repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › chapter...

29
28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang terdapat di seluruh dunia. Asma berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran nafas yang ditandai dengan episode mengi berulang, sesak nafas, batuk, rasa tertekan didada terutama di malam hari atau dini hari. 1, 6 Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Para ahli masih belum sepakat mengenai defenisi asma. Secara praktis para ahli berpendapat: asma adalah penyakit paru dengan karakteristik 1. Obstruksi saluran nafas yang reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan 2. Inflamasi saluran nafas 3. Peningkatan respon saluran nafas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktifitas). 7 2.1.2 Epidemiologi Asma merupakan masalah kesehatan yang paling umum di seluruh dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa, dengan prevalensi secara global berkisar 1-18%. Angka mortalitas asma diperkirakan 250.000 penduduk/ tahun. 1 Menurut hasil penelitian Riskesda 2013, prevalensi asma berkisar 4,5% dengan prevalensi wanita lebih tinggi dibanding pria. Berdasarkan usia, prevalensi asma tertinggi pada usia 25-34 tahun, dengan prevalensi yang sama antara perkotaan dan pedesaan. 3 Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Dari data survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronchitis kronis dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 27-Feb-2020

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma bronkial

2.1.1 Defenisi

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang terdapat di

seluruh dunia. Asma berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran nafas yang

ditandai dengan episode mengi berulang, sesak nafas, batuk, rasa tertekan didada

terutama di malam hari atau dini hari.1, 6

Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Para ahli masih

belum sepakat mengenai defenisi asma. Secara praktis para ahli berpendapat: asma

adalah penyakit paru dengan karakteristik 1. Obstruksi saluran nafas yang reversible

baik secara spontan maupun dengan pengobatan 2. Inflamasi saluran nafas 3.

Peningkatan respon saluran nafas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktifitas).7

2.1.2 Epidemiologi

Asma merupakan masalah kesehatan yang paling umum di seluruh dunia,

dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat

terjadi pada anak-anak dan dewasa, dengan prevalensi secara global berkisar 1-18%.

Angka mortalitas asma diperkirakan 250.000 penduduk/ tahun.1

Menurut hasil penelitian Riskesda 2013, prevalensi asma berkisar 4,5%

dengan prevalensi wanita lebih tinggi dibanding pria. Berdasarkan usia, prevalensi

asma tertinggi pada usia 25-34 tahun, dengan prevalensi yang sama antara perkotaan

dan pedesaan.3

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di

Indonesia. Dari data survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986

menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas)

bersama-sama dengan bronchitis kronis dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,

Universitas Sumatera Utara

Page 2: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

29

bronchitis kronis dan emfisema sebagai peyebab kematian ke-4 di Indonesia atau

sebesar 5,6%. 6

2.1.3 Patofisiologi

Asma merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Berbagai sel inflamasi

berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel

epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau

pencetus inflamasi saluran nafas pada penderita asma.1, 2, 6,7

Gambar 2.1: Hubungan antara inflamasi, gejala klinis dan patofisisologi asma

Sumber: NHLBI 2007

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain

alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat

terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis

didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),

terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan

kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah

besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat

pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 3: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

30

bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase

sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan

dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini

berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang

dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.

Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi

mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,

sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,

obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.

Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama

histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi

terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan

kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel

mast dan antigen presenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis

asma. 1, 2, 6,7

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.

Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang

dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih

permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga

meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang

dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel

mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada

keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal

mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,

neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah

yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,

hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.1,2,6,7

Universitas Sumatera Utara

Page 4: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

31

Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot

bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi saluran

nafas dapat dinilai secara objektif dengan spirometri yaitu nilai VEP1 (volume

ekspirasi paksa detik pertama) atau APE (arus puncak ekspirasi), sedangkan

penurunan KVP (kapasitas vital paksa) menggambarkan derajad hiperinflasi paru.1, 2,

6, 7

Patofisiologi asma (khususnya kasus yang berat) memiliki gambaran

hyperplasia sel mukus dan infiltrasi sel-sel inflamasi, dan didominasi oleh sel T

CD4+, eosinofil dan sel mast. Infiltrasi sel T mengekspresikan sitokin Th2 interleukin

