a. pendahuluan · batas-batas zakat, dan tingkat persentase zakat untuk barang yang berbeda-beda...
TRANSCRIPT
A. Pendahuluan
Secara istilah fiqih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan oleh Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak
(Sudarsono, 2007). Zakat merupkan legitimasi Allah yang tercantum
dalam al-Qur’an. Kata zakat sendiri dalam bentuk ma’rifah disebut 30
kali, yang mana 27 kali di antaranya disebutkan dalam satu ayat
bersama shalat.
Berdasarkan kesejarahan, zakat diwajibkan pada tahun ke-9
hijriah, sedangkan shadaqoh fitrah pada tahun ke-2 hijriah. Akan tetapi
ahli hadits memandang bahwa zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-
9 H, ketika Maulana Abdul Hasan berkata zakat diwajibkan setelah
hijrah dan dalam kurun waktu lima tahun setelahnya (Sudarsono, 2007;
mengutip Abdul Hasan).
Sebelum diwajibkan, zakat merupakan sumbangan sukarela yang
belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukumnya. Peraturan itu
kemudian hadir seiring dengan kokohnya dasar islam, dan semakin
banyaknya orang masuk islam. Peraturan yang disusun tersebut meliputi
system pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenakan zakat,
batas-batas zakat, dan tingkat persentase zakat untuk barang yang
berbeda-beda (Sudarsono, 2007).
Pada perkembangannya, masa kehidupan Rasulullah dan
khulafaurrasyidin, zakat merupakan sumber pendapatan utama Negara
islam. Zakat dimasukkan sebagai perisai utama kebijakan fiscal dalam
rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum.
Pelaksanaan pemungutan zakat di masa pemerintahan Rasulullah
dan Khulafaurrasyidin menjadi bukti arti pentingnya zakat bagi
pembangunan Negara. Namun, dengan catatan bahwa pengumpulan
zakat tersebut harus dilakukan secara optimal.
Di Indonesia sendiri, usaha untuk mengoptimalkan konsep zakat
telah lama dilakukan. Akan tetapi, seiring dengan hal tersebut masih
banyak masyarakat, baik dari kalangan muslim, pemerintah, yang
menolak urgensi dalam melegalisasikan peraturan zakat tersebut
(Sudarsono, 2007).
B. Lembaga Zakat
Dalam khazanah hukum Islam, yang bertugas mengambil dan
yang menjemput zakat adalah para petugas zakat (amil). Menurut Imam
Qurthubi, amil adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh
imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan
mencatat atas harta zakat yang diambil dari para muzakki untuk
kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya (Karim,2009).
Pada masa Rasulullah SAW yang diangkat menjadi amil zakat
adalah Baginda Umar bin Khattab ra. Rasulullah SAW juga pernah
mempekerjakan seorang pemuda dari Suku Asad, yang bernama Ibnu
Lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliau juga pernah
mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Selain
Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW juga pernah mengutus Muadz bin
Jabal ke Yaman, yang di samping bertugas sebagai da’i (mendakwahkan
Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat.
Ketika Umar menjadi khalifah, beliau mengangkat Ibnus Sa'dy Al-
Maliki sebagai pengumpul zakat. Hal ini diriwayatkan oleh Busr bin
Sa'ied dari Ibnus Sa'dy Al-Maliki, yang berkata, ''Umar pernah
mengangkat aku untuk mengurus zakat (amil). Ketika usai pekerjaanku
dan aku laporkan kepadanya, maka dia kemudian mengirimi aku upah.
Maka aku katakan, 'Sungguh, aku melakukan tugas ini karena Allah.'
Maka Umar berkata, 'Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu. Aku
dulu juga pernah menjadi amil Rasulullah SAW, dan beliau memberi
upah untuk tugas itu. Ketika aku katakan kepada beliau seperti yang kau
katakan tadi, maka Rasulullah SAW berkata, bila engkau diberi sesuatu
yang tak kau pinta, maka makanlah dan sedekahkanlah.'” (HR Al-Bukhari
dan Muslim), (Karim,2009).
