abstrak -...

31
ABSTRAK Bagus Setyawan, Aditya. 2015. Representasi Kebudayaan Jepang dalam Film Lost In Translation. Skripsi, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jember. Pembimbing: Suyono,S.H.,M.I.Kom. KataKunci: Semiotika, Representasi, Komunikasi Antarbudaya, Kebudayaan Skripsi ini mengkaji Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebudayaan Jepang dipresentasikan melalui makna denotasi, konotasi dan mitos yang muncul. Analisis Semiotika yang digunakan, diadaptasi dari model Analisis Roland Barthes. Data penelitian ini diperoleh dari film Lost In Translation. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat lima adegan dalam film ini yang secara khusus merepresentasikan Kebudayaan Jepang. Untuk kemudian, dari adegan-adegan tersebut teridentifikasi mitos kebudayaan Jepang sebagai berikut ; Masyarakat Jepang menjaga dan melestarikan kebudayaannya di tengah kemajuan negara Jepang sehingga menjadikannya karakter yang kuat bagi masyarakat Jepang. Melalui analisis tanda-tanda berupa aspek visual dan aspek audio, penelitian ini menyimpulkan bahwa film Lost In Translation, menggambarkan bahwa film ini menghormati beberapa kebudayaan kuno Jepang hal ini ditunjukkan dari tradisi kuno yang digambarkan. .

Upload: dangcong

Post on 10-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ABSTRAK

Bagus Setyawan, Aditya. 2015. Representasi Kebudayaan Jepang dalam Film

Lost In Translation. Skripsi, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jember.

Pembimbing: Suyono,S.H.,M.I.Kom.

KataKunci: Semiotika, Representasi, Komunikasi Antarbudaya, Kebudayaan

Skripsi ini mengkaji Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui

bagaimana kebudayaan Jepang dipresentasikan melalui makna denotasi, konotasi

dan mitos yang muncul. Analisis Semiotika yang digunakan, diadaptasi dari

model Analisis Roland Barthes. Data penelitian ini diperoleh dari film Lost In

Translation. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat lima adegan dalam

film ini yang secara khusus merepresentasikan Kebudayaan Jepang. Untuk

kemudian, dari adegan-adegan tersebut teridentifikasi mitos kebudayaan Jepang

sebagai berikut ; Masyarakat Jepang menjaga dan melestarikan kebudayaannya di

tengah kemajuan negara Jepang sehingga menjadikannya karakter yang kuat bagi masyarakat Jepang. Melalui analisis tanda-tanda berupa aspek visual dan aspek

audio, penelitian ini menyimpulkan bahwa film Lost In Translation,

menggambarkan bahwa film ini menghormati beberapa kebudayaan kuno Jepang

hal ini ditunjukkan dari tradisi kuno yang digambarkan.

.

ABSTRACT

Bagus Setyawan, Aditya. 2015. Japan Culture Representative in Film Lost In

Translation, Thesis. Department of Communication Science, Faculty of

Social and Political Science. Advisor: Suyono, S.H., M.I.Kom.

Key words: Semiotics, Representative, Intercultural Communication, Culture

This thesis examines The research that aims to find out how the culture of

Japan was presented through the meaning and conotation, denoted myths that

appear. Analysis of Semiotics that is used, adapted from Roland Barthes analysis

model. The data is retrieved from the film Lost In Translation. The result of this

research show that there are five scenes in this film that specifically represent the

culture of Japan. Then, from the scenes of cultural myths identified Japan as

follows; Japanese people are keeping and preserving the culture in the

development progress of Japan. So that makes a strong character for the Japanese

people. Through the analysis of signs in the form of visual and audio aspect, this

study concluded that the film Lost In Translation, illustrates that this film respect

some of the ancient culture of Japan in which it is shown by the ancient tradition

that is described.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paradigma yang dikemukakan oleh Harold Laswell dalam karyanya, The

Structure and Function of Communication in Society. Laswell mengatakan bahwa

cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai

berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?.

Paradigma Laswell menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagi

jawaban dari pertanyaan yang diajukan, yakni: Komunikator, Pesan, Media,

Komunikan, Efek. Berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah

proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media

yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2011:10).

Film adalah salah satu media dalam komunikasi massa. Sebagai media

massa, film digunakan sebagai media yang merefleksikan realitas, atau bahkan

membentuk realitas. Cerita yang ditayangkan lewat film dapat berbentuk fiksi

atau non fiksi. Lewat film, informasi dapat dikonsumsi dengan lebih mendalam

karena film adalah media audio visual. Media ini banyak digemari banyak orang

karena dapat dijadikan sebagai hiburan dan penyalur hobi

(https://husnun.wordpress.com). Media massa dalam cakupan pengertian

komunikasi massa itu adalah surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film. Jadi

media massa modern merupakan produk teknologi modern yang selalu

berkembang menuju kesempurnaan (Effendy, 2011:20).

Secara umum film disampaikan lewat film fiksi dan film non fiksi. Film

fiksi adalah film yang berbentuk narasi atau suatu cerita khayalan bentuknya film

cerita pendek dan film cerita panjang, sementara film non fiksi adalah film yang

bercerita tentang kenyataan yang terjadi di masyarakat bentuknya berupa film

dokumenter. Dalam film fiksi dapat digolongkan menjadi beberapa genre film

seperti komedi, horor, romantis, thriller, dan lain-lain. Ada juga beberapa film

yang menggabungkan dua genre sekaligus seperti genre komedi romantis.

Media khususnya Film, baik fiksi atau dokumenter, bukanlah cerminan

dari realita, tapi sekadar representasi dari kenyataan-kenyataan. "Kenyataan"

dalam film adalah "kenyataan" yang dipersepsi, diserap ditafsirkan, dimaknai,

dipilih, dipilah, dibongkar, di(de)konstruksi oleh sutradara dan tim kreatifnya

(dengan berbagai latar belakang budaya, pendidikan, dan lain-lain) dari banyak

realita yang ada berdasarkan tujuan-tujuan tertentu dari mereka.

Cerita di dalam film adalah konstruksi pembuatnya (yang memilih realita-

realita tertentu untuk dimasukkan ke dalam karyanya), dan penonton pun

memproduksi makna. Proses itu terjadi dalam sebuah sistem bahasa (dalam hal

ini: bahasa film). Maka, di dalam dunia fiksi seperti film atau, “realita” selalu

“rekayasa” berupa konstruksi-konstruksi, termasuk di dalam aliran realisme atau

dokumenter sekali pun. Film dokumenter, misalnya, siapa yang dipilih untuk

diwawancara atau bagaimana meletakkan kamera saja sudah merupakan pilihan

dari kenyataan versi pembuatnya. Di sisi lain, penonton juga punya otoritas penuh

untuk menafsirkan sebuah teks fiksi, dan tak harus sesuai dengan pesan atau

tujuan pembuatnya (http://ekkyij.blogspot.com).