13, interleukin 4 dan interleukin 5 yang berkoordinasi dalam pengaturan inflamasi

alergi.9,10,11

Disisi lain ditemukan sel Treg yang memilki kemampuan untuk mengontrol

respon Th2. Peran proteksi sel Treg pada asma didukung oleh penelitian epidemiologi

dan immunologi. Pada populasi di pertanian terjadi peningkatan jumlah dan fungsi

Treg dan sekresi sitokin Th2 yang rendah.9,10

Pada tikus, inflamasi Th2 juga merangsang remodeling saluran nafas jangka

panjang dengan fibrosis dan peningkatan otot polos. Sama halnya pada manusia,

perubahan struktur saluran nafas pada asma berkontribusi pada perkembangan dan

progreisifitas penyakit, pada kasus yang berat, obstruksi aliran nafas sering

diakibatkan hyperplasia sel mucus, penebalan membrane subepitelial, peningkatan

otot polos melalui hipertrofi dan hyperplasia, saluran nafas mulai fibrosis dengan

peningkatan deposit jaringan ikat dan terjadi juga proliferasi mioblast dan fibroblast.9

Aktivasi otot polos saluran nafas selama bronkokonstriksi merubah ukuran

saluran nafas dan menyebabkan stress mekanikal pada dinding saluran nafas. Sel

epital saluran nafas, sel otot polos dan fibroblast merupakan respon terhadap stress

mekanikal tersebut. Respon epitel terhadap stress mekanik adalah berinteraksi dengan

sel mesenkim untuk koordinasi remodeling jaringan.9

Universitas Sumatera Utara

Page 5: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

32

2.1.4 Faktor resiko asma

Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor individu dan faktor

lingkungan.

2.1.4.1 Faktor individu

1. Genetik

Chip yang memiliki ratusan ribu variasi genetik yang umum telah digunakan

pada genome-wide association studies (GWAS) untuk mencari hubungan

antara ribuan kasus asma dan kontrol. Penelitian ini melaporkan bukti adanya

locus yang berhubungan dengan asma yaitu pada gen CHI3L1 (yang juga

dikenal sebagai YKL40), IL6R, dan DENND1B pada kromosom 1, IL1RL1–

Gambar 2.2 Patofisiologi asma berat dan remodeling

Universitas Sumatera Utara

Page 6: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

33

IL18R1 pada kromosom 2, PDE4D and RAD50–IL13 pada kromosom 5,

HLA-DQ pada kromosom on chromosome 6, IL33 pada kromosom 9, SMAD3

pada kromosom15, ORMDL3–GSDMB pada kromosom 17, IL2RB pada

kromosom 22, dan PYHIN1pada kromosom 1 Afrika-Amerika. Tetapi pada

penelitian yg lain tidak ditemukan gen pada lokus yang sama seperti

gambaran pada GWAS. Sebuah penelitian yang menggunakan quantitative

genetic score dari pengaruh kombinasi ribuan polimorfism yang sering

dijumpai secara individu memiliki pengaruh yang kecil dalam risiko asma,

sehingga diduga asma melibatkan komponen poligenik.9,12

Faktor genetik yang berhubungan dengan perkembangan asma adalah

a. Atopi: produksi allergen – antibodi IgE spesifik

b. Hiperresponsif saluran nafas

c. Mediator inflamasi: cytokine, chemokin dan factor pertumbuhan

d. Rasio Th1 dan Th2

2. Obesitas

Prevalensi asma lebih banyak pada individu dengan body mass indeks

> 30 kg/m2 dengan tingkat kontrol asma yang jelek. Meskipun mekanismenya

belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat

memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

3. Jenis kelamin

Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,

prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak

perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang

sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

4. Ras dan etnik

2.1.4.2 Faktor Lingkungan

1. Allergen

Dalam rumah: tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit

binatang seperti anjing, kucing dll

Universitas Sumatera Utara

Page 7: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

34

Luar rumah: serbuk sari dan spora jamur

2. Infeksi pernafasan

Riwayat infeksi saluran pernafasan telah dihubungkan dengan kejadian asma.

Menurut study prospektif oleh sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita

asma dengan riwayat infeksi saluran pernafasan (respiratory sincytial virus)

akan terus menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya.

3. Asap rokok

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok

sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan asma pada usia dini.

Menurut dezateux dkk (1999), balita dari ibu yang merokok memiliki resiko 4

kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama

kelahiran.

4. Polusi udara di dalam dan di luar ruangan

Polusi udara sebagai faktor resiko asma masih kontroversial. Polusi udara

berhubungan dengan penurunan fungsi paru, meskipun mekanismenya belum

diketahui dengan jelas.

5. Diet

Data dari beberapa penelitian menyebutkan hubungan antara kejadian mengi

usia dini meningkat pada bayi dengan pemberian susu sapi atau susu kedelai

dibandingkan dengan air susu ibu.

6. Bahan dilingkungan kerja

Lebih dari 300 bahan berhubungan dengan asma karena lingkungan

kerja.angka prevalensi meningkat pada dewasa dengan perkiraan 1 dari 10

kejadian asma.