Di Indonesia sejarah kelahiran amil zakat telah digagas sejak 13
abad silam. Sejak cahaya Islam terbit dan menerangi nusantara, sejak
itulah semangat masyarakat untuk mengenal, memahami dan
mengamalkan Islam muncul. Namun pada perjalanannya praktek
pengelolaan zakat tersebut masih bersifat alamiah dan sederhana.
Pada tanggal 24September 1968, sebelas ulama tingkat nasional
menyarankan kepada presiden Soeharto untuk membentuk badan
pengelolaan zakat tersebut. Pada acara Isra' Mi'raj di Istana Negara, 26
Oktober 1968, Presiden menegaskan kesediaannya menjadi amil tingkat
nasional. Seruan tersebut disusul dengan dikeluarkannya surat perintah
Presiden No. 07/POIN/10/1968 tanggal 31 Oktober 1968. Isinya,
mengamanatkan kepada Mayjen Alamsyah Ratu Prawiranegara, Kol. Inf.
Drs. Azwar Hamid dan Kol. Inf. Ali Afandi untuk membantu Presiden
dalam proses administrasi dan tata usaha penerimaan zakat secara
nasional. Seruan Presiden ini ditindaklanjuti oleh Gubernur DKI Jakarta
dengan mendirikan Bazis DKI. Juga Bazis- Bazis daerah oleh kepala
daerah masing-masing. Selanjutnya, untuk lebih menguatkan dan
mengembangkan keberadaan lembaga pengelola zakat, akhirnya
dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16 tahun 1989 tentang
Pembinaan Zakat dan Infak/Sedekah. Selanjutnya dikukuhkan dengan
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
29 Tahun 1991. (mengutip Karim, 2009).
Perkembangan selanjutnya, setelah jatuhnya rezim Soeharto, dan
dimulainya era pemerintahan Habibie, dengan didukung oleh masyarakat
maka Habibie memerintahkan untuk membuat undang-undang
pengelolaan zakat. Sebagai hasil dari perintah itu lahirlah Undang-
Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dan sejak itulah
legalitas lembaga amil zakat diakui undang-undang.
Pada BAB III pasal 6 dan 7 menyatakan bahwa lembaga
pengelola zakat di Indonesia terdiri atas dua kelompok institusi, yaitu
Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Yang mana
BAZ merupakan badan yang dibentuk pemerintah sedangkan LAZ
dibentuk oleh masyarakat.
1. Badan Amil Zakat
Badan Amil Zakat adalah badan tertinggi pengelola zakat yang terdiri
atas dewan pertimbangan, komisi pengawas dan badan pelaksana.
Ketiga unsure tersebut masing-masing memiliki fungsi, yaitu: (1) dewan
pertimbangan berfungsi untuk memberikan pertimbangan, fatwa, saran
dan rekomendasi kepada badan pengelola dan komisi pengawas dalam
pengelolaan Badan Amil Zakat yang meluputi aspek syariah dan aspek
manajerial.
Adapun (2) komisi pengawa merupakan pengawas internal lembaga
atas operasional kegiatan yang dilaksanakan badan pelaksana.
Sedangkan (3) badan pelaksana berfungsi sebagai pelaksana
pengelolaan zakat.
2. Lembaga Amil Zakat
Lembaga zakat sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang
zakat merupakan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat. Lembaga-
lembaga ini merupakan bentukan baik dalam lingkup regional maupun
nasional. Banyak lembaga amil zakat yang dibentuk oleh organisasi
politik, lembaga takmir masjid, pesantren, media massa, bank dan
lembaga keuangan kemasyarakatan. Tiap lembaga zakat memiliki
struktur organisasi yang berbeda-beda.
C. Kajian Ulama Fiqh Tentang Lembaga Amil Zakat
Pada prinsipnya zakat adalah kewajiban yang unik jika
dibandingkan dengan shadaqoh dan infak serta wakaf. Keunikan itu tidak
hanya tercermin dari nilai persentasenya atau pun ukuran wajib
zakatnya. Akan tetapi, yang berhak menerima zakat pun adalah orang
atau golongan tertentu.
