bukanlah PRF (prolactine releasing factor). Yang mempunyai arti lebih besar dari TRH atau PRF dalam pengaturan prolaktin adalah faktor penghambat prolaktin (prolactine inhibiting factor, PIF), yang susunan kimianya juga belum dapat dibuktikan sampai sekarang. Dibawah pengaruh meningkatnya steroid seks dalam serum, maka pengeluaran PIF dari hipotalamus akan ditekan. Peristiwa ini akan mengakibatkan meningkatnya sekresi prolaktin.3 Peningkatan kadar prolaktin serum yang ringan mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk diantaranya pemberian estrogen dan fenotiazin, respon dari stress,

makanan (khususnya makanan yang banyak mengandung asam amino), hipotiroid primer, tumor-tumor hipotalamus-hipofisis. Adenoma hipofisis yang memproduksi prolaktin umumnya muncul yang tandai dengan peningkatan kadar prolaktin (sering > 100 ng/mL). Tumor-tumor hipotalamus dan makroadenoma dapat menekan batang hipofisis, menghambat transport dari dopamin dan faktor-faktor hipotalamus-hipofisis, dengan hasil hiperprolaktinemia dan berbagai tingkat hipopituitarism. Penderita dengan hiperprolaktinemia ringan harus dilakukan eksplorasi tentang riwayat dan dilakukan pemeriksaan untuk menentukan keadaan hipofisis, hipersekresi hipofisis, atau efek dari penekanan massa. Suatu program istirahat yang berulang, kadar prolaktin puasa, yang tetap pada peningkatan yang ringan. Khususnya bila dikombinasikan dengan pembesaran hipofisis, perlu dilakukan pemeriksaan radiologis pada sella tursika.1 Deteksi secara radiologis dari adenoma hipofisis membutuhkan investigasi untuk menentukan apakah benar keadaan tersebut merupakan hipersekresi hormon hipofisis, atau bukan sekresi hormon-hormon hipofisis. Pada keadaan makroadenoma, harus dipikirkan tentang kemungkinan adanya hipopituitarisme sekunder parsial atau komplit yang menekan kelenjar jaringan hipofisis atau batang hipofisis. Adenoma nonsekresi mencakup 25%-30% dari adenoma hipofisis. Dari hasil pengukuran gonadotropin terlihat bahwa 80%-90% adenoma hipofisis nonsekresi adalah adenoma gonadotrofin. Adenoma-adenoma ini sering sulit untuk mendiagnosisnya sebab kekurangan tanda fenotip dari keadaan klinik, yang biasa digunakan untuk membedakan adenomaadenoma hipofisis sekretoris. Adenoma hipofisis non sekresi biasanya muncul dengan manifestasi klinis yang berhubungan dengan efek adanya massa seperti nyeri kepala, gangguan visus, dan hipopituitarisma.1,17 Diagnosis banding dari lesi yang luas pada area sella tursika termasuk diantaranya adalah makroadenoma hipofisis, kraniofaringioma, meningioma, dan proses inflamasi seperti sarkoid, kista arakhnoid, dan penyakit metastase. Peningkatan kadar FSH, LH, subunit, subunit LH dalam sirkulasi menunjukkan adanya suatu adenoma gonadotropin. Peningkatan basal FSH, LH, subunit , dan LH telah terdeteksi pada lebih dari 40% penderita dengan nonsekresi, adenoma hipofisis yang memproduksi gonadotropin.1

Pada wanita dan laki-laki, 50% - 60% dari adenoma gonadotropin nonsekresi akan menghasilkan FSH, LH, subunit , atau subunit LH dalam respon pada test terhadap thyrotropin-releasing hormon. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel pada adenoma gonadotropin memiliki sejumlah reseptor TRH, meskipun pada sel gonadotropin normal tidak dijumpai adanya reseptor tersebut.1 Pengobatan dari makroadenoma gonadotropin utamanya adalah pembedahan, secara primer dengan melalui transfenoid. Pengobatan secara radiasi mungkin merupakan suatu hal penting pada penderita dengan residu penyakit yang signifikan atau pertumbuhan tumor yang rekuren. Pengobatan dengan medikamentosa dengan bromokriptin saat ini merupakan teknik pengobatan yang penting meskipun mekanisme kerjanya masih belum terinvestigasi secara lengkap dan mengkin di masa yang akan datang lebih bisa dijelaskan.1 Upaya pengobatan yang diberikan untuk menurunkan kadar prolaktin yang tinggi adalah bromokriptin. Bromokriptin merupakan kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot yang bersifat dopaminergik. Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat mempengaruhi susunan syaraf pusat, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan saluran cerna. Bromokriptin menekan sekresi prolaktin yang berlebihan yang terjadi pada tumor hipofisis. Dosis obat sangat tergantung dari kadar prolaktin yang ditemukan pada saat itu. Kadar prolaktin 2540 ng/ml, cukup tablet bromokriptin/hari. Kadar prolaktin mencapai 50 ng/ml, bromokriptin diberikan 2x1 tablet/hari. Efek samping yang paling sering dijumpai adalah gangguan gastrointestinal (mual) serta hipotensi (pusing).1,3 Setiap pemberian bromokriptin perlu dilakukan pengawasan yang baik. Perlu dicegah pemberian dosis yang berlebihan. Tanda-tanda terjadinya penekanan sekresi prolaktin yang berlebihan adalah: kadar prolaktin 2 ng/ml, fase sekresi memendek akibat insufisiensi korpus luteum, diameter folikel kecil.1 Pada setiap hiperprolaktinemia harus terlebih dahulu diketahui apakah peningkatan tersebut akibat tumor hipofisis atau karena penyebab lain. Untuk membedakan dapat digunakan uji provokasi. Kadang-kadang adanya mikroadenoma tidak dapat diketahui secara radiologik, tetapi dengan uji provokasi mikroadenoma ini mudah diketahui.1

