95093133 perjanjian ekstradisi dalam prespektif fiqh 99373479 beni ha
TRANSCRIPT
PERJANJIAN EKSTRADISI
DALAM PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTAUNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT GUNA MEMPEROLEH
GELAR SARJANA DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH:
BENNY HASANNIM: 99373479
DI BAWAH BIMBINGAN
1. SITI FATIMAH, SH. M.HUM2. DRS. ABDUL MADJID AS
JURUSAN JINAYAH SIYASAHFAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2004
i
Siti Fatimah, SH, M. Hum.Dosen Fakultas Syari’ahUIN Sunan KalijagaNOTA DINAS
Hal : Skripsi Saudara Benny Hasan Kepada Yth :
Dekan fakultas Syari’ah
UIN Sunan kalijaga
Di Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya,
maka menurut kami skripsi saudara:
Nama : Benny Hasan
NIM : 9937 3479
Judul : “Perjanjian Ekstradisi Dalam perspektif Fiqih Siyasah”
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar
sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan
mengharap agar segera dimunaqosyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 16 Jumadil Ula 1425 H 5 Juli 2004
Pembimbing I
Siti Fatimah, S.H, M. Hum NIP: 150 260 463
ii
Drs. Abdul Madjid ASDosen Fakultas Syari’ahUIN Sunan KalijagaNOTA DINAS
Hal : Skripsi Saudara Benny Hasan Kepada Yth :
Dekan Fakultas Syari’ah
UIN Sunan kalijaga
Di Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya,
maka menurut kami skripsi saudara:
Nama : Benny Hasan
NIM : 9937 3479
Judul : “Perjanjian Ekstradisi Dalam perspektif Fiqih Siyasah”
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar
sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan
mengharap agar segera dimunaqosyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 16 Jumadil Ula 1425 H 5 Juli 2004
Pembimbing II
Drs. Abdul Madjid AS NIP: 150 192 830
iii
PENGESAHAN
Skripsi berjudul
“Perjanjian Ekstradisi Dalam Perspektif Fiqih Siyasah”
yang disusun oleh
BENNY HASAN
NIM: 9937 3479
Telah dimunaqosyahkan di depan sidang muaqosyah pada tanggal 26 Juni 2004/8
Jumadil Tsaniyah 1425 H dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu
syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam.
Yogyakarta, 15 Jumadil Tsaniyah 1425 H 2 Agustus 2004
Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Malik Madany, MA NIP: 150 182 698
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Dr. Khoiruddin Nasution, MA Drs. Muh. Rizal Qosim, M.Si NIP: 150 246 195 NIP: 150 256 649
Pembimbing I Pembimbing II
Siti Fatimah, SH, M. Hum Drs. Abdul Madjid, AS NIP: 150 260 463 NIP: 150 192 830
Penguji I Penguji II
Siti Fatimah, SH, M. Hum Drs. Ocktoberrinsyah, M. Ag NIP: 150 260 463 NIP: 150 289 435
iv
SISTEM TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman
pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987
I. Konsonan Tunggal
Huruf ArabNama
Huruf LatinN a m a
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
هـ
ء
Alif
bâ’
tâ’
s|â’
jim
hâ’
khâ’
dâl
zâl
râ’
zai
sin
syin
Shâd
dhâd
thâ’
zhâ’
‘ain
gain
fâ’
qâf
kâf
lâm
mim
nûn
waû
hâ’
hamzah
tidak dilambangkan
b
t
S
j
h
kh
d
Z
r
z
s
sy
S
d
t
Z
‘
g
f
q
k
l
m
n
w
h
`
tidak dilambangkan
be
te
es (dengan titik di atas)
je
ha (dengan titik di bawah)
ka dan ha
de
zet (dengan titik di atas)
er
zet
es
es dan ye
es (dengan titik di bawah)
de (dengan titik di bawah)
te (dengan titik di bawah)
zet (dengan titik di bawah)
koma terbalik di atas
ge
ef
qi
ka
`el
`em
`en
w
ha
apostrof
v
ي yâ’ y ye
II. Konsonan Rangkap Karena Syaddah ditulis rangkap
متّع�ددة
عد�ة
ditulis
ditulis
muta`addidah
`iddah
III. Ta’ marbut}ah di akhir kata
1. Bila dimatikan ditulis h
حكمة
علة
ditulis
ditulis
h}ikmah
`illah
(Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
2. Bila diikuti dengan kata sandang ‘al’ serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis
dengan h.
األولياء كرامة ditulis karâmah al-aûliyâ`
3. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah ditulis t
atau h.
الفطر زكاة ditulis zakâh al-fitri
IV. Vokal Pendek
___
فّعل
___
ذكر
___
يذهب
fathah
kasrah
dammah
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
a
fa’ala
i
zukira
u
yazhabu
vi
V. Vokal Panjang
1
2
3
4
fathah + alif
جاهلية
fathah + yâ’ mati
تنسى
kasrah + yâ’ mati
كـريم
dammah + waû mati
فروض
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
â
jâhiliyyah
â
tansâ
i
karîm
û
furûdl
VI. Vokal Rangkap
1
2
fathah + yâ’ mati
بينكم
fathah + waû mati
قول
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ai
bainakum
aû
qaûl
VII. Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
أأنتم
أعدت
شكرتم لئن
ditulis
ditulis
ditulis
A’antum
u’iddatla’in syakartum
VIII. Kata Sandang Alif + Lam
1. Bila diikuti huruf Qomariyyah ditulis dengan menggunakan huruf “l”.
vii
القرآن
القياس
ditulis
ditulis
al-Qur`ân
al-Qiyâs
2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf l (el) nya.
السمآء
الشمس
ditulis
ditulis
as-Samâ`
asy-Syams
IX. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat
Ditulis menurut penulisannya.
الفروض ذوي
السنة هلأ
ditulis
ditulis
zawi al-furûdl
ahl as-sunnah
viii
KATA PENGANTAR
الرحيم الرحمن الله بسم
ــد ــه الحم ــالمين رّب� لل الة الّع �الم الّصــ � اشــرف على والســ
. أم�ابّعد اجمّعين واصحابه اله وعلى والمرسلينى األنبياءSelesainya penyusunan skripsi ini, yang bagi penyusun merupakan beban
yang sangat berat, karena menguras banyak tenaga dan pikiran, memberikan
kebahagiaan yang tak ternilai bagi penyusun.
Oleh karena itu, sebuah hal yang sangat wajar apabila penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuannya kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Untuk lebih rincinya penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak. Drs. H. A. Malik Madany, MA, sebagai Dekan Fakultas Syari’ah.
2. Ibu. Siti Fatimah, S.H, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing I, atas semua
waktunya untuk membimbing dan memberi dorongan, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
3. Bapak. Drs. Abdul Madjid AS, selaku Dosen Pembimbing II dan selaku
Penasehat Akademik, atas segala bimbingan baik selama kuliah maupun dalam
penyelesaian skripsi ini.
4. Kedua Orang Tua, (Abah) H. Imron Romly, BA (Alm) dan (Ibu) Hj. Hikmah
Rosmalena. Dan kakak-kakakku, Ahmad Muzakky, SH beserta istri Yuliatin,
Amd. Serta Nelly Hikmiyah, SP. Atas dukungannya baik doa, moril, maupun
materiil.
ix
5. Teman-temanku, Yus Afni A, ST, Gesang Setyo Aji, S.H.I, Wahyuni Ernawati,
Imam, teman-teman KKN Kelompok Glagah 6, dan teman-temanku yang lain
yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu atas bantuannya dan dukungannya.
6. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu atas bantuannya dan
dukungannya, penyusun hanya dapat membalas dengan doa, semoga perbuatan
baik tersebut diterima Allah SWT dan mendapat balasan yang berlipat ganda.
Penyusun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik maupun saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan dan akan kami terima dengan kerendahan hati
guna memperbaiki tugas kami selanjutnya
Harapan kami adalah semoga skripsi ini dapat menambah wawasan keilmuan
dan bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penyusun dan pembaca pada
umumnya. Amin.
Yogyakarta, 3 Jumadil Ula 1425 H 21 Juni 2004 Penyusun
Benny Hasan NIM. 9937 3479
x
ABSTRAK
Skripsi ini dibuat disebabkan adanya suatu permasalahan yang menurut penulis cukup menarik. Permasalahan yang ada adalah adanya perjanjian ekstradisi sekarang ini yang diadakan antar negara, disebabkan adalah karena semakin berkembangnya zaman. Sekarang ini orang berbuat tindak pidana tidak takut lagi untuk melarikan diri ke negara lain.
Untuk itu perlu diadakan perjanjian ekstradisi antar negara. Sesuai dengan bidang keilmuan yang ditekuni oleh penulis yaitu Jinayah Siyasah, maka dalam hal ini penulis akan mengkaji dari segi Fiqih Siyasah. Bagaimanakah pandangan dari Fiqih Siyasah mengenai perjanjian ekstradisi ini. Jadi dalam hal ini bagaimanakah konsep perjanjian ekstradisi sekarang ini menurut Fiqih Siyasah. Apakah sudah sesuai atau belum. Dan juga mengenai prinsip-prinsip umum dari perjanjian ekstradisi itu sendiri, sudah sesuai dengan Fiqih Siyasah atau belum.
Maka akan dilihat dari contoh perjanjian ekstradisi dengan negara lain, yang akan dilihat materi, konsep dari perjanjian tersebut menurut Fiqih Siyasah. Dan juga perjanjian ekstradisi itu sendiri dari segi pengertian, konsep dan lain-lainnya, sudah sesuai dengan Fiqih Siyasah atau tidak.
Dan hasilnya adalah setelah dikaji, ada hal-hal yang sudah sesuai. Bahwa ternyata dalam Fiqih Siyasah sendiri telah mengenal adanya perjanijian ekstradisi. Mengenai prinsip-prinsip umum yang ada banyak yang telah sesuai secara substansial. Ada ketidak sesuaian, yaitu mengenai negara-negara yang dapat melakukan perjanjian ekstradisi. Dalam Fiqih Siyasah negara yang dapat mengadakan perjanjian ekstradisi adalah negara-negara yang termasuk dalam negara Darus Salam, sedangkan yang termasuk dalam Darul Kuffar tidak dapat mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara yang termasuk dalam Darus Salam.
Selain itu dapat disimpulkan ada hal-hal yang kurang sesuai dengan Fiqih Siyasah, yaitu mengenai pelaku tindak kejahatan, yang mana dalam Fiqih Siyasah itu diperjelas mengenai apakah orang tersebut muslim, atau dzimmi. Sementara dalam perjanjian ekstradisi pada umumnya tidak secara jelas menyebutkan tentang pelaku kejahatan apakah dia itu muslim atau dzimmi.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
NOTA DINAS ....................................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
ABSTRAK.............................................................................................................. xi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................... 7
D. Telaah Pustaka ............................................................................... 8
E. Kerangka Teoritik .......................................................................... 10
F. Metode Penelitian .......................................................................... 14
G. Sistematika Pembahasan................................................................. 16
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN EKSTRADISI
A. Pengertian Perjanjian Ekstradisi dan Latar Belakang Lahirnya
Perjanjian Ekstradisi ...................................................................... 18
B. Asas Perjanjian Ekstradisi dan Dasar Hukum Perjanjian
Ekstradisi ........................................................................................ 26
C. Praktek Perjanjian Ekstradisi di Indonesia .................................... 32
xii
BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM FIQIH SIYASAH
A. Pengertian Perjanjian Ekstradisi dan Dasar Hukum Perjanjian
Ekstradisi ........................................................................................ 37
B. Konsep Fiqih Siyasah tentang Perjanjian Ekstradisi ..................... 40
C. Praktek Perjanjian Ekstradisi dalam Fiqih Siyasah ....................... 45
BAB IV ANALISIS FIQIH SIYASAH TERHADAP PERJANJIAN
EKSTRADISI
Prinsip-prinsip Umum dalam Perjanjian Ekstradisi menurut
Perspektif Fiqih Siyasah……………………………………. 49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 69
B. Saran-saran ..................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN I TERJEMAHAN AYAT ............................................................... I
LAMPIRAN II BIOGRAFI ULAMA DAN TOKOH........................................... III
LAMPIRAN III UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 1976 TENTANG
PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK
INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA ......................... V
LAMPIRAN III CURRICULUM VITAE .......................................................... XXIII
PERJANJIAN EKSTRADISI
DALAM PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH
xiii
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTAUNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT GUNA MEMPEROLEH
GELAR SARJANA DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH:
BENNY HASANNIM: 99373479
DI BAWAH BIMBINGAN
3. SITI FATIMAH, SH. M.HUM4. DRS. ABDUL MADJID AS
JURUSAN JINAYAH SIYASAHFAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2004Siti Fatimah, SH, M. Hum.Dosen Fakultas Syari’ahUIN Sunan Kalijaga
xiv
NOTA DINAS
Hal : Skripsi Saudara Benny Hasan Kepada Yth :
Dekan fakultas Syari’ah
UIN Sunan kalijaga
Di Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya,
maka menurut kami skripsi saudara:
Nama : Benny Hasan
NIM : 9937 3479
Judul : “Perjanjian Ekstradisi Dalam perspektif Fiqih Siyasah”
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar
sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan
mengharap agar segera dimunaqosyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 16 Jumadil Ula 1425 H 5 Juli 2004
Pembimbing I
Siti Fatimah, S.H, M. Hum NIP: 150 260 463
Drs. Abdul Madjid ASDosen Fakultas Syari’ahUIN Sunan Kalijaga
xv
NOTA DINAS
Hal : Skripsi Saudara Benny Hasan Kepada Yth :
Dekan Fakultas Syari’ah
UIN Sunan kalijaga
Di Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya,
maka menurut kami skripsi saudara:
Nama : Benny Hasan
NIM : 9937 3479
Judul : “Perjanjian Ekstradisi Dalam perspektif Fiqih Siyasah”
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar
sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan
mengharap agar segera dimunaqosyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 16 Jumadil Ula 1425 H 5 Juli 2004
Pembimbing II
Drs. Abdul Madjid AS NIP: 150 192 830
PENGESAHAN
Skripsi berjudul
xvi
“Perjanjian Ekstradisi Dalam Perspektif Fiqih Siyasah”
yang disusun oleh
BENNY HASAN
NIM: 9937 3479
Telah dimunaqosyahkan di depan sidang muaqosyah pada tanggal 26 Juni 2004/8
Jumadil Tsaniyah 1425 H dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu
syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam.