7. Status sosioekonomi

Mielek dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomi dengan

prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi asma berat paling banyak

terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar

40%.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

35

2.1.5 Diagnosis

2.1.5.1 Anamnesa

Diagnosa penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesa yang baik,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru terutama reversibility kelainan faal paru

akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

Riwayat penyakit/ gejala, yaitu:4, 6, 7, 8

• Asma bersifat episodik, sering bersifat reversible dengan atau tanpa

pengobatan.

• Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap allergen,

gejala musiman, riwayat alergi/ atopi dan riwayat keluarga pengidap

asma.

• Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak nafas yang episodik, rasa

berat didada dan berdahak.

• Gejala timbul/ memburuk terutama pada malam/ dini hari.

• Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik.

• Respon positif terhadap pemberian bronkodilator.

Table 2.1: Gejala gejala kunci diagnosa asma

Universitas Sumatera Utara

Page 9: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

36

2.1.5.2 Pemeriksaan fisik

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat

normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah wheezing

pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun

pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan nafas.4, 6 Oleh

karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat

pemeriksaan terdapat gejala- gejala obstruksi saluran pernafasan.12

Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena

kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat

menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume

paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal

ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi.4

2.1.5.3 Faal paru

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah

diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri

dan arus puncak ekspirasi (APE). Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai

obstruksi jalan nafas, reversibility kelainan faal paru, variability faal paru, sebagai

penilaian tidak langsung hiperensponsif jalan nafas. 4, 6

2.1.5.4 Foto thorax

Pemeriksaan foto thorax tidak rutin dilakukan untuk diagnosa asma, tetapi

digunakan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. 13

2.1.5.5 Pemeriksaan IgE.

Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE

spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor

pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

37

Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test

(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).4, 6, 7

2.1.5.6 Penanda inflamasi.

Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak

berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan

spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif

inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel

eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas.

Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan

Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi

endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang

atau sulit dilakukan di luar riset. 4, 6, 7

2.1.5.7 Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.

Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan

dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi

droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada

penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada

subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan

pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um

sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang

memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik

untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara

dingin atau kering, histamin, dan metakolin. 4, 6, 7

2.1.6 Klasifikasi

Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa

derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derat gejala eksaserbasi

atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung derajat sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

38

2.1.6.1 klasifikasi berdasarkan Etiologi

Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,

terutama dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit

dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.8

2.1.6.2 klasifikasi menurut derajat berat asma14

Klasifikasi asma menurut derajat berat asma berguna untuk menentukan obat

yang diperlukan pada awal penangan asma. Menurut derajat berat asma

diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten

berat.8

2.1.6.3 klasifikasi menurut kontrol asma

Kontrol asma dapat didefenisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya

istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada asma,

hal itu tidak realistis, maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol

yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah

memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat

yang aman dan tanpa efek samping. 8

Universitas Sumatera Utara

Page 12: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

39

Table 2.2: klasifikasi asma berdasarkan derajat Kontrol asma

Sumber : GINA revisi 2010

Table 2.3: Klasifikasi kontrol asma berdasarkan National Heart, Lung and Blood

Institut

Sumber NHLBI 2007

Universitas Sumatera Utara

Page 13: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

40

Table 2.4: klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis

Table 2.5: Klasifikasi Derajat berat asma menurut NHLBI

Universitas Sumatera Utara

Page 14: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

41

2.1.7 Pengobatan

Pengobatan asma meliputi kontrol lingkungan dan terapi farmakologis, untuk

asma berat pengobatan komorbiditas juga penting. Paparan lingkungan merupakan

pencetus pada asma, tetapi peran kontrol lingkungan dan penghindaran allergen untuk

terapi asma masih kontroversial. Intervensi lingkungan yang menyeluruh termasuk

mengurangi paparan allergen kecoa dan tungau debu dapat mengurangi kematian

yang berhubungan dengan asma. Penghindaran allergen sebagai terapi tunggal pada

asma secara klinis tidak efektif. 9,15

Tujuan pengobatan asma untuk mencapai dan mempertahankan kontrol klinis

yang baik.1 Obat-obatan terapi asma dapat digolongkan menjaadi controller dan

reliever.1,16 Controller adalah obat-obatan yang digunakan rutin, dengan cara kerja

panjang untuk mempertahankan asma dalam kontrol klinis yang baik melalui efek

antiinflamasi. Seperti: glukortokoid sistemik dan inhalasi, leukotrien modifier, β2

agonis aksi panjang dengan glukortikoid inhalasi, teofilin lepas lambat dan anti IgE.