Melalui film sebenarnya kita banyak belajar tentang budaya. Baik itu

budaya masyarakat di mana kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang

sama sekali asing buat kita. Dan kita menjadi mengetahui bahwa budaya

masyarakat di masing-masing tempat berbeda, terutama melalui film. Film untuk

itu dipahami sebagai representasi budaya. Film digunakan sebagai cerminan untuk

mengaca atau untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu

masyarakat (https://husnun.wordpress.com).

Negara Jepang adalah salah satu negara maju di kawasan Asia. Semula

Jepang merupakan negara tertutup dari pengaruh asing. Sejak tahun 1854, saat

perpindahan kekuasaan dari kaum Shogun kepada Mikado (kaisar), Jepang mulai

berkembang. Shogun adalah orang-orang yang diberi kekuasaan mutlak oleh raja

untuk memerintah suatu daerah. Raja pada waktu itu hanya mementingkan agama,

hidup dalam biara dan dianggap sebagai dewa.

Jepang mulai maju pesat setelah adanya pengaruh dari barat. Kemenangan

Jepang atas Rusia tahun 1904-1905 menambah kepercayaan orang-orang Jepang

akan kemampuan dirinya. Pada permulaan Perang Dunia 2, Jepang mengalami

kemenangan perang yang gemilang. Hampir seluruh negara di Asia dapat

dikuasai, termasuk Indonesia, Malaysia dan Filipina. Namun akhirnya Jepang

menyerah kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh

Amerika Serikat.

Jepang menjadi porak poranda kembali. Keadaan ekonominya merosot

tajam. Baru mulai tahun 1950 Jepang membangun kembali negaranya. Berkat

sifat disiplin yang tinggi dan kerja keras yang tak mengenal lelah, maka Jepang

tumbuh kembali dan menjadi salah satu negara industri yang sangat maju.

Sekarang Jepang merupakan negara dengan standar hidup tertinggi di Asia,

bahkan termasuk salah satu yang tertinggi di dunia (http://www.sejarah-

negara.com).

Budaya merupakan suatu identitas bangsa, ciri khas suatu bangsa, karakter

bangsa ataupun sebagai tanda dimana negara tersebut mempunyai sejarah

perjalanan hidup dari awal sebuah negara itu bisa terbentuk. Budaya juga

merupakan sebuah simbol kebanggaan bagi suatu masyarakat tertentu bahkan

menjadi penentu dari maju tidaknya suatu negara.

Kemajuan negara Jepang disebabkan karena para pemerintah dan tokoh-

tokoh penting dari negara tersebut selalu memberi pengajaran terhadap

masyarakatnya agar menghargai dan mau melestarikan budayanya, dan terbukti

Jepang merupakan negara yang kebudayaannya terkenal mendunia, bahkan

terkenalnya Jepang di dunia disebabkan karena budayanya dikenal oleh

masyarakat hampir diseluruh dunia.

Kebudayaan Jepang memiliki keunikan dan nilai estetis yang tinggi

sehingga mampu menarik perhatian ribuan pasang mata di dunia untuk bisa

dengan langsung menyaksikannya, sehingga menyebabkan para pecintanya

berdatangan ke negara tersebut (http://sosbud.kompasiana.com).

Hollywood adalah nama sebuah industri film di Amerika yang begitu

terkenal di dunia. Film-film yang diproduksi oleh Hollywood tersebar luas ke

berbagai negara, sehingga mengesankan bahwa Hollywood menguasai perfilman

dunia. Hollywood dalam memproduksi filmnya tidak hanya di Amerika tapi juga

di luar negaranya seperti di Asia. Di Asia, beberapa negara yang dijadikan setting

dalam film Hollywood seperti India, Thailand, dan Jepang. Salah satu film

produksi Hollywood yang bersetting di negara Asia adalah film Lost in

Translation yang bersetting negara Jepang.

Film Lost In Translation merupakan film panjang kedua dari Sofia

Coppola dan bersetting negara Jepang. Dalam film ini bercerita tentang dua orang

yang sedang mengalami krisis dalam hidupnya, berada di Tokyo sebuah tempat

yang membuat mereka menjadi merasa asing di sana. Asing di sini maksudnya,

mereka mengalami perbedaan budaya. Selama di Tokyo mereka melihat dan

terlibat di dalam sebuah budaya yang baru mereka alami.

Film Lost In Translation menggambarkan beberapa kebudayaan Jepang

dan suasana lingkungan di Jepang. Melalui kedua tokoh utama di dalam film ini

penonton akan dibawa melalui sudut pandang mereka untuk ikut bertemu dan

berinteraksi dengan budaya Jepang. Sudut pandang pembuat film ditampilkan

melalui kedua tokoh utama dalam film. Beberapa budaya Jepang yang menurut

sudut pandang pembuat film ada yang mempesona dan ada juga yang terlihat

aneh.

Film ini ditayangkan perdana serentak di Amerika Serikat pada tanggal 3

Oktober 2003. Film Lost In Translation bergenre komedi romantis yang

menampilkan kisah cinta yang tidak biasa yaitu hubungan antara seorang laki-laki

dan perempuan yang terpaut umur jauh. Film ini dibuat terinspirasi berdasarkan

pengalaman langsung penulis dan sutradara film ini yaitu Sofia Coppola yang

menghabiskan waktu di Jepang pada awal dan pertengahan dua puluhan umurnya.

Dia pergi ke Jepang sekitar enam sampai tujuh kali selama beberapa tahun. Ketika

menghabiskan waktu di sana di hotel Park Hyatt, Tokyo, dia ingin melakukan

sesuatu dengan setting Tokyo. Dia juga menyukai gagasan, di hotel anda terus

bertemu dengan orang yang sama. Disini ada semacam persahabatan meskipun

Anda tidak mengenal mereka atau bahkan berbicara dengan mereka. Dan menjadi

orang asing di Jepang dengan hal-hal yang terpikirkan tentang menjadi orang

asing yang menyimpang dan berlebihan dan juga rasa lelah selama perjalanan,

lalu merenungkan hidup anda di tengah malam, juga ada sesuatu yang lucu

tentang terjebak dalam situasi yang anda benar-benar tidak ingin berada disitu

(http://www.focusfeatures.com).

Film Lost In Translation dapat dijadikan media informasi dan pengetahuan

oleh masyarakat Indonesia terutama generasi muda Indonesia saat ini, tentang

betapa pentingnya kebudayaan terhadap kemajuan sebuah negara. Generasi muda

sekarang ini lebih banyak terpengaruh budaya dari luar negeri dan kurang peduli

dengan kebudayaannya sendiri. Rasa bangga dan kepedulian melestarikan budaya

kurang tertanam di generasi muda Indonesia saat ini. Minat mereka untuk

memperlajarinya kurang. Mereka lebih tertarik belajar kebudayaan asing. Salah

satu faktor penyebabnya adalah kurangnya informasi kekayaan yang dimiliki

Bangsa Indonesia. Padahal Indonesia memiliki tujuh warisan budaya, tiga di

antaranya warisan budaya dunia (http://nasional.kompas.com).

Masyarakat Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh kebudayaan–

kebudayaan luar yang dapat melupakan serta menghilangkan kebudayaan

Indonesia sendiri. Lagu–lagu asing sudah lebih sering terdengar daripada lagu

daerah Indonesia begitu juga dari segi berpakaian, masyarakat Indonesia sudah

mulai terpengaruh terhadap gaya berpakaian orang barat dan melupakan adat–

istiadatnya sendiri. Sangat disayangkan apabila peristiwa ini terus berlanjut maka

keaslian dari bangsa Indonesia akan hilang, baik karena dilupakan atau diklaim

oleh bangsa lain karena ditinggalkan.

Perkembangan kecintaan pada budaya sendiri pada masa kini sudah mulai

pudar. Para generasi mudah lebih menyukai budaya–budaya asing seperti k-pop

dari negara korea, gaya berpakaian ala Korea dengan bahan chiffon, serta yang

lainnya. Pertunjukan-pertunjukan kebudayaan juga kalah saing dengan konser–

konser penyanyi luar negeri yang membawa budaya negerinya.

Terlupakannya kebudayaan Indonesia dimulai dari kualitas pendidikan

yang dimiliki. Generasi muda sekarang lebih menikmati dan mencintai

kebudayaan asing karena merasa hal tersebut adalah tuntutan globalisasi.

Mencintai kebudayaan Indonesia yang telah dipertahankan sejak nenek moyang

dianggap tidak mengikuti perkembangan jaman (kolot).

Pergeseran kecintaan kebudayaan dimulai dari kurangnya makna yang

didapat dari budaya tersebut. Generasi muda tidak terlalu tertarik untuk

mempelajari kebudayaannya sendiri disebabkan oleh tuntutan jaman dan biaya

yang akan dikeluarkan (http://www.fokal.info).

Jepang adalah negara yang maju dan modern, namun diantara itu mereka

masih memelihara dan menghormati kebudayaan warisan para leluhurnya,

sehingga ini menjadikan masyarakat Jepang mempunyai karakter yang kuat untuk

membuat negaranya menjadi maju dan modern seperti sekarang ini. Kecintaan

terhadap seni dan budaya memang sudah ditanamkan sejak dini oleh orang

Jepang. Mulai dari taman kanak-kanak dan sekolah dasar (SD), para guru sudah

mengajak murid-murid untuk aktif dalam kegiatan seni dan budaya. Bukan hanya

budaya bangsanya saja, mereka juga memperkenalkan budaya bangsa lain kepada

anak didiknya (http://sosbud.kompasiana.com).

Seperti di dalam film Lost In Translation kebudayaan Jepang digambarkan

pada sebuah budaya yang juga merupakan tradisi lama atau tradisional masih

dijaga dan dilestarikan di tengah-tengah kemodernan negara Jepang saat ini. Hal

ini menjadikan karakter bangsa Jepang menjadi kuat. Dengan karakter yang kuat

ini bangsa Jepang dikenal mempunyai beragam kebudayaan yang menarik dan

juga unik. Meskipun arus budaya dari negara lain masuk, mereka dapat

memadukannya dengan karakter bangsanya sehingga kebudayaannya terus

berkembang.

Kebudayaan Indonesia harus dilestarikan oleh generasi muda Indonesia

saat ini. Banyak manfaat yang akan kita dapatkan apabila kebudayaan Indonesia

tetap terjaga dan tidak sampai diklaim negara lain. Dengan kebudayaan yang

dimiliki oleh Indonesia berpotensi menyumbang devisa yang sangat besar dan

keharmonisan setiap lapisan masyarakat akan terjaga. Indonesia juga akan lebih

dikenal oleh negara–negara luar dengan banyaknya kebudayaan yang terkandung

didalamnya. Merupakan sebuah kebanggaan bagi masyarakat Indonesia apabila

kebudayaan Indonesia dikenal oleh bangsa asing dan banyak dipertontonkan

dimana–mana (http://www.fokal.info).

Melalui film Lost In Translation kita bisa mengetahui kebudayaan Jepang

terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Jepang yang digambarkan dalam

film. Dengan informasi dan pengetahuan dari film ini generasi muda Indonesia

dapat menumbuhkan rasa untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Indonesia

sehingga menjadikan bangsa Indonesia mempunyai karakter yang kuat untuk

kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

Film umumnya dibentuk dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk

berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek

yang diharapkan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara: kata

yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi

gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam

film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang

menggambarkan sesuatu (Sobur, 2009:128).

Film Lost In Translation dibangun dengan berbagai tanda-tanda yang di

dalamnya terdapat tanda-tanda yang menggambarkan hal-hal yang bersifat

kebudayaan Jepang yang ditampilkan melalui beberapa adegan. Tanda-tanda

tersebut bekerja sama sedemikian rupa untuk mencapai efek yang diharapkan dan

menggambarkan Representasi Kebudayaan Jepang melalui tanda-tanda pada

gambar dan suara.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

Bagaimana representasi kebudayaan Jepang dalam film Lost In

Translation?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

Untuk mendeskripsikan representasi kebudayaan Jepang dalam film Lost

In Translation

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk menambah

referensi dan informasi. Sementara bagi peneliti lain, penelitian ini dapat

digunakan sebagai perbandingan dan kajian ilmu komunikasi yang memfokuskan

kajian pada representasi kebudayaan Jepang dalam film Lost In Translation.

2. Secara Praktis

Temuan dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi

mengenai representasi kebudayaan Jepang dalam film “Lost In Translation”,

yaitu :

1. Kepada Pemerintah Indonesia yakni ikut membantu melestarikan budaya yang

ada di Indonesia seperti halnya Pemerintah Jepang mempertahankan budaya

yang ada di Jepang.

2. Kepada masyarakat yakni agar masyarakat Indonesia ikut melestarikan budaya

yang ada di Indonesia seperti halnya masyarakat Jepang mempertahankan

budaya yang ada di Jepang.

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan oleh penulis untuk penyusunan skripsi

ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode deskriptif

bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu

secara faktual dan cermat. (Isaac dan Michael dalam Rakhmad, 1991 : 22).

Metode penelitian kualitatif yang berlandaskan fenomenologi menuntut

adanya pendekatan holistik, karena mendudukkan objek penelitian dalam suatu

kontruks ganda, melihat objeknya dalam suatu konteks natural, bukan parsial.

Selanjutnya pendekatan fenomenologi menuntut bersatunya objek peneliti dengan

subjek pendukung objek penelitian. Keterlibatan subjek penelitian di lapangan

menghayatinya menjadi salah satu ciri utama penelitian dengan pendekatan

fenomenologi (Muhadjir, 1970 : 7).