Yogyakarta, 15 Jumadil Tsaniyah 1425 H 2 Agustus 2004
Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Malik Madany, MA NIP: 150 182 698
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Dr. Khoiruddin Nasution, MA Drs. Muh. Rizal Qosim, M.Si NIP: 150 246 195 NIP: 150 256 649
Pembimbing I Pembimbing II
Siti Fatimah, SH, M. Hum Drs. Abdul Madjid, AS NIP: 150 260 463 NIP: 150 192 830
Penguji I Penguji II
Siti Fatimah, SH, M. Hum Drs. Ocktoberrinsyah, M. Ag NIP: 150 260 463 NIP: 150 289 435
SISTEM TRANSLITERASI ARAB-LATIN
xvii
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman
pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987
X. Konsonan Tunggal
Huruf ArabNama
Huruf LatinN a m a
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
هـ
ء
ي
Alif
bâ’
tâ’
s|â’
jim
hâ’
khâ’
dâl
zâl
râ’
zai
sin
syin
Shâd
dhâd
thâ’
zhâ’
‘ain
gain
fâ’
qâf
kâf
lâm
mim
nûn
waû
hâ’
hamzah
yâ’
tidak dilambangkan
b
t
S
j
h
kh
d
Z
r
z
s
sy
S
d
t
Z
‘
g
f
q
k
l
m
n
w
h
`
y
tidak dilambangkan
be
te
es (dengan titik di atas)
je
ha (dengan titik di bawah)
ka dan ha
de
zet (dengan titik di atas)
er
zet
es
es dan ye
es (dengan titik di bawah)
de (dengan titik di bawah)
te (dengan titik di bawah)
zet (dengan titik di bawah)
koma terbalik di atas
ge
ef
qi
ka
`el
`em
`en
w
ha
apostrof
ye
xviii
XI. Konsonan Rangkap Karena Syaddah ditulis rangkap
متّع�ددة
عد�ة
ditulis
ditulis
muta`addidah
`iddah
XII. Ta’ marbut}ah di akhir kata
4. Bila dimatikan ditulis h
حكمة
علة
ditulis
ditulis
h}ikmah
`illah
(Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
5. Bila diikuti dengan kata sandang ‘al’ serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis
dengan h.
األولياء كرامة ditulis karâmah al-aûliyâ`
6. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah ditulis t
atau h.
الفطر زكاة ditulis zakâh al-fitri
XIII. Vokal Pendek
___
فّعل
___
ذكر
___
يذهب
fathah
kasrah
dammah
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
a
fa’ala
i
zukira
u
yazhabu
xix
XIV. Vokal Panjang
1
2
3
4
fathah + alif
جاهلية
fathah + yâ’ mati
تنسى
kasrah + yâ’ mati
كـريم
dammah + waû mati
فروض
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
â
jâhiliyyah
â
tansâ
i
karîm
û
furûdl
XV. Vokal Rangkap
1
2
fathah + yâ’ mati
بينكم
fathah + waû mati
قول
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ai
bainakum
aû
qaûl
XVI. Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
أأنتم
أعدت
شكرتم لئن
ditulis
ditulis
ditulis
A’antum
u’iddatla’in syakartum
XVII. Kata Sandang Alif + Lam
3. Bila diikuti huruf Qomariyyah ditulis dengan menggunakan huruf “l”.
القرآن
القياس
ditulis
ditulis
al-Qur`ân
al-Qiyâs
xx
4. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf l (el) nya.
السمآء
الشمس
ditulis
ditulis
as-Samâ`
asy-Syams
XVIII. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat
Ditulis menurut penulisannya.
الفروض ذوي
السنة هلأ
ditulis
ditulis
zawi al-furûdl
ahl as-sunnah
KATA PENGANTAR
الرحيم الرحمن الله بسم
xxi
ــد ــه الحم ــالمين رّب� لل الة الّع �الم الّصــ � اشــرف على والســ
. أم�ابّعد اجمّعين واصحابه اله وعلى والمرسلينى األنبياءSelesainya penyusunan skripsi ini, yang bagi penyusun merupakan beban
yang sangat berat, karena menguras banyak tenaga dan pikiran, memberikan
kebahagiaan yang tak ternilai bagi penyusun.
Oleh karena itu, sebuah hal yang sangat wajar apabila penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuannya kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Untuk lebih rincinya penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
7. Bapak. Drs. H. A. Malik Madany, MA, sebagai Dekan Fakultas Syari’ah.
8. Ibu. Siti Fatimah, S.H, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing I, atas semua
waktunya untuk membimbing dan memberi dorongan, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
9. Bapak. Drs. Abdul Madjid AS, selaku Dosen Pembimbing II dan selaku
Penasehat Akademik, atas segala bimbingan baik selama kuliah maupun dalam
penyelesaian skripsi ini.
10. Kedua Orang Tua, (Abah) H. Imron Romly, BA (Alm) dan (Ibu) Hj. Hikmah
Rosmalena. Dan kakak-kakakku, Ahmad Muzakky, SH beserta istri Yuliatin,
Amd. Serta Nelly Hikmiyah, SP. Atas dukungannya baik doa, moril, maupun
materiil.
11. Teman-temanku, Yus Afni A, ST, Gesang Setyo Aji, S.H.I, Wahyuni Ernawati,
Imam, teman-teman KKN Kelompok Glagah 6, dan teman-temanku yang lain
yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu atas bantuannya dan dukungannya.
xxii
12. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu atas bantuannya dan
dukungannya, penyusun hanya dapat membalas dengan doa, semoga perbuatan
baik tersebut diterima Allah SWT dan mendapat balasan yang berlipat ganda.
Penyusun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik maupun saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan dan akan kami terima dengan kerendahan hati
guna memperbaiki tugas kami selanjutnya
Harapan kami adalah semoga skripsi ini dapat menambah wawasan keilmuan
dan bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penyusun dan pembaca pada
umumnya. Amin.
Yogyakarta, 3 Jumadil Ula 1425 H 21 Juni 2004 Penyusun
Benny Hasan NIM. 9937 3479
ABSTRAK
Skripsi ini dibuat disebabkan adanya suatu permasalahan yang menurut penulis cukup menarik. Permasalahan yang ada adalah adanya perjanjian ekstradisi sekarang ini yang diadakan antar negara, disebabkan adalah karena semakin
xxiii
berkembangnya zaman. Sekarang ini orang berbuat tindak pidana tidak takut lagi untuk melarikan diri ke negara lain.
Untuk itu perlu diadakan perjanjian ekstradisi antar negara. Sesuai dengan bidang keilmuan yang ditekuni oleh penulis yaitu Jinayah Siyasah, maka dalam hal ini penulis akan mengkaji dari segi Fiqih Siyasah. Bagaimanakah pandangan dari Fiqih Siyasah mengenai perjanjian ekstradisi ini. Jadi dalam hal ini bagaimanakah konsep perjanjian ekstradisi sekarang ini menurut Fiqih Siyasah. Apakah sudah sesuai atau belum. Dan juga mengenai prinsip-prinsip umum dari perjanjian ekstradisi itu sendiri, sudah sesuai dengan Fiqih Siyasah atau belum.
Maka akan dilihat dari contoh perjanjian ekstradisi dengan negara lain, yang akan dilihat materi, konsep dari perjanjian tersebut menurut Fiqih Siyasah. Dan juga perjanjian ekstradisi itu sendiri dari segi pengertian, konsep dan lain-lainnya, sudah sesuai dengan Fiqih Siyasah atau tidak.
Dan hasilnya adalah setelah dikaji, ada hal-hal yang sudah sesuai. Bahwa ternyata dalam Fiqih Siyasah sendiri telah mengenal adanya perjanijian ekstradisi. Mengenai prinsip-prinsip umum yang ada banyak yang telah sesuai secara substansial. Ada ketidak sesuaian, yaitu mengenai negara-negara yang dapat melakukan perjanjian ekstradisi. Dalam Fiqih Siyasah negara yang dapat mengadakan perjanjian ekstradisi adalah negara-negara yang termasuk dalam negara Darus Salam, sedangkan yang termasuk dalam Darul Kuffar tidak dapat mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara yang termasuk dalam Darus Salam.
Selain itu dapat disimpulkan ada hal-hal yang kurang sesuai dengan Fiqih Siyasah, yaitu mengenai pelaku tindak kejahatan, yang mana dalam Fiqih Siyasah itu diperjelas mengenai apakah orang tersebut muslim, atau dzimmi. Sementara dalam perjanjian ekstradisi pada umumnya tidak secara jelas menyebutkan tentang pelaku kejahatan apakah dia itu muslim atau dzimmi.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
xxiv
NOTA DINAS ....................................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
ABSTRAK.............................................................................................................. xi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
H. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
I. Rumusan Masalah .......................................................................... 7
J. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................... 7
K. Telaah Pustaka ............................................................................... 8
L. Kerangka Teoritik .......................................................................... 10
M. Metode Penelitian .......................................................................... 14
N. Sistematika Pembahasan................................................................. 16
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN EKSTRADISI
D. Pengertian Perjanjian Ekstradisi dan Latar Belakang Lahirnya
Perjanjian Ekstradisi ...................................................................... 18
E. Asas Perjanjian Ekstradisi dan Dasar Hukum Perjanjian
Ekstradisi ........................................................................................ 26
F. Praktek Perjanjian Ekstradisi di Indonesia .................................... 32
BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM FIQIH SIYASAH
D. Pengertian Perjanjian Ekstradisi dan Dasar Hukum Perjanjian
xxv
Ekstradisi ........................................................................................ 37
E. Konsep Fiqih Siyasah tentang Perjanjian Ekstradisi ..................... 40
F. Praktek Perjanjian Ekstradisi dalam Fiqih Siyasah ....................... 45
BAB IV ANALISIS FIQIH SIYASAH TERHADAP PERJANJIAN
EKSTRADISI
Prinsip-prinsip Umum dalam Perjanjian Ekstradisi menurut
Perspektif Fiqih Siyasah……………………………………. 49
BAB V PENUTUP
C. Kesimpulan .................................................................................... 69
D. Saran-saran ..................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN I TERJEMAHAN AYAT ............................................................... I
LAMPIRAN II BIOGRAFI ULAMA DAN TOKOH........................................... III
LAMPIRAN III UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 1976 TENTANG
PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK
INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA ......................... V
LAMPIRAN III CURRICULUM VITAE .......................................................... XXIII
BAB IIIPERJANJIAN EKSTRADISI DALAM FIQIH SIYASAH
xxvi
A. Pengertian Perjanjian Ekstradisi Dan Dasar Hukum Perjanjian
Ekstradisi
Dalam Fiqih Siyasah dikenal adanya hubungan internasional yang
memerlukan adanya sebuah perjanjian antar negara dan antar bangsa dalam
menjalani hubungan antar bangsa dan antar negara. Apalagi dalam hal penegakan
hukum di dalamnya.
Berdasarkan kenyataan bahwa semua orang tidaklah mau menerima, apalagi
mentaati hukum Islam itu sebagai hukum Internasional. Dalam menjalani hubungan
internasional dan untuk mentaati hukum internasional diperlukan adanya sebuah
perjanjian antar negara.
Perjanjian (treaty) dalam hukum internasional ialah persetujuan antara dua
negara atau lebih guna mengatur hubungan-hubungan hukum dan hubungan-
hubungan internasional dan meletakkan dasar yang harus dipatuhi. 1
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hukum internasional yang
berlaku sekarang lahir dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku antara negara dan dari
perjanjian-perjanjian yang mengikat negara-negara itu. Adapun hukum Islam
internasional, mengambil kekuatannya dari dasar (prinsip-prinsip) kemanusiaan
umum yang telah kita bentangkan di atas itu, termasuk di dalamnya memenuhi janji.