Di dalam Al-Qur’an surat at- Taubah ayat 60 secara jelas
merupakan dalil yang menentukan para penerima zakat. Dalam ayat
tersebut terdapat delapan golongan yang menjadi wajib sasaran zakat.
Golongan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah: (1) fakir, (2)
miskin, (3) pengurus-pengurus zakat, (4) muallaf, (5) budak, (6) orang
yang berutang, (7) fisabilillah, (8) musafir. Kedelapan golongan inilah
yang merupakan sasaran lembaga amil zakat untuk menyalurkan dana
zakat yang dikumpulnya.
Pada perkembangan masa sekarang, di setiap Negara paling
tidak hanya ada empat kelompok penerima wajib zakat, yaitu: fakir,
miskin, orang yang berutang, dan orang yang sedang dalam perjalanan.
Kajian seputar pandangan para ulama tentang sasaran orang
yang berhak menerima zakat ini ditunjukkan oleh table di bawah ini
(disarikan dari Zuhayly, 2000).
Tabel 1
Kajian Fiqh Seputar Zakat
Keterangan Mazhab Syafi’i Mazhab Hanafi Mazhab Maliki Mazhab
Hambali
Sasaran pembagian zakat
kepada kelompok yang
delapan
Zakat fitrah boleh
untuk satu orang
fakir atau miskin
Membolehkan
hanya kepada satu
kelompok atau
orang saja di
antara delapan
kelompok
Sama dengan
Hanafi
Hanya satu
kelompok
Selain kelompok delapan Tidak boleh Tidak boleh Tidak boleh Tidak boleh
Besar Zakat yang
diberikan kepada
penerimanya.
Boleh diberikan
kepada fakir dan
miskin sebesar
keperluan untuk
memenuhi
hajatnya.
Tidak
mengehendaki
jika satu orang
diberi sebesar satu
nishab zakat, akan
tetapi di bawah itu
boleh.
Boleh saja
diberikan
sebesar satu
nishab.
Sama dengan
Syafi’i.
Mewakilkan orang lain Boleh dengan Boleh dengan Boleh dengan Boleh dengan
untuk membagikan zakat syarat ada niat
dari orang yang
mewakilkan.
syarat ada niat
dari orang yang
mewakilkan.
syarat ada niat
dari orang yang
mewakilkan.
syarat ada niat
dari orang
yang
mewakilkan.
Hal-hal di atas merupakan permasalahan fiqh yang terjadi pada
penyaluran zakat oleh lembaga amil zakat. Akan tetapi, permasalahan
kontemporer yang menjadi sorotan belakangan ini adalah penyaluran
zakat dalam bentuk zakat produktif.
Sepanjang penelusuran kami, permasalahan ini belum kami
temukan kajian dari keempat ulama mazhab fiqh yang tersebut dalam
table di atas. Baik itu yang berupa melarang maupun yang
membolehkan. Akan tetapi, beberapa pendapat menyebutkan bahwa
pemberian modal kepada perorangan/kelompok dalam bentuk zakat
produktif, amil (lembaga amil zakat) harus mempertimbangkan dengan
matang kriteria orang tersebut. hal-hal yang mampu dianalisa seperti
kemampuan orang yang mengolah dana yang diberikan sehingga pada
suatu saat nanti ia tidak lagi bergantung pada zakat, dan apabila dikelola
dengan pengawasan amil zakat, maka hal ini boleh-boleh saja. Karena
pada akhirnya nanti tujuan yang diharapkan adalah menjadikan mustahik
menjadi muzakki baru yang dapat mengalirkan dana zakat yang baru
(Hasan, 2003).
D. Eksistensi Dan Prospek Lembaga Amil Zakat
1. Eksistensi Lembaga Amil Zakat
Secara ekplisit seperti yang dikemukakan pada bahasan
sebelumnya, bahwa zakat merupakan perintah Allah yang tertera di
dalam Al-Qur’an, yang keberadaannya tidak dapat disangkal atau pun
dipertanyakan. Perintah itu jelas mengumandangkan bahwa setiap
muslim yang sudah terkena nishab zakat wajib mengeluarkannya
sebagai wujud pembersihan harta atas rezeki yang dilimpahkan
kepadanya. Namun, meski perintah ini sudah merupakan kewajiban
mutlak, akantetapi tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar zakat
masih sangat minim. Untuk itulah al-Qur’an tidak melarang dan bahkan
lebih memberikan peluang agar pengumpulan zakat dilakukan melalui
sebuah lembaga yang diatur oleh pemerintah.
Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia
juga telah menerapkan pengumpulan dan pengelolaan dana zakat
secara melembaga maupun dalam bentuk badan organisasi. Hal ini
tercantum dalam Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, Bab III pasal 6 dan pasal 7 menyatakan bahwa
lembaga pengelolaan zakat di Indonesia terdiri atas dua kelompok
institusi, yaitu Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat (Sudarsono,
2007).
Lahirnya undang-undang ini memberikan angin segar terhadap
tumbuhnya LAZ-LAZ yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan
oleh pemerintah. Sejak keluarnya undang-undang tersebut, di Indoneisa
terdapat 18 LAZ nasional yang mendapat pengukuhan Menteri Agama.
LAZ itu, yakni (1) Dompet Dhuafa, (2) Yayasan Amanah Takaful, (3) Pos
Keadilan Peduli Ummat (PKPU), (4) Yayasan Baitul Maal Muamalat, (5)
Yayasan Dana Sosial Al Falah, (6) Yayasan Baitul Maal Hidayatullah, (7)
LAZ Persatuan Islam (PERSIS), (8) Yayasan Baitul Maal Ummat Islam
(BAMUIS) PT BNI (persero) tbk, (9) LAZ Yayasan Bangun Sejahtera
Mitra Umat, (10) LAZ Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (11) LAZ
Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia, (12) LAZIS
Muhammadiyah, (13) LAZ Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), (14) LAZ
Yayasan Dopet Sosial Ummul Quro (DSUQ), (15) LAZ Baituzzakah
Pertamina (BAZMA), (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid
(DPUDT), (17) LAZ Nahdlatul Ulama (NU), dan (18) LAZ Ikatan
Persaudaraan Haji (IPHI).
Melihat tumbuh dan berkembangnya LAZ ini memang turut
memberikan rasa bangga dan gembira bagi bangsa ini. Karena selain
LAZ yang tersebut di atas, masih banyak terdapat LAZ-LAZ lain yg
dibentuk oleh masyarakat baik di kota maupun di daerah yang menurut
Forum Zakat jumlahnya mencapai 500 lembaga (mengutip dari Hamid
yang diambil dari Republika, 5/2/2007).
Hadirnya lembaga zakat yang bak jamur di musim hujan ini
memberikan indikasi bahwa tingkat kesadaran masyarakat dalam
membayar zakat semakin tinggi. Di lain pihak masyarakat mulai
menerima dan percaya akan adanya lembaga pengumpul dan pengelola
zakat dan mulai meninggalkan tradisi lama membayar zakat dari
tetangga ke tetangga.
Menurut Adi Warman Karim peristiwa menjamurnya LAZ-LAZ di
Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Keunikan itu tercermin dalam
berbagai hal, seperti:
a) Semangat menyadarkan umat
Hadirnya lembaga amil zakat memiliki tujuan untuk menjadi
penggerak dalam penyadaran umat akan pentingnya berzakat.
Bukan tanpa alasan karena potensi zakat yang besar pada
kenyataannya belum terhimpun secara optimal. Di lain pihak
para wajib zakat masih belum memiliki kesadaran akan
pentingnya membayar zakat.