Sampai saat ini controller yang paling efektif adalah glukortikoid inhalasi. Reliever

adalah obat-obatan yang digunakan untuk melegakan bronkokonstriksi, seperti: β2

agonis aksi cepat, antikolinergik inhalasi, teofilin lepas lambat, oral β2 agonis.9,16

Kortikosteroid inhalasi dengan atau tanpa β2 agonis aksi panjang merupakan

terapi utama untuk asma ringan sampai moderat. Jika digunakan regular,

kortikosteroid inhalasi efektif untuk kontrol asma, memperbaiki fungsi paru, dan

mengurangi resiko eksaserbasi. 9,16

Pengobatan untuk pasien dengan asma berat, yang tidak terkontrol dan sering

eksaserbasi walaupun dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan β2 agonis aksi

panjang atau dengan kortikosteroid oral, masih merupakan tantangan. Pasien ini

membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi dan mengalami keterbatasan karena

asma yang berat.9

Pasien dengan asma yang berat, khususnya anak-anak bersifat highly atopic

dan omalizumab, monoclonal antibody IgE menurunkan eksaserbasi asma sebesar

30%. Omalizumab juga menurunkan angka eksaserbasi pada pasien dewasa dengan

asma berat, tetapi pengaruhnya terhadap keluhan asma sehari-hari kurang

Universitas Sumatera Utara

Page 15: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

42

memuaskan, dengan harganya yang mahal menjadi keterbatasan penggunaan obat ini.

Monoklonal antibody interleukin 5 rasional diberikan pada asma dengan gambaran

subfenotip sputum eosinofilia. Penelitian pada anak usia 12 tahun ke atas dengan

asma berat menunjukkan bahwa mepolizumab menurunkan kejadian eksaserbasi

tetapi tidak ada perbaikan pada kontrol asma dan fungsi paru.9

Tujuan terapi asma adalah untuk mengontrol penyakit, kontrol penyakit yang

baik akan mencegah munculnya keluhan, mengurangi kebutuhan β2 agonis aksi cepat,

membantu mempertahankan fungsi paru yang baik, mencegah eksaserbasi asma,dan

mencegah remodeling.1,17 Pentingnya kontrol yang baik pada asma, dan guideline

GINA meletakkan tatalaksana asma berdasarkan kontrolnya.1

Gambar 2.3 Kriteria kontrol asma dan pengobatannya

Universitas Sumatera Utara

Page 16: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

43

2.1.8 Kriteria kontrol asma

Asma harus dikontrol dengan baik, karena proses inflamasi dan remodeling

akan terus berlangsung, asma yang tidak terkontrol akan mengganggu kualitas hidup,

biaya kesehatan yang tinggi dan morbiditas serta mortalitas.9

Kontrol asma dapat didefenisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya

istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada asma,

hal itu tidak realistis, maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol

yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah

memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat

yang aman dan tanpa efek samping. 7

Rekomendasi The 2007 National Asthma Education and Prevention Program

(NAEPP) mendefenisikan asma terkontrol adanya pengurangan gejala saat ini (

seperti gejala klinis, gangguan tidur, keterbatasan aktifitas harian, penggunaan obat

pelega) dan resiko akan datang ( seperti eksaserbasi asma, progresifitas penurunan

fungsi paru pada dewasa, gangguan pertumbuhan atau efek samping pengobatan).

Meskipun rekomendasi dari NAEPP bertujuan untuk strategi pencapaian kontrol

asma dan manajemen terapi, dari penelitian sebelumnya menunjukkan asma tidak

terkontrol terdapat pada sebagian besar pasien.18

Beberapa penelitian telah mempelajari faktor-faktor yang berhubungan

dengan tingkat kontrol asma. Schatz dkk menemukan hubungan antara akses layanan

kesehatan dan penggunaan yang sulit dijangkau terhadap buruknya kontrol asma.

Vogt dkk dan Bloomberg dkk mengindentifikasi tingkat sosio-ekonomi merupakan

faktor yang sangat penting. Secara keseluruhan, studi epidemiologi menunjukkan

bahwa akses layanan kesehatan dan penggunaannya, status merokok, ketidakpatuhan

terhadap saran dokter, kesalahan dalam penggunaan inhaler, penggunaan

kortikosteroid oral, dan kurangnya perawatan spesialis merupakan faktor yang

signifikan terkait dengan kontrol asma yang buruk.18

Nguyen dkk melaporkan penelitian di eropa 82% pasien memiliki kontrol

asma yang buruk dan sebagian besar berdampak pada gangguan aktifitas hariannya.