2
Pada mulanya perkataan ‘perjanjian’ (mu’ahadah) itu dipakai bagi
persetujuan-persetujuan internasional yang penting-penting dan yang berbentuk
1 Ali-Ali Mansur, Syari’at Islam dan Hukum internasional Umum, (Jakarta: Bulan Binatang, 1979), hlm.107.
2 Ibid., hlm. 107
xxvii
politik, seperti perjanjian-perjanjian damai atau persekutuan. Adapun perjanjian-
perjanjian yang tidak bercorak politik disebut ‘persetujuan’, ittifaqiyah (convention)
atau persepakatan ittifaq (record). 3
Dipandang dari sudut masa, perjanjian-perjanjian internasional itu ada yang
bersifat sementara dan ada pula yang abadi. Sedang dipandang dari sudut
kesahannya, ia itu boleh jadi sah dan boleh pula tidak sah. Adapun melihat
persoalannya, ia itu terkadang perjanjian politik atau sosial. Sebenarnya perjanjian itu
bermacam-macam dan ditentukan oleh sifat perjanjian itu sendiri. 4
Hukum internasional tidak melarang mengadakan perjanjian itu secara lisan
saja. Tetapi telah menjadi tradisi bahwa setiap perjanjian dibuat dengan tertulis,
sehingga mungkin menyampaikan pada kekuasaan-kekuasaan yang bersangkutan
untuk disahkan. Terkadang penulisan itu dibuat dalam beberapa naskah dan
terkadang pula didaftarkan dalam daftar internasional, seperti pada sekretariat Liga
Bangsa-bangsa dahulu dan sekretariat Perserikatan Bangsa-bangsa sekarang. 5
Dilihat dari berbagai pendapat di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian adalah
suatu kesepakatan yang dilakukan oleh antar bangsa dan antar negara dalam hal
politik atau hukum dalam keadaan damai. Yang ditujukan untuk keadaan yang lebih
baik.
Sementara itu Ekstradisi adalah mempunyai kata lain yaitu penyerahan
penjahat. Setiap negara Islam dipandang sebagai wakil yang mutlak bagi Islam di
3 M. Abu Zahrah, Hubungan-Hubungan Internasional dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 91
4 Ali-Ali Mansur, Syari’at Islam, hlm.107
5 Ibid., hlm.109
xxviii
dalam menjalankan syari’at Islam. Karena itu apabila seorang Indonesia, melakukan
tindak pidana di Indonesia, maka dia dapat diperkarakan di Mesir.6
Ada pendapat yang mengatakan tentang ektradisi tidak secara jelas tapi
menyatakan bahwa setiap negara yang termasuk Darus Salam dipandang sebagai
wakil yang mutlak bagi negara yang lain untuk menjalankan hukum Islam. 7
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa Perjanjian
Ekstradisi menurut Fiqih Siyasah adalah perjanjian antara dua negara di bidang
hukum dalam hal penyerahan penjahat antara negara Darus Salam.
Mengenai dasar hukum dari perjanjian ekstradisi dalam Al-Qur’an tidak
menyebutkan secara pasti mengenai aturan yang jelas dari Al-Qur’an. Dalam buku
dari T. M. Hasby Ash-Shiddieqy atau buku yang lain hanya menyebutkan satu ayat
yang mungkin dianggap mirip, yaitu sebuah ayat, Allah SWT berfirman:8
فــامتحنوهن� مهجــرت المــؤمنت جاءكم اذا امنوا ال�ذين يايها الى ترجّعوهن� فال مؤمنت علمتوهن� فان بايمانهن� اعلم الله
ون والهم لهم حل� الهن� الكف�ار �ا واتــوهم لهن� يحلــ � انفقــوا مــــاح ــ ــوهن� ان عليكم والجن ــ ــوهن� اذا تنكح ــ ــورهن� اتيتم ــ اج مــا وليســئلوا مــاانفقوا وســئلوا الكــوافر بّعّصم والتمسكوا
حكيم عليم والله بينكم يحكم الله حكم ذلك انفقوا
B. Konsep Fiqih Siyasah tentang Perjanjian Ekstradisi
6 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hlm.
7 L. Amin Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 31
8 Al-Mumtahanah (60) : 10
xxix
Perbincangan mengenai apakah Fiqih Siyasah mempunyai konsep tentang perjanjian Ekstradisi
atau tidak, tampaknya menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Para ilmuwan
dan aktivis dalam dekade terakhir ini termasuk ilmuwan Indonesia terutama sekali
intelektual kampus sering membicarakannya. Bermacam pendapat telah muncul
dalam rangka menganalisis teori tentang perjanjian Ekstradisi dalam Fiqih Siyasah.
Mengingat teori Islam, dunia ini dibagi dua, yaitu : Darul Islam dan Darul
Harbi. Maka boleh jadi sebagian orang menyangka, bahwa hal ini mengharuskan
supaya semua negara-negara Islam itu, diperintah suatu pemerintah saja. Ini adalah
suatu persangkaan yang tidak bersendi kenyataan. Teori-teori Islam tidak dibuat atas
dasar supaya negara-negara Islam diperintah oleh suatu pemerintah saja. Hanya
dibuat atas dasar yang dikehendaki oleh Islam. Islam menghendaki supaya segenap
umat Islam di seluruh dunia merupakan satu tangan menghadap ke arah yang satu,
dibimbing oleh satu politik.
Untuk mewujudkan maksud ini memang mudah sekali apabila semua negara
Islam dikuasai oleh pemerintah yang satu. Akan tetapi bukan jalan ini jalan satu-
satunya untuk mewujudkan tujuan-tujuan Islam. Dapat juga dilaksanakan dengan
adanya beberapa negara di Darul Islam, selama negara-negara itu menuju ke satu
jurusan, berjalan di satu politik.
Dan Islam tidak berlawanan dengan tata aturan yang berlaku di Amerika
Serikat, tidak pula berlawanan dengan tata aturan Inggris, dan juga tidak berlawanan
dengan adanya suatu Djami’ah Islamiyah yang terdiri dari segenap pemerintahan
Islam yang berusaha mengawasi pemerintahan itu. Dan berusaha menyatukan
xxx
maksud-maksudnya dan tujuan-tujuannya serta menghilangkan sengketaan-
sengketaan yang terjadi di dalam negeri masing-masing.
Bahkan tidak berlawanan dengan satu tata aturan lain selama tata aturan itu
dapat mewujudkan tujuan Islam. Tujuan Islam adalah supaya segenap para muslimin
merupakan satu tangan terhadap orang yang selain mereka dan supaya tujuan mereka
satu dan politik mereka satu pula.
Berkaitan dengan perjanjian ekstradisi, maka dengan adanya negara-negara
yang termasuk dalam Darul Islam. Menurut teori Fiqih Siyasah setiap negara yang
termasuk Darus Salam dipandang sebagai wakil yang mutlak bagi negara yang lain
untuk menjalankan hukum Islam.
Dalam teori Fiqih Siyasah tidak ada halangan antar negara-negara Darus
Salam untuk menyerahkan penjahat yang melakukan satu tindak kejahatan, baik
penjahat yang diserahkan itu seorang muslim atau seorang zimmi atau seorang
musta’min yang melakukan suatu tindak kejahatan di salah satu daerah negara-
negara Darus Salam itu, asalkan negara yang bersangkutan belum menjatuhkan
hukuman terhadap tindak kejahatan itu sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang
berlaku sesuai perundang-undangan. 9
Bahwasannya menghadapkan si penjahat ke hadapan hakim terhadap
jarimahnya di tempat terjadinya jarimah adalah lebih utama dari menyeretnya ke
hadapan hakim terhadap jarimahnya di tempat yang bukan tempat terjadinya jarimah;
dan lebih dapat terjamin terwujudnya keadilan. Karena pengadilan tempat dimana
terjadinya jarimah, mudah mencari keterangan dan membahasnya lantaran adanya
9 L. Amin Widodo, Fiqih Siasah, hlm. 33
xxxi
saksi-saksi dan mungkin menyaksikan bekas jarimah, serta mempelajari situasi-
situasinya, sebagaimana menghukum seorang penjahat terhadap jarimahnya ditempat
terjadinya jarimah memberikan nilai yang sempurna bagi hukuman itu. 10
Akan tetapi dapat juga kita mengatakan bahwa menyerahkan penjahat yang
menjadi warga dari suatu negara kepada negara lain waktu menghukumnya terhadap
satu jarimah yang dikerjakan di daerah daulat yang lain itu, menyebabkan si penjahat
tidak dapat membela dirinya diantara orang-orang yang tidak dikenal, dan tidak ada
pula hubungan kebangsaan ataupun bahasa dan mungkin penyerahan itu
menimbulkan kemudlaratan baginya. 11
Apabila sudah dijatuhi hukuman terhadap si pelaku kejahatan, negara yang
telah menjatuhi hukuman tersebut tidak boleh lagi menyerahkannya ke negara lain,
sebab menurut kaedah hukum Islam suatu tindak kejahatan tidak boleh dijatuhi
hukuman dua kali. Namun apabila hukuman yang telah dijatuhkan atau atas
pemeriksaan perkara yang dilakukan itu menyalahi ketentuan-ketentuan hukum
Islam, maka tidak boleh menolak bagi suatu negara yang diminta atau diserahi
penjahat itu untuk memeriksa sekali lagi atau menjatuhi hukuman yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam. 12
Keputusan hukuman yang telah dijatuhkan atas si penjahat yang tidak sesuai
dengan ketentuan hukum Islam dipandang tidak ada atau tidak sah. Demikian halnya
atas pemeriksaansuatu perkara oleh satu mahkamah Islam yang tidak berdasarkan
10 Ibid., hlm. 36
11 T.M. Hasbi Ash-Shuddieqy, Hukum Antar, hlm. 36
12 L. Amin Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 33
xxxii
kepada nash-nash yang diakui oleh hukum Islam, maka hasil keputusannya
dipandang tidak sah juga. Hal ini dengan sendirinya berkisar hanya mengenai tindak
kejahatan hudud dan qisas yang sudah ditetapkan hukumnya secara rinci dalam nash-
nash qat’u addalalah. 13
Setelah kita kupas bagaimana konsep Fiqih Siyasah dalam perjanjian
Ekstradisi ketika berhubungan dengan negara-negara yang termasuk dalam Darul
Islam. Lalu bagaimanakah konsep Fiqih Siyasah ketika berhubungan dengan negara-
negara Darul Kuffar atau Darul Harbi ?
Syari’at Islam tidak membolehkan bagi suatu pemerintah Islam menyerahkan
rakyatnya yang muslim atau yang dzimmi untuk diperiksa perkaranya di Darul Harbi
tentang jarimah-jarimah yang dilakukan di negara itu. Dan tidak boleh negara Islam
menyerahkan rakyat-rakyat suatu negara Islam yang lain kepada negara yang bukan
Islam; karena mereka ini, dari segi syara’, dihukum rakyatnya juga. 14
Dan syari’at Islam, tidak membolehkan bagi pemerintah Islam menyerahkan
muslim yang menjadi warga negara bagi negara musuh (yang sedang bermusuhan
dengan negara Islam) apabila si muslim itu berhijrah dari Darul Harbi ke Darul
Islam, walaupun dimintakan oleh negara yang dia bermukim di daerahnya, selama
belum ada persetujuan (perjanjian yang dibuat terlebih dahulu untuk menyerahkan
warga negaranya). Jika telah ada perjanjian, wajiblah perjanjian itu dipenuhi,
terkecuali syarat-syarat yang batal daripadanya.
Dan dipandang persetujuan itu batal, apabila yang dimaksudkan
menyerahkan orang-orang Islam yang pergi ke Darul Islam sebelum adanya
13 Ibid., hlm. 33
14 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar, hlm. 38
xxxiii
perjanjian itu. Dan dipandang pula batal segala syarat yang mengharuskan kita
menyerahkan wanita Islam yang berlindung ke Darul Islam, baik dia berlindung itu
sebelum terjadi persetujuan, ataupun sesudahnya. Wanita Islam, tidak boleh
diserahkannya dalam keadaan bagaimanapun, kepada negara yang bukan Islam,
walaupun wanita itu dari rakyatnya, dan walaupun ada suami, anak dan keluarga
yang memintanya kembali ke Darul Harbi itu. 15
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :16
فــامتحنوهن� مهجــرت المــؤمنت جاءكم اذا امنوا ال�ذين يايها الى ترجّعوهن� فال مؤمنت علمتوهن� فان بايمانهن� اعلم الله
ون والهم لهم حل� الهن� الكف�ار �ا واتــوهم لهن� يحلــ � انفقــوا مــــاح ــ ــوهن� ان عليكم والجن ــ ــوهن� اذا تنكح ــ ــورهن� اتيتم ــ اج مــا وليســئلوا مــاانفقوا وســئلوا الكــوافر بّعّصم والتمسكوا
حكيم عليم والله بينكم يحكم الله حكم ذلك انفقوا
Mengenai penyerahan laki-laki muslim kepada pihak negeri musuh sebagai
salah satu syarat isi perjanjian, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik dan Imam
Ahmad berpendapat bahwa syarat itu wajib dipenuhi setelah terjadi perjanjian. Imam
Abu Hanifah dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa menyerahkan laki-
laki muslim sebagai salah satu syarat isi perjanjian tidak diterima dan perjanjian
batal, sebab dalam keadaan apapun, kita tidak dibolehkan memberikan kekuasaan
kepada pihak non-muslim untuk menyelesaikan urusan orang Islam. 17
15 Ibid., hlm. 38
16 Al-Mumtahanah (60): 10
17 L. Amin Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 34
xxxiv
Mengenai hal ini Ulama Syafi’iyah membedakan antara menyerahkan laki-
laki muslim yang punya keluarga di Darul Kuffar dengan laki-laki muslim yang tidak
ada keluarga di Darul Kuffar. Bagi yang pertama kita boleh menyerahkan mereka
kepada pihak penguasa musuh dengan harapan dia dapat dilindungi oleh
keluarganya. Akan tetapi bagi yang kedua tidak boleh. Dasar tidak membolehkannya
penyerahan itu adalah dikhawatirkan akan terjadinya penekanan-penekanan dari
pihak penguasa musuh atas diri orang yang diserahkan itu. 18
Penguasa negeri Darus Salam tidak boleh menyerahkan musta’min untuk keperluan
penyelesaian suatu tindak kejahatan yang dilakukan dari salah satu negeri Darul
Kuffar. Sebab hal ini berlawanan dengan prinsip jaminan keamanan yang telah
diberikan antara penguasa negeri Darus Salam dengan penguasa negara lain (Darul
Kuffar), kecuali yang meminta itu telah ada persetujuan yang menghendaki
penyerahan itu.19
Dari konsep Fiqih Siyasah yang sudah dibahas sebelumnya mengenai perjanjian ekstradisi.
Sesuai dengan prinsip atau asas dasar yang dikemukakan, yang ada hubungannya
dengan hubungan internasional. Yaitu Tauhid, konsep dasar dan ideologi Islam
berasal dari konsep Tauhid. Tauhid adalah visualisasi hidup manusia, dimana ini
menyangkut hubungan langsung antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dimana
hidup seperti test dari keungulan dan nilai. Asas lainnya adalah Keadilan (Adl),
kejujuran dan keadilan diperintahkan dalam semua persetujuan, walaupun dengan
musuh sekalipun. Sejak konsep keadilan menjadi asas dasar di dalam Islam, Islam
18 Ibid., hlm. 35
19 Ibid., hlm.35
xxxv
memberikan tanggung jawab dan komitmen untuk kejujuran dan keadilan di dalam
semua hubungan luar.20
Selanjutnya adalah Perdamaian, Saling Bantu dan Kerjasama, dimana ini adalah syarat
minimum untuk Muslim di dalam hubungan internasional. Asas selanjutnya adalah
Jihad (self-exertion), untuk manusia sebagai penjaga atau wakil Allah SWT di bumi,
dengan sukarela menggunakan usaha sepenuhnya untuk membawa perilaku mereka
yang dipandu Al-Qur’an dan Sunnah untuk umat manusia. Asas yang terakhir adalah
Menghormati dan memenuhi Komitmen, asas ini adalah perluasan dai asas Tauhid,
rasa tanggung jawab manusia dan keutuhan dan persamaan manusia membutuhkan
pendirian kewajiban moral Muslim, baik individu maupun semuanya untuk
memenuhi baik komitmen perorangan, nasioal, dan internasional.21
C. Praktek Perjanjian Ekstradisi Dalam Fiqih Siyasah
Yang akan dibahas dalam sub bab ini adalah peranan perjanjian ekstradisi
dalam Fiqih Siyasah. Dalam Fiqih Siyasah, perjanjian ekstradisi termasuk dalam
kajian Fiqih Dualy ‘Am atau Siasah Kharijiyah As Syar ‘iyyah yang titik berat
pembicaraannya ialah sekitar hubungan antara negara dan orang-orang yang tercakup
dalam hukum internasional. Hubungan ini melahirkan dua aturan hukum yaitu
hukum publik internasional dan hukum perdata internasional. Hukum publik
internasional mengatur hubungan antara negara-negara Darus Salam dengan negara
20 Abdul Hamid A. AbuSulayman, Towards an Islamic Theory of International Relations: New Directions for Methodology and Thought, (Grove St. Herndon: International Insititute of Islamic Thought, 1993), hlm. 128-129
21 Ibid., hlm. 129, 135, dan 137
xxxvi
lain yakni Darul Kuffar atau antara Negara Darus Salam dengan warga negara dari
negara lain, yang bukan termasuk dalam lapangan hukum perdata Internasional.22
Berarti peranan Fiqih Siyasah dalam hal ini adalah mengatur bagaimana
hubungan antar negara. Hubungan dalam hal ini berarti hubungan internasional,
disini maksudnya adalah hubungan antara suatu negara dengan negara lainnya.
Hubungan antar negara bagaimanapun tidak dapat dihindari dalam kehidupan
pergaulan dunia. Bermacam kebutuhan antara satu negara dengan negara lainnya
yang mengakibatkan mereka harus selalu berhubungan antara satu negara dengan
negara lainnya. Mulai dari kebutuhan primer manusia sendiri sebagai rakyat di suatu
negara seperti sandang dan pangan sampai pada masalah sosial lainnya seperti
hubungan kebudayaan dan politik termasuk masalah keagamaan. Seperti terlihat
dalam kenyataan kehidupan negara-negara yang ada di belahan bumi, antara satu
negara dengan negara lainnya selalu saling membutuhkan bantuan termasuk dalam
mendapat jaminan keamanan warga negaranya ketika beraktivitas di negara
tetangganya, baik dalam kegiatan sosial budaya, ekonomi maupun politik. Karena itu
untuk mengatur agar teraturnya hubungan ini diperlukan hukum internasional.
Hukum internasional adalah hukum yang membicarakan masalah tata hukum
dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pergaulan antar negara, dalam rangka itu
pula ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan diantaranya.23
Hubungan internasional dibagi menjadi dua kelompok yaitu :
a. Hubungan antar bangsa dan negara dalam Dar al-Salam, dan
b. Hubungan antar bangsa dan negara dalam Dar al-Kuffar.
22 Ibid., hlm, 123 Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Paramita, 1972), hlm. 48
xxxvii
Yang dimaksud dengan Dar al-Salam adalah negara yang di dalamnya
berlaku hukum Islam sebagai hukum perundang-undangan atau negara yang
berpenduduk beragama Islam dan dapat menegakkan hukum Islam sebagai hukum
perundang-undangan atau hukum positif. Negara-negara yang semua atau mayoritas
penduduknya terdiri dari umat Islam digolongkan kepada Dar al-Salam, walaupun
pemerintahannya bukan pemerintahan Islam, akan tetapi orang-orang Islam
penduduk negeri dapat dengan leluasa menegakkan hukum Islam sebagai hukum
perundang-undangan. Sementara yang dimaksud dengan Dar al-Kuffar adalah negara
yang tidak berada di bawah kekuasaan umat Islam, atau negara yang tidak dapat atau
tidak tampak berlakunya ketentuan-ketentuan hukum Islam, baik terhadap
penduduknya yang beragama Islam maupun penduduk beragama lain. Selama orang-
orang Islam dimana mereka bermukim secara tetap dan tidak mampu melahirkan
hukum Islam sebagai hukum perundang-undangan negara, negara tersebut dapat
dikategorikan sebagai negara Dar al-Kuffar. 24
Disanalah letak peranan Fiqih Siyasah dalam membentuk suatu perjanjian ekstradisi, dimana
lebih berperan dalam mengatur hubungan internasional. Dan diterapkan ketika
timbulnya kejahatan antar negara, baik Dar al-Salam maupun Dar al-Kuffar.
Apakah hukum Islam itu dapat diterapkan atas semua penduduk negeri yang
berada di lingkungan yurisdiksi hukum Darus Salam atau hanya atas orang Islam,
atau hanya atas sebagian saja dari mereka dan tidak atas yang lain. Dan apabila hanya
dapat diterapkan atas perbuatan tindak pidana (jarimah) yang terjadi dalam yurisdiksi
hukum Darus Salam, apakah hukum Islam itu dapat diterapkan atas semua penduduk
24 M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm, 141.
xxxviii
negeri Darus Salam ia melakukan perbuatan tindak pidana dalam lingkungan
yurisdiksi hukum Darul Kuffar.
Pada asasnya hukum Islam berlaku bagi segenap penduduk negeri yang
berada dalam lingkungan yurisdiksi hukum Darus Salam meskipun bentuk dan corak
pemerintahannya berlainan.
Prinsip hukum Islam berlaku atas semua penduduk tanpa melihat kepada
adanya perbedaan-perbedaan agama, bahasa dan kebangsaan, maka dari itu yang
bermukim dalam yurisdiksi hukum Darus Salam berkewajiban untuk melaksanakan
hukum Islam, atas segala perbuatan pidana (jarimah), baik yang dilakukan di Darus
Salam, atau di Darul Kuffar atas siapa saja yang melakukannya dan dimana saja.
BAB IV
ANALISIS FIQIH SIYASAH TERHADAP
PERJANJIAN EKSTRADISI
Prinsip-Prinsip Umum dalam Perjanjian Ekstradisi menurut Perspektif Fiqih Siyasah
Salah satu kewajiban dalam agama yang terbesar adalah urusan memimpin
orang banyak, karena agama tidak akan bisa tegak tanpa adanya pemimpin itu.
Karena kemaslahatan manusia tidak bisa sempurna kecuali dengan bermasyarakat,
setiap orang membutuhkan orang lain, sedangkan dalam sebuah masyarakat haruslah
ada seorang pemimpin.
Dengan semakin majunya peradaban, maka negara-negara modern mulai
memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislative
sebagai pembuat undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana dan yudikatif sebagai
kekuasaan peradilan. Indonesia menganut tiga pemisahan kekuasaan ini, meskipun
xxxix
pembagian ini tidak sama dengan pembagian kekuasaan menurut ajaran trias politika.
Karena Undang-undang Dasar 1945 memiliki system pembagian kekuasaan sendiri.1
Sebagai negara hukum, Indonesia menganut asas peradilan bebas yang
dijamin Undang-undang. Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan jaminan khusus
bagi kebebasan kekuasaan kehakiman, terlepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif.
Dari sistem kekuasaan tersebut maka lahirlah undang-undang. Dan undang-
undang merupakan sebuah produk yang dibuat selalu berdasarkan keputusan politik,
walaupun undang-undang tersebut masuk dalam wilayah hukum, tetapi tetap selalu
ada kaitan dan mata rantai terhadap hal itu, dalam bahasa yang dipakai adalah politik
hukum.
Asumsi dasar yang digunakan dalam hal ini adalah bahwa hukum merupakan
produk politik, sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau
diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya.
Asumsi lainnya bahwa setiap produk hukum dapat dilihat berdasarkan kenyataan
setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat
dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan
politisi.2
Perjanjian Ekstradisi inipun merupakan salah satu produk politik yang
digunakan sebagai kerangka acuan dasar bagi proses pelaksanaan peradilan di
Indonesia. Sejarah singkatnya bahwa perjanjian ini timbul ke permukaan merupakan
1 Dalam pembagian kekuasaan ini setiap lembaga negara telah memiliki tugas tertentu, namun dalam system ini dimungkinkan adanya kerjasama antar lembaga negara. Mah Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, cet. 7(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 35.
2 Moh. Mahfud. MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 4.
xl
sebagai penguat dan petunjuk bagi kekuasaan kehakiman sebagai lembaga peradilan
untuk dapat menuntaskan pelanggaran-pelanggaran atau peristiwa-peristiwa yang
pernah terjadi sebelumnya.
Hanya saja realitas yang terjadi di lapangan adalah adanya hambatan-hambatan dan
kendala-kendala dalam melakukan investigasi terhadap setiap
pelanggaran. Apalagi pelanggaran itu dilakukan oleh oknum-oknum
pejabat pemerintahan dan oknum-oknum lainnya yang masih mempunyai
pengaruh cukup besar terhadap setiap kebijakan politiknya dalam
pengambilan keputusan suatu hukum.
Hukum dalam arti umum hanya diperlukan bila ada kepentingan hukum manusia.
Kepentingan di luar manusia seakan tidak diurus oleh hukum. Oleh sebab
itu, tidak salah bila dipahami hukum itu diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat. Atau, dengan kata lain hukum baru ada bila ada lebih dari
seorang.
Telah tegas disebut, bahwa berdasarkan Tap MPRS/XX/1966, ditetapkan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Telah tegas pula disepakati
bahwa bangsa dan negara merdeka bukan hanya atas jasa dan perjuangan manusia,
melainkan yang menentukan, ialah Allah Yang Maha Kuasa.3
Bagi umat Islam, kenyataan demikian tidak berdiri sendiri, tetapi ada yang
menetunkan, Allah SWT. Wajib dibaca dan diambil hikmahnya.
Berdasarkan keadaan itulah, menurut Islam, yang menjadi bangsa
Indonesia itu tidak akan ingkar janji.