Indonesia bukan negara Islam yang menerapkan hukum
memerangi bagi mereka yang membangkang untuk membayar
zakat. Maka jika negara tidak berkenan menjadi otoriter untuk
pengumpulan zakat, tugas da’i dan amil zakat selaku pihak
yang lebih memahami tentang pentingnya berzakat harus
menjadi motor untuk penyadaran ini.
b) Semangat melayani secara professional
Lembaga zakat yang muncul akhir-akhir ini memang
merupakan sebuah keuntungan tersendiri bagi para muzakki. Hal
ini dikarenakan para muzakki dapat menyalurkan zakatnya
melalui lembaga tersebut sehingga tersalur pada orang yang tepat
menerimanya. Semangat melayani secara profesional ini
tergambar dari kepuasan muzakki atas pelayanan yang diberikan
beberapa amil zakat. Dengan transparansi pelaporan dan
penyaluran yang tepat sasaran, serta program-program unik
dalam pemberdayaan masyarakat membuat muzakki merasa
puas dan semakin gemar untuk berzakat. Akan tetapi, semangat
profesionalisme crew zakat itu masih didominasi oleh LAZ – LAZ
besar, seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat Indonesia, DPU-DT,
YDSF, Al Azhar, dan LAZ besar lainnya.
c) Semangat berinovasi untuk membantu mustahik
Setiap LAZ-LAZ besar, saat ini banyak memiliki program-
program unik dalam memikat hati muzakki. Program unik inilah
yang membuat muzakki luluh hatinya menyerahkan dananya
kepada LAZ itu. Ambillah contoh Dompet Dhuafa dengan Warung
Ukhuwah-nya, DPU-DT dengan Misykat-nya, Rumah Zakat
Indonesia dengan Super Qurban-nya, dan program unik lain dari
LAZ-LAZ yang tidak kalah inovatifnya. Hal itu semuanya berujung
pada semangat LAZ dalam memberdayakan umat.
Inovasi inilah yang perlu dicatat sebagai keunikan
tersendiri, karena tidak semua LAZ di negara-negara lain bisa
berkreasi sedemikian rupa seperti halnya terjadi di Indonesia.
Mungkin seandainya pemerintah turut campur tangan terhadap
seluruh pengelolaan zakat, infak dan sedekah (ZIS), mungkin
inovasi dan kreasi produk ZIS dari LAZ kita tidak seinovatif dan
sekreatif saat ini.
d) Semangat Memberdayakan Masyarakat
Hadirnya lembaga zakat di berbagai daerah, di masjid-
masjid, dan bahkan lembaga pemerintah/swasta memberikan
gambaran bahwa nilai sosial masyarakat negara ini masih
terpelihara dengan baik. Artinya bahwa masyarakat kita masih
menjunjung tinggi arti pentingnya kepedulian untuk sesama.
Pemaparan Karim di atas tentang eksistensi LAZ di Indonesia
saat ini memang memberikan gambaran cita-cita mulia dari lembaga
zakat itu sendiri. Akan tetapi, suatu hal yang patut dipertanyakan adalah,
apakah cita-cita mulia ini sudah tercapai dan terwujud?
Pertanyaan itu timbul didasari atas peristiwa yang sangat
fenomenal yaitu tragedi penyaluran zakat di daerah Pasuruan 15
Desember 2008 silam yang sampai menelan korban jiwa. Kejadian ini
memberikan dugaan dan pandangan dari berbagai kalangan. Sebagian
pendapat mengemukakan bahwa peristiwa itu mencerminkan betapa
tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia. Beberapa pendapat
menyalahkan ketidak siapan aparat dalam mengamankan pembagian
zakat. Sedangkan pendapat lainnya adalah bahwa kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap amil zakat.
Dalam konteks pengelolaan zakat peristiwa di atas memberikan
gambaran bahwa kinerja amil zakat belum optimal baik dalam menggali
potensinya yang besar maupun dalam mengurangi kesenjangan
ekonomi dalam masyarakat. Karena bagaimanapun keberadaan amil
zakat di Indonesia masih tergolong muda dan masih mencari bentuk
format pengelolaan yang lebih baik dari segi yuridis, formal maupun
organisasi zakat itu sendiri (www.bazizdki.go.id).
2. Prospek Lembaga Amil Zakat
Sebelum masuk pada pembahasan peospek lembaga amil zakat,
ada baiknya pembahasan akan prospek zakat bagi perekonomian
diungkapkan terlebih dahulu. Terkait dengan hal itu, zakat merupakan
instrument public yang mempengaruhi sisi demand ekonomi. Secara
teoritis, pendistribusian zakat akan mengakibatkan naiknya daya beli
masyarakat mustahik yang pada akhirnya akan meningkatkan kurva
permintaan melalui agregat demand (Sakti, 2007).