Penelitian di USA melaporkan tiga perempat dari 60.000 pasien memiliki kontrol

Universitas Sumatera Utara

Page 17: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

44

asma yang buruk dan tiga perempatnya menunjukan gangguan aktifitas seminggu

sebelumnya. 19

Penelitian yang dilakukan zainudin dkk pada tahun 2000 pada 2323 pasien

asma bronkial tentang kontrol asma pada pasien dewasa di asia-pasifik menunjukkan

bahwa derajat keparahan asma bervariasi secara bermakna sesuai area tempat

tinggalnya, dimana Vietnam dan cina daratan dilaporkan banyak kasus asma berat

dan persisten. Keparahan asma berhubungan erat dengan usia lanjut dan rendahnya

tingkat pendidikan pasien. 20

Penelitian yang dilakukan lai dkk di delapan Negara asia tentang kontrol asma

dan pengaruhnya terhadap biaya perawatan menunjukan hasil bahwa kontrol asma

yang buruk berhubungan dengan peningkatan kunjungan ke tempat pelayanan

kesehatan yang berdampak pada peningkatan biaya perawatan, penemuan ini merata

pada daerah asia pasifik. 21, 22

2.3 Spirometri

Spirometri merupakan alat diagnostik non invasive yang digunakan untuk

pemeriksaan faal paru.23 Spirometri merekam secara grafis atau digital volume

ekspirasi paksa dan kapasitas vital paksa. Pemeriksaan dengan spirometri ini dapat

digunakan untuk membedakan gangguan fungsi paru obstruktif (hambatan aliran

udara) dan gangguan fungsi paru restriktif ( hambatan pengembangan paru).23

Seseorang dianggap mempunyai gangguan fungsi paru obstruktif bila nilai

VEP1/KVP kurang dari 70% dan menderita gangguan fungsi paru restriktif bila nilai

kapasitas vital paksa kurang dari 80% dibanding dengan nilai standar.24,26

Universitas Sumatera Utara

Page 18: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

45

Table 2.6: Indikasi spirometri26

Diagnostik Untuk mengevaluasi gejala dan tanda

Untuk mengukur fungsi paru

Untuk skrining pada individu yang memiliki factor resiko penyakit paru

Untuk menilai resiko pra operasi

Untuk menilai prognosa

Untuk menilai status kesehatan sebelum dimulai aktifitas fisik yang berat

Monitoring Untuk menilai keberhasilan pengobatan

Untuk menggambarkan perjalanan penyakit yang mempengaruhi fungsi paru

Untuk memantau efek samping obat dengan toksisistas paru

Untuk memantau individu yang terpapar agen yang berbahaya

Evaluasi Untuk menilai pasien dengan program rehabilitasi

Untuk menilai resiko penyakit sebagai evaluasi asuransi kesehatan

Kesehatan masyarakat

Survey epidemiologi

Penelitian ilmiah

Sumber: M.R Miller standardization of spirometry

2.3.1 Faktor yang perlu dipertimbangkan ketika Memilih sebuah spirometri 27

• Mudah digunakan

• Mudah dibaca dengan menampilkan real-time grafis dari manuver

• Menyediakan kualitas feedback langsung termasuk Reproduktifitas

• Penyediaan laporan spirometri

• Harga dan biaya operasional

Universitas Sumatera Utara

Page 19: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

46

• Keandalan dan kemudahan pemeliharaan

• Pelatihan, pelayanan dan perbaikan spirometer disediakan

• Kemampuan untuk percobaan spirometer dalam pengaturan sebelum membeli

• Penyediaan disposable sensor atau sirkuit pernapasan yang dapat dengan

mudah dibersihkan dan didesinfeksi

• Penyediaan nilai normal dengan batas bawah normal

• Penyediaan sarana komprehensif untuk pengoperasian spirometri,

pemeliharaan dan kalibrasi

• Persyaratan kalibrasi

• Kesesuaian dengan standar kinerja spirometri

• Sesuai standar keselamatan listrik

2.3.2 Teknik penggunaan spirometri

Penderita 27

• Tidak menggunakan bronkodilator minimal 8 jam (kerja singkat) atau 24 jam

( kerja panjang)

• Tidak merokok atau makan kenyang dalam 2 jam sebelum pemeriksaan

• Tidak berpakaian ketat

• Diterangkan tujuan dan cara pemeriksaan, serta contoh cara melakukan

pemeriksaan

• Diukur tinggi badan dan berat badan

Prosedur tindakan 27

• Posisi berdiri tegak, kecuali tidak memungkinkan: dalam posisi duduk

• Penderita menghirup udara semaksimal mungkin, kemudian meniup melalui

mouth piece sekuat-kuatnya dan sampai semua udara dapat dikeluarkan

sebanyak-banyaknya, dengan tidak ada udara yang bocor melalui celah antara

bibir dan mouth piece.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

47

• Pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan 3 nilai yang reproduksibel (beda

antara 2 nilai terbesar dari ketiga percobaan ≤ 5% atau ≤ 100 ml)

2.3.3 Nilai spirometri 27

Secara konvensional spirometri digunakan untuk mengukur waktu, volume

inspirasi dan ekspirasi sehingga dapat dinilai efektifitas pengisian dan pengosongan

paru-paru.