3 Bismar Siregar, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, cet. Ke-2, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 163.
xli
Berbicara tentang hukum, dalam hal ini dari pemahaman ajaran Islam, hukum
itu difahami sebagai syari’at, perintah yang diturunkan oleh Allah SWT berupa
wahyu yang diturunkan melalui para Rasulnya dan Rasul yang terakhir Muhammad
saw. Kecuali hukum syari’at berupa wahyu, diterima pula segabai hukum/syari’at
dari sikap dan tindak laku, disebut sunnah Nabi. Jadi, ada dua sumber hukum. Yang
pertama, mutlak kebenarannya. Yang kedua, perlu penelitian riwayatnya. Keduanya
diakui sebagai sumber hukum. Hukum Allah terkandung pada Kitab Suci Al-Qur’an,
mengatur bagaimana makhluk-Nya diberi amanah sebagai khalifah bertindak dan
berlaku mengelola alam semesta, sebagai wakilnya. Sejauh manakah si manusia
sadar dan tahu, bahwa ia wakil Allah, tidak difahami sama dalam kehidupan antar
manusia. Walau berasal sama, Adam dan Hawa, tetapi dalam perjalanan sejarah
manusia beraneka ragam.4
Kata hukum berasal dari bahasa Arab, Ahkam. Tetapi hukum yang aslinya
berasal dari yang Arab itu, sebenarnya berbeda dengan hukum yang sudah membumi
di negara ini. Hukum Islam tidaklah sesempit makna dan arti hukum yang
dipergunakan sehari-hari.5
Menjadi pertanyaan, telah adakah hukum Islam dalam kehidupan hukum di negara
ini? Pertanyaan itu layak dipikirkan. Tidak perlu malu bila jawabannya
mengambang dan belum ada ketegasan. Dengan pengamatan demikian,
sebagai umat kita terpanggil untuk bersama melakukan perjanjian sejauh
4 Bismar Siregar, Islam dan Hukum, cet, ke-3, (Jakarta: PT. Grafikatama Jaya, 1992), hlm. 166.
5 Ibid., hlm. 166
xlii
mana ilmu-ilmu Islam itu, termasuk hukum Islam dapat mengahadapi
dan menjawab berbagai tantangan hidup masa kini.
Hukum Islam bersifat Ijabi dan Salbi, artinya hukum Islam itu
memerintahkan, mendorong, dan menganjurkan melakukan perbuatan makruf (baik)
serta melarang perbuatan munkar dan segala macam kemudaratan. Berbeda hukum
wad’i, aspek ijabi dalam hukum Islam lebih dominan. Hal ini mengingat bahwa
tujuan utama pensyari’atan hukum Islam adalah mendatangkan, menciptakan, dan
memelihara kemaslahatan bagi umat manusia. Sedangkan aspek salbi, yang bertujuan
menghindari kemudaratan dan kerusakan, sebenarnya telah tercakup di dalamnya.
Perlu pula dikemukakan bahwa kemaslahatan individu bukan sekedar tujuan
sampingan, yang hanya diperhatikan jika membawa kemaslahatan bagi masyarakat.6
Berkaitan dengan perjanjian ekstradisi, persoalan Fiqih Siyasah yang juga termasuk
dalam bagian hukum Islam. Banyak persoalan yang dari Fiqih Siyasah
yang tidak terdapat dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh
pemerintah tersebut.
Dalam pembuatan perjanjian ekstradisi harus diperhatikan adanya prinsip-prinsip
umum yang harus diperhatikan dalam pembuatannya, yang sudah dibahas
dalam bab sebelumnya, diantaranya:
Asas kejahatan rangkap (double criminality), yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan
baik oleh negara peminta maupun oleh negara yang diminta dianggap sebagai
kejahatan. (Pasal 4).
6 Ibrahim Hosen, “Fungsi dan Karakteristik Hukum Islam dalam Kehidupan Umat Islam”, dalam Amrullah Ahmad, SF, dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Mengenang 65 tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH cet. Ke-1(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 88
xliii
Asas jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai
kejahatan politik maka permintaan ekstradisi ditolak (Pasal 5).
Asas bahwa negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan warga
negaranya sendiri (Pasal 7).
Asas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan seluruhnya atau sebagian di
wilayah yang termasuk atau dianggap termasuk dalam yurisdiksi negara yang
diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradisi (Pasal 8).
Asas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang berwenang
dari negara yang diminta sedang mengadakan pemeriksaan terhadap orang yang
bersangkutan mengenai kejahatan yang dimintakan penyerahannya (Pasal 9).
Asas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, telah dijatuhi putusan
Pengadilan yang berwenang dari negara yang diminta dan putusan tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka permintaan ekstradisi ditolak (non
bis in idem) (Pasal 10).
Asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau ditahan
untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum yang bersangkutan
diekstradisikan selain daripada untuk kejahatan untuk mana ia diserahkan, kecuali
bila negara yang diminta untuk menyerahkan orang itu menyetujuinya (Pasal
15).7
Asas yang lain yang telah diakui oleh hukum internasional yaitu asas
spesialitas (rule of speciality) atau asas kekhususan. Asas ini menentukan bahwa
7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, Bab II, Azas-Azas Ekstradisi
xliv
seseorang yang diekstradisikan itu tidak boleh diadili dan dipidana melainkan atas
kejahatan-kejahatan yang semata-mata dimintakan ekstradisinya.8
Non bis in idem, yaitu bahwa seseorang tidak boleh diadili untuk kedua
kalinya atas kejahatan yang sama.9 Juga diakui oleh hukum internasional dan asas ini
biasanya dimasukkan dalam undang-undang nasional dan perjanjian-perjanjian
ekstradisi. Sehingga banyak menimbulkan akibat terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Bahwa undang-undang dari segi ide dan maknanya, adalah nyata bahwa masyarakat
tak boleh lari dari undang-undang. Dan hajat manusia di dunia ini
membutuhkan padanya. Maka dengan undang-undang dapat mengatur
masyarakat, mencegah kezaliman-kezaliman dan menjamin hak-hak asasi
manusia, membagi-bagi keadilan dan menuntun bangsa.
Dalam pembuatan perjanjian ekstradisi setelah melihat asasnya baru bisa diterapkan
ke dalam masyaakatnya. Sedangkan dalam Fiqih siyasah sendiri ada
prinsip atau asas-asas yang sesuai dengan hal tersebut di atas.
Diantaranya: Dari konsep Fiqih Siyasah yang sudah dibahas sebelumnya
mengenai perjanjian ekstradisi. Sesuai dengan prinsip atau asas dasar
yang dikemukakan, yang ada hubungannya dengan hubungan
internasional. Yaitu Tauhid, konsep dasar dan ideologi Islam berasal dari
konsep Tauhid. Tauhid adalah visualisasi hidup manusia, dimana ini
menyangkut hubungan langsung antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya,
8 M. Budiarto, Masalah Ekstradisi, hlm. 17
9 Malik Fatoni, “Tinjauan Hukum Islam Atas Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM,” skripsi sarjana IAIN Sunan Kalijaga (2003), hlm. 119.
xlv
dimana hidup seperti test dari keungulan dan nilai. Asas lainnya adalah
Keadilan (Adl), kejujuran dan keadilan diperintahkan dalam semua
persetujuan, walaupun dengan musuh sekalipun. Sejak konsep keadilan
menjadi asas dasar di dalam Islam, Islam memberikan tanggung jawab
dan komitmen untuk kejujuran dan keadilan di dalam semua hubungan
luar.10
Selanjutnya adalah Perdamaian, Saling Bantu dan Kerjasama, dimana ini adalah
syarat minimum untuk Muslim di dalam hubungan internasional. Asas
selanjutnya adalah Jihad (self-exertion), untuk manusia sebagai penjaga
atau wakil Allah SWT di bumi, dengan sukarela menggunakan usaha
sepenuhnya untuk membawa perilaku mereka yang dipandu Al-Qur’an
dan Sunnah untuk umat manusia. Asas yang terakhir adalah
Menghormati dan memenuhi Komitmen, asas ini adalah perluasan dai
asas Tauhid, rasa tanggung jawab manusia dan keutuhan dan persamaan
manusia membutuhkan pendirian kewajiban moral Muslim, baik individu
maupun semuanya untuk memenuhi baik komitmen perorangan, nasioal,
dan internasional.11
Sesuai dengan corak siyasah yang dikenal dengan istilah Siyasah Syari’ah atau
Fiqih Siyasah (dua istilah yang berbeda tapi mengandung pengertian
yang sama) yaitu Siyasah yang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang
berlandaskan etika agama dan moral dengan memperhatikan prinsip-10 Abdul Hamid A. AbuSulayman, Towards an Islamic Theory of International Relations:
New Directions for Methodology and Thought, (Grove St. Herndon: International Insititute of Islamic Thought, 1993), hlm. 128-129
11 Ibid., hlm. 129, 135, dan 137
xlvi
prinsip umum syari’at dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan
bernegara.12
Jadi dalam bermasyarakat dan bdernegara tetap memperhatikan etika, agama, dan
moral, sebab hal itu sangat diperlukan untuk dapat menuntun kemana
arah dalam kehidupan bernegara.
Dalam hubungan itu, Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwa definisi
Siyasaah Syar’iyah (atau Fiqih Siyasah) adalah “pengelolaan masalah umum bagi
negara bernuansa Islam yang menjamin terealisirnya kemaslahatan dan terhindar dari
kemudaratan dengan tidak melanggar ketentuan syari’at dan prinsip-prinsip syari’at
yang umum meskipun tidak sesuai dengan pendapat-pendapat para imam mujtahid.
Yang dimaksud dengan masalah umum bagi negara, menurut Khallaf, adalah setiap
urusan yang memerlukan pengaturan baik mengenai perundang-undangan negara,
kebijakan dalam harta benda dan keuangan, penetapan hukum, peradilan,
kebijaksanaan pelaksanaannya maupun mengenai urusan dalam dan luar negeri.13
Dari pernyataan tersebut di atas menegaskan bahwa wewenang membuat segala
bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan
pengaturan kepentingan negara dan urusan umat guna mewujudkan
kemaslahatan umum terletak pada pemegang kekuasaan bersifat
mengikat.
Ia wajib ditaati oleh masyarakat selama semua produk itu secara substansial tidak
bertentangan dengan jiwa syari’at. Karena ulil amri telah diberi hak oleh
12 Suyuthi Pulungan,Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet. Ke-3 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 24.
13 Ibid., hlm. 25.
xlvii
Allah SWT untuk dipatuhi. Sekalipun semua produk itu bertentangan
dengan pendapat para mujtahid. Karena pendapat mujtahid hanya wajib
diamalkan oleh mujtahid itu sendiri dan masyarakat tidak wajib
mengikutinya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :14
ــر واولى الر�سول واطيّعوا الله اطيّعوا امنوا الذين يايها االمســول اللــه الى فرد�وه شيئ في تنازعتم فان منكم � ان والرتأويال. و�احسن خير ذلك االخر واليوم بالله تؤمنون كنتم
Yang jadi persoalan adalah bagaimanakah pembuat undang-undang (pemerintah)
memperhatikan sebagian dari masyarakat atau warga negaranya untuk
dijadikan bahan pertimbangan. Walaupun dalam hal ini negara
mempunyai kewenangan tertentu dalam hal perundang-undangan.
Dalam suatu masyarakat domestik yang tertata dengan baik, terdapat suatu
sistem perundang-undangan, yang kompleks dengan organ-organ tertentu untuk
membuat, mengatur, dan memaksakan hukum. Negara memiliki kewenangan
memaksa individu-individu menyesuaikan tingkah laku mereka terhadap hukum.
Hukum dibuat atas nama mereka; mereka dapat diajukan ke pengadilan meskipun itu
tidak mereka kehendaki; dan peraturan perundangan, suka atau tidak, dipaksakan
pada mereka.15
14 An-Nisa’ (4) : 5915 Waler S. Jones, Logika Hubungan Iternasional, Kekuasaan, Ekonomi, Politik
Internasional, dan Tatanan Dunia 2, alih bahasa Budiana Kusumadiamidjojo, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 333.
xlviii
Berarti dalam penerapan hukum ada suatu sanksi di dalamnya untuk dapat
diterapkan. Setiap bentuk hukum memiliki berbagai sanksi normative, utilitarian
(sanksi untuk menjamin manfaat bersama) dan koersif (paksaan). Negara tuduk pada
aturan hukum, lebih didasarkan pada maksud-maksud normative dan utilitarian.16
Dalam kaitannya dengan perjanjian ekstradisi, yang merupakan produk hukum dari
pemerintah Indonesia, Fiqih Siyasah sebagai bagian dari Hukum Islam
memiliki daya kemampuan mumpuni melayani kepentingan dunia
Internasional.
Hukum Islam disamping mengatur soal-soal agama, mengatur juga persoalan-
persoalan dunia. Artinya disamping sebagai dasar-dasar peribadatan,
berfungsi pula sebagai dasar-dasar hukum dan akhlak yang mengatur
hubungan antar sesama manusia. Dan memperhatikan prinsip-prinsip
umumnya, sehingga sesuai dengan yang diatur dalam perjanjian itu.
Melihat prinsip-prinsip yang ada dapat diartikan bahwa dapat dilihat antara
perjanjian ekstradisi yang umum dengan Fiqih Siyasah banyak terdapat
kesamaan, akan dianalisa lebih jauh.
Dalam Prinsip-prinsip umum yang ada, pada intinya banyak kesesuaian dengan
prinsip-prinsip umum yang dimiliki oleh Fiqih Siyasah, seperti halnya
pada asas keadilan yang dimiliki pada Fiqih Siyasah ada kesesuaian
dengan asas Non bis in idem, yaitu bahwa seseorang tidak boleh diadili
untuk kedua kalinya atas kejahatan yang sama.
16 Ibid., hlm.333
xlix
Dengan melihat asas-asas yang ada, dapat dikatakan bahwa antara prinsip-prinsip
yang ada antara Fiqih Siyasah dengan prinsip-prinsip umum sebenarnya
sesuai dan mengandung hal yang sama apa yang dimaksudkan dalam
pembuatan perjanjian ekstradisi.
Secara substansial prinsip tersebut mengandung hal yang sama yaitu untuk
melindungi harkat dan martabat manusia dalam melakukan hubungan
internasional apalgi dalam melakukan perjanjian ekstradisi.
