91870617 asas asas hukum pidana

485
1 DAFTAR ISI Kata Penga ntar …………………………………………………………………. ………… V Penda hulua n …………………………………………………………………. ………… 1 BAB I RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA…… ………… 4 BAB II TINDAK PIDANA ………. .14 BAB III HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT) ………………………………………………... ………. .25 BAB IV SIFAT MELAWAN HUKUM (RECHTSWDRIG, UNRECHT, WEDERRECHTELIJK, ONRECHMATIG)….. ………. .33 BAB V KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA……………………………………………………… ... ………. .41 BAB VI KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT, OPZET, VORATZ)… ………. .49 BAB VII KEALPAAN (CULPA) ………………………………………… ………. .61 BAB VIII KESALAHAN DALAM DELIK PELANGGARAN………….. ………. .67

Upload: imuel-muliana

Post on 22-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

1

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

………………………………………………………………….

…………V

Pendahuluan

………………………………………………………………….

…………1

BAB I RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA……

…………4

BAB II TINDAK PIDANA ………..14

BAB III HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT)………………………………………………...

………..25

BAB IV SIFAT MELAWAN HUKUM (RECHTSWDRIG, UNRECHT, WEDERRECHTELIJK, ONRECHMATIG)…..

………..33

BAB V KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA………………………………………………………...

………..41

BAB VI KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT, OPZET, VORATZ)…

………..49

BAB VII KEALPAAN (CULPA)…………………………………………

………..61

BAB VIII

KESALAHAN DALAM DELIK PELANGGARAN…………..

………..67

BAB IX PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM PENITENSIER)…

………..69

BAB X PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)………………………

………..79

BAB XI PENYERTAAN……………………… ……

Page 2: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

2

………………………... …..94BAB XII GABUNGAN TINDAK PIDANA

(SAMENLOOP/ CONCURSUS)………………………………………………..

………111

BAB XIII

ALASAN/DASAR PENGHAPUS PIDANA (STRAFUITSLUITINGSGROND, GROUNDS OF IMPUNITY)…………………………………………………….

………118

BAB XIV

GUGURNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA………………………………………..

………128

BAB XV

R E S I D I V E ( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)……….

………140

SOAL UJIAN

………………………………………………………………………

………142

Page 3: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

3

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab, mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit. Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh seseorang telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu, tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.

Perlunya pemahaman terhadap teori-teori serta Asas-Asas Hukum Pidana tersebut bagi peserta diklat, maka Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejaksaan R.I menyusun modul mengenai asas-asas hukum pidana dengan tujuan agar peserta Pendidikan dan Pelatihan

Page 4: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

4

pendahuluan mengerti dan memahami teori-teori maupun asas-asas hukum pidana yang perlu diperhaitkan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai jaksa nantinya.

II. DESKRIPSI SINGKAT

Modul asas-asas hukum pidana memberikan pemahaman bagi peserta pendidikan dan pelatihan tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.

III. TUJUAN PEMBELAJARANA. Tujuan Intruksional Umum

Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mengetahui tentang teori, asas, delik tindak pidana dan dapat menerapkannya dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik dan penuntut umum dalam penanganan perkara pidana.

Page 5: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

5

B. Tujuan Instruksional KhususSetelah mempelajari modul ini peserta diklat

diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.

IV. POKOK BAHASAN

a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana.

b. Tindak Pidana.

c. Hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat).

d. Sifat melawan hukum (rechtswdrig, unrecht, wederrechtelijk, onrechmatig).

e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.

f. Kesengajaan (dolus, intent, opzet, vorsatz).

g. Kealpaan (culpa).

h. Kesalahan dalam delik pelanggaran.

i. Pidana dan pemidanaan (hukum penitensier).

j. Percobaan (poging, attempt).

k. Penyertaan.

l. Penggabungan tindak pidana (samenloop / concursus).

Page 6: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

6

m. Alasan / dasar penghapus pidana (straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.)

n. Gugurnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana.

V. FASILITAS / MEDIA

Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum pidana antara lain :

a) Modul asas-asas hukum pidana;b) Internet;c) Peraturan perundang-undangan;d) Literatur yang terkait.

Page 7: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

7

BAB II

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA

HUKUM PIDANA

A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

MENURUT WAKTU

Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-

undangan pidana berkaitan dengan waktu dan

tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya

hukum pidana menurut waktu menyangkut

penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal

seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana

sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau

belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan,

maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali

tidak dapat dipidana.

Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine

praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat

(1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali

atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu

Page 8: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

8

aturan perundang-undangan yang telah ada

terlebih dahulu.

Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD

1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku

surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar

1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan

kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-

undang dengan maksud semata-mata untuk

menjamin pengakuan serta penghormatan atas

hak dan kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan

dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat

demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula

dinyatakan sebagai asas konstitusional.

Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh

Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom

psychologishen zwang (paksaan psikologis)”

Page 9: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

9

dimana adagium : nullum delictum nulla poena

sine praevia lege poenali yang mengandung tiga

prinsip dasar :

- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa

undang-undang)

- Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa

perbuatan pidana)

- Nullum crimen sine poena legali (tiada

perbuatan pidana tanpa undang-undang

pidana yang terlebih dulu ada)

Adagium ini menganjurkan supaya :

1) Dalam menentukan perbuatan-

perbuatan yang dilarang di dalam

peraturan bukan saja tentang

macamnya perbuatan yang

harusdirumuskan dengan jelas, tetapi

juga macamnya pidana yang

diancamkan;

2) Dengan cara demikian maka orang

yang akan melakukan perbuatanyang

dilarang itu telah mengetahui terlebih

Page 10: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

10

dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan

kepadanya jika nanti betul-betul

melakukan perbuatan;

3) Dengan demikian dalam batin orang itu

akan mendapat tekanan untuk tidak

berbuat. Andaikata dia ternyata

melakukan juga perbuatan yang

dilarang, maka dinpandang dia

menyetujui pidana yang akan

dijatuhkan kepadanya.

Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang

dimaksud dalam asas legalitas yaitu :

1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana kalau hal itu

terlebih dahulu belum dinyatakan dalam

suatu aturan undang-undang. Hal ini

dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1)

KUHP.

2) Untuk menentukan adanya perbuatan

pidana tidak boleh digunakan analogi,

Page 11: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

11

akan tetapi diperbolehkan penggunaan

penafsiran ekstensif.

3) Aturan-aturan hukum pidana tidak

berlaku surut.

Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam

pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

a) Tidak dapat dipidana kecuali ada

ketentuan pidana berdasar peraturan

perundang-undangan (formil).

b) Tidak diperkenankan Analogi

(pengenaan suatu undang-undang

terhadap perbuatan yang tidak diatur

oleh undang-undang tersebut).

c) Tidak dapat dipidana hanya

berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak

tertulis).

d) Tidak boleh ada perumusan delik yang

kurang jelas (lex Certa).

e) Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)

f) Tidak boleh ada ketentuan pidana

diluar Undang-undang.

Page 12: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

12

g) Penuntutan hanya dilakukan

berdasarkan atau dengan cara yang

ditentukan undang-undang.

B. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

MENURUT TEMPAT (LEX LOCI)

Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum

pidana nasional menurut tempat terjadinya.

Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional),

apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua)

pendapat yaitu :

a. Perundang-undangan hukum pidana

berlaku bagi semua perbuatan pidana yang

terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan

oleh warga negaranya sendiri maupun oleh

orang lain (asas territorial).

b. Perundang-undangan hukum pidana

berlaku bagi semua perbuatan pidana yang

dilakukan oleh warga Negara, dimana saja,

juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan

Page 13: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

13

diluar wilayah Negara. Pandangan ini

disebut menganut asas personal atau

prinsip nasional aktif.

Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya

hukum pidana menurut ruang tempat dan

berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam

hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :

I. Asas Teritorial.

II. Asas Personal (nasional aktif).

III. Asas Perlindungan (nasional pasif)

IV. Asas Universal.

Ad. I. Asas Teritorial

Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam