ahmadi fd - pemikiran tafsir muhammad abid al-jabiri dalam fahm al-quran al-hakim [al-tafsir...
TRANSCRIPT
-
0
PEMIKIRAN TAFSIR MUH}AMMAD A>BID AL-JA>BIRI
Dalam Fahm al-Qura >n al-Haki>m:
al-Tafsi>r al-Wa>d }ih} Hasb Tarti>b al-Nuzu>l
MAKALAH REVISI
disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah
KAJIAN KITAB TAFSIR
Dosen Pengampu: Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag.
Oleh:
Ahmadi Fathurrohman Dardiri (1220510030)
PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI QURAN DAN HADIS
PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
-
1
PENDAHULUAN
Penafsiran al-Quran dilakukan dengan beragam metode. Metode Tah }li >liy
(atomistik) fokus pada penafsiran terhadap ayat-ayat yang terletak dalam satuan
kelompok tema dan terletak dalam satu surat. Penjelasannya analitis namun
terbatas pada teks yang sedang dihadapi.1 Berbeda dari metode Tah }li >liy, metode
Mawd}u>iy (tematik) menekankan keselarasan suatu tema yang diangkat. Misalnya,
tema perceraian. Maka penafsiran tidak terbatas pada QS. al-T}ala>q saja melainkan
semua ayat-ayat al-Quran yang membicarakan mengenai perceraian. Cara
kerjanya adalah dengan mengumpulkan semua ayat yang berkaitan dengan tema,
dikaji secara mendalam, mencari keselarasan pesan yang terkandung pada ayat-
ayat tersebut, serta dipadukan dengan pengetahuan asba >b al-nuzu >l (sebab turun)
ayat, penjelasan kosa kata, dan lain sebagainya.2 Metode ini tampak lebih objektif
karena memberikan keleluasaan kepada al-Quran untuk berbicara tentang suatu
persoalan dalam perspektifnya.
Ada dua metode lain, yaitu Ijma>liy (global) dan Muqa>ran (komparatif).
Yang pertama berupa penafsiran dengan mengemukakan mana global sekelompok
ayat atau sebuah surat (pendek). Sementara yang kedua berupa pembandingan dua
atau lebih karya tafsir atau suatu tema pembahasan dalam dua atau lebih karya
tafsir berbeda. Aspek yang disoroti beragam, mulai dari sumber penafsiran (bi al-
rayi dan bi al-mas||u>r), kecenderungannya ataupun background mufasirnya.3
Secara umum, kedua metode ini lebih banyak digunakan para peneliti ketika
melakukan kajian atas kitab-kitab tafsir, ketimbang para mufasir dalam karya-
karya tafsir mereka.
Dari sisi corak penafsiran, ada beberapa corak penafsiran yang
ditampilkan para mufasir, antara lain: sufi, lughowiy (kajian kebahasaan), adabiy
ijtima>iy (sosial kemasyarakatan), fiqh, falsafiy, saintifik, dan kala >m (teologi).
1
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qura >n (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 31.
2 Ibid. Hlm. 151. Lihat pula Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-
Mawd }uiy: Dira >sa >h Manhajiyyah Mawd }u >iyyah, terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. Rajagrafindo, 1994), hlm 52-54.
3 Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Mawd }uiy.hlm. 29-31.
-
2
Adapun paradigma urutan penafsiran, sejauh ini hanya ada dua model:
tarti>b mus }h}afiy dan tarti >b nuzu >liy. Tarti>b mus }h}afiy adalah penafsiran yang
dilakukan sesuai urutan al-Quran mus}h}af us |ma>ni. Model ini banyak diikuti oleh
hampir semua mufasir. Sementara tarti >b nuzu >liy adalah penafsiran yang dilakukan
sesuai dengan urutan turunnya al-Quran. Sejauh ini penulis hanya menemukan
dua tafsir yang menggunakan model ini, yaitu al-Tafsi>r al-Hadi>s | karya Izzah
Darwazah4 dan Fahm al-Qura>n: al-Tafsi >r al-Wa>d}ih Hasb Tarti>b al-Nuzu >l karya
Muh }ammad A>bid al-Ja>biri.5
Makalah ini akan membahas tafsir karya Muh }ammad A>bid al-Ja>biri
(selanjutnya Ja>biri). Diawali dengan pendahuluan dan biografi singkat Ja>biri,
pembahasan dilanjutkan dengan pandangan ontologis al-Quran dan tafsir,
metodologi penafsiran, kajian tarti >b nuzu >liy, metode penulisan tafsir, kajian naskh
disertai contoh penafsiran, dan diakhiri dengan penutup.
SELAYANG PANDANG MUH}AMMAD A>BID AL-JA >BIRI
Muh }ammad A>bid al-Ja>biri lahir pada 1936 di Figuig, Maroko bagian
selatan. Ja>biri tumbuh dalam sebuah keluarga yang berkecimpung di dunia politik
(partai politik) yang memperjuangkan kemerdekaan Maroko dari penjajahan
Perancis. Ketika maroko merdeka pada 1956, tiga tahun kemudian (1959) Ja>biri
melanjutkan studinya di universitas Damaskus, Syiria, di bidang filsafat.6 Pada 3
Mei 2010, pada usia 76 tahun, Ja>biri meninggal dunia.
Dalam perjalanan studinya, Ja>biri terlibat aktif dalam kegiatan politik di
negaranya. Karena aktifitasnya, ia pernah di jebloskan ke penjara pada 1964 atas
tuduhan konspirasi melawan negara. Pada tahun itu juga ia dikeluarkan dari
4 Izzah Darwazah, al-Tafsi>r al-Hadi >s| (Kairo: Da >r Ihya > al-Kutub al-Arabiyyah, 1963).
Terdiri atas 10 jilid. 5 Muh}ammad A>bid al-Ja >biri, Fahm al-Qura>n: al-Tafsi>r al-Wa >d }ih } H }asb Tarti>b al-Nuzul
(Beirut: Markaz Dira >sa >t al-Wih}dah al-Isla >miyyah, 2008). Tafsir ini terdiri dari 3 jilid. 6 Walid Hamarneh, pengantar dalam Muh}ammad A>bid al-Ja >biri, Kritik Kontemporer
Atas Filsafat Arab Islam, terj. M. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. xvii-xviii.
-
3
penjara. Perjalanan studinya berakhir pada 1970 dengan gelar doktoral yang
diraihnya.7
Sikap kritis merupakan sesuatu yang melekat dalam diri Ja>biri. Hal ini
sebagaimana ditunjukkan dalam sikapnya terhadap pembacaan mengenai
pemikiran tura >s | (tradisi). Tradisi, dalam hal ini Ja>biri memfokuskan hanya pada
warisan karya ilmiah, merupakan penentu peradaban bangsa. Kepada tura >s | yang
kebanyakan berusia ratusan tahun, Ja>biri secara retoris bertanya, bagaimana
membaca teks-teks tersebut?, ketika tura>s | dihadapkan dengan modernitas.
Menurut Ja>biri, ada 3 model pembacaan tura >s |: 1) membaca tura >s | dengan
kerangka modernitas, 2) membaca tura >s | dengan kerangka tura >s |, dan 3) membaca
modernitas dengan kerangka tura >s |. Sambil mengutuk cara ketiga, Ja>biri
menegaskan pentingnya cara pertama untuk memperlakukan tura >s | pada era
kontemporer. Dialektika modernitas dan tura >s | adalah niscaya dan tidak
seorangpun mampu menghindarinya.8
Karena itu, Ja>biri menganjurkan sikap kritis dalam menghadapi
modernitas dan tura >s | sekaligus dengan memunculkan teori dekonstruksi sebagai
teori analisis. Dengan teori ini, diharapkan seorang pemikir dapat menganalisa
struktur bangunan pemahaman pada tura >s | dan melakukan perubahan pada
metode memahami tura >s | jika memang dibutuhkan. Ja>biri mencatat bahwa
proses ini dilakukan dalam rangka menempatkan tura >s | pada tempat yang
semestinya: memberi ruang bagi sesuatu yang tetap untuk menjadi (mungkin)
berubah, yang absolut menjadi relatif, dan yang ahistoris menjadi historis.9
Sikap Ja>biri yang demikian tegas terhadap tura >s | dan konsisten dalam
memegang dialektika pemikiran menjadi inspirasi bagi dirinya dalam
menghadirkan al-Quran (sebagai representasi tura >s |), dengan menggunakan
perspektif tarti >b nuzu >liy sebagai acuan, yang secara khusus ditujukan kepada
masyarakat kontemporer (sebagai representasi modernitas).
7 Ibid.
8 A. Luthfi Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer. Sumber:
artikel pada www.media.isnet.org, diakses pada 5 Oktober 2013. 9 Ibid.
-
4
PANDANGAN ONTOLOGIS MENGENAI AL-QURAN DAN TAFSIR
Sebagaimana umumnya pengkaji al-Quran, Ja>biri tak luput menjelaskan
apa itu al-Quran dalam pandangannya. Hal ini penting dijabarkan karena
pandangan ontologis mufasir merupakan pijakan dasar dalam merumuskan
kaidah-kaidah, metode, dan langkah-langkah penafsiran, serta visi yang hendak
dicapai melalui struktur pemahaman yang dibangunnya.
Bagi Ja>biri, al-Quran dapat diidentifikasi ke dalam 5 hal pokok, yaitu: 1)
wahyu10
dari Allah, 2) diturunkan melalui perantara malaikat Jibri >l, 3) diturunkan
kepada Nabi Muh }ammad, 4) dengan bahasa Arab sebagai medium wahyu, dan 5)
wahyu tersebut merupakan jenis wahyu yang juga disampaikan kepada para
Rasul11
terdahulu.12
Ketika dipadukan, kelima hal pokok di atas akan membentuk 3 dimensi
pembahasan penting al-Quran, yang satu sama lain memiliki kekhasan masing-
masing. Pertama, Dimensi non-temporal/keabadian (la > zamaniy) yang tampak
dalam relasi risalah Muh }ammad dengan risalah langit (risa >lah samawiyyah) para
rasul terdahulu. Bahwa risalah Muh }ammad menjadi penerus risalah terdahulu.
Kedua, Dimensi ruhani yang tercermin dalam proses Muh }ammad ketika
menerima wahyu dari Allah. Muh }ammad menampakkan ketahanan dan
kesabarannya selama prsose pewahyuan tersebut. Ketiga, Dimensi sosial-relijius
yang tampak pada proses penyampaian risalah dari Muh }ammad kepada umatnya,
beserta adanya segala konsekuensi atas proses penyampaian tersebut.13
Ja>biri,
dengan demikian, menegaskan pergumulan antara dimensi ketuhanan dan sosial
pada diri al-Quran.
10
Penjelasan tentang tiga tingkatan wahyu: al-ilha >m, al-kala >m min wara >i h }ija >b, dan kala >m Alla >h kepada hambaNya yang terpilih (utusan/rasu >l) untuk disampaikan kepada manusia. Rujuk Muh }ammad A>bid al-Ja >biri, Madkhal ila > al-Qura>n al-Kari>m: al-Juz al-Awwal fi> al-Tari >f bi al-Qura>n (Beirut: Markaz Dira >sa >t al-Wih}dah al-Arabiyyah, 2006), hlm, 112.
11 Dibedakan term nabi dan rasul. Nabi adalah seorang hamba Allah yang menerima
wahyu dan tidak dibebankan kepadanya menyampaikan wahyu tersebut kepada manusia,
sementara Rasul dibebankan kepadanya menyampaikan wahyu tersebut kepada manusia. Lebih
lanjut, rujuk Ibid., hlm. 113-114. 12
Ibid., hlm. 24. 13
Ibid.
-
5
Pergumulan al-Quran dengan dimensi sosial meniscayakan penafsiran
yang terbebas dari struktur-struktur tertentu. Karenanya, penafsiran terhadap al-
Quran harus bersifat terbuka (maftu >h}) dengan menerima segala kemungkinan
jenis, corak, dan metode penafsiran. Secara khusus, Ja>biri menyinggung tarti>b
nuzu >liy sebagai anti-tesa penafsiran tarti >b mus}h}afiy. Hal ini dikarenakan al-Quran
diturunkan bersamaan dengan kondisi (muqtad}a> al-h}a>l) yang menyertainya.14
METODOLOGI PENAFSIRAN
Seperti telah disinggung, Ja>biri menjalankan teori dekonstruksi dalam
melakukan pembacaan terhadap tura >s |. Teori ini dijalankan dalam dua skema;
dengan menjadikan al-Quran sebagai teks yang kontemporer bagi dirinya (jalu
al-maqru> mua >s }iran li nafsihi>), dan sebagai teks yang kontemporer bagi audiens
(jaluhu > mua >s }iran lana >). Dua skema ini merupakan kesatupaduan penting dalam
membaca teks.15
Pertama, langkah pemisahan teks dari audiens (fas}l al-maqru> an al-
qa>ri). Hal ini penting karena ketika menelaah tura >s |, pembaca (Arab) seringkali
melakukan pembacaan ulang (mutaz |akkir) bukan penjelajahan dan investigasi
lanjutan atas teks (muktasyaf wa mustafham). Seolah mereka (kalangan Arab
kontemporer) merasakan adanya kesulitan melepaskan diri dari keterkungkungan
tura >s | sekaligus kesulitan berdialektika dengan modernitas (muat}t }ar bi tura >s |ihi>
mus|aqqal bi h }a>d}irihi >). Mereka juga seringkali melewatkan pentingnya kosa
kata16 ketika berusaha mencari makna dari teks.17 Karenanya, mendesak untuk
dilakukan pembenahan pada model pembacaan tersebut.
Metode yang diperlukan adalah kesadaran teknis mengenai menjauhkan
diri dari pembacaan makna sebelum benar-benar menelaah kata-kata. Kata yang
dimaksud bukan sekedar kata dalam pengertian susunan huruf yang memiliki arti
tertentu, melainkan relasi antar kata-kata yang membentuk suatu jaringan (al-
14
Ibid., hlm. 243. 15
Muh}ammad A>bid al-Ja >biri, Nahnu wa al-Tura>s|: Qira >a >t Mua>s}irah fi > Tura >s|ina > al-Falsafi (Beirut: al-Markaz al-Tsaqa>fiy al-Arabiy, 1993), hlm. 12.
16 Dijelaskan pada paragrap selanjutnya.
17 Muh}ammad A >bid al-Ja >biri, Nahnu wa al-Tura>s|, hlm. 22-23.
-
6
alfa >z } ka ana >s }ir fi> syabakah min al-ila >qa>t). Wajib bagi pembaca melepaskan diri
dari pemahaman yang terbentuk dari teks tura >s | yang mengendap dalam
pikirannya sekaligus keinginan untuk menghadirkan (sesegera mungkin makna
teks) ke konteks kekinian. Yang hendak dicapai dari proses ini adalah pemisahan
pesan teks dari isi/konten teks (fas }l al-maudu> an al-z |a>t) dan pemisahan
isi/konten teks dari pesan teks (fas }l al-z |a>t an al-maudu >).18
Ja>biri mengurai 3 hal penting yang ingin diurai dari keseluruhan proses
fas }l al-maqru > an al-qa>ri: mengurai bangunan teks, memahami kesejarahan teks,
dan menelisik ideologi yang terkandung di dalam teks.19
Hal ini berguna bagi teks
untuk dihadirkan kepada pembaca dalam bentuk dan dalam relasi yang baru,
dan teks menjadi kontemporer (mua>s }ir) bagi kita pembaca kontemporer.20
Kedua, langkah penyatuan kembali teks dengan audiens (was }l al-qa>ri bi
al-maqru >). Setelah memisahkan diri dari teks, pembaca kini diharapkan
menyatukan diri dengan teks. Memahami unsur terdalam teks dijalankan dengan
intuisi (al-hadas) yang membuat jiwa (al-dz |a>t) pembaca menggenggam erat sisi
terdalam makna teks. Intuisi yang dimaksud haruslah selalu diolah melalui
pemahaman kebahasaan Arab.21
Tampak Ja>biri mengusung paradigma objektifitas; berusaha menjadikan
al-Quran seolah berbicara mengenai problem yang terjadi di era kontemporer
dengan caranya sendiri. Sekilas, yang ditempuh Ja>biri mirip dengan visi dari
gagasan tafsir tematik. Namun, paradigma ini tidak mengurangi pentingya peran
penafsir pada proses menemukan ide terpendam dalam ayat-ayat al-Quran.
KAJIAN TARTI >B NUZU>LIY
Telah sedikit disinggung mengenai pergumulan aspek ketuhanan dan
sosial yang ada dalam al-Quran, dalam pandangan Ja>biri. Ini tak lain sebagai
18
Ibid., hlm.23. 19
Untuk penjelasan lebih lanjut, rujuk Ibid., hlm., 24. 20
Ibid., hlm. 24. 21
Untuk penjelasan lebih lanjut, rujuk Ibid., hlm. 25.
-
7
konsekuensi atas ketertarikan Ja>biri terhadap pemikiran Ibn Khaldun
(sebelumnya mengagumi Marxisme).22
Karenanya, ada kesesuaian (bahkan menjadi keharusan) sosiologis antara
asba >b al-nuz >ul dengan kehidupan sosial nabi (si >rah nabawiy) dan spirit dakwah
kenabian. Artinya, ketiga hal tersebut saling dapat menjelaskan urgensi dan
sinkronisasinya dalam segala aspek.23
Hal ini penting mengingat turunnya ayat
tidak lain dalam rangka berdialog dengan mukha >t }abnya. Hal ini dapat
dibuktikan ketika Ja>biri dengan yakin, mengutip al-Sya >t }ibi, mengatakan, Surat
Madaniyyah sepatutnya diturunkan dalam rangka memahami Surat Makkiyyah,
begitu pula Makkiyyah terhadap sebagian Makkiyyah lainnya, dan Madaniyyah
dengan Madaniyyah lainnya, yang mana sesuai dalam koridor urutan
penurunannya. Jika tidak, maka tidak sah pemahaman seseorang akan al-
Quran.24 Ini menegaskan kebertautan antara ayat dalam koridor sosiologis.
Keyakinan Ja>biri akan tarti >b nuzu >liy dikuatkan dengan argumentasinya
mengenai kemunculan problem atomistik (partikularistik) ketika ayat-ayat al-
Quran ditafsirkan melalui tarti>b mus }h}afii, sekalipun menyertakan asbab nuzul.
Ja>biri menilai hal ini membuat al-Quran tercerabut dari konteks asalnya.25 Ada
koneksi yang hilang (missing link) pada keutuhan dan runtutan pesan pada ayat-
ayat al-Quran. Karenanya, Sebab, al-Quran memiliki relasi tak terpisahkan
dengan kehidupan Nabi.26
Ada fakta di hadapan umat Islam mengenai status al-Quran; tarti >b
mus}hafiy dan tarti >b nuzuliy. Menurut Ja>biri, pemahaman mengenai al-Quran bisa
menggunakan ciri khas salah satu dari keduanya atau digunakan secara
bersamaan. 1) Jika ayat yang dibahas berkaitan dengan historisitas, maka versi
22
Abdullah Affandi, Pemikiran Tafsir Muh }ammad A >bid al-Ja>biri (Studi Analisis Metodologis), karya Tesis pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009,
hlm. 52. 23
Ibid., 93. 24
Muh}ammad A >bid al-Ja >biri, Fahm al-Qura >n al-Haki>im: al-Tafsi>r al-Wa >d }ih } Hasb Tarti>b al-Nuzu >l, al-Qism al-Awwal (Beirut: Markaz Dira >sa >t al-Wih}dah al-Isla >miyyah, 2008), hlm. 13.
25 Abdullah Affandi, Pemikiran Tafsir Muh }ammad A >bid al-Ja>biri, hlm. 94-95.
26 Ibid., hlm. 94.
-
8
tarti>b nuzuliy yang dijadikan paradigma. 2) Jika terkait pembahasan ahistorisitas
dan independensi pesan al-Quran dalam menentukan hukum (maqa>s }id al-
syari >ah), maka tarti >b mus}hafiy yang digunakan. 3) Jika tema pembahasan
mencakup kedua dimensi sekaligus, kedua tarti>b bisa digunakan secara
bersamaan, dengan harapan bisa saling melengkapi, khususnya dari sisi
metodologis.27
Muncul pertanyaan besar perihal, sumber apa yang digunakan Ja>biri
dalam menentukan urutan susunan al-Quran? Ja>biri menegaskan pentingnya
unsur kesejarahan yang terpercaya.28
Selain itu, penting juga mengutip sumber-
sumber penafsiran bi al-mas |u>r dan mengolah data-datanya menjadi sebuah relasi
logika yang runtut, logis, dan meyakinkan (untuk dianggap sebagai
kebenaran).29
Ja>biri merumuskan historisitas al-Quran yang diselaraskan dengan
kehidupan Nabi di Makkah ke dalam 5 periode besar. 1) Dakwah secara
sembunyi, 2) Dakwah terang-terangan, penghancuran berhala, dan konfrontasi
dengan kaum Quraisy, 3) Tekanan kafir Quraisy terhadap Islam dan hijrah umat
Islam ke Ethiopia, 4) Penahanan Nabi dan keluarganya di Syabu Abi > T}a>lib, dan
5) Pembebasan Nabi dari tahanan rumah dan tawaran datang kepada Nabi untuk
memimpin Makkah.30
Namun, Ja>biri tidak memberikan periodesasi dalam
kehidupan nabi di Madinah.31
Mengkaji secara komprehensip kajian tarti >b nuzu >liy versi Ja>biri, ada
sedikit perbedaan susunan dengan versi Mesir. Berikut ini susunan tarti>b nuzu >liy
27
Ibid., hlm. 95. 28
Sejarah yang dimaksud bukan sekedar melakukan kutipan yang bersumber dari karya
tafsir bi al-mas |u>r. 29
Abdullah Affandi, Pemikiran Tafsir Muh }ammad A >bid al-Ja>biri, hlm. 96. 30
Ibid., hlm. 96-97. 31
Lihat Muh}ammad A >bid al-Ja >biri, Fahm al-Qura>n al-Haki >im: al-Tafsi>r al-Wa >d }ih } Hasb Tarti>b al-Nuzu >l, al-Qism al-Ta |>lis| (Beirut: Markaz Dira >sa >t al-Wih}dah al-Isla >miyyah, 2009). Pada jilid 3 ini tidak disampaikan struktur pembagian marh }alah sebagaimana pada jilid 1 dan 2, yang
berisi ayat-ayat yang turun di Makkah.
-
9
versi Ja>biri dan Mesir, namun terbatas pada surat-surat yang turun di Makkah.32
(Rujuk tabel, pada Lampiran 1)
Tampak ada beberapa perbedaan pada susunan tarti>b nuzu >liy Ja>biri dan
Mesir pada tabel sebagaimana terlampir. Berikut beberapa ulasannya.33
1. Tata urutan surat kedua pada versi Mesir adalah surat al-Qalam
(dikecualikan ayat 17-33 dan 48-50 yang turun di Madinah), sementara
urutan kedua versi Ja>biri adalah surat al-Mudas |s |ir: 1-10. Masih ada
beberapa urutan surat yang berbeda dan beberapa pengecualian ayat-
ayatnya.
2. Jumlah surat pada tarti >b nuzu >liy versi Mesir berjumlah 86, sedangkan versi
Ja>biri 90 surat, dengan menambahkan surat Al-Mumin/Gha>fir, al-Insa>n,
al-Rad, dan al-H}ajj.
Penambahan keempat surat tersebut bukan tanpa alasan. Surat al-H}ajj,
misalnya, ada beberapa alasan membuatnya dikategorikan sebagai
Makkiyyah. a) Adanya redaksi ayat yang memperbolehkna hijrah dan
perang. b) Kebanyakan ayat dalam surat al-H}ajj turun pada awal tahun ke-
14 kenabian, sementara nabi hijrah ke Madinah pada akhir tahun ke-14,
tepatnya pada bulan Rabi > al-Awwal. Maka surat ini tergolong Makkiyyah.
c) Merujuk pada beberapa sumber yang menyatakan bahwa surat al-H}ajj
turun dalam perjalanan hijrah Nabi ke Madinah. Besar kemungkinan surat
ini adalah surat terakhir yang turun di Makkah. d) Jika nama surat
dianggap merepresentasikan isinya, maka surat al-H}ajj termasuk
Madaniyyah, karena berkaitan dengan syariat melaksanakan haji bagi umat
Islam. Namun begitu, syariat berhaji telah ada sebelum Islam datang.
3. Pada beberapa surah, di mana dalam tarti >b nuzu >liy versi Mesir
dikecualikan berupa beberapa ayat sebagai Madaniyyah, Ja>biri secara utuh
32
Tabel ini dikutip utuh dari Abdullah Affandi, Pemikiran Tafsir Muh }ammad A >bid al-Ja >biri, hlm. 97-99.
33 Ulasan ini dikutip dan dilakukan parafrasa dari tesis Abdullah Affandi. Ibid., hlm. 99-
100.
-
10
menggolongkannya sebagai Makkiyyah. Surat-surat tersebut antara lain:
al-Qalam, al-Muzammil, al-Ara>f, Ya>si >n, al-Furqa>n, Maryam, T }a>ha>, al-
Wa>qiah, al-Syuara>, al-Qas }as }, al-Isra>, Yu>nus, Hu >d, Yu>suf, al-Ana>m,
Luqma >n, Saba, al-Zumar, al-Mumin/Gha>fir, al-Syu >ra>, al-Zukhruf, al-
Ja>s |iyah, al-Ahqa >f, al-Kahfi, al-Nah}l, Ibra >hi >m, al-Sajdah, al-Ru>m, dan al-
Ankabu >t.
Perbedaan dua versi tarti >b nuzu >liy ini bisa dimaklumi. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, metode Ja>biri sangat khas dalam menentukan runtutan
sejarah turunnya al-Quran, yang sumbernya tidak hanya dari sumber-sumber
tafsir bi al-mas |u>r namun juga pengolahan data dalam logika yang runtut, logis,
dan meyakinkan (untuk dianggap sebagai kebenaran).
METODE PENULISAN TAFSIR
Dalam melakukan penafsiran, ada pola (pattern) sistematis yang
digunakan Ja>biri. Berikut ini beberapa analisa yang penulis lakukan.34
1. Karya tafsir ini terdiri atas 3 jilid. Jilid 1 dan 2 mencakup surat-surat yang
turun di Makkah. Surat-surat ini terbagi dalam 6 marh}alah; 3 marh}alah
untuk masing-masing jilid.35
Sementara itu, jilid 3 khusus memuat surat
yang turun di Madinah. Tidak dijelaskan ada berapa marh}alah di Madinah.
Menurut kami, Ja>biri menyebut semua surat yang turun di Madinah
sebagai satu kesatuan utuh.
2. Pada setiap jilidnya, dibubuhkan mukaddimah utama. Mukaddimah ini
tidak melulu berisikan penjelasan keseluruhan materi dalam masing-
masing jilid tersebut. Misalnya pada jilid 1, Ja>biri membahas tentang
34
Penulis mengakui ada kesulitan dalam menjelaskan informasi tambahan Ja >biri, yaitu
sebuah sub-bab pembahasan berjudulaud al> badi, berisi khula>s}a >t: manhaj wa nata >ij. Sub-bab ini terletak pada bagian akhir jilid 2.
35 Dirangkum dari ketiga jilid tafsir Ja >biri. Berikut ketujuh marh }alah tersebut:1) al-
nubuwwah wa al-rubu>biyyah wa al-ulu>hiyyah, 2) al-bas|u wa al-jaza>u wa musya >hadah al-qiya >mah, 3) ibt}a>l al-syirk wa tasfi >h iba>dah al-as}na >m, 4) al-s}adu bi al-amr wa al-ittis}a >l bi al-qaba>il, 5) h }is}a >r al-nabiy wa ahlihi > fi> syabi abi > t}a >lib wa hijrah al-muslimi>n ila > h }abasyah, 6) ma> bada al-h}is}a >r: muwa >s}alah al-ittis}a >l bi al-qaba>il wa al-istida>d li al-hijrah ila > al-madi >nah, dan 7) al-rasu >l fi> al-madi >nah. Adapun penjelasan pada masing-masing marh }alah tersebut, dapat dirujuk ke istihla >l (semacam mukaddimah) pada masing-masing marh }alah tersebut.
-
11
bagaimana kita memahami al-Quran, yang berisi sekelumit materi
tentang awal mula karya Ja>biri ini tersusun; dimulai dengan menyusun
kerangka berpikir yang tertuang karya berjudul Madkhal ila > al-Qura>n al-
Kari >m. Sementara, dengan konten berbeda, pada jilid 3 dijelaskan
mengenai isi pembahasan, yaitu kehidupan Nabi Muh }ammad di Madinah.
Tak lain karena jilid ini memang membahas surat-surat yang turun di
Madinah.
3. Setiap marh}alah ini diawali dengan istihla >l dan diakhiri dengan istit }ra >d.
Istihla >l berisikan keterkaitan antar surat pada tiap-tiap marh}alah, kepada
siapa surat-surat tersebut ditujukan (mukha>t }ab), dan dijelaskan dalam
bahasa yang sederhana. Sementara istit }ra>d berisi penjelasan tema global
dalam setiap marh}alah. Namun, ini hanya berlaku pada jilid 1-2. Adapun
model istit }ra>d pada jilid 3 tampak sebagai tema pilihan yang menurut
Ja>biri penting untuk dibahas dan dijelaskan.36
4. Pada setiap surat yang hendak dibahas, selalu dimulai dengan taqdi >m
(pendahuluan) dan diakhiri dengan tali >q. Yang dipaparkan dalam taqdi >m
ini berkisar pada makna surat, historisitas ayat-ayat dalam surat tersebut
diturunkan (bersumber dari hadis)|, dan terkadang disampaikan alasan
mengenai alasan surat tersebut diletakkan di urutan mana (dalam tarti>b
mus }h}afiy). Sementara pada tali >q dipaparkan penjelasan tambahan terkait
36
Berikut ini tema istit }ra >d dalam 3 jilid karya tafsir Ja >biri.
1. Al-Marh }alah al-U>la > : al-Rabb, Alla>h, al-Rah}ma >n. 2. Al-Marh }alah al-S|a >niyah : al-Maa>d. 3. Al-Marh }alah al-S|a >lis|ah : al-Tawhi >d, al-As}na>m, al-Tas}wi>r. 4. Al-Marh }alah al-Ra>biah : al-Dawah Taghzu > al-Arab fi > al-Mawa >sim wa al-
Aswa >q. 5. Al-Marh }alah al-Kha>misah : Masalah al-Hida>yah wa al-Id }la>l. 6. Al-Marh }alah al-Sa>disah : al-Hijrah ila> al-Madi >nah. 7. Al-Rasu >l fi > al-Madi>nah
a. Masalah al-Naskh fi> al-Qura >n b. Al-Muh }kam wa al-Mutasya>bih c. Nisa > al-Nabiy d. Hawl zawa >j al-Mutah e. Qis}s}ah al-Ifk f. Akhba>r an al-Muna>fiqi >n g. Asba >b al-Nuzu>l
-
12
surat yang sedang ditafsirkan. Selain itu, tali >q juga (terkadang) berisi
penjelasan dari para penafsir lain diikuti dengan penjelasan Ja>biri, sumber-
sumber hadis dan ayat-ayat lain yang terkait yang dikutip, untuk
dikorelasikan satu sama lain, sehingga membentuk penjelasan yang
menyeluruh (syumu>l).
5. Penafsiran dilakukan dengan model tematik. Artinya, penafsiran tidak
dilakukan dengan metode atomistik per-ayat, melainkan per-kelompok
ayat. Namun demikian, pada setiap kelompok ayat yang dibahas tidak
selalu dibubuhi judul tema, melainkan kutipan potongan ayat yang
menggambarkan semangat dari kelompok ayat tersebut. Sejauh
pengamatan kami, pemetaan ini umum berlaku pada ayat-ayat yang
panjang, meski tidak menutup kemungkinan adanya pemetaan pada ayat-
ayat pendek semisal surat al-A>diya>t dan al-Ma >u >n.37
6. Penulis mencatat bahwa penafsiran Ja>biri lebih mirip Tanwi>r al-Miqba >s
min Tafsi>r Ibn Abba>s karya Abu > T}a>hir Muh }ammad Ibn Yaqu>b al-
Firuzabadi. Tafsir Ja>biri tampak hanya berusaha memberikan catatan
pelengkap pada setiap kata atau beberapa susunan kata dalam ayat al-
Quran, sehingga pembaca dapat memahami seutuhnya ayat-ayat tersebut.
Setelah itu, barulah Ja>biri memberikan penjelasan lebih lebar dalam
pembahasan tali >q pada setiap akhir surat. Tak hanya itu, mukaddimah
pada setiap awal surat, pembahasan istit }ra>d, istihla>l, dan mukaddimah
pada setiap marh}alah juga tidak bisa diabaikan sebagai salah cara Ja>biri
memberi penjelasan kepada pembacanya. Karenanya, membaca tafsir ini
tidak hanya pada catatan yang mengiringii susunan kata dalam al-Quran
namun pada keseluruhan informasi yang Ja>biri berikan.
Berdasarkan hasil analisis penulis di atas, ada catatan menarik mengenai
istit}ra>d yang beberapa kali dicantumkan Ja>biri pada bagian akhir marh}alah.
37
Muh}ammad A >bid al-Ja >biri, Fahm al-Qura >n al-Haki >im: al-Tafsi>r al-Wa >d }ih } Hasb Tarti>b al-Nuzu >l, al-Qism al-Awwal, hlm. 63 dan 69.
-
13
Namun demikian, penulis hanya akan memaparkan salah satu contohnya.38
Adapun metodologi istit }ra>d tidak akan dibahas di sini. Harus ada kajian lanjutan
mengenai istit }ra>d.
NASKH MENURUT JA>BIRI: SALAH SATU TEMA KRUSIAL DALAM
ISTIT}RA>D
Al-Quran yang turun berangsur-angsur (tadri >jiy) menimbulkan asumsi
bahwa ayat-ayat yang turun belakangan menjadi koreksi (baca: naskh) atas
ayat-ayat yang turun lebih dahulu. Hal ini terjadi terutama terkait ayat-ayat yang
memiliki keterkaitan tema dan objek pembicaraan, semisal perintah dan larangan
(al-amr wa al-nahy). Jikapun hal ini terjadi maka, menurut Ja>biri, hanya
mencakup pada persoalan syari >ah (aturan-aturan) dan tidak terkait persoalan
aqi >dah (keyakinan). Menurut Ja>biri, persoalan aqi >dah masih tergolong
diragukan untuk terjadi naskh padanya. Paling mungkin, akan menimbulkan
penilaian-penilaian berupa muh}kam dan mutasya>bih.39
Kesimpangsiuran ini menimbulkan pertanyaan ontologis perihal, apa itu
naskh? menurut Ja>biri, naskh bisa berarti dua: 1) kontribusi dalam bentuk
tulisan atas sebuah naskah meski berupa kata per-kata, dan 2) pembatalan
sesuatu dan menggantinya dengan sesuatu lain. Para pakar fiqh dan ushu >l al-fiqh
tertarik pada makna kedua yang berarti, menghilangkan hukum pertama
(sesuatu) dan menetapkan hukum kedua (baginya).40
Ja>biri sangsi dengan kesimpulan di atas. Menurutnya, apa yang termuat
dalam naskh tidak sedemikian rigid dan kaku. Ja>biri memberikan ulasan naskh
dengan mengutip fakta soal apa yang diyakini para ahli kitab (penganut agama
Abrahamik yang mendahului Islam), bahwa naskh atas syari >ah tidak akan pernah
terjadi. Para ulama juga bersepakat dengan hal ini dan menyatakan hal tersebut
mustahil terjadi. Yang mungkin adalah adanya perbedaan hukum-hukum
38
Dijelaskan pada sub-bab berikutnya. 39
Muh}ammad A >bid al-Ja >biri, Fahm al-Qura >n al-Haki >im: al-Tafsi>r al-Wa >d }ih } Hasb Tarti>b al-Nuzu >l, al-Qism al-Ta |>lis, hlm. 93.
40 Ibid., hlm. 94.
-
14
(ketetapan) yang terkait erat dengan keadaan, waktu, dan tempat (muqtad}a al-
h}a>l).41 Selain itu, akan sulit diterima asumsi mengenai revisi-revisi atas
keinginan Tuhan. Selain itu, al-Quran dinilai abadi, tanpa pertentangan dan
perubahan, yang mana manusia hanya perlu menyesuaikan diri dan pikirannya
terhadap setiap ayat-ayat dalam al-Quran.42 Jelas sekali, naskh tidak mungkin
terjadi, apapun bentuknya, karena beberapa alasan tersebut.
Perdebatan mengenai naskh belum benar-benar menemui titik temu.
Beberapa kalangan menyepakati kehadiran naskh dalam dua dimensi berbeda:
syari >ah dan ayat-ayat al-Quran. Pertama, kelompok yang sepakat adanya naskh
secara mutlak. Mereka berargumen bahwa kemunculan syari >ah Muh }ammad tak
lain sebagai koreksi atas syari >ah yang dibawa para nabi sebelum Muh }ammad.
Selain itu, pada kitab Taura>t dan Inji >l disampaikan berita akan datangnya syari >ah
Tuhan yang dibawa Muh }ammad.43
Ini jelas penegasan naskh benar-benar terjadi,
meski dalam koridor syari >ah yang dibawa para utusan Allah.
Kedua, kelompok yang sepakat soal kemungkinan adanya naskh.
Kelompok ini mengutip ayat berikut:
Sementara kelompok yang menolak kemungkinan adanya naskh juga menguti
ayat lain.
Di sini ditegaskan bahwa ada ketidaksepakatan tentang mungkin tidaknya naskh
terjadi dalam ayat-ayat al-Quran.44
Lebih jauh, jika toh benar naskh terjadi dalam syari >ah Tuhan dan dalam
ayat-ayat al-Quran, Ja>biri meyakini bahwa hal tersebut (perdebatan ini) tak lain
hanya retorika belaka (maja>l al-fikr al-mujarrad, la > ghair). Persoalan ontologis
41
Ibid. 42
Ibid., hlm. 110. 43
Ibid., hlm. 95. 44
Ibid., hlm. 95-96.
-
15
ada tidaknya naskh dalam al-Quran, Ja>biri menyerahkannya kepada al-Quran
untuk menjawabnya, melalui kesejarahan yang menyertainya.45
CONTOH PENAFSIRAN DALAM PERSPEKTIF TARTI >B NUZU>LIY:
PENGHARAMAN KHAMR
Sebelum mengemukakan salah satu contoh penafsiran berdasarkan tarti >b
nuzu >liy, ada baiknya dipaparkan paradgima/titik tolak (mis }da>qiyyah) dalam
memahami, khususnya, riwayat terkait asba >b al-nuzu >l secara kritis. Ada tiga
unsur penting yang harus diketahui.46
Pertama, tidak adanya pertentangan makna
apa yang diinformasikan asba>b al-nuzu >l (yang konstekstual) dengan ayat yang
menyertainya. Kedua, kesesuaian ayat dengan urutan turunnya ayat (sinkron
dengan yang turun sebelum dan setelahnya) dan dengan kisah nabi (secara
sosiologis-kronologis). Ketiga, kesesuaian ayat dengan logika Arab (saat itu),
dalam kaca mata sosiologis, ekonomi, intelektual, dan kultural.
Ja>biri memberi contoh pengharaman khamr. Kronologi turunnya
pengharaman ini, sebagaimana jamak diketahui, terbagi dalam 4 tahap.47
Pertama,
tatkala Nabi hijrah ke Madinah, para penduduknya menanyakan apakah khamr
(juga banyak persoalan lain yang sebelumnya ditanyakan) halal atau haram. Lalu
turun ayat QS al-Baqarah: 219, yang menjelaskan adanya aspek manfaat (naf)
dan dosa (is |m) dalam khamr, namun lebih besar dosa dari pada kemanfaatannya.48
Mereka para penanya berujar, Biarkan kami mengambil sisi manfaat tersebut.
Nabi mendiamkan hal tersebut. Tatkala mereka telah mampu mencapai kesadaran
melihat sisi negatif dari khamr, turun ayat selanjutnya. Kedua, tatkala sedang
dalam perjamuan makan di rumah Abd al-Rahma>n Ibn Auf, Ali Ibnu Abi > T}a>lib
bersama beberapa orang lain disuguhi khamr. Menurut penuturan Ali, ketika itu
datang waktu sholat dan mereka tidak jadi menenggaknya. Lalu turun QS. Al-
45
Ibid., hlm. 96. Penjelasan lanjutan mengenai tema naskh bisa dirujuk pada buku yang
sama. Ibid., hlm. 96-110. 46
Lihat Muh}ammad A >bid al-Ja >biri, Fahm al-Qura>n al-Haki >im: al-Tafsi>r al-Wa >d }ih } Hasb Tarti>b al-Nuzu >l, al-Qism al-Ta |>lis|, hlm. 371-372.
47 Ibid., hlm. 373-375.
48
-
16
Nisa>: 43, yang menjelaskan adanya larangan melaksanakan sholat dalam keadaan
mabuk.49
Ketika itu, menurut Ali, mereka berujar kepada Nabi, Ya Rasu >lalla>h,
kami tidak meminum khamr tersebut ketika mendekati waktu sholat. Nabi
mendiamkan hal tersebut.
Ketiga, diriwayatkan dari Sad Ibn Abi > Waqqa>s }, bahwa turunnya ayat yang
tegas mengharamkan soal khamr (yaitu QS al-Ma>idah: 90-91) berkenaan dengan
pesta yang diadakan salah seorang sahabat Ans}a >r. Banyak orang yang
menghadiri jamuan tersebut. Kebanyakan dari mereka mabuk, sehingga apa yang
mereka ucapkan sangat tak beraturan. Seorang Ans}a>r berujar: Ans }a>r paling
baik. Seorang lain dari Quraisy juga menimpali, (suku) Quraisy lebih baik.
Salah seorang dari yang mabuk mencincang seekor hewan sembelihan dengan
cara yang kejam. Sad Ibn Abi Waqqa >s } mendatangi Nabi dan menceritakan hal
tersebut. Lalu turun ayat QS al-Ma>idah: 90-91. Ayat ini berisi larangan bagi
orang-orang beriman menenggak khamr, berjudi, menyembah berhala, dan
mengundi nasib menggunakan anak panah. Redaksi larangan ini berbunyi, rijsun
min amal al-syait }a>n, sesuatu kotor yang termasuk pekerjaan syaitan.50 Ada dua
riwayat lain terkait ayat ini. Keempat, ayat selanjutnya yang turun terkait khamr
adalah QS al-Ma>idah: 93. Dalam sebuah riwayat, ada seorang laki-laki bertanya
kepada Nabi, Wahai Rasul, bagaimana status (manzilah) kami yang ketika wafat
dalam keadaan menenggak khamr? Lalu turun ayat QS al-Ma>idah: 93. Ayat ini
berisi pemaafan atas kesalahan yang orang-orang beriman lakukan (berupa
keburukan, dalam hal ini menenggak khamr). Dengan catatan, mereka (memiliki
usaha untuk) tetap masih bertaqwa, beriman kepada Alla >h, dan mengerjakan amal
saleh, kemudian tetap berpegang teguh pada ketaqwaan dan keimanan, serta terus
49
50
-
17
selalu bertaqwa dan berbuat kebaikan. Dan, Alla >h menyukai hambaNya yang
selalu berbuat kebaikan.51
Dari keempat proses tadri >jiy di atas, satu persatu dianalisa Ja>biri. Pada
ayat pertama, redaksi qul yang digunakan pada QS al-Baqarah: 219 digunakan
pula pada ayat-ayat yang mengikutinya; ayat 220-222. Redaksi fil amr (pada kata
qul) jamak dipahami bentuk pensyariatan (tasyri >) sebagaimana pada QS al-
Baqarah: 168. Menurut Ja>biri, dengan melihat sisi asba>b al-nuzu >l suatu ayat dan
melihat konteksnya (siya >q, dalam hal ini konteks kesejarahan) sekaligus,
pemahaman terhadap ayat akan lebih masuk akal. Namun begitu, asba >b al-
nuzu >l tidak selalu menentukan, seperti pada QS al-Baqarah: 219. Ja>biri berujar,
asba >b al-nuzu >l pada ayat tersebut menjadi tak terpakai (la> yaku>n laha > tas|i >r wa
la> fa>idah) karena pemahaman terhadap ayat lebih condong pada penggunaan
konteks kesejarahan dari pada asba >b al-nuzu >l.52 Pada ayat kedua (QS al-Nisa>:
43), Ja>biri sekali lagi meneguhkan statement tentang asba >b al-nuzu >l tidak selalu
terpakai dalam memahami al-Quran. Ayat kedua ini harus dipahami dengan
konteks (siya >q, dlm hal ini konteks kalimat dalam keseluruhan ayat tersebut).
Intinya, larangan mendekati (menunaikan) sholat memiliki sebab beragam, yang
salah satunya adalah ketika mabuk menenggak khamr. Mabuk tidak menjadi
sebab utama. Ini bukti bahwa konteks kalimat menjadi bagian paling penting.
Pada kedua ayat di atas, Ja>biri tampak mengajak pembaca
mempertimbangkan aspek konteks (siya >q) dari sisi kesejarahan53 dan kalimat
sebagai salah satu faktor mutlak yang harus disertakan dalam memahami
keutuhan pesan ayat-ayat al-Quran.
Ayat ketiga (QS al-Ma>idah: 90) dan keempat (al-Ma>idah: 93) secara
berurutan menampakkan adanya kronologi mengapa ayat-ayat tersebut turun.
51
52
Muh}ammad A >bid al-Ja >biri, Fahm al-Qura >n al-Haki >im: al-Tafsi>r al-Wa >d }ih } Hasb Tarti>b al-Nuzu >l, al-Qism al-Ta |>lis, hlm. 376.
53 Tema mengenai kesejarahan dapat pula sdikorelasikan dengan asba >b al-nuzu>l makro.
-
18
Setelah hanya menyatakan pengharaman khamr secara implisit pada kedua ayat
terdahulu, Ja>biri mengatakan bahwa ayat ketiga tak lain adalah berupa penjelasan
status pengharaman khamr yang maknanya terkandung dalam redaksi rijs (QS al-
Ma>idah: 90). Selanjutnya, pada al-Ma>idah: 93 dijelaskan kondisi orang-orang
beriman yang masih memiliki kaitan dengan khamr, sebuah keterangan lanjutan
atas ayat-ayat terdahulu.54
Dapat dipahami bahwa keempat ayat-ayat tersebut memiliki penekanan
yang berbeda. Hal ini dikarenakan adanya sifat tadri >jiy pada al-Quran dan
perpindahan kondisi (al-intiqa >l) umat Muh }ammad dari yang sebelumnya
jahiliyyah55 menuju keadaan yang sesuai nilai-nilai keislaman yang utuh
berdasarkan asas-asas aqi >dah dan syari >ah yang jelas dan terukur.56
KESIMPULAN
Apa yang dilakukan Ja>biri dalam Fahm al-Qura >n: al-Tafsi >r al-Wa>d }ih
Hasb Tarti>b al-Nuzu>l tampak seperti sebuah keniscayaan dalam kajian tafsir.
Setelah jenuh dengan kajian tarti >b mus}h}afiy, ada angin segar bagi para peminat
kajian al-Quran dengan paradigma tarti >b nuzu >liy yang diperkenalkan-kembali
(ditawarkan) oleh Ja>biri.
Tampak telah terobati dahaga yang membucah dari para peminat kajian al-
Quran untuk menikmati al-Quran dalam wajah aslinya yang kronologis.
Seperti juga Ja>biri, penulis menaruh harapan pada spirit menghadirkan al-Quran
sebagaimana mestinya; menggunakan tarti >b nuzu >liy sebagai pijakan penafsiran.
Ja>biri, yang merupakan pengagum al-Sya >t }ibi, tidak lantas tanpa celah
untuk dikritik. Penulis setidaknya menemukan beberapa celah untuk dilakukan
54
Muh}ammad A >bid al-Ja >biri, Fahm al-Qura >n al-Haki >im: al-Tafsi>r al-Wa >d }ih } Hasb Tarti>b al-Nuzu >l, al-Qism al-Ta |>lis, hlm 377.
55 Dalam arti, masih pada fase awal memeluk Islam, dan belum memahami keseluruhan
ajaran Islam. Sehingga diperlukan nada redaksi kata-kata yang datar, jika tidak dapat dikatakan persuasif.
56 Muh}ammad A >bid al-Ja >biri, Fahm al-Qura >n al-Haki >im: al-Tafsi>r al-Wa >d }ih } Hasb
Tarti>b al-Nuzu >l, al-Qism al-Ta |>lis, hlm. 380.
-
19
penelitian lanjutan, sebagai tanggapan lanjutan atas tawaran metodologis Ja >biri.
Kegelisahan penulis tertuang dalam daftar pertanyaan berikut.
1. Bagaimana bangunan struktur epistemologi Ja>biri?,57 sehingga dia begitu
yakin dengan: a) susunan kronologi surat-surat yang berbeda dari versi
Mesir, b) penekanan siya >q (konteks, baik kalimat maupun kesejarahan)
sebagai penentu utama makna/pesan suatu ayat.
2. Atas alasan, misi, atau ideologi apa susunan tarti >b nuzu >liy Ja>biri tersusun
dan disusun? Pertanyaan ini hendaknya dianalisa menggunakan paradigma
Ideologi Kritis ala Jurgen Habermas. Dengan begitu, akan ditemukan
beragam alasan, ide, dan misi yang kepada hal-hal tersebut Ja>biri menaruh
perhatian. Melalui teori Habermas ini, dapat dianalisa kesejarahan diri
Ja>biri sehingga mampu menelurkan ide-ide yang menggebrak dan
tampak orisinil, secara khusus dalam bidang al-Quran dan tafsir.
Demikian. Wa Alla>hu Alam.
57
Pertanyaan ini dibedakan dari rumusan masalah dalam tesis Abdullah Affandi yang
berbunyi, Bagaimana Konstruk Metodologi Muh }ammad A>bid al-Ja >biri dalam menafsirkan al-
Qura >n? Karena, apa yang dilakukan Affandi hanya dengan merujuk pada keterangan yang dipaparkan Ja>biri. Sementara pertanyaan yang penulis susun lebih diarahkan ke faktor eksternal.
Dalam arti, membaca Ja >biri menggunakana kacamata yang sumber-sumbernya selain tulisan
Ja >biri.
-
20
Lampiran 1
Urut
Kronologis
Versi Standar Mesir Versi Ja >biri
Nama Surat Keterangan Nama Surat Keterangan
1 Al-Alaq Al-Alaq Hanya Ayat 1-5
2 Al-Qalam Ayat 17-33, 48-50
Madaniyyah (Md)
Al-Mudas|s|ir Hanya Ayat
1-10
3 Al-Muzammil Ayat 10-11, 20, Md Al-Masad
4 Al-Mudas|s|ir Al-Takwi>r
5 Al-Fa>tih}ah Al-Ala>
6 Al-Lahab Al-Lail
7 Al-Takwi>r Al-Fajr
8 Al-Ala> Al-D}uh}a>
9 Al-Lail Al-Syarh}
10 Al-Fajr Al-As}r
11 Al-D}uh}a> Al-A>diya>t
12 Al-Syarh} Al-Kaus|ar
13 Al-As}r Al-Taka>s|ur
14 Al-A>diya>t Al-Ma>u>n
15 Al-Kaus|ar Al-Ka>firu>n
16 Al-Taka>s|ur Al-Fi>l
17 Al-Ma>u>n Al-Falaq
18 Al-Ka>firu>n Al-Na>s
19 Al-Fi>l Al-Ikhla>s}
20 Al-Falaq Al-Fa>tih}ah
21 Al-Na>s Al-Rah}ma>n
22 Al-Ikhla>s} Al-Najm
-
21
23 Al-Najm Abasa
24 Abasa Al-Syams
25 Al-Qadr Al-Buru>j
26 Al-Syams Al-Ti>n
27 Al-Buru>j Quraisy
28 Al-Ti>n Al-Qa>riah
29 Quraisy Al-Zalzalah
30 Al-Qa>riah Al-Qiya>mah
31 Al-Qiya>mah Al-Humazah
32 Al-Humazah Al-Mursala>t
33 Al-Mursala>t Ayat 48, Md Qa>f
34 Qa>f Ayat 38, Md Al-Balad
Al-Alaq Ayat 6-19
Al-Mudas|s|ir Ayat 11-56
35 Al-Balad Al-Qalam
36 Al-T}a>riq Al-T}a>riq
37 Al-Qamar Ayat 54-56, Md Al-Qamar
38 S}a>d S}a>d
39 Al-Ara>f Ayat 163-170, Md Al-Ara>f
40 Al-Jinn Al-Jinn
41 Ya>si>n Ayat 45, Md Ya>si>n
42 Al-Furqa>n Ayat 68-70, Md Al-Furqa>n
43 Fa>t}ir Fa>t}ir
44 Maryam Ayat 58, 71, Md Maryam
45 T}a>ha> Ayat 130-131, Md T}a>ha>
46 Al-Wa>qiah Ayat 71-72, Md Al-Wa>qiah
-
22
47 Al-Syuara> Ayat 197, 224-247, Md Al-Syuara>
48 Al-Naml Al-Naml
49 Al-Qas}as} Ayat 52-55, Md dan
Ayat 85 saat hijrah
Al-Qas}as}
50 Al-Isra> Ayat 26, 32-33, 57, 73-80, Md
Yu>nus
51 Yu>nus Ayat 40, 94-96, Md Hu>d
52 Hu>d Ayat 12, 17, 114, Md Yu>suf
53 Yu>suf Ayat 1-3, 7, Md Al-H}ijr
54 Al-H}ijr Al-Ana>m
55 Al-Ana>m Ayat 20, 23, 91, 114, 151-153, Md
Al-S}a>ffa>t
56 Al-S}a>ffa>t Luqma>n
57 Luqma>n Ayat 27-29, Md Saba
58 Saba Ayat 6, Md Al-Zumar
59 Al-Zumar Ayat 52-54, Md Al-Mumin
60 Al-Mumin Ayat 56-57, Md Fus}s}ilat
61 Fus}s}ilat Al-Syu>ra>
62 Al-Syu>ra> Ayat 23-25, 27, Md Al-Zukhruf
63 Al-Zukhruf Ayat 54, Md Al-Dukha>n
64 Al-Dukha>n Al-Ja>s|iyah
65 Al-Ja>s|iyah Ayat 14, Md Al-Ahqa>f
66 Al-Ahqa>f Ayat 10, 15, 35, Md Nu>h
67 Al-Z|a>riya>t Al-Z|a>riya>t
68 Al-
Gha>syiyah
Al-Gha>syiyah
69 Al-Kahfi 28, 83-101, Md Al-Insa>n
70 Al-Nah}l Ayat126-128, Md Al-Kahfi
-
23
71 Nu>h Al-Nah}l
72 Ibra>hi>m Ayat 28-29, Md Ibra>hi>m
73 Al-Anbiya> Al-Anbiya>
74 Al-
Muminu>n Al-Muminu>n
75 Al-Sajdah Ayat 16-20, Md Al-Sajdah
76 Al-T}u>r Al-T}u>r
77 Al-Mulk Al-Mulk
78 Al-Ha>qqah Al-Ha>qqah
79 Al-Maa>rij Al-Maa>rij
80 Al-Naba> Al-Naba>
81 Al-Na>zia>t Al-Na>zia>t
82 Al-Infit}ar Al-Infit}ar
83 Al-Insyiqa>q Al-Insyiqa>q
84 Al-Ru>m Ayat 17, Md Al-Muzammil
85 Al-Ankabu>t Ayat 1-11, Md Al-Rad
86 Al-
Mut}affifi>n
Al-Isra>
87 Al-Ru>m
88 Al-Ankabu>t
89 Al-Mut}affifi>n
90 Al-H}ajj
-
24
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Abdullah, Pemikiran Tafsir Muh }ammad A>bid al-Ja>biri (Studi Analisis
Metodologis), Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2009.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qura >n, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
Darwazah, Izzah, al-Tafsi >r al-Hadi >s |, Kairo: Da>r Ihya> al-Kutub al-Arabiyyah,
1963.
al-Farmawi, Abd al-Hayy, al-Bida >yah fi > al-Tafsi >r al-Mawd }uiy: Dira >sa >h
Manhajiyyah Mawd }u >iyyah, terj. Suryan A. Jamrah, Jakarta: PT.
Rajagrafindo, 1994.
Hamarneh, Walid, pengantar dalam Muh }ammad A >bid al-Ja>biri, Kritik
Kontemporer Atas Filsafat Arab Islam, terj. M. Nur Ichwan,
Yogyakarta: Islamika, 2003.
al-Ja>biri, Muh }ammad A>bid, Fahm al-Qura>n al-Haki >im: al-Tafsi >r al-Wa>d}ih} Hasb
Tarti>b al-Nuzu >l, al-Qism al-Awwal, Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wih }dah
al-Isla>miyyah, 2008.
_______________________, Fahm al-Qura>n al-Haki >im: al-Tafsi >r al-Wa>d }ih}
Hasb Tarti>b al-Nuzu >l, al-Qism al-Ta|>lis |, Beirut: Markaz Dira>sa >t al-
Wih}dah al-Isla>miyyah, 2009.
______________________, Madkhal ila > al-Qura >n al-Kari >m: al-Juz al-Awwal fi>
al-Tari >f bi al-Qura >n, Beirut: Markaz Dira >sa>t al-Wih }dah al-
Arabiyyah, 2006.
_______________________, Nahnu wa al-Tura >s |: Qira >a>t Mua >s }irah fi > Tura >s |ina>
al-Falsafi, Beirut: al-Markaz al-Tsaqa>fiy al-Arabiy, 1993.
Sumber Internet:
Assyaukanie, A. Luthfi, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer.
Sumber: artikel pada www.media.isnet.org, diakses pada 5 Oktober
2013.