Akan tetapi, secara jangka pendek akan meningkat harga.
Namun, peningkatan harga itu otomatis akan meningkatan revenue
produsen. Dan jika diasumsikan kenaikan harga ini diketahui semua
pelaku pasar, dengan demikian akan mengundang pelaku pasar
baru. Implikasinya harga akan terkoreksi. Turunnya harga ini tidak
serta-merta akan menurunkan kuantitas produksi keseimbangan.
Akan tetapi tetap meningkat. Inilah kemudian yang menunjukkan
bahwa zakat mendorong pertumbuhan ekonomi. Lebih lengkap
ditunjukkan oleh kurva di bawah ini (Sakti, 2007):
Sumber: Sakti, 2007
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa zakat berpotensi sebagai
pendorong laju pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, tentunya potensi
itu harus disertai dengan pengumpulan dana zakat yang optimal.
Maka di sinilah peran lembaga amil zakat dibutuhkan. Sebagai satu-
satunya lembaga pengelola yang disebutkan dalam al-Qur’an,
lembaga amil zakat memiliki prospek yang cerah untuk meningkatkan
kesejahteraa kaum dhuafa.
Seperti yang dituliskan Adiwarman Karim, prospek itu didorong
oleh fator-faktor sebagai berikut:
1. Potensi Penghimpunan Dana Zakat Yang Besar
0 Q1 Q2 Q3
P1/P3
P2
Q
D0
D1
S1
S0
P
1
2
Berdasarkan rilisan dari hasil penelitian PIRAC (Public
Interest Research and Advocacy Centre), potensi dana zakat di
Indonesia yang populasinya 87% muslim, sangat besar hingga
mencapai 9,09 trilliun rupiah tahun 2007. Nilai ini meningkat pesat
dibandingkan tahun 2004 yang hanya berpotensi 4,45 trilliun
rupiah. Hasil yang berbeda dikemukakan oleh Alfath bahwa
potensi zakat Indonesia mencapai 20 trilliun rupiah per tahun.
Akan tetapi, yang baru tergali baru Rp 500 miliar per tahun
(Karim, 2009).
Terlepas dari berapapun nilainya, kedua hasil survei
tersebut memberikan gambaran bahwa potensi itu bukanlah
angka yang kecil.jika semua potensi itu dapat terkumpul dan
dikelola oleh lembaga amil zakat yang propesional dan amanah,
maka bukan mustahil tingkat kesejahteraan rakyat miskin dapat
diperbaiki.
2. Regulasi Yang Mulai Mendukung
Sejak bergulirnya era reformasi, regulasi zakat pun
menemukan momentumnya. Jika sebelumnya hanya bersifat
instruksi dan keputusan menteri, akhirnya Indonesia memiliki
payung hukum tentang zakat, di mana dengan keluarnya Undang-
Undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat pada
tanggal 23 September 1999.
3. Infrastruktur IT Yang Menunjang
Perkembangan teknologi di masa sekarang memberikan
efek yang luar biasa bagi setiap aktifitas kehidupan. Hadirnya
inovasi-inovasi teknologi baru yang memudahkan, seperti internet
dan lain sebagainya, memberikan kemudahan yang berarti. Jika
lembaga amil zakat mampu menerapkan teknologi ini, maka
profesionalsime dan kecekatan lembaga amil tersebut akan
semakin efektif.
4. Tingkat kesadaran yang semakin meningkat.
Survei PIRAC melaporkan tingkat kesadaran muzakki
meningkat dari 49,8% di tahun 2004 menjadi 55% di tahun 2007.
Hal ini berarti dalam kurun waktu 3 tahun terjadi peningkatan
sebesar 5,2% kesadaran berzakat dalam masyarakat, jika 5,2%
itu dikalikan dengan populasi muzakki di Indonesia, maka terdapat
lebih dari 29 juta keluarga sejahtera yang akan menjadi warga
sadar zakat. Sedangkan saat ini, diperkirakan hanya ada sekitar
12 – 13 juta muzakki yang membayar zakat via LAZ, berarti masih
ada lebih dari separuh potensi zakat yang belum tergarap oleh
LAZ (Karim, 2009).