3.2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi 2 (dua) sumber data, yaitu data

primer dan data sekunder :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian

melalui cara pengamatan langsung terhadap obyek penelitian yaitu dengan

menyaksikan secara langsung film Lost In Translation.

2. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang berasal dari sumber-sumber lain yang

sekiranya dapat mendukung penelitian. Data tersebut diperoleh dari sumber-

sumber lain yang sudah dikumpulkan dari berbagai pihak, yaitu dari buku-buku

dan literatur-literatur yang membahas tentang kebudayaan serta menunjang

penelitian. Selanjutnya penelitian akan menganalisis teks film baik teks audio

maupun teks visualnya.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini data dikumpulkan melalui dua cara, yaitu :

1. Data Primer dengan teknik pengumpulan data dokumentasi, yaitu dengan

cara memutar video film Lost In Translation. Selanjutnya, pengumpulan data

dilakukan dengan menyaksikan film tersebut secara keseluruhan, kemudian

dilakukan pemilihan scene per scene yang di dapat untuk digunakan menganalisis

denotasi, konotasi, dan mitos.

2. Data Sekunder adalah dengan kepustakaan yang ada, baik berupa buku

teks, majalah, jurnal, newsletter, website, maupun bahan tertulis lainnya yang

berkaitan dengan pokok permasalahan yang ada guna menunjang kelanjutan data.

3.4. Metode Analisis Data

3.4.1. Tahap Pemilihan Adegan

Dalam penelitian mengenai representasi kebudayaan Jepang ini, peneliti

melihat film Lost In Translation yang diteliti sebagai sebuah teks yang terdiri dari

gambar dan suara. Sebagai tahap awal penelitian, peneliti akan melakukan

pengamatan terhadap film tersebut.

Adegan-adegan dalam film Lost In Translation ini kemudian diseleksi

berdasarkan tanda-tanda yang terdapat di dalamnya. Setelah itu, peneliti akan

memilih adegan-adegan yang sesuai dengan unit analisis. Jadi dalam penelitian

ini, adegan-adegan yang dipilih adalah adegan-adegan yang memuat tanda-tanda

yang menggambarkan representasi kebudayaan Jepang di dalamnya.

3.4.2. Tahap Analisis

Setelah dipilih adegan-adegan yang memuat tanda-tanda dominan,

peneliti menganalisis adegan-adegan tersebut sehingga melahirkan representasi

kebudayaan Jepang dalam film Lost In Translation. Jadi, pada tahap ini peneliti

menggunakan metode semiotika untuk menganalisis adegan-adegan yang telah

dipilih sebelumnya. Analisis difokuskan pada proses identifikasi dari sistem

penandaan pada setiap adegan.

Film Lost In Translation ini dianalisis dengan memaknai dua tahap

penandaan (two order of signification) Barthes. Dalam dua tahap penandaan ini,

Barthes menjelaskan makna denotasi dan konotasi. Makna denotasi merupakan

makna yang dapat langsung dilihat ketika mengamati suatu tanda. Sedangkan

makna konotasi adalah makna implisit. Bila dikaitkan dengan penelitian ini, maka

dalam menganalisis film Lost In Translation terlebih dahulu akan dilihat penanda

dan petanda yang membentuk makna denotatif.

Dalam proses signifikasi ini, pertama-tama peneliti menentukan penanda

dan petanda untuk mencari makna denotasi. Makna denotasi ini termasuk ke

dalam penandaan dalam tahap pertama. Kemudian, makna denotasi yang telah

dihasilkan tersebut menjadi penanda konotatif. Sama halnya dengan pada proses

pembentukan makna denotatif, penanda konotatif juga menghasilkan petanda,

yaitu petanda konotatif. Penanda dan petanda konotatif ini memunculkan makna

konotatif.

Peneliti juga meneliti makna konotatif yang beroperasi pada tahap kedua

pada sistem dua tahap penandaan Barthes. Sehingga diketahui mitos yang muncul

mengenai kebudayaan Jepang dalam teks yang diteliti. Setelah diketahui mitos

apa saja yang muncul dari teks tersebut.

Peneliti juga meneliti makna konotatif yang beroperasi pada tahap kedua

pada sistem dua tahap penandaan Barthes. Sehingga diketahui mitos yang muncul

mengenai kebudayaan Jepang dalam teks yang diteliti.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Kebudayaan Jepang

Sepanjang sejarahnya, Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negara-

negara lain termasuk teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan

kebudayaan. Jepang telah mengembangkan budayanya yang unik sambil

mengintegrasikan masukan-masukan dari luar itu. Gaya hidup orang Jepang

dewasa ini merupakan perpaduan budaya tradisional di bawah pengaruh Asia dan

budaya modern Barat (http://www.id.emb-japan.go.jp).

Kebudayaan Jepang dewasa ini sangat beragam. Para remaja putri yang

mempelajari kebudayaan tradisional Jepang seperti upacara minum teh (chadou)

dan merangkai bunga (kadou) sekalipun senang pergi menonton pertandingan

olah raga. Begitu pula di kota – kota, bukanlah pemandangan yang mengherankan

manakala terlihat kuil – kuil kuno tegak berdampingan dengan gedung – gedung

pencakar langit. Inilah kebudayaan Jepang dewasa ini sebagai gabungan yang

mengagumkan antara Kebudayaan lama dan kuno, antara Timur dan Barat.

Seiring dengan kemajuan media informasi, informasi dengan mudah

mengalir masuk dan hal – hal baru pun dengan cepat tersebar luas di Jepang.

Namun kebudayaan tradisional seperti festival tradisional dan gaya hidup yang

sudah berurat berakar di setiap daerah masih tetap melekat sebagai ciri khas

daerah, sepeti halnya dialek daerah. Demikian pula dengan industrinya. Jepang

yang dulu dikenal sebagai Negara agraris, hanya dengan melalui proses

industrialisasi cepat selama 1 abad, kini telah menjelma sebagai salah satu Negara

industri maju di dunia. Berbagai penelitian dalam berbagai bidang, mulai dari

rekayasaa elektronik sampai manajemen internasional dan sebagainya, bisa

dilakukan di berbagai Universitas(http://www.jasso.or.id).

Beberapa Kebudayaan Jepang yang terdiri dari Kebudayaan Tradisional

dan Kebudayaan Modern yaitu :

1. Kebudayaan Tradisional

a. Kabuki adalah sebuah bentuk teater klasik yang mengalami evolusi pada awal

abad ke-17. Ciri khasnya berupa irama kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh

para aktor, kostum yang super-mewah, make-up yang mencolok (kumadori), serta

penggunaan peralatan mekanis untuk mencapai efek-efek khusus di panggung.

Make-up menonjolkan sifat dan suasana hati tokoh yang dibawakan aktor.