Uji dengan TRH, dimana TRH diberikan intravena dengan dosis 100500 g. setelah pemberian ini terjadi peningkatan prolaktin yang mencapai maksimum antara 1525 menit. Pada wanita yang tidak menderita prolaktinoma terjadi peningkatan 414 kali dari harga normal, sedangkan wanita dengan prolaktinoma pemberian TRH tidak menunjukkan perubahan kadar PRL.1

VII. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN IV A. Kehilangan berat badan, anoreksia, bulimia Obesitas dapat diasosiasikan dengan amenorea, tetapi amenorea pada penderita dengan obesitas biasanya berhubungan dengan anovulasi, dan keadaan hipogonadotropin tidak dapat diketahui meskipun penderita juga didapatkan gangguan emosional yang berat. Sebaliknya pengurangan berat badan secara mendadak, dengan berbagai macam cara, dapat menyebabkan terjadinya keadaan hipogonadotropin. Diagnosis dari keadaan amenorea hipotalamus ini juga merupakan hasil dari disingkirkannya adanya tumor hipofisis.1,2,6,7 Anoreksia nervosa terjadi kebanyakan pada wanita muda terutama wanita dari kelas menengah ke atas di bawah umur 25 tahun, tetapi sekarang terjadi juga pada berbagai tingkat sosial ekonomi. Beberapa kondisi yang bisa menegakkan diagnosis anoreksia nervosa adalah: umur berkisar antara 10-30 tahun, kehilangan berat badan 25% atau 15% di bawah berat normal, adanya episode makan berlebihan (bulimia), overaktif, baradikardi, amenorea, tidak ditemukan kelainan medis, tidak ditemukan gangguan psikiatri. Karakteristik lain diantaranya: konstipasi, tekanan darah yang rendah, hiperkarotenemia, diabetes insipidus.1,6 Membuka tabir secara hati-hati adanya hubungan antara amenorea dengan berat badan yang rendah kadang merupakan rangsangan terhadap penderita untuk kembali ke berat badan normal dan fungsi menstruasi yang normal. Adakalanya hal ini bila perlu untuk melihat penderita secara lebih sering dan perlu pemberian program diet tinggi kalori (minimal 2600 kalori) dengan memberikan kebiasaan makan yang benar. Bila perbaikannya berlangsung sangat lambat, terapi hormon perlu dipikirkan. Beberapa penderita memerlukan intervensi dari ahli jiwa.1,2

B. Latihan dan amenorea (exercise and amenorrhea) Pada abad ke-20, telah ada suatu kewaspadaan bahwa para atlit wanita, dan wanita yang memerlukan suatu latihan keras seperti penari balet, tari modern, didapatkan insidens yang signifikan adanya gangguan menstruasi sampai adanya amenorea, keadaan ini disebut supresi hipotalamus. Dua pertiga pelari memiliki fase luteal, yang pendek sehingga terjadi anovulasi. Bila latihan keras tersebut dimulai sebelum menars, menars mungkin akan terlambat sampai lebih kurang 3 tahun, dan kejadian menstruasi yang tidak teratur akan menjadi lebih tinggi.1,2,6,7 Kemunculan amenorea ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu suatu kadar kritis dari lemak tubuh dan efek dari stress itu sendiri. Para atlit wanita yang senantiasa ikut kompetisi/perlombaan memiliki 50% kadar lemak lebih sedikit dibanding dengan atlit yang bukan kompetitor. Pengurangan lemak tubuh tidak harus mengurangi berat badan, sebab lemak dikonversi menjadi massa otot. Pengamatan secara kritis didapatkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat dari lemak tubuh dan gangguan menstruasi tetapi hanya satu korelasi saja.1,6,13 Prognosis dari para atlit wanita mungkin baik. Hanya tingkat reversibilitasnya tidak diketahui dengan pasti, meskipun beberapa penelitian menunjukkan mengindikasikan bahwa sebagian besar atlit wanita akan mengalami ovulasi kembali bila stress dan latihan mulai bisa dibatasi. Namun demikian sebagian atlit tidak menginginkan untuk menghentikan untuk menghentikan latihan kerasnya. Pemberian terapi hormonal bisa dipertimbangkan pada wanita dengan hipoestrogen guna menjaga agar tidak terjadi perubahan pada tulang dan kardiovaskuler.1,6

C. Amenorea dan anosmia, Sindroma Kallmann Suatu kondisi yang jarang pada wanita, yaitu ditandai oleh adanya sindroma hipogonadotropik-hipogonadism kongenital yang berhubungan dengan anosmia atau hiposmia, dikenal sebagai sindroma Kallmann. Untuk mempermudah mengingat gambaran gejalanya sering disebut juga sebagai sindroma amenorea dan anosmia. Pada wanita, gejala yang muncul berupa amenorea primer, perkembangan seksual infantil, kadar gonadotropin rendah, kariotipe wanita normal, dan ketidakmampuan untuk mempersepsi aroma. Seringkali penderita tidak menyadari

adanya gangguan penciuman tersebut. Gonad mampu untuk memberikan respon terhadap gonadotropin; dengan demikian induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen bisa berhasil.1,2,6,7 Sindroma Kallmann mempunyai kaitan dengan defek anatomi yang spesifik. Pemeriksaan MRI (seperti juga pemeriksaan postmortem) memperlihatkan bahwa terdapat hipoplasia atau tidak ada sulkus olfaktorius di rhinencephalon. Defek ini mengakibatkan kegagalan olfactory axonal dan GnRH neuronal bermigrasi dari placode olfaktorius di hidung. Sel-sel yang memproduksi GnRH berasal dari area olfaktorius dan bermigrasi selama embriogenesis sepanjang nervus kranialis yang menghubungkan hidung dan forebrain. Terjadinya sindroma ini sebagai akibat mutasi yang melibatkan gen tunggal pada lengan pendek kromosom X yang berisi kode pembentukan protein yang neuronal.1,6,7 mengatur fungsi yang diperlukan untuk migrasi

VIII. RINGKASAN Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder. Gangguan yang ada bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada uterus), kompartemen II (gangguan pada ovarium), kompartemen III (gangguan pada hipofisis anterior) atau pada kompartemen IV (gangguan pada sistem syaraf pusat). Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang terjadi. Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan pengobatan yang berupa pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka pengobatan yang diberikan adalah mengeliminasi trauma psikis, bila perlu bekerjasama dengan ahli jiwa. Sedangkan kelainan yang diakibatkan oleh kelainan anatomik bisa diberikan dengan memperbaiki kelainan anatomis selama hal itu dimungkinkan.

IX. DAFTAR RUJUKAN1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical gynecologic endocrynologi and infertility. Baltimore: Williams & Wilkins, 1994: 401-456 Scherzer WJ, McClamrock H. Amenorrhea. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA. Novaks gynecology. 12th edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996: 820-832 Baziad A, Alkaff Z. Pemeriksaan dan penanganan amenorea. Dalam: Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z. Endokrinologi ginekologi. Edisi pertama. Jakarta: Kelompok studi endokrinologi reproduksi Indonesia bekerjasama dengan Media Aesculapius, 1993: 61-70 Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999: 203-223 Jacoeb TZ, Rachman IA, Soebijanto S, Surjana EJ. Panduan endokrinologi reproduksi. Jakarta: Bagian obstetric dan ginekologi FKUI/RSCM, 1985: 10-13 Yen SSC. Chronic anovulation caused by peripheral endocrine disorders. In: Yen SSC, Jaffe RB. Reproductive Endocrinology. 3rd edition. Philadelphia: WB Saunders Company, 1991: 577-673 Brewer JI, Decosta EJ. Textbook of Gynecology. 4th edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 1967: 101-136 Coulam CB. Premature gonadal failure. Fertil Steril 1982, 38: 645-655 Yeko TR, Parsons AK, Marshall R, et all. Laparoscopic removal of mullerian remnants in a woman with congenital absence of the vagina. Fertil Steril 1992, 57: 218-220 Hansen KA, Tho SPT, Gomez F. Nonfunctioning pituitary macroadenoma presenting with mild hyperprolactinemia and amenorrhea. Fertil Steril 1999, 72: 663-665 Lee PA, Rock JA, Brown TR, et all. Leydig cell hypofunction resulting in male pseudohermaphroditism. Fertil Steril 1982, 37: 675-679 Caufriez A. Male pseudohermaphroditism due to 17-ketoreductase deficiency: report of a case without gynecomastia and without vaginal pouch. Am J Obstet Gynecol 1986, 154: 148-149 Laatikainen T, Virtanen T, Apter D. Plasma immunoreactive -endorphin in exercise-associated amenorrhea. Am J Obstet Gynecol 1986, 154: 94-97 Reindollar RH, Novak M, Tho SPT, et all. Adult-onset amenorrhea: a study of 262 patients. Am J Obstet Gynecol 1986, 155: 531-543 Talbert LM, Raj MHG, Hammond MG, et all. Endocrine and immunologic studies in a patient with resistant ovary syndrome. Fertil Steril 1984, 42: 741-744 Rebar RW, Connolly HV. Clinical features of young women with hypergonadotropic amenorrhea. Fertil Steril 1990, 53: 804-810 Strebel PM, Zacur HA, Gold EB. Headache, hyperprolactinemia, and prolactinomas. Obstet Gynecol 1986, 68: 195-199