Pengukuran yang umumnya dibuat:

1. Kapasital vital (VC)

Adalah volume udara maksimal dikeluarkan dari paru setelah suatu inspirasi

maksimal dalam satuan mililiter (ml).

2. Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1)

adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detik pertama dengan

sekuat tenaga, yang dimulai dari paru pada posisi inspirasi maksimal, dalam

satuan mililiter per detik (ml/dtk).

3. Rasio FEV1/FVC

adalah perbandingan antara FEV1 dengan FVC, dinyatakan dalam persen (%)

4. FEF 25-75%

Adalah rata-rata aliran ekspirasi separuh maneuver FVC

5. PEF

Adalah maksimal kecepatan aliran ekspirasi.

6. FEF 50% dan FEF 75%

adalah aliran ekspirasi maksimal yang diukur pada titik di mana 50% dari

FVC telah berakhir (FEF50%) dan setelah 75% FVC telah berakhir

(FEF75%).

7. FVC6

adalah volume ekspirasi paksa selama 6 detik pertama dan dapat sebagai

pengganti FVC

Universitas Sumatera Utara

Page 21: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

48

2.3.4 Prediksi Nilai normal 27

Setiap individu yang melakukan tes fungsi paru hasilnya dibandingkan

dengan nilai referensi yang diperoleh dari populasi normal seperti umur, jenis

kelamin, tinggi badan dan etnik yang menggunakan protocol pelaksanaan yang sama.

Nilai prediksi normal untuk fungsi ventilasi umumnya bervariasi sebagai berikut:

1. Jenis kelamin

Untuk tinggi badan dan umur yang sesuai, pria memiliki FEV1, FVC, FEF

25-75% dan PEF yang tinggi, akan tetapi memiliki nilai rasio FEV1/FVC

yang relative kecil.

2. Umur

Pada usia sampai 20 untuk wanita dan 25 tahun untuk pria nilai FEV1, FVC,

FEF 25-75% dan PEF akan terus meningkat, sedangkan rasio FEV1/FVC

akan relative menurun. Setelah usia ini, semua nilai prediksi akan mengalami

penurunan secara bertahap, namun tidak diketahui secara pasti nilai

penurunanya.

3. Tinggi badan

Semua indeks selain rasio FEV1/FVC akan meningkat sesuai dengan tinggi

badan.

4. Etnik

Kaukasian memiliki nilai FEV1 dan FVC yang paling tinggi dan polinesia

memiliki nilai yang paling rendah dari berbagai etnik di dunia. Etnik chinese

memiliki nilai FVC 20% lebih rendah dan Indian 10% lebih rendah dibanding

etnik kaukasian.

2.3.5 Interpretasi nilai spirometri 24

Pengukuran fungsi ventilasi paru sangat penting dalam menegakkan diagnosa,

memantau perjalanan penyakit, toleransi preoperative dan menentukan keberhasilan

pengobatan.Gangguan fungsi ventilasi dapat disimpulkan bila adanya kelainan nilai

FEV1, VC, PEF, atau FEV1/FVC.

Normal : FEV1 dan FVC ≥ 80% nilai prediksi

Rasio FEV1/FVC ≥ 0,7

Universitas Sumatera Utara

Page 22: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

49

Obstruksi : FEV1 < 80% nilai prediksi

FVC turun atau normal

FEV1, Rasio FEV1/FVC < 0,7

Restriksi : FEV1 turun < 80% nilai prediksi atau normal

FVC turun < 80% nilai prediksi

Rasio FEV1/FVC normal atau meningkat

Campuran : Penurunan nilai FVC dan rasio FEV1/FVC

Gambar 2.4: kurva kelainaan fungsi ventilasi paru

Table 2.7: Derajat abnormalitas fungsi ventilasi paru

Kelas Derajat kerusakan

Restriktif Obstruktif VC % FEV1/FVC VC % FEV1?FVC

0 Normal >80 >75 >80 >75 I Ringan 60-80 >75 >80 60-75 II Sedang 50-60 >75 >80 40-60 III Berat 35-50 >75 ↓ <40 IV Sangat berat <35 N/ ↓ ↓↓ <40

Universitas Sumatera Utara

Page 23: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

50

Beberapa masalah yang berkaitan dengan spirometri

• Usaha kurang maksimal

• Kebocoran antara bibir dan mouthpiece.