Kebanyakan lakon mengambil tema masa abad pertengahan atau zaman Edo, dan

semua aktor, sekalipun yang memainkan peranan sebagai wanita, adalah pria.

b. Bunraku, yang menjadi populer sekitar akhir abad ke-16, merupakan jenis

teater boneka yang dimainkan dengan iringan nyanyian bercerita dan musik yang

dimainkan dengan shamisen (alat musik petik berdawai tiga). Bunraku dikenal

sebagai salah satu bentuk teater boneka yang paling halus di dunia.

c. Seni merangkai bunga Jepang (ikebana), yang mengalami evolusi di Jepang

selama tujuh abad, berasal dari sajian bunga Budhis di masa awalnya. Seni ini

berbeda dengan penggunaan bunga yang murni bersifat dekoratif saja, karena

setiap unsur dari sebuah karya ikebana dipilih secara sangat cermat termasuk

bahan tanaman, wadah di mana ranting dan bunga akan ditempatkan, serta

keterkaitan ranting-ranting dengan wadahnya dan ruang di sekitarnya.

2. Kebudayaan Modern

a. Musik klasik masuk ke Jepang dari Barat. Penggemarnya cukup banyak dan

sejumlah konser diadakan di berbagai tempat di Jepang. Jepang telah melahirkan

banyak konduktor (seperti Ozawa Seiji), pianis, dan pemain biola dan mereka

melakukan pertunjukan di seluruh dunia.

b. Film anime (kartun) Jepang yang menjadi hiburan bagi anak-anak Jepang sejak

tahun 1960-an, kini diekspor ke seluruh dunia. Ada seri yang menjadi favorit

anak-anak seluruh dunia, seperti Astro Boy, Doraemon, Sailor Moon, Detective

Conan, dan Dragonball Z. Sementara itu, karya sutradara Miyazaki Hayao,

Spirited Away, memenangkan Oscar sebagai film cerita kartun terbaik pada tahun

2003(http://www.id.emb-japan.go.jp).

4.2. Gambaran dan Objek Penelitian

Film Lost In Translation merupakan film panjang kedua dari Sofia

Coppola dan bersetting negara Jepang. Dalam film ini bercerita tentang dua orang

yang sedang mengalami krisis dalam pernikahannya, berada di Tokyo sebuah

tempat yang membuat mereka menjadi merasa asing di sana. Asing di sini

maksudnya, mereka mengalami perbedaan budaya. Selama di Tokyo mereka

melihat dan terlibat di dalam sebuah budaya yang baru mereka alami.

Film Lost In Translation menggambarkan beberapa kebudayaan Jepang

dan suasana lingkungan di Jepang. Melalui kedua tokoh utama di dalam film ini

penonton akan dibawa melalui sudut pandang mereka untuk ikut bertemu dan

berinteraksi dengan budaya Jepang. Sudut pandang pembuat film ditampilkan

melalui kedua tokoh utama dalam film. Beberapa budaya Jepang yang menurut

sudut pandang pembuat film ada yang mempesona dan ada juga yang terlihat

aneh.

Film ini ditayangkan perdana serentak di Amerika Serikat pada tanggal 3

Oktober 2003. Film Lost In Translation bergenre komedi romantis yang

menampilkan kisah drama yang tidak biasa yaitu hubungan antara seorang laki-

laki dan perempuan yang terpaut umur yang jauh. Film ini dibuat terinspirasi

berdasarkan pengalaman langsung penulis dan sutradara film ini yaitu Sofia

Coppola yang menghabiskan waktu di Jepang pada awal dan pertengahan dua

puluhan umurnya. Dia pergi ke Jepang sekitar enam sampai tujuh kali selama

beberapa tahun. Ketika menghabiskan waktu di sana di hotel Park Hyatt, Tokyo,

dia ingin melakukan sesuatu dengan setting Tokyo. Dia juga menyukai gagasan,

di hotel anda terus bertemu dengan orang yang sama. Disini ada semacam

persahabatan meskipun Anda tidak mengenal mereka atau bahkan berbicara

dengan mereka. Dan menjadi orang asing di Jepang dengan hal-hal yang

terpikirkan tentang menjadi orang asing yang menyimpang dan berlebihan dan

juga rasa lelah selama perjalanan, lalu merenungkan hidup anda di tengah malam,

juga ada sesuatu yang lucu tentang terjebak dalam situasi yang anda benar-benar

tidak ingin berada disitu.

Inti cerita dari film ini memang adalah sebuah kisah drama seorang laki-

laki dan perempuan yang terpaut umur yang jauh mencoba menjalin hubungan,

tapi lewat karakterisasi yang kuat Sofia Coppola juga menggambarkan bagaimana

sebuah kota di Jepang dengan budaya yang sama sekali berbeda dengan orang

Amerika menjadikan kedua karakter utama dalam film menjadi orang yang

terasing. Kedekatan kedua karakter ini, karena merasa ada kesamaan tentang

masalah yang dialami satu sama lain ini keduanya kemudian menjadi dekat. Bob

selama di Jepang melakukan kegiatannya dengan produk Suntory Wiski, dan

Charlotte menghabiskan waktunya berjalan-jalan di Jepang karena sering

ditinggal suaminya yang sibuk bekerja sebagai fotografer selebritis. Selama Bob

bersama dengan produk Suntory Wiski ada tanda-tanda yang menunjukkan

kebudayaan Jepang yang digambarkan Sofia Coppola. Begitu juga selama

Charlotte berjalan-jalan ada tanda-tanda yang menunjukkan kebudayaan Jepang.

Gambar 4.1. Poster Film “Lost In Translation”

Sumber : http://en.wikipedia.org

Directed : Sofia Coppola

Written : Sofia Coppola

Executive Producer : Francis Ford Coppola

Fred Roos

Producer : Sofia Coppola

Ross Katz

Associate Produser : Mitch Glazer

Cast : Bill Murray

Scarlett Johansson

Giovanni Ribisi

Anna Faris

Fumihiro Hayashi

Director of Photography : Lance Acord

Editor : Sarah Flack

Costume Designer : Nancy Steiner

Production Designers : Anne Ross

K.K. Barret

Line Producer : Callum Grene

Music Producer : Brian Reitzell

Sound Designer : Richard Beggs

Production Company : Focus Feature

Tohokushinsha Film

American Zoetrope

Distributor : Focus Feature

Release Date : 3 Oktober 2003 (USA)

Run Time : 101 minute

Budget : $4,000,000

Award :

Won Academy Awards USA 2004 Best Writing,

Original Screenplay, Sofia Coppola

Won Golden Globe USA 2004 Best Motion

Picture - Comedy or Musical

Won Golden Globe USA 2004 Best Performance

by an Actor in a Motion Picture - Comedy or

Musical Bill Murray

Won Golden Globe USA 2004 Best Screenplay -

Motion Picture Sofia Coppola

(http://www.imdb.com)

4.3. Sinopsis

Bob Harris (Murray), seorang bintang film senior dari Amerika yang biasa

berperan di film action tiba di Tokyo untuk kegiatan dalam iklan “Suntory

wiski”, dengan upah $ 2 juta. Sementara itu seorang wanita muda, yang baru lulus

dari perguruan tinggi bernama Charlotte (Johansson), bersama suaminya John

(Ribisi) yang berprofesi sebagai fotografer selebritis yang sedang bertugas di

Tokyo, tinggal dalam hotel yang sama dengan Bob Harris.

Charlotte tidak yakin masa depan pernikahannya dengan John. Pada saat

yang sama, Bob Harris yang mengalami krisis dalam keluarganya, bertemu

dengan Charlotte di bar hotel bersama suaminya (John) dan teman-temannya.

Kemudian suatu hari mereka berkenalan sambil minum di bar. Pertemuan yang

singkat itu berlanjut pada pertemuan berikutnya antara Bob Harris dan Charlotte.

Bob di Jepang sendiri dalam melakukan kegiatannya untuk produk

Suntory Wiski. Bob sebagai orang Amerika hanya ditemani beberapa orang

Jepang dari manajemen Suntory Wiski. Charlotte yang sering ditinggal suaminya

yang sibuk bekerja, memilih menghabiskan waktu dengan berkeliling di Jepang.

Mengunjungi kuil, berkeliling hotel dan tidak sengaja ikut dalam kegiatan

Ikebana, melihat pernikahan tradisional Jepang dan lain sebagainya. Bob dan

Charlotte mempunyai perasaan yang sama yaitu kesendirian di negara yang asing

bagi mereka. Keduanya bertemu

4.4. Analisis Scene

4.4.1. Budaya merangkai bunga (ikebana)

Gambar 4.2. Budaya Ikebana (merangkai bunga)

4.4.1.1. Analisis Denotasi

Adegan ini memperlihatkan ketika Charlotte sedang berjalan-jalan di

dalam lingkungan hotel dia melihat sebuah ruangan yang di dalamnya ada

beberapa perempuan Jepang sedang merangkai bunga, lalu ia diajak oleh salah

satu perempuan untuk ikut dalam kegiatan merangkai bunga.

4.4.1.2. Analisis Konotasi

Konotasi yang ingin disampaikan oleh adegan ini adalah budaya orang

Jepang mengenai kesenian adalah Ikebana. Ikebana begitu populer di Jepang, di

Indonesia sendiri juga ada kegiatan merangkai bunga, di mana bahan yang

digunakan atau diolah adalah bunga-bunga hiasan untuk ucapan.

4.4.1.3. Analisis Mitos

Mitos di dalam adegan ini adalah, asal-usul Ikebana adalah tradisi

mempersembahkan bunga di kuil Buddha di Jepang. Ikebana berkembang

bersamaan dengan perkembangan agama Buddha di Jepang di abad ke-6.

Ada penelitian yang mengatakan Ikebana berasal dari tradisi animisme

orang zaman kuno yang menyusun kembali tanaman yang sudah dipetik dari alam

sesuai dengan keinginannya. Di zaman kuno, manusia merasakan keanehan yang

terdapat pada tanaman dan mengganggapnya sebagai suatu misteri. Berbeda

dengan binatang yang langsung mati setelah diburu, bunga atau bagian tanaman

yang sudah dipetik dari alam bila diperlakukan dengan benar tetap

mempertahankan kesegaran sama seperti sewaktu masih berada di alam. Manusia

yang senang melihat "keanehan" yang terjadi kemudian memasukkan bunga atau

bagian tanaman yang sudah dipotong ke dalam vas bunga. Manusia zaman kuno

lalu merasa puas karena menganggap dirinya sudah berhasil mengendalikan

peristiwa alam yang sebelumnya tidak bisa dikendalikan oleh manusia.

Ketakjuban manusia terhadap tumbuhan yang dianggap mempunyai

kekuatan aneh juga berkaitan dengan pemujaan tanaman yang selalu berdaun

hijau sepanjang tahun (evergreen). Manusia zaman dulu yang tinggal di negeri

empat musim percaya bahwa kekuatan misterius para dewa menyebabkan

tanaman selalu berdaun hijau sepanjang tahun dan tidak merontokkan daunnya di

musim dingin. Pada zaman Heian seni merangkai bunga mulai disenangi

masyarakat Jepang dan kini berkembang hingga ke seluruh dunia.

3 macam aliran Ikebana:

a. Jyuka

Rangkaian Ikebana bersifat bebas dimana rangkaiannya berdasarkan

kreativitas serta imaginasi. Gaya ini berkembang setelah perang dunia ke dua.

b. Shoka

Rangkaian ikebana yang tidak terlalu formal tapi masih tradisional. Gaya

ini difokuskan pada bentuk asli tumbuhan.

c. Rikka

Ikebana gaya tradisional yang banyak dipergunakan untuk perayaan

keagamaan. Gaya ini menampilkan keindahan landscape tanaman. Gaya ini

berkembang sekitar awal abad 16 (http://id.wikipedia.org/wiki/Ikebana).

4.4.2. Pernikahan Tradisional adat Jepang dilangsungkan di kuil dengan

menggunakan pakaian sejenis kimono berwarna putih bagi perempuan dan

berwarna hitam bagi laki-laki

Gambar 4.3. Upacara pernikahan di negara Jepang

4.4.2.1. Analisis Denotasi

Adegan ini memperlihatkan ketika Charlotte berjalan masuk ke dalam

lingkungan sebuah kuil ia melihat ritual Upacara Pernikahan orang Jepang yang

dilaksanakan di kuil. Charlotte tampak tersenyum seperti ikut merasakan

kebahagiaan orang Jepang yang sedang melaksanakan ritual Upacara Pernikahan

tersebut.

4.4.2.2. Analisis Konotasi

Konotasi yang ingin disampaikan oleh adegan ini adalah orang Jepang

mempunyai ritual untuk pernikahan. Begitu juga pakaian yang digunakan juga

khusus dipakai untuk ritual pernikahan saja. Di Indonesia juga terdapat ritual

pernikahan seperti dalam pernikahan adat Jawa di mana salah satu ritualnya

adalah midodareni. Seperti halnya Jepang yang mempunyai ritual dalam

pernikahan tradisional, di Indonesia dalam adat Jawa juga terdapat ritual dalam

pernikahan salah satunya midodareni.

Midodareni adalah sebuah prosesi menjelang acara panggih dan akad

nikah. Midodareni sendiri berasal dari kata widodari yang dalam bahasa Jawa

bermakna bidadari. Mitos yang berkembang di kalangan masyarakat jawa sendiri

kenapa diadakannya acara prosesi Midodareni adalah karena konon pada malam

itu para bidadari dari khayangan turun ke bumi dan bertandang ke rumah calon

mempelai wanita guna ikut mempercantik dan menyempurnakan calon pengantin

wanita (http://arsipbudayanusantara.blogspot.nl.)

4.4.2.3. Analisis Mitos

Upacara Pernikahan di negeri sakura (Jepang) merupakan peristiwa

terpenting dalam sejarah kehidupan orang Jepang. Orang Jepang mempunyai

kesadaran untuk berkeluarga dan tetap taat pada adat istiadat warisan leluhurnya.

Tata cara pernikahan di negara Jepang terdiri dari dua jenis yaitu

pernikahan modern dan pernikahan tradisional. Pernikahan modern dilangsungkan

di gereja dengan sistem pernikahan agama Kristen. Pernikahan tradisional

dilangsungkan di kuil dengan sistem agama Buddha atau Shinto. Pernikahan

tradisional masih ada yang melakukannya, khususnya yang tinggal di pedesaan

yang masih memegang teguh adat istiadat warisan nenek moyangnya dan

dilakukan secara turun temurun. Waktu yang paling baik untuk pernikahan di

Jepang yaitu dilaksanakan pada musim semi dan musim gugur.

Pakaian pernikahan di Jepang bagi wanita menggunakan Shiromuku

(kimono putih) dan Tsuno Kakushi (kerudung). Bagi laki-laki menggunakan

Hamaka Hitam.

Prosesi pernikahan tradisional di Jepang adalah sebagai berikut:

1. Mempelai diantar keluarga, teman, dan kerabat ke kuil.

2. Melaksanakan upacara pernikahan tradisional agama Shinto.

3. Keluarga berkumpul, kedua pengantin berdiri di tengah lalu diiringi dengan

lagu tradisional Kiyari.

4. Pendeta memimpin doa.

5. Pengantin pria membaca sumpah perkawinan kepada pengantin wanita.

6. Kedua pengantin minum anggur sebanyak tiga kali.

7. Dihadapan Dewa kedua pengantin mengucapkan janji nikah.

8. Disaksikan teman, keluarga, dan kerabat.

9. Resepsi (https://nurulsiinurul.wordpress.com).

Di dalam film ini diperlihatkan bahwa adegan ini adalah pernikahan

tradisional Jepang, dapat dilihat dari pernikahan yang dilaksanakan di kuil Shinto,

kemudian pakaian yang dipergunakan pengantin laki-laki menggunakan Hamaka

hitam sementara pengantin perempuan menggunakan Shiromuku (kimono putih)

dan Tsuno Kakushi (kerudung). Adegan ini juga memperlihatkan salah satu ritual

yang dilakukan ketika melaksanakan pernikahan tradisional Jepang yaitu

mempelai diantar keluarga, teman, dan kerabat ke kuil.

4.4.3. Budaya Ramalan Masa Depan (Omikuji)

Gambar 4.4. Budaya Omikuji

4.4.3.1. Analisis Denotasi

Adegan ini memperlihatkan ketika Charlotte berada di dalam lingkungan

kuil, lalu ia mengikatkan kertas yang ia bawa pada ranting pohon.

4.4.3.2. Analisis Konotasi

Konotasi yang ingin disampaikan oleh adegan ini omikuji merupakan

kepercayaan yang dilakukan orang Jepang terhadap ramalan masa depan pada

secarik kertas dan bila isi ramalan itu buruk akan dikaitkan di pohon, namun

kenyataannya tidak hanya di pohon saja terbukti di Enoshima, Jepang adalah

sebuah pulau kecil di Jepang yang terkenal sebagai salah satu tempat yang

romantis di Jepang dikarenakan tempat tersebut mempunyai sebuah lonceng yang

dapat dibunyikan sebagai tanda keabadian cinta mereka. Di samping lonceng

tersebut ada sekumpulam gembok cinta yang bertuliskan nama-nama pasangan

tersebut.

4.4.3.3. Analisis Mitos

Mitos di dalam adegan ini adalah Omikuji adalah kertas ramalan yang

menceritakan ramalan kita di masa yang akan datang, ramalan ini biasanya berupa

keberuntungan kita, karier kita di masa yang akan datang, keluarga kita, kesehatan

kita, waktu yang tepat untuk bepergian, dan sebagainya. Omikuji ini lebih banyak

dicari orang ketika awal tahun, karena mereka umumnya ingin mengetahui

bagaimana peruntungan mereka di tahun yang akan datang

(http://www.kompasiana.com).

4.4.4. Budaya disiplin waktu bagi masyarakat Jepang sangat dijunjung tinggi

Gambar 4.5. Budaya tepat waktu masyarakat Jepang

4.4.4.1. Analisis Denotasi

Adegan ini memperlihatkan beberapa orang dari manajemen Suntory Wiski

yang sedang menunggu Bob Harris di hotel. Salah seorang dari mereka menunggu

sambil berdiri melihat jam di tangannya. Kemudian Bob Harris datang dan segera

melakukan kegiatannya bersama manajemen Suntory Wiski.

4.4.4.2. Analisis Konotasi

Konotasi yang ingin disampaikan oleh adegan ini adalah budaya orang

Jepang yang berusaha untuk disiplin waktu dengan cara salah satunya bila berjanji

bertemu seseorang dia lebih baik datang lebih dahulu dan menunggu orang yang

ingin ditemuinya. Di Indonesia kalau berjanji dengan seseorang cenderung

mundur selama beberapa menit dari waktu yang ditentukan.

4.4.4.3. Analisis Mitos

Mitos yang ingin disampaikan oleh adegan ini adalah bangsa Jepang

dikenal sebagai bangsa yang disiplin dan tingkat produktivitasnya tinggi. Berkat

budaya kerjanya itu maka mereka bisa menjadi bangsa yang tingkat ekonominya

sejajar dengan negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Orang jepang terkenal

dengan etos kerjanya yang luar biasa. Etos kerja ini memiliki peranan penting atas

kebangkitan ekonomi jepang, terutama setelah kekalahan Jepang diperang dunia

kedua. Dulu orang Jepang bukanlah orang yang memiliki etos kerja yang tinggi.

Mereka tidak disiplin dan lebih senang bersantai dan menghabiskan waktunya

untuk bersenang-senang. Namun kekalahan Jepang pada perang dunia kedua

mengubah keadaan yang serba santai dimasa lalu. Ekonomi Jepang kacau balau,

pengangguran dimana-mana. Saat itu mereka tidak punya pilihan lain selain

bekerja dengan sangat keras agar bisa survive (http://www.abbalove.org).

4.4.5. Budaya membungkukkan badan

Gambar 4.6. Salah satu cara orang Jepang membungkukkan badan

4.4.5.1. Analisis Denotasi

Adegan ini memperlihatkan Bob Harris baru saja tiba di hotel kemudian

berjalan menuju ke kamarnya, saat berjalan itu dirinya disapa oleh beberapa orang

Jepang yang salah satunya dengan membungkukkan badan. Kemudian Bob Harris

membalas penghormatan orang Jepang kepada orang tersebut dengan cara

membungkukkan badan juga. Bob Harris tampak agak kaku saat membungkukkan

badan mengikuti budaya penghormatan seperti ini.

4.4.5.2. Analisis Konotasi

Konotasi yang ingin disampaikan oleh adegan ini membungkukkan badan

menjadi budaya dalam masyarakat Jepang. Membungkukkan badan menjadi hal

yang biasa dilakukan masyarakat Jepang. Di Indonesia juga ada budaya

membungkukkan badan dalam budaya Jawa yaitu menghargai orang yang di

sekitar kita.

4.4.5.3. Analisis Mitos

Mitos yang ingin disampaikan oleh adegan ini adalah membungkuk (ojigi)

adalah sebuah keharusan. Tradisi yang sudah harus diajarkan kepada anak-anak

sejak balita. Bila seseorang semakin menghormati orang lain, maka semakin

dalam bungkukan seseorang tersebut. Semakin besar perasaan bersalah seseorang

kepada orang lain, semakin dalam pula bungkukan orang tersebut. Orang Jepang

dikenal paling sering meminta maaf.

Meminta maaf berarti mengakui kegagalan sendiri atau mengaku bersalah,

di Indonesia tampak enggan untuk meminta maaf sebelum terbukti siapa yang

melakukan kesalahan. Tapi di Jepang, kata "egoisme" tidak ada tempat untuk

berkembang. Di Jepang, meminta maaf dianggap sebagai kewajiban, meskipun

belum tentu seseorang bersalah. Permintaan maaf menunjukkan bahwa seseorang

rela bertanggung jawab dan menghindari menyalahkan orang lain.

Semakin tinggi jabatan seseorang, maka dia harus semakin berani meminta

maaf jika dia atau anak buahnya melakukan kesalahan. Banyak pejabat

pemerintahan, seperti walikota, gubernur, menteri dan perdana menteri sekalipun

yang membungkuk meminta maaf kepada publik dan akhirnya memilih

mengundurkan diri daripada malu dibicarakan orang hal ini merupakan sesuatu

yang amat sangat jarang kita lihat di Indonesia (http://www.jepang.net)

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

5.1.1. Representasi kebudayaan Jepang dalam film Lost In Translation,

menggambarkan bahwa film ini menghormati beberapa kebudayaan kuno

Jepang hal ini ditunjukkan dari tradisi kuno yang digambarkan adalah:

1. Budaya merangkai bunga (“ikebana”) populer bagi masyarakat Jepang

2. Pernikahan Tradisional adat Jepang dilangsungkan di kuil dengan

menggunakan pakaian sejenis kimono berwarna putih bagi perempuan dan

berwarna hitam bagi laki-laki.

3. Omikuji salah satu kepercayaan masyarakat Jepang terhadap ramalan masa

depan.

4. Budaya disiplin waktu bagi masyarakat Jepang sangat dijunjung tinggi.

5. Budaya membungkukkan badan untuk menghormati orang lain.

5.1.2. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos

1. Makna Denotatif

Kebudayaan Jepang yang berupa tradisi kuno masih dijaga dan

dilestarikan oleh masyarakat Jepang tradisi ini adalah merangkai bunga,

Pernikahan tradisional, Budaya ramalan masa depan omikuji, disiplin waktu dan

budaya membungkukkan badan.

2. Makna Konotatif

Jepang adalah negara yang modern namun di sisi lain ternyata masyarakat

Jepang begitu kuat dalam menjaga dan melestarikan budaya mereka sendiri.

3. Makna Mitos

Jepang menjadi negara maju karena masyarakatnya percaya bahwa untuk

bisa membuat negaranya maju dengan cara menghargai dan melestarikan budaya,

sehingga sampai saat ini Jepang dikenal oleh masyarakat dunia memiliki budaya

yang unik dan beragam.

5.2. Saran

1. Kepada Pemerintah, disarankan agar Pemerintah Indonesia ikut membantu

melestarikan budaya yang ada di Indonesia seperti halnya Pemerintah Jepang

mempertahankan budaya yang ada di Jepang.

2. Kepada Masyarakat, disarankan agar masyarakat Indonesia ikut melestarikan

budaya yang ada di Indonesia seperti halnya masyarakat Jepang

mempertahankan budaya yang ada di Jepang.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Branston, Gill & Roy Stafford. The Media Student’s Book. New York, N.Y.:

Roudledge, 1996.

Effendy, Onong Uchjana. 2011. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung.

Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LkiS,

2001.

Fairclough, Norman. Media Discourse. London : Arnold, 1995.

Fiske, John. Television Culture. London: Rotledge, 1997.

Gillespie, Marie. Television, Ethnicity and Cultural Change. London &New Yok :

Routledge, 1995.

Leeuwen, T. Speech, Music, Sound. London: Macmillan, 1999.

O’Sullivan, Brian Dutton & Philip Rayner. Studying The Media: an Introduction,

London: Arnold, 1998.

Pilliang, Yasrat Amir, 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Syudies Atas

Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi antarbudaya. Jakarta. Penerbit Bumi

Aksara

Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung. Penerbit PT Remaja

Rosdakarya.

Sturken, M. dan Lisa Cartwright. Practices of Looking, an Introduction to Visual

Culture. New York: Oxford University Press, 2001.

________. Introducing Social Semiotics. New York: Routledge, 2005.

________. Discourse And Practice. New York: Oxford University Press, 2008.

Sumber Internet:

http://ekkyij.blogspot.com/2014/03/film-kenyataan-dan-representasi.html

https://husnun.wordpress.com/2011/04/27/film-sebagai-bagian-dari-media-massa/

http://sosbud.kompasiana.com/2013/04/05/peranan-budaya-terhadap-kemajuan-

suatu-bangsa-jepang--548459.html

http://www.focusfeatures.com/article/lost_in_translation___interview_with_sofia

_coppola_and_ross_ka/print

http://nasional.kompas.com/read/2008/11/26/17323361/generasi.muda.kurang.ped

uli.budaya.sendiri

http://www.fokal.info/fokal/2013/08/bangga-terhadap-budaya-bangsa-sendiri/

http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/05/jepang-negara-modern-yang-

memelihara-budaya-tradisional-595956.html

http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-budaya-dan-

kebudayaan.html

http://mbahkarno.blogspot.com/2013/09/unsur-unsur-kebudayaan-beserta.html

http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_09.html

http://www.jasso.or.id/pengenalan.php http://www.imdb.com/title/tt0335266/?ref_=rvi_tt

http://en.wikipedia.org/wiki/Lost_in_Translation_%28film%29

http://id.wikipedia.org/wiki/Ikebana

https://nurulsiinurul.wordpress.com/pernikahan-tradisional-jepang/

http://www.kompasiana.com/titinseptiana/omikuji-japanese-fortune-

paper_5500599c8133110a1afa760f

http://www.abbalove.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1210

:belajar-dari-disiplin-kerja-bangsa-jepang-&catid=101:work-a-

marketplace&Itemid=47

http://www.jepang.net/2011/10/budaya-orang-jepang-membungkuk.html

http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html

http://arsipbudayanusantara.blogspot.nl/2013/05/malam-midodareni-prosesi-

menjelang-akad.html