E. Kendala Dan Strategi Pengembangan Lembaga Amil Zakat
Meskipun begitu besar prospek yang dapat diambil dari
pengumpulan dana zakat oleh Lembaga Amil Zakat, namun dalam
kenyataannya masih sedikit dana zakat yang terkumpul. Hal ini
dikarenakan masih banyak kendala-kendala yang menghambat
pengumpulan dana zakat tersebut. Di samping itu strategi-strategi yang
harus dilakukan oleh lembaga amil zakat juga perlu ditingkatkan, agar
potensi zakat yang besar itu dapat terkumpul dan tersalurkan secara
optimal.
1. Kendala Atau Kelemahan Pengumpulan Dana Zakat
Ada tiga aspek yang menjadi kendala bagi LAZ- LAZ di Indonesia
dalam pengumpulan dana zakat, yaitu:
a. Aspek Sosiologis.
1) Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat
tentang membayar zakat
2) Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap amil
zakat.
3) Masih menggunakan cara lama atau tradisional.
b. Aspek Manajemen Institusi Zakat
1) Adanya dualisme institusi pengelolaan zakat (BAZ dan
LAZ).
2) Kelemahan dalam penerapan prinsip manajemen
organisasi.
3) Rendahnya penguasaan teknologi oleh institusi zakat.
c. Aspek Hukum (Yuridis)
1) Undang-undang tentang pengelolaan zakat no. 38 tahun
1999 berpotensi menghambat pengembangan zakat
mengingat substansinya tidak tegas dalam mengatur fungsi
regulator, pengawas dan operator.
2) Dalam undang-undang tersebut zakat hanya digunakan
sebagai pengurang laba/pendapatan kena pajak dari wajib
pajak.
2. Strategi Pengembangan Lembaga Amil Zakat
Untuk dapat menanggulangi kendala yang disebutkan di atas
maka strategi yang dapat dilakukan antara lain adalah (Sudarsono,
2007);
1) Perlunya pensosialisasian zakat bukan pada wilayah
keagamaan saja.
2) Memahamkan zakat tidak hanya sekedar pendekatan agama
tetapi juga ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
3) Pentingnya kordinasi antar sesama lembaga zakat sehingga
akan meningkatkan kinerja masing-masing yang pada
akhirnya memberikan pandangan baik bagi masyarakat,
sehingga kepercayaan masyarakat kembali timbul terhadap
lembaga zakat.
4) Revisi undang-undang zakat no.38 tahun 1999.
F. Penutup
Pemaparan di atas memberikan gambaran bagaimana zakat bisa
berpotensi sebagai solusi untuk mengatasai kesenjangan ekonomi yang
terjadi di negara Indonesia. Begitu besar potensi zakat yang bisa
digunakan sebagai penopang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
miskin yang selalu menjadi momok menakutkan bagi negara.
Akan tetapi, potensi yang besar itu pada saat sekarang masih
belum bisa dioptimalkan secara efektif dan efisien. Meskipun
pertumbuhan lembaga-lembaga zakat meningkat drastis, namun
perjalanannya masih membutuhkan pengkajian ulang atas program-
program yang direncanakan. Pembenahan terhadap organisasi lembaga
zakat masih sangat diperlukan, agar harapan potensi besar akan dana
zakat itu dapat terkumpul secara optimal sehingga disalurkan untuk
menanggulangi tingkat kesejahteraan kaum miskin di negara Indonesia.
Namun, terlepas dari itu semua uluran tangan pemerintah baik
dalam bentuk undang-undang yang baku sangat diperlukan guna
mewujudkan tujuan mulia ini. Sekalipun undang-undang zakat telah
dibentuk, namun masih dirasakan setengah hati dan perlu adanya revisi
yang lebih mempertajam posisi pentingnya dana zakat bagi negara.