• Inspirasi dan ekspirasi tidak komplet

• Ragu-ragu pada awal pemeriksaan

• Batuk

• Penutupan glottis

• Sumbatan mouthpiece dengan lidah

• Berbicara pada saat maneuver

• Postur yang buruk

2.3.6 Validasi

Sesuai rekomendasi dari American thoracic society/ European respiratory

society system spirometri harus dievaluasi dengan menggunakan computer-driven

mechanical syringe atau yang sejenis.26

Kalibrasi dan Kualiti kontrol

Kalibrasi dan kualiti kontrol merupakan prosedur yang penting dalam

pemeriksaan spirometri. Kalibrasi merupakan prosedur untuk menstabilkan sensor-

nilai determine dari aliran atau volume dan nilai normal aliran atau volume.19

Table 2.8: summary equipment quality control19

Universitas Sumatera Utara

Page 24: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

51

Sumber : standardization of spirometry

2.4 Asthma control test (ACT)

Telah diketahui bahwa tidak ada kesembuhan untuk asma tetapi penyakit ini

dapat dikontrol pada beberapa pasien. Penilaian kontrol asma untuk tujuan klinis

sangat penting, meliputi gejala, perubahan fungsi paru, kualitas hidup dan

kemampuan fisiologis tubuh. Pengukuran fungsi paru dapat dilakukan dengan

spirometri, namun spirometri sebagai alat yang dapat menilai kontrol asma sering

tidak tersedia di tempat layanan primer.28

Beberapa alat untuk menilai asma terkontrol secara subjektif yang sudah

diakui seperti asthma control questioner (ACQ), asthma control test (ACT), asthma

therapy assessment questionnaire (ATAQ) dan asthma control scoring system

(ACSS). 7

Asthma control test adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang

penilaian klinis seorang penderita asma untuk mengetahui asmanya terkontrol atau

tidak. Kuesioner ini terdiri dari 5 pertanyaan, dikeluarkan oleh American Lung

Association bertujuan memberikan kemudahan dokter dan pasien untuk mengevaluasi

asma penderita yang berusia diatas 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya.

Berbeda dengan ACS, ACT tidak memakai kriteria faal paru untuk menilai kontrol

Universitas Sumatera Utara

Page 25: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

52

asma. Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama atau lebih kecil 15 tidak

terkontrol, jumlah nilai 16-19 terkontrol sebagian, jumlah nilai sama atau lebih besar

20 terkontrol baik.5

Tujuan asthma control test adalah menyeleksi asma yang tidak terkontrol,

mengubah pengobatan menjadi lebih efektif, melaksanakan pedoman pengobatan

secara lebih tepat dan memberikan pendidikan atau pengetahuan tentang bahaya asma

yang tidak terkontrol. Kuesioner ini telah diteliti dan divalidasi sehingga dapat

digunakan secara luas untuk menilai dan memperbaiki kondisi asma seseorang.5

Penelitian yang dilakukan Nathan dkk pada tahun 2004 menilai

perkembangan asthma control test untuk penilaian derajat kontrol asma menunjukkan

dari 22 pertanyaan yang menunjukan konsistensi reliabilitas 0.84 secara analisis

regresi ada 5 pertanyaan. Hasil ini memperkuat ACT merupakan alat yang mudah,

sederhana untuk penilaian kontrol asma. 5

Penelitian schatz dkk untuk menilai reliabilitas, validitas dan responsifitas

asthma control test pada 313 kasus baru asma bronkial. Menunjukkan ACT reliable,

valid dan responsive terhadap perubahan kontrol asma dari waktu ke waktu. Cut of

point ≤ 19 adalah asma tidak terkontrol, dengan skor ACT ≤ 19 sensitifitas 71%,

spesifisitas 71 % untuk menilai asma tidak terkontrol.28

Penelitian yang dilakukan johnbull dkk untuk membandingkan asthma control

test (ACT) dan global initiative for asthma (GINA) dalam penilaian kontrol asma di

pusat pelayanan medis yang sederhana, dengan metode cross sectional 65 pasien

asma bronkial dinilai kontrol asmanya dengan menggunakan ACT dan kriteria GINA,

didapati hasil pasien dengan kontrol asma buruk 37 % dengan ACT dan 23 % dengan

kriteria GINA. Terdapat hubungan positif antara ACT dan kriteria GINA.29

Penelitian yang dilakukan johnbull dkk untuk menilai kontrol asma dengan

menggunakan asthma control test (ACT) dan hubungannya dengan parameter fungsi

paru. Hasil yang didapat rerata FEV1 pre bronkodilator 1.97±0.87L, rerata skor ACT

18.2+4.28. skor ACT berkorelasi lemah dengan FEV1 dan PEF. Disimpulkan bahwa

pasien dengan kontrol asma buruk berdasarkan parameter fungsi paru berkorelasi

lemah dengan skor ACT. 30

Universitas Sumatera Utara

Page 26: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

53

Penelitian yang dilakukan mendoza dkk dengan membandingkan asthma control

test (ACT) dan klasifikasi GINA termasuk FEV1 dalam memprediksi derajat

keparahan asma. Dengan metode kohort prospektif dengan hasil dari 86 pasien asma

bronkial, 62 pasien memiliki skor ACT < 20, dengan prevalensi asma tidak terkontrol