Hukum Islam melangkah lebih jauh. Ia menyerukan agar seluruh umat manusia yang
berlainan asal kebangsaan, warna kulit, dan agamanya, menegakkan
persaudaraan kemanusiaan secara menyeluruh, sehingga humanisme
benar benar terwujud dalam alam kehidupan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :77
�هــا اس ياي �ــ ا الن �ــ شــّعوبا وجّعلنكم و�انــثى ذكــر م�ن خلقنكم ان عليم اللــه ان� اتقكم اللــه عنــد اكــرمكم ان� لتّعارفوا و�قبائل
خبير
Persoalan Fiqih Siyasah dalam perjanjian ekstradisi adalah ketika
menyerahkan penjahat dari negara Darus Salam ke negara yang bukan Darus Salam
(Darul Kuffar). Ini adalah salah satu prinsip yang lain yang sebenarnya ada alam
Fiqih Siyasah.
Hukum Islam tidak membenarkan bagi penguasa negara Darus Salam
menyerahkan rakyatnya, baik muslim atau dzimmi untuk diperiksa perkaranya di
77 Al-Hujurat (49) :13
l
Darul Kuffar mengenai tindak kejahatan yang telah dilakukan di negara itu, dan
demikian juga halnya tidak diperbolehkan bagi penguasa darus salam menyerahkan
rakyatnya yang bersembunyi di negara Darus Salam yang lain kepada penguasa
Darul Kuffar untuk diperiksa perkaranya, hanya karena mereka ini dipandang dari
segi kaedah hukum Islam wajib dihukum sebagai rakyatnya sendiri.18
Jadi dalam hal ini Hukum Islam tidak membenarkan adanya penyerahan
warganegaranya yang merupakan pelaku tindak kejahatan untuk
diserahkan ke negara yang bukan Negara Islam atau Negara yang tidak
termasuk dalam Darus Salam atau yang lebih tepat disebut sebagai
negara Darul Kuffar.
Sebenarnya hal ini sudah tidak tepat untuk dialakukan atau diterapkan dalam masa
sekarang, dengan melihat kerangka modern dinamis Islam yang
cenderung telah meninggalkan kerangka tradisional, yang masih
menerapkan Darus Salam dan darul Kuffar. Penulis hanya memasukkan
sebagai salah satu prinsip yang saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan
teori yang diterapkan. Sebab kerangka tradisional yang masih
menerapkan pemisahan itu, akan menimbulkan perpecahan antara negara
yang satu dengan.
Begitu juga masalah yang berkait dengan masalah tentang apakah pelaku tindak
kejahatan tersebut, beragama Islam atau tidak. Dalam perjanjian
ekstradisi yang dibuat dengan negara manapun, hal tersebut tidak diatur.
18 L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 34.
li
Berbeda dengan konsep Fiqih Siyasah yang secara tegas mengatur dan
menyebutkan tentang Muslim atau Dzimmi.
Dan syari’at Islam, tidak membolehkan bagi pemerintah Islam menyerahkan
muslim yang menjadi warga negara bagi negara musuh (yang sedang bermusuhan
dengan negara Islam) apabila si muslim itu berhijrah dari Darul Harbi ke Darul
Islam, walaupun dimintakan oleh negara yang dia bermukim di daerahnya, selama
belum ada persetujuan (perjanjian yang dibuat terlebih dahulu untuk menyerahkan
warga negaranya). Jika telah ada perjanjian, wajiblah perjanjian itu dipenuhi,
terkecuali syarat-syarat yang batal daripadanya. Dan dipandang persetujuan itu batal,
apabila yang dimaksudkan menyerahkan orang-orang Islam yang pergi ke Darul
Islam sebelum adanya perjanjian itu. Dan dipandang pula batal segala syarat yang
mengharuskan kita menyerahkan wanita-wanita Islam (muslim) yang berlindung ke
Darul Islam, baik dia berlindung itu sebelum terjadi persetujuan ataupun
sesudahnya.19
Jadi berkaitan dengan undang-undang tersebut, berarti harus ada perjanjian antara
negara-negara yang termasuk di dalam Darus Salam dengan Darul Kuffar
tetap harus ada perjanjian yang harus diatur dengan sebaik-baiknya.
Dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh pemerinah, tidak diatur tentang adanya
perjanjian antara Negara Islam dengan yang bukan Islam. Ini terbukti
dengan adanya perjanjian antara Negara Republik Indonesia dengan
negara yang bukan Islam atau negara yang Islam. Seperti dengan
19 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hlm. 38.
lii
Malaysia, Filipina, dan dengan Thailand, atau bahkan negara seperti
Amerika Serikat.
Sebagai contoh adalah Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 10
Pebruari 1976, mengadakan perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Philipina, yang
ditandatangani di Jakarta. Kemudian dengan Pemerintah Kerajaan Thailand, pada
tanggal 29 Juni 1976, yang ditandatngani di Bangkok.20
Begitu juga dengan masalah daftar kejahatan yang pelakunya dapat
diekstradisi yang terdapat dalam perjanjian ekstradisi dimana di situ disebutkan
tentang daftar kejahatan yang bisa diekstradisikan, tidak diatur dalam ekstradisi
menurut Fiqih Siyasah, sehngga cukup menyulitkan ketika ingin melihat apa saja
kejahatan menurut Fiqih Siyasah.
Berikut ini adalah daftar kejahatan yang pelakunya dapat diekstardisi yang diatur
oleh perjanjian ekstradisi yang dilakukan dengan Philipina sebagai
contoh :
1. Pembunuhan.
2. Pembunuhan yang direncanakan.
3. Penganiayaan yang berakibat luka-luka berat atau matinya orang, penganiayaan
yang direncanakan dan penganiayaan berat.
4. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan.
5. Persetubuhan dengan seorang wanita di luar perkawinan atau perbuatan-
perbuatan cabul dengan dengan seseorang padahal diketahui, bahwa orang itu
20 M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hlm. 12.
liii
pingsan atau tidak berdaya atau orang itu belum berumur 15 tahun atau belum
mampu kawin.21
Dan seterusnya, untuk lebih lengkapnya bisa dibaca di lampiran.
Itulah sekelumit persoalan-persoalan yang terdapat dalam Fiqih Siayasah,
dalam hubungannya dengan perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh pemerintah
Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam hal ini sebagai contoh adalah
perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Republik Indonesia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan dan menjelaskan dalam bab-bab sebelumnya
mengenai “Perjanjian Ekstradisi Dalam Perspektif Fiqih Siyasah”,
dapat diambil kesimpulan bahwa :
21 Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1976, Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Philipina, Pasal II
liv
1. Prinsip-prinsip umum dalam Perjanjian Ekstradisi pada intinya telah
sesuai secara substanisal dengan apa yang terdapat dalam prinsip-
prinsip umum yang terdapat dalam Fiqih Siyasah yaitu ingin
melindungi harkat dan martabat manusia, prinsip-prinsip yang dari
prinsip-prinsip umum dari Fiqih Siyasah itu diantaranya adalah :
Tauhid, konsep dasar dan ideologi Islam berasal dari konsep Tauhid. Tauhid
adalah visualisasi hidup manusia, dimana ini menyangkut hubungan langsung
antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dimana hidup seperti test dari
keungulan dan nilai.
Keadilan (Adl), kejujuran dan keadilan diperintahkan dalam semua persetujuan,
walaupun dengan musuh sekalipun.
Perdamaian, Saling Bantu dan Kerjasama, dimana ini adalah syarat minimum
untuk Muslim di dalam hubungan internasional
Asas selanjutnya adalah Jihad (self-exertion), untuk manusia sebagai penjaga
atau wakil Allah SWT di bumi, dengan sukarela menggunakan usaha
sepenuhnya untuk membawa perilaku mereka yang dipandu Al-Qur’an dan
Sunnah untuk umat manusia.
Menghormati dan memenuhi Komitmen, asas ini adalah perluasan dai asas
Tauhid, rasa tanggung jawab manusia dan keutuhan dan persamaan manusia
membutuhkan pendirian kewajiban moral Muslim, baik individu maupun
semuanya untuk memenuhi baik komitmen perorangan, nasioal, dan
internasional.
lv
B. Saran-saran
Setelah menguraikan, menjelaskan serta menyimpulkan tentang
skripsi yang berjudul “Perjanjian Ekstradisi dalam Perspektif Fiqih
Siyasah”. Maka dapat diberi saran-saran, antara lain :
1. Dalam melakukan perjanjian ekstradisi hendaknya memperhatikan
dengan negara mana melakukan perjanjian. Apakah dengan negara-
negara Islam atau negara-negara yang bukan Islam.
2. Agar lebih diperjelas tentang pelaku kejahatan itu sendiri dalam
perjanjian ekstradisi tersebut, apakah pelaku kejahatan tersebut
seorang Muslim atau seorang non-Muslim.
3. Dan lebih memperhatikan prinsip-prinsip yang ada baik dari Fiqih
Siyasah maupun dengan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam
Perjanjian Ekstradisi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
lvi
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 1989.
Kumpulan Buku Fiqh/Ushul Fiqh
Amin Widodo, L, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994
Ash-Shiddieqy, T.M. Abu Zahrah, Muhammad, Hubungan-Hubungan Internasional dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
Hasbi, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqih Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1971.
Audah, Abdul Kadir, Al-Islam wa Audha’unul Qanuniyah, diterjemahkan oleh H. Firdaus, A.N, Islam dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
Qardhawi, Yusuf, al, Min Fiqhid-Daulah fil Islam, diterjemakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Khatur Suhaidi, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, cet. Ke-3, Jakarta: Pusaka Al-Kautsar, 1998.
Kumpulan Buku Lain-lain
AbuSulayman, Abdulhamid A. Towards an Islamic Theory of International Relations: New Directions for Methodology and Thought, Grove St. Herndon: International Insititute of Islamic Thought, 1993.
Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara dalam Hukum, Jakarta: Rajawali, 1991.
Ahmad SF, Amrullah, dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, cet. Ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Amiruddin, M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII Press, 2000.
lvii
Azra, Azyumardi, dkk, Indonesia dalam Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 1999.
Budiarto, M, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980.
Echols, John. M dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: P.T. Gramedia, 1992.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 5, Jakarta: P.T. Cipta Adi Pustaka, 1989.
Fatoni, Malik, Tinjauan Hukum Islam Atas Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, skripsi sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Gelar Imam Radjo Mulano, Martias, Pembahasan Hukum, Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda-Indonesia, cet. Ke-1, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Hadi, Sutrisnao, Metodologi Research, Yogyakarta: Penerbit andi, 2000.
Hartanto, Pius A dan M. Dahlan Al-Bary, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, t.t.
Jones, Walter S, Logika Hubungan Internasional, Kekuasaan, Ekonomi, Politik Internasional, dan Tatanan Dunia 2, diterjemahkan oleh Budiana Kusumadiamidjojo, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta, t.t.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
lviii
Kusnardi, Muhammmad dan Bintan R. Saragih, Susunan pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, cet. Ke-7, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Mahfud MD, Muhammmad, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Mansur Ali Ali, Syari’at Islam dan Hukum Internasional Umum, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Siregar, Bismar, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, cet. Ke-2, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 1994.
Siregar, Bismar, Islam dan Hukum, cet. Ke-3, Jakarta: P.T. Grafikatama Jaya, 1992.
Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Paramita, 1972.
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1972.
Pulungan, Suyuthi, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet. Ke-3, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1997.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
Undang-Undang No. 10 Tahun 1976 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Philipina.
LAMPIRAN 1TERJEMAH AYAT
No Bab Halaman Footnote Terjemahan
lix
1 III (39),(44) (8),(15) Hai orang-orang yang beriman, apabila
datang berhijrah kepadamu perempuan-
perempuan yang beriman, maka hendaklah
kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tenang keimanan mereka; maka
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-
suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal pula bagi orang-orang kafir itu
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami-suami) mereka mahar yang elah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar; dan
hendaklah mereka meminta mahar yang
telah mereka bayar. Demikianlah hokum
Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
2 IV (55) (9) Hai orang-orang ang beriman, ta’atilah
Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
lx
3 IV (57) (12) benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbansa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
lxi
LAMPIRAN II
BIOGRAFI ULAMA DAN TOKOH
T. M. Hasbi Ash Shiddieqy
Lahir di Lhokseumawe, Aceh utara 10 Maret 1904 di tengah keluarga ulama pejabat. Dalam tubuhnya mengalir darah campuran Arab. Dari silsilahnya diketahui bahwa ia adalah keturunan ketiga puluh tujuh dari Abu Bakar Ash-Shiddieq. Anak dari pasangan Teungku Amrah dan Al-Hajj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad mas’ud. Ketika berusia 8 tahun, Hasbi mendayang (nyantri) dari dayah (pesantren) satu ke dayah lain yang berada di bekas pusat kerajaan Pasai tempo dulu.
Semasa hidupnya, Muhammad Hasbi telah menulis 72 judul buku dan 50 artikel di bidang tafsir, hadits, fiqih dan pedoman ibadah umum. Dalam karir akademiknya, menjelang wafat, memperoleh gelar Doctor Honoris Causa karena jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di Indonesia. Satu diperoleh dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tanggal 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada tanggal 29 Oktober 1975.
Pada tanggal 9 Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke Rahmatullah dan dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Naskah terakhir yang beliau selesaikan adalah Pedoman Haji.
L. Amin Widodo
Lahir di Ambarwinangun, ambal, Kutowinangun, Kebumen Jawa Tengah 8 November 1937. Lulus SRN di Amabarwinangun pada tahun 1950, lulus PGAPN Magelang pada tahun 1955, lulus PHIN Yogyakarta pada tahun 1958, dan lulus IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1966. Beliau pernah menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau pernah menjadi dosen luar biasa di Fakultas Syari’ah UII dan di Universitas Cokroaminoto, pada tahun 1967-sekarang. Fakultas Syari’ah Unissula di Semarang, pada tahun 1970-1972. Dosen Luar Biasa Pendidikan Agama Islam IKIP Karang Malang, pada tahun 1986-sekarang.
Karya tulis yang dibuat banyak yang mengenai Hukum Islam, diantaranya Karakteristik dan Azas-azas Pokok Hukum Islam (1975), Pengantar Fiqih Ibadah (1977), Kepribadian dan Ciri-ciri Khas Syari’at Islam (1976), Azas-azas Hukum Perdata Islam (diktat) (1984), Siasah Syar’iyah dalam Masalah Pemilihan Kepala Negara (1985), dan masih banyak karya beliau lannya.
lxii
Abdul Qadir Audah
Beliau adalah seorang ulama terkenal alumnus Fakultas Hukum Unversitas Al-Azhar, Kairo pada tahun 1930 dan sebagai mahasiswa terbaik. Beliau adalah tokoh ulama dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan sebagai hakim yang disegani rakyat. Beliau turut mengambil bagian dalam memutuskan revolusi Mesir yang berhasil gemilang pada tahun 1952 yang dipelopori oleh Jendral M. Najib dan Letnan Kolonel Gamal Abdul Nasir.
Beliau mengakhiri di tiang gantungan sebagai akibat fitnahan dari lawan politiknya pada tanggal 8 Desember 1954, bersama lima orang lainnya. Diantara hasil karyanya adalah: kitab at-Tasyri’ al-Jinai al-Islami dan al-Islam wa Auda al-Islami.
lxiii
LAMPIRAN III
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Nomor 10 Tahun 1976
Tentang
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI
Antara
REPUBLIK INDONESIA dan REPUBLIK PHILIPINA
SERTA PROTOKOL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Bahwa untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif dalam memberantas
kejahatan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara Indonesia dan
Philipina dalam masalah ekstradisi, maka perlu diadakan perjanjian mengenai
ekstradisi;
Bahwa pada tanggal 10 Pebruari 1976 di Jakarta telah ditandatangani perjanjian
ekstradisi anatara Republik Indonesia dan Repunlik Philipina dengan disertai
Protokol;
Bahwa Perjanjian serta Protokol tersebut perlu disahkan dengan undang-undang.
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor.
V/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;
lxiv
Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
M E M U T U S K A N :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI
ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA SERTA
PROTOKOL.
Pasal 1
Mengsahkan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Philipina
serta Protokol tertanggal 10 Pebruari 1976, yang salinan naskahnya
dilampirkan pada undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerinahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 1976.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 juli 1976
MENTERI / SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
lxv
Ttd
SUDHARMONO, SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1976
NOMOR 38
P e n j e l a s a n
A t a s
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Nomor 10 tahun 1976
Tentang
lxvi
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI
Antara
REPUBLIK INDONESIA dan REPUBLIK PHILIPINA
SERTA PROTOKOL
UMUM
Untuk mengembangkan kerjasama yang efektif dalam penegakan hokum dan
pelaksanaan peradilan dalam rangka pemberantasan kejahatan terutama
dalam masalah ekstradisi, perlu diadakan kerjasama dengan negara
tetangga, agar orang yang dicari atau yang telah dipidana dan melarikan
diri ke luar negeri tidak dapat meloloskan diri dari hukuman yang
seharusnya diterima.
Kerjasama yang efektif itu hanya dapat dilakukan dengan mengadakan
perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan.
Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan
(administration of justice) yang baik. Hal ini perlu terutama dalam masa
pembangunan nasional dewasa ini, karena kejahatan itu ada hubungannya dengan
ekonomi dan keuangan, maka akibat dari kejahatan tersebut besar pengaruhnya
terhadap pembangunan nasional tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemerintah Indonesia telah
mengadakan Perjanjian Ekstradisi dengan Pemerintah Malaysia, yang merupakan
perjanjian yang pertama bagi Indonesia.
Di samping itu juga telah mengadakan pembicaraan/perundingan dengan
beberapa negara, khususnya negara-negara ASEAN mengenai kemungkinan untuk
lxvii
mengadakan perjanjian ekstradisi. Selain dengan Negara-negara ASEAN juga akan
diadakan Perjanjian Ekstradisi dengan Negara-negara lain.
Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini
merupakan perjanjian ekstrasdisi yang kedua. Dalam Perjanjian Ekstradisi dengan
Philipina ini sudah dimasukkan asas-asas umum yang telah diakui dan biasa
dilakukan dalam hukum Internasional mengenai ekstradisi seperti :
1. Asas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana baik menurut sisten hukum Indonesia maupun system hukum Philipina (Double Criminality);
2. Kejahatan politik tidak diserahkan;
3. Hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri, dan lain-lainnya. Di samping itu di dalam daftar tindak pidana yang dapat diekstradisikan
ditetapkan pula, bahwa kejahatan penerbangan merupakan tindak pidana yang dapat
diekstradisikan.
Prosedur penangkapan, penahanan, dan penyerahan akan tuduk semata-mata pada
hukum nasioonal masing-masing negara.
Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini disertai dengan Protokol yang mana
ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah pemilik tunggal dari pulau
yang dikenal Las Palmas (P. Miangas) sebagai hasil dari putusan
perwasitantertanggal 4 April 1928 yang menyelesaikan sengketa antara
Amerika Serkat dan Negeri Belanda.
Penegasan ini perlu untuk menghindari penafsiran yang berlainan atau bagian dari
Perjanjian Ekstradisi ini yang mengenai wilayah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
lxviii
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3087.
PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA
REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA
REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:
Berhasrat untuk menaakan kerjasama yang lebih efektif antara
kedua negara dalam memberantas kejahatan dan, terutama, mengatur dan
meningkatkan hubungan antara mereka dalam masalah ekstradisi,
lxix
Telah mencapai persetujuan sebagai berikut :
Pasal I
KEWAJIBAN UNTUK MELAKUKAN EKSTRADISI
Masing-masing Pihak yang mengadakan Perjanjian bersepakat
untuk saling menyerahkan, dalam hal-hal dan sesuai dengan syarat-
syarat yang tercantum dalam perjanjian ini, orang-orang yang
diketemukan dalam wilayahnya yang didakwa, dituntut atau dinyatakan
bersalah atau dihukum karena melakukan salah satu kejahatan yang
dimaksudkan dalam Pasal II Perjanjian yang dilakukan dalam wilayah
Pihak lainnya atau di luar wilayah tersebut menurut syarat-syarat yang
ditentukan dalam Pasal IV.
Pasal II
KEJAHATAN YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN
A. Orang–orang yang diserahkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Perjanjian ini adalah mereka yang didakwa, dituntut atau dihukum
karena melakukan salah satu kejahatan yang tersebut di bawah ini,
dengan ketentuan bahwa kejahatan itu mneurut hukum kedua Pihak
yang mengadakan perjanjian dapat dihukum dengan hukuman mati
atau perampasan kemerdekaan dengan jangka waktu di atas satu
tahun :
lxx
1. Pembunuhan berencana, pembunuhan bapak atau ibu sendiri,
pembunuhan anak, dan pembunuhan;
2. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan, persetubuhan yang
tidak sah dengan atau terhadap wanita di bawah umur yang
ditentukan oleh hukum pidana dari masing-masing Pihak yang
mengadakan Perjanjian.
3. Penculikan, Penculikan anak.
4. Penganiayaan berat yang mengakibatkan cacat badan,
penganiayaan, pembunuhan berencana yang gagal atau
pembunuhan yang gagal.
5. Penahanan secara melawan hokum atau sewenang-wenang.
6. Perbudakan, perhambaan.
7. Perampokan, pencurian.
8. Penggelapan, penipuan.
9. Pemerasan, ancaman, paksaan.
10. Penyuapan, korupsi.
11. Pemalsuan dokumen; sumpah palsu.
12. Pemalsuan barang; pemalsuan uang.
13. Penyelundupan.
14. menimbulkan kebakaran; pengruskan barang.
lxxi
15. Pembajakan udara; pembajakan laut; pemberontakan di kapal.
16. Kejahatan yang bersangkutan dengan narkotika, obat-obat
berbahaya atau terlarang atau bahan-bahan kimia terlarang.
17. Kejahatan yang bersangkutan dengan senjata api, bahan-bahan
peledak atau bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran.
B. Penyerahan juga akan dilakukan untuk peyertaan dalam salah satu
kejahatan yang disebutkan dalam Pasal ini, tidak saja sebagai pelaku
utama atau peserta, melainkan juga sebagai pembantu, demikian juga
hanya dengan percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan
salah satu kejahatan tersebut di atas, bila penyertaan, percobaan atau
permufakatan jahat itu dapat dihukum menurut hokum kedua Pihak
yang mengadakan Perjanjian dengan hukuman perampasan
kemerdekaan da atas satu tahun.
C. Peyerahan dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan Pihak yang
dimintai terhadap sesuatu kejahatan lainnya, yang dapat diserahkan
sesuai dengan hokum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian.
D. Jika penyerahan diminta untuk suatu kejahatan yang tercantum dalam
ayat A, B, atau C Pasal ini dan kejahatan itu dapat dihukum menurut
hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian dengan hukuman
perampasan kemerdekaan di atas satu tahun, kejahatan tersebut dapat
lxxii
diserahkan menurut ketentuan-ketentuan Perjanjian ini tidak perduli
apakah hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian
menempatkan kejahatan itu dalam penggolongan kejahatan yang
sama atau menamakannya dengan istilah yang sama, asal saja unsur-
unsurnya sesuai dengan salah satu kejahatan-kejahatan atau lebih
yang disebutkan dalam Pasal ini menurut hukum kedua Pihak yang
megadakan Perjanjian ini.
Pasal III
TEMPAT DILAKUKANNYA KEJAHATAN
Pihak yang diminta dapat menolak penyerahan orang yang diminta
untuk kejahatan yang menurut hukum Pihak yang diminta, dilakukan
seluruhnya atau sebagian dalam wilayahnya atau di tempat yang
diperlakukan sebagai wilayahnya.
Pasal IV
WILAYAH
Dalam perjanjian ini, yang dimaksud wilayah dari Pihak yang
mengadakan perjanjian, ialah semua wilayah di bawah yurisdiksi Pihak
yang mengadakan perjanjian itu, meliputi ruang angkasa, wilayah air dan
landas kontinen, kendaraan-kendaraan air dan pesawat udara yang
terdaftar di negara Pihak yang mengadakan Perjanjian, bila pesawat
lxxiii
udara itu sedang dalam penerbangan atau bila kendaraan air itu berada di
laut bebas waktu kejahatan dilakukan. Menurut Perjanjian ini, sebuah
pesawat udara akan dianggap ada dalam penerbangan pada saat ketika
semua pintunya ditutup untuk disembarkasi sampai saat ketika pintu itu
dibuka untuk disembarkasi.
Bila kejahatan yang dimintakan penyerahannya itu dilakukan di luar
wilayah Negara peminta, Pejabat Pelaksana dari Negara yang diminta
berwenang untuk melakukan penyerahan jika menurut hukum dari
Negara yang diminta, kejahatan yang dilakukan itu dalam keadaan yang
sama juga diancam dengan hukuman.
Penentuan wilayah Pihak yang diminta diatur menurut ketentuan-
ketentuan hukum nasionalnya.
Pasal V
KEJAHATAN POLITIK
A. Penyerahan tidak akan dilakukan jika kejahatan yang dimintakan
penyerahan itu dianggap oleh Pihak yang diminta sebagai kejahatan
politik.
B. Jika timbul persoalan apakah suatu perkara merupakan suatu
kejahatan politik, maka keputusan para pejabat dari negara yang
diminta akan menentukan.
lxxiv
C. Mehilangkan atau percobaan menghilangkan nyawa Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan dari masing-masing Pihak yang
mengadakan percobaan atau anggota keluarganya tidak akan
dianggap sebagai kejahatan politik sebagaimana dimaksud oleh
perjanjian ini.
Pasal VI
PENYERAHAN WARGA NEGARA
A. Masing-masing Pihak mempunyai hak untuk menolak penyerahan
warga negaranya.
B. Pihak yang diminta tidak menyerahkan warganegaranya, Pihak itu
jika permintaan Pihak peminta wajib menyerahkan perkara
bersangkutan kepada pejabat yang berwenang dari Pihak yang
diminta untuk penuntutan. Untuk maksud ini berkas-berkas perkara,
keterangan-keterangan dan bukti-bukti mengenai kejahatan itu wajib
diserahkan oleh Pihak peminta kepada Pihak yang diminta.
C. Dengan tidak mengurangu ketentuan dalam ayat B pasal ini, Pihak
yang diminta tidak akan diwajibkan untuk mnyerahkan perkara itu
kepada pejabat yang berwenang itu tidak mempunyai yurisdiksi.
Pasal VII
PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN UNTUK MENYERAHKAN
lxxv
Penyerahan tidak akan dilakukan dalam salah satu dari hal-hal
sebagai berikut :
1. Bila orang yang dimintakan penyerahannya telah diadili dan
dibebaskan atau telah menjalani hukumannya di negara ketiga untuk
kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
2. Bila penuntutan atau pelaksanaan hukuman untuk kejahatan tekah
gugur karena kadaluwarsa menurut salah satu dari Pihak yang
mengadakan Perjanjian.
3. Bila kejahatan merupakan suatu pelanggarang terhadap hukum atau
peraturan-peraturan militer yang bukan kejahatan menurut hukum
pidana umum.
Pasal VIII
LARANGAN PENGULANGAN PENUNTUTAN ATAU PERADILAN
Penyerahan juga tidak akan dilakukan dalam salah satu hal berkut
ini :
A. Bila putusan terakhir pengadilan sudah pejabat yang berwenang dari
Pihak yang diminta terhadap orang yang dijatuhkan oleh diminta
bertalian dengan kejahatan atau kejahatan-kejahatan yang dimintakan
penyerahannya.
lxxvi
B. Bila orang yang dimintakan penyerahannya sedang atau telah dituntut
atau telah diadili dan dibebaskan atau dihukum oleh Negara yang
diminta untuk kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
Pasal IX
ASAS KEKHUSUSAN
Seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dihukum atau
ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum penyerahannya,
selain dari pada kejahatan untuk mana ia diserahkan, kecuali dalam hal-
hal sebagai berikut :
1. Bila Pihak yang diminta menyerahkan orang itu menyetujuinya.
Permohonan persetujuan disampaikan kepada Pihak yang diminta,
disertai dengan dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII.
Persetujuan akan diberikan jika kejahatan itu termasuk kejahatan yang
dapat dimintakan penyerahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam Pasal II Perjanjian ini; dan
2. Bila orang itu setelah mempunyai kesempatan untuk meninggalkan
wilayah Pihak kepada Siapa ia diserahkan, tidak menggunakan
kesempatan itu dalam waktu 45 hari setelah pembebasannya, atau
kembali lagi ke wilayah itu sesudah ia meninggalkannya.
Pasal X
lxxvii
HUKUMAN MATI
Jika kejahatan yang dimintakan penyerahannya dapat dihukum
dengan hukuman mati menurut hokum Pihak peminta, tetapi jika untuk
kejahatan yang tidak ditentukan hukuman mati oleh Pihak yang diminta
atau jika hukuman mati biasanya tidak dilaksanakan, maka penyerahan
dapat ditolak, kecuali apabila Pihak peminta dapat memberikan jaminan
yang oleh Pihak yang diminta dipandang cukup bahwa hukuman mati
tidak akan dilaksanakan.
Pasal XI
PENAHANAN SEMENTARA
(1). Dalam keadaan mendesak pejabat yang berwenang dari Pihak
peminta dapat meminta penahanan sementara terhadap seseorang
yang dicari. Pejabat-pejabat yang berwenang dari Pihak yang
diminta akan mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan hukumnya.
(2). Dalam permintaan untuk penahanan sementara diterngkan bahwa
dokumen-dokumen yang disebut dala Pasal XVII tersedia dan bahwa
ada maksud untuk menyampaikan permintaan penyerahan.
Diterangkan juga untuk kejahatan apa penyerahan itu akan diminta,
lxxviii
bila dan dimana kejahatan itu dilakukan dan sedapat mungkin wajib
memuat uraian tentang orang yang dicari.
(3). Permintaan untuk penahanan sementara disampaikan kepada
National Central Bureau (NCB) Indonesia/Interpol dan di Philipina
kepada National Bureau of Investigation, atau melalui saluran
diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram atau melelui
International Crimnal Police Organization (INTERPOL).
(4). Pejabat Pihak peminta akan diberitahukan dengan segera keputusan
atas permintaannya.
(5). Penahanan sementara dapat diakhiri, jika dalam waktu 20 ahri
setelah penahanan Pihak yang diminta tidak menerima permintaan
penyerahan dan dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII.
(6). Pembebasan seseorang dari penahanan sementara tidak
menghalangi penahanan kembali dan penyerahan jika permintaan
untuk penyerahan diterima sesudah itu.
Pasal XII
PENYERAHAN ORANG YANG AKAN DISERAHKAN
(1). Pihak yang akan diminta akan memberitahukan keputusannya
tentang permintaan kepda Pihak peminta melalui saluran diplomatik.
lxxix
(2). Untuk setiap permintaan yang ditolak wajib diberikan alasan-
alasannya.
(3). Jika permintaan disetujui, Pihak peminta wajib diberi tahu tentang
tempat dan tanggal penyerahan dan lamanya orang yang
bersangkutan ditahan untuk maksud penyerahan.
(4). Jika orang yang diminta penyerahannya tidak diambil pada tanggal
yang ditentukan, maka dengan tidak mengurangi ketentuan-
ketentuan dalam ayat (5) pasal ini ia dapat dilepaskan sesudah
lampau 15 hari dan bagaimanapun juga wajib dilepaskan sesudah
lampau 30 hari dan Pihak yang diminta dapat menolak
penyerahannya untuk kejahatan yang sama.
(5). Jika keadaan di luar kekuasaannya tidak memungkinkan suatu
Pihak untuk menyerahkan atau mengambil orang yang
bersangkutan, maka Pihak itu wajib memberitahukan Pihak yang
lainnya. Kedua Pihak akan menetapkan bersama tanggal lain untuk
penyerahan. Dalam hal demikian akan berlaku ketentuan-ketentuan
dari ayat (4) Pasal ini.
Pasal XIII
PENYERAHAN YANG DITUNDA
lxxx
Pihak yang diminta, sesudah mengambil keputusan tentang
permintaan penyerahan, dapat menunda penyerahan orang yang diminta,
supaya orang itu dapat diperiksanya, atau jika ia sudah dijatuhi hukuman,
supaya orang itu dapat menjalani hukumannya dalam wilayah Pihak itu
untuk kejahatan daripada kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
Pasal XIV
PENYERAHAN BARANG
(1). Pihak yang diminta, sepanjang hukumnya memperbolehkan dan
adanya permintaan dari Pihak peminta wajib menyita dan
menyerahkan barang :
(a). yang mungkin diperlukan sebagai bahan pembuktian, atau
(b). yang diperoleh sebagai hasil dari kejahatan itu dan yang
terdapat pada orang yang dituntut pada waktu penahanan
dilakukan atau yang diketemukan sesudah itu.
(2). Barang yang disebut dalam ayat (1) pasal ini wajib diserahkan,
sekalipun ekstradisi yang telah disetujui tidak dapat dilakukan
karena kematian orang yang diminta penyerahannya atau karena ia
melarikan diri.
(3). Apabila barang tersebut dapat disita atau dirampas dalam wilayah
dari Pihak yang diminta, maka dalam hubungan dengan proses
lxxxi
pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, Pihak ini dapat
menahannya untuk sementara atau menyerahkannya dengan syarat
bahwa barang itu akan dikembalikan.
(4). Setiaphak yang mungkin diperoleh Pihak yang diminta atau
Negara lain atas barang tersebut wajib dijamin. Dalam hal
demikian, barang tersebut wajib dikembalikan tanpa biaya kepada
Pihak yang diminta secepat mungkin sesudah pemeriksaan
pengadilan selesai.
Pasal XV
TATA CARA
Tata cara mengenai penyerahan dan penahanan sementara dari
orang yang diminta penyerahannya, akan tunduk semata-mata pada
hokum Pihak yang diminta.
Pasal XVI
BIAYA-BIAYA
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam wilayah Pihak yang diminta
berkenaan dengan penyerahan akan ditanggung oleh Pihak itu.
Pasal XVII
SURAT PERMINTAAN DAN DOKUMEN-DOKUMEN
YANG DIPERLUKAN
lxxxii
(1) Permintaan penyerahanwajib dinyatakan secara tertulis dan dikirim
di Indonesia kepada Menteri Kehakiman dan di Philipina kepada
Secretary of Justice, melalui saluran diplomatik.
(2). Permintaan penyerahan wajib disertai :
(a). Lembaran asli atau salinan yag disahkan dari penghukuman
dan pidana yang dapat segera dilaksanakan atau surat perintah
penahanan atau surat perintah lainnya yang mempunyai akibat
yang sama dan dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang
ditetapkan dalam hokum Pihak peminta.
(b). Keterangan dari kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
Waktu dan tempat kejahatan dilakukan, uraian yuridis dan
penunjukan pada ketentuan-ketentuan hokum yang
bersangkutan diuraikan secermat mungkin.
(c). Salinan dari peraturan-peraturan yang besangkutan atau jika ini
tidak mungkin suatu keterangan tentang hokum yang
bersangkutan dan uraian secermat mungkin dari orang-orang
yang diminta penyerahannya bersama-sama dengan keterangan
lain apapun juga yang dapat membantu menentukan identitas
dan kebangsaannya.
lxxxiii
(3). Dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penyerahan akan
dibuat dalam bahasa Inggris.
Pasal XVIII
PERMINTAAN LEBIH DARI SATU
Pihak yang mengadakan perjanjian yang menerima dua permintaan
atau lebih untuk penyerahan orang yang sama baik untuk kejahatan yang
sama maupun untuk kejahatan-kejahatan yang berbeda, akan
menentukan kepada Negara-negara peminta mana Pihak tersebut akan
menyerahkan orang yang dicari, dengan mempertimbangkan keadaan
dan terutama kemungkinan penyerahan kemudian di antara Negara-
negara peminta, sifat beratnya setiap kejahatan, tempat dilakukannya
kejahatan, kewarganegaraan orang yang dicari, tanggal diterimanya
permintaan, dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi antara
Pihak itu dengan Negara atau Negara-negara peminta leinnya.
Pasal XIX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Setiap perselisihan yang timbul antara kedua Pihak karena
penafsiran dan pelaksanaan dari Perjanjian ini akan diselesaikan secara
damai dengan musyawarah atau perundingan.
Pasal XX
lxxxiv
KETENTUAN PERALIHAN
Suatu kejahatan yang telah dimulai sebelum tanggal perjanjian ini
mulai berlaku akan tetapi diselesaikan setelah tanggal perjanjian ini
mulai berlaku akan diserahkan sesuai dengan perjanjian ini.
Pasal XXI
MULAI BERLAKUNYA PERJANJIAN
Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal penukaran Piagam
Ratifikasi.
Pasal XXII
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Perjanjian ini dapat diakhiri setiap waktu oleh salah satu Pihak
dengan memberitahukan maksud untuk melakukan itu 6 (enam) bulan
sebelumnya. Pengakhiran Perjanjian yang demikian itu tidak akan
menghalangi suatu proses penyerahan yang telah dimulai sebelum
pemberitahuan demikian dilakukan.
UNTUK MENYAKSIKANNYA, yang bertanda tangan di bawah
ini yang dikuasakn secara sah oleh masing-masing Pemerintahnya telah
menandatangani Perjanjian ini.
Dibuat dalam rangkap dua di Jakarta pada tangal sepuluh bulan
Pebruari tahun 1976 dalam bahasa Indonesia, Philipina dan bahasa
Inggris, semua naskah adalah sama-sama sahnya.
lxxxv
Dalam hal terjadi perbedaan tafsiran, maka naskah bahasa Inggris
akan menentukan.
Untuk Pemerintah Untuk Pemerintah
REPUBLIK INDONESIA REPUBLIK
PHILIPINA
lxxxvi
P R O T O K O L
REPUBLIK INDONESIA dan REPUBLIK PHILIPINA bermaksud
untuk menghindarkan penafsiran yang berlainan dari bagian Perjanjian
Ekstradisi ini, yang mengenai wilayah yang disetujui di Protokol ini :
Republik Indonesia adalah pemilik tunggal dari pulau yang dikenal
sebagai Las Palmas (P. Miangas) sebagai hasil dari putusan perwasitan
tertanggal 4 April 1928 yang menyelesaikan sengketa antara Amerika
Serikat dan Negeri Belanda.
UNTUK MENYAKSIKANNYA, yang bertanda tangan di bawah
ini yang dikuasakan secara sah oleh masing-masing Pemerintahnya, telah
menanda tangani Protokol ini.
Dibuat dalam rangkap dua di Jakarta pada tanggal sepuluh Pebruari
tahun 1976.
Untuk Pemerintah Untuk Pemerintah
REPUBLIK INDONESIA REPUBLIK
PHILIPINA
lxxxvii
LAMPIRAN IV
CURRICULUM VITAE
1. Nama : BENNY HASAN
2. Tempat Tanggal Lahir : Pemalang, 4 April 1980
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Alamat Asal : Jl. Serayu 59 Kebondalem Pemalang 52312.
6. Alamat di Yogyakarta : Jl. Petung 20 Papringan Yogyakarta 55281.
7. Nama Ayah : H. Imron Romly, BA (Alm).
8. Pekerjaan : Pensiunan Karyawan Kandepag Pemalang.
9. Nama Ibu : Hj. Hikmah Rosmalena
10. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Riwayat Pendidikan :
1. TK. Muslimat I, masuk tahun 1984, lulus tahun 1986.
2. SDN Kebondalem 5, masuk tahun 1986, lulus tahun 1992.
3. SMPN 2 Pemalang, masuk tahun 1992, lulus tahun 1995.
4. SMUN 1 Pemalang, masuk tahun 1995, lulus tahun 1998.
lxxxviii
5. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, masuk tahun 1999.
lxxxix