92633793-angiofibroma
DESCRIPTION
okokoTRANSCRIPT
Margaretha11-2008-033FK.UKRIDA
ANGIOFIBROMA
SINONIM
juvenile angiofibroma, juvenile
nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal
cavity tumor, nasal tumor, benign nasal
tumor, tumor hidung (nose tumor),
nasopharyngeal tumor, angiofibroma
nasofaring belia.
DEFINISI
tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologis jinak namun secara
klinis bersifat ganas karena berkemampuan
merusak tulang dan meluas ke jaringan di
sekitarnya, misalnya: ke sinus paranasal,
pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial
vault), sangat mudah berdarah dan sulit
dihentikan.
EPIDEMIOLOGI
Insiden angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring, tetapi jumlahnya >0,05% dari tumor kepala dan leher
Pada laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976).
bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948).
jarang pada pasien lebih dari 25 tahun.
ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan.
Teori jaringan asal, bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor hormonal dikemukakan sebagai penyebabnya.
Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini.
PATOGENESIS
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di
tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap
nasofaring→tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi
posterior septum dan meluas ke arah bawah
membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung
posterior.
Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga
hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dan memipihkan konka.
Pada perluasan ke lateral, tumor melebar ke
arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura
pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior sinus maksila. Bila meluas terus,
akan masuk ke fossa intratemporal yang
akan menimbulkan tonjolan di pipi, dan rasa
penuh di wajah.
Apabila tumor telah mendorong salah satu
atau kedua bola mata maka tampak gejala
yang khas pada wajah seperti muka kodok
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa
intratemporal dan pterigomaksila masuk ke fossa
serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fossa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus
kavernosus dan fosa hipofise
Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai
keras, berlobulas. Warnanya bervariasi dari merah
muda sampai putih. Bagian yang terlihat di
nasofaring dan dibungkus oleh membran mukous
tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian
yang keluar ke daerah yang berdekatan
ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu
GAMBARAN KLINIK
GejalaObstruksi nasalEpistaksis, biasanya unilateral dan rekuren
(berulang)Sakit kepala, terutama jika sinus-sinus
paranasalis tersumbatMuka bengkakTuli konduktif akibat obstruksi tuba eustachiusDiplopia (penglihatan gandaGejala lain: anosmia, rekuren otitis media, nyeri
mata , otalgia, pembengkakan palatum, deformitas pipi, rhinolalia
Tanda
Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat
jelas di faring nasal posterior, nonkapsul dan
seringkali berlobus; dapat tidak bertangkai atau
bertangkai.
Mata menonjol (proptosis, palatum yang
membengkak, terdapat massa mukosa pipi
intraoral, massa di pipi.
Tanda lainnya termasuk otitis serosa karena
terhalangnya tuba eustachius, pembengkakan
zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang
merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke
fossa intratemporal.
Gambar 1. Angiofibroma
DIAGNOSIS
Diagnosis angiofibroma ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan ditunjang
dengan pemeriksaan penunjang lainnya.
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Laboratorium : (3)
- Hb, karena sering ditemukan keadaan anemia yang kronis.
Pemeriksaan Penunjang :1. Biopsi
Tidak dilakukan karena merupakan kontraindikasi sebab dapat mengakibatkan perdarahan yang masif.
2. Histologisterdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus,
3. Pemeriksaan radiologis konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan posisi Waters) terlihat tanda “Holman Miller”→pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigo-palatina melebar.
4. CT-Scan Dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya. Juga terlihat perluasan sinus sfenoid atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal
Gambar 2. Potongan koronal, lesi mengisi rongga nasal kiri dan sinus etmoid, menghambat sinus maksila dan deviasi septum
nasal ke sisi kanan.
Gambar 3. Potongan koronal, menunjukkan perluasan lesi ke sinus kavernosus
5. Angiografi
gambaran vaskuler yang banyak, terlihat
lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh
cabang dari arteri maxillaris interna.
Terutama dilakukan pada kasus dengan
kecurigaan adanya penyebaran intrakranial
atau pada pasien dimana pada
penanganan sebelumnya gagal
KLASIFIKASIKlasifikasi menurut SESSION sebagai berikut :- Stadium IA : tumor terbatas di nares posterior &
atau nasofaringeal - Stadium IB : tumor meliputi nares posterior & atau
nasofaringeal dengan meluas sedikitnya 1 sinus paranasal.
- Stadium IIA : tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila
- Stadium IIB :tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang orbita.
- Stadium IIIA :tumor telah mengerosi dasar tengkorak & meluas sedikit ke intrakranial.
- Stadium IIIB : tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas ke sinus kavernosus
Klasifikasi menurut FISCH sebagai berikut :
Stadium I : tumor terbatas di rongga hidung,
nasofaring tanpa mendestruksi
tulang
Stadium II : tumor menginvasi fossa pterigomaksila,
sinus paranasal dengan destruksi
tulang
Stadium III : tumor menginvasi fossa infratemporal,
orbita dengan atau regio paraselar
Stadium IV : tumor menginvasi sinus kavernosus,
regio khiasma optik dan fossa
pituitary
DIAGNOSIS BANDING
Granuloma piogenik (pyogenic granuloma). Polip koanal (choanal polyp). Polip angiomatosa (angiomatous polyp). Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst). Kordoma (chordoma). Keganasan : karsinoma nasofaringeal,
limfoma, rhabdomyosarcomaPolip nasalPolip antrokoanal (antrochoanal polyp)
PENATALAKSANAAN
Terapi Medis - Terapi hormonal
1. Flutamide hormonal, suatu nonsteroid
androgen blocker atau testosterone receptor
blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor
pada stadium I dan II
2. Diethylstilbestrol (5 mg peroral untuk 6
minggu) sebelum eksisi dapat mengurangi
vaskularisasi JNA
3. Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA
berulang atau kambuh.
- Embolisasi → dilakukan dengan memasukkan suatu
zat dalam pembuluh darah untuk membendung
aliran darah
- Radioterapi :
Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma)
Radioterapi three-dimensional conformal→ JNA yang
luas (extensive) atau penyebaran hingga
intrakranial
External beam irradiation, paling sering digunakan
untuk penyakit intrakranial yang tidak dapat
dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent).
Terapi Pembedahan- Teknik rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan untuk tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
- Pendekatan fossa infratemporal digunakan
ketika tumor telah meluas ke lateral. - Pendekatan midfacial degloving, dengan
atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki akses posterior terhadap tumor.
Preoperative Lateral Rhinotomy Postoperative
Gambar 4. Teknik rinotomi lateral
- Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan
dengan insisi Weber-Ferguson & perluasan
koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan
midface osteotomies untuk jalan masuk.
- Pendekatan extended anterior subcranial
memudahkan pemotongan tumor sekaligus
(enbloc), dekompresi saraf mata, & pembukaan
sinus kavernosus.
- Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan
untuk tumor yang terbatas pada rongga hidung
dan sinus paranasal.
KOMPLIKASI
perluasan intrakranial (penyakit stadium IV) perdarahan yang tak terkontrol dan kematianiatrogenic injury terhadap struktur vital dan
transfusiperioperatif.perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi keganasan (malignant
transformation).Kebutaan sementara (transient blindness) hasil
embolisasiOsteoradionecrosis & atau kebutaan karena
kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi.
Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.
PROGNOSIS
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan
berulangnya JNA adalah: keberadaan tumor di fossa
pterigoideus & basisphenoid, erosi clivus, perluasan
intrakranial, suplai darah arteri karotid interna, usia
muda, & ada tidaknya sisa tumor.
Embolisasi preoperatif me↓ angka morbiditas &
kekambuhan
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma
dapat terus menyebar.