72% dengan mayoritas derajat asma persisten sedang. Terdapat hubungan signifikan

antara ACT dan klasifikasi GINA (p value < 0.00). Rendahnya skor ACT

berhubungan dengan perburukan gejala pada pasien asma bronkial, sensitifitas

92.3%, spesifisitas 90.5 % , positive predictive value 98% dan negative predictive

value 79%. Dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi ACT dapat digunakan

sebagai alat menilai derajat asma di tempat pelayanan medis yang tidak tersedia

spirometri atau peak flow meter. Skor ACT > 20 dapat diklasifikasikan asma pada

intermiten atau asma terkontrol, skor ACT < 20 dapat diklasifikasikan asma persisten

atau asma tidak terkontrol. 31

Penelitian yang dilakukan ilyas dkk di rumah sakit persahabatan-jakarta.

Menilai hubungan antara asthma control test dan spirometri sebagai alat pengukur

tingkat kontrol asma. Pada 100 pasien asma bronkial menunjukkan hubungan

bermakna antara ACT dan spirometri. Walaupun hubungannya lemah, tetapi ACT

berguna untuk melengkapi peran spirometri dalam menilai kontrol asma. 32

Penelitian yang dilakukan Mohamed dkk di sudan menilai reliabilitas asthma

control test untuk kontrol asma menunjukkan hasil skor ACT mempunyai korelasi

bermakna dengan klasifikasi national asthma education and prevention program

(NAEPP). Sehingga ACT dapat digunakan untuk menilai kontrol asma dan dapat

memfasilitasi dokter dalam menilai perkembangan penyakit pasien. 33

Penelitian yang dilakukan nguyen dkk di Vietnam menilai asthma control test

(ACT) sebagai alternatif sesuai kriteria GINA dalam menilai kontrol asma.

Sensitifitas 70%, spesifisitas 93% , positive predictive value 89%, cut of point 19.

Validitas ACT sesuai kriteria GINA konsisten untuk kedua jenis kelamin, tetapi

kurang konsisten untuk pasien dewasa muda. skor ACT berkorelasi bermakna

terhadap FEV1 dan persentase PEF.34

Universitas Sumatera Utara

Page 27: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

54

Penelitian yang dilakukan sigari dkk di Persia untuk memvalidasi ACT versi

Persian berdasarkan kriteria GINA dengan hasil skor ACT berkorelasi bermakna

terhadap kontrol asma sesuai kriteria GINA dan korelasi skor ACT dengan nilai

FEV1 prediksi adalah moderat. Dengan kesimpulan ACT versi Persia valid dan

reliable sebagai alat menilai kontrol asma.35

Penelitian yang dilakukan gutierrez dkk menilai hubungan asthma control test

dengan fungsi paru, kadar nitric oxide dan kontrol asma sesuai kriteria GINA

menunjukan cut off poin skor ACT untuk asma terkontrol > 21, terkontrol sebagian

19-20 dan untuk tidak terkontrol < 18, terdapat perbedaan yang bermakna kadar

FeNo dan fungsi paru terhadap skor ACT ≥ 21 dan skor ACT ≤18. 36

Penelitian yang dilakukan Thomas dkk menilai asthma control test sebagai

prediktor menilai kontrol asma sesuai kriteria GINA, menunjukan skor ACT ≤ 19

dapt memprediksi asma terkontrol sebagian/ asma tidak terkontrol sesuai kriteria

GINA sebesar 94 %, untuk skor ACT ≥ 20 dapat memprediksi asma terkontrol

sebesar 51% dengan kappa statistik 0.42 (moderate agreement).37

Penelitian yang dilakukan bora dkk menilai apakah kontrol asma yang dinilai

dengan asthma control test menggambarkan inflamasi saluran nafas. Menunjukkan

hasil skor ACT tidak berhubungan secara bermakna terhadap parameter inflamasi

saluran nafas. Dalam penelitian ini terdapat penurunan persentasi pasien dengan

methacoline bronchial provocation test positif dan kadar FeNo > 20 ppb

menggambarkan pentingnya konsep kontrol dalam manajemen pengobatan asma

bronkial.38

Berdasarkan data diatas, ACT potensial untuk dijadikan alat diagnostik

alternatif untuk menilai derajat kontrol asma dan hubungannya dalam memprediksi

derajat berat asma dengan atau tanpa adanya spirometri atau peak flow meter.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

55

Table 2.9: kuesioner Asthma control Test

Universitas Sumatera Utara

Page 29: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65307 › Chapter II.pdf?sequence=4... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma bronkial 2.1.1 Defenisi2.1.5.4 Foto thorax Pemeriksaan

56

2.5 . Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara