ali bin abi thalib
DESCRIPTION
Biografi, Masa pemerintahan, wafat, dllTRANSCRIPT
Biografi Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling awal memeluk agama Islam
(assabiqunal awwalun), sepupu Rasullullah Saw., dan juga khalifah terakhir dalam
kekhalifahan Kulafaur Rasyidin menurut pandangan Sunni. Namun bagi Islam Syiah, Ali
adalah khalifah pertama dan juga imam pertama dari 12 imam Syiah.
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab.
Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad,
sekitar tahun 600 Masehi. Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib. Namun Rasullullah
Saw. tidak menyukainya dan memanggilnya Ali yang berarti memiliki derajat yang tinggi di
sisi Allah
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran :
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab.
Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 Masehi (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga
kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar
yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW
memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Kehidupan Awal :
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena
beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang
telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Masa Remaja :
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu
Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi. Ini berkelanjutan hingga
beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum
Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu
dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi
seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah :
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga
masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan di Madinah :
Perkawinan
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri
kesayangannya Fatimah az-Zahra. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-
nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.
Julukan
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu
duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah
julukan yang paling disukai oleh Ali.
Proses Pengangkatan Abu Bakar ra. Sebagai Khalifah
Abu Bakar menjadi khalifah sejak 11-13 Hijriyah / 632-634 M, Proses pengangkatan Abu Bakar Ra, sebagai khalifah berlangsung dramatis. Setelah Rasulullah wafat, kaum
muslim di Madinah, berusaha utuk mencari penggantinya. Ketika kaum Muhajirin dan Ansar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah. Kaum Anshar
mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj sebagai pengganti nabi. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menyampaikan
pendirian kaum muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy. Akan tetapi hal tersebut mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin munzir (kaum Anshar). Di tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin
Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak usulan tersebut.
Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut semakin rumit,
maka dengan suara yang lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian proses pembaiatanpun terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh Basyir bin Saad beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Proses pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya mulus karena ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar, seperti Ali bin Abi Thalib,
Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-Ash, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amir, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Gifari, Amma bin Yasir, Bara bin Azib dan Ubai bin Ka’ab. Telah terjadi pertemuan sebagian kaum muhajirin dan Anshar dengan
Ali bin Abi Thallib di rumah Fatimah, mereka bermaksud membai’at Ali dengan anggapan bahwa Ali bin Abi Thalib, lebih patut menjadi khalifah karena Ali berasal dari bani Hasyim
yang berarti ahlul bait.
Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah pertama, menunjukkan betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat itu, dikarenakan
suku-suku Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem senioritas dan prestasi, tidak diwariskan secara turun temurun.
Setelah didapatkan kesepakatan dalam proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah, kemudian ia berpidato yang isinya berupa prinsip-prinsip kekuasaan demokratis yang selayaknya dimiliki oleh seorang pemimpin negara.
Fokus Pemerintahan
Meski berada dalam kesulitan berat, pemerintahan Ali bin Abi Thalib tentu bukanlah
pemerintahan yang buruk. Orang banyak belajar dari sikap Ali sebagai seorang pemimpin. Setelah menjadi khalifah, yang mula-mula dilakukannya adalah meneliti para pejabat yang berasal dari masa Usman bin Affan. Setelah melalui pertimbangan yang cermat, Imam Ali
akan mengambil keputusan untuk mencopot atau meneruskan suatu jabatan untuk dipegang oleh pejabat yang bersangkutan.
Pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya, Imam Ali terus memperbaiki sistem
keuangan negara. Bila dilihatnya ada kelemahan atau kelalaian dalam soal keuangan, dengan cepat beliau memperbaikinya. Dalam soal keuangan ini, Imam Ali memang terkenal sangat ketat mengawasi para pejabatnya. Setiap hasil pemerikasaan keuangan negara, selalu
diumumkan secara terbuka kepada rakyat.
Imam Ali juga menjalankan kebijakan Abu Bakar dan Umar yang membolehkan rakyat mengadu langsung permasalahannya kepada khalifah. Termasuk menerima pengaduan
tentang tindakan sewenang-wenang seorang pejabat. Itulah tuntunan Nabi Saw bagi seorang pemimpin. Meski demikian, sikap Imam Ali kepada para pejabatnya sangat ramah dan tidak pernah berburuk sangka.
Hubungan Ali sebagai seorang khalifah kepada para pejabatnya, tidaklah seperti hubungan seorang atasan kepada bawahan. Hubungan mereka justru lebih menyerupai sikap seorang sahabat dan guru kepada murid-muridnya. Sayangnya, masyarakat di zaman khalifah
keempat ini sudah tidak sama lagi dengan masyarakat di zaman para khalifah pendahulunya. Orang di masa Ali lebih tergiur pada harta dunia daripada akhlak baik yang diperlihatkan pemimpinnya.
Di masa Nabi dan para khalifah yang lain, perang selalu dimulai oleh pihak lawan. Nabi dan para khlaifah pendahulu pun tidak pernah mengajarkan tindakan tipu muslihat dalam bernegara. Maka Imam Ali pun tidak menggunakan cara tipu-menipu, apalagi
menggunakan agama untuk tujuan politik.
Masyarakat di masa Ali adalah masyarakat yang sebagianya sudah dihinggapi semangat kekerasan, kebendaan, keserakahan harta, serta kerakusan kedudukan.
Akhir Riwayat Ali bin Abi Thalib
Pada saat Ali akan bersiap-siap mengirim pasukan sekali lagi untuk memerangi Muawiyah, muncul suatu komplotan yang terdiri dari tiga orang khawarij. Ketiga orang ini sepakat untuk membunuh Ali bin abi Thalib, Muawiyah, dan Amr bin ash pada malam yang
sama. Mereka adalah Abdullah ibn Muljam yang berangkat ke Kufah untuk membunuh Ali, Barak Ibn Abdillah at Tamimi berangkat ke Syam untuk membunuh Muawiyah dan Amr ibn
Bakr at Tamimi yang berangkat ke Mesir untuk membunuh amr ibn Ash. Di antara ketiga orang itu, yang berhasil hanyalah Abdullah ibn Muljam yaitu berhasil membunuh Ali ketika Ali memanggil orang untuk sembahyang di masjid. Maka pada tahun
661M berakhirlah kehidupan Ali ibn abi Thalib di tangan seorang khawarij,Abdullah ibn Muljam. Ali meninggal di usia 63 tahun. Khalifah Ali memerintah selama 4 tahun 9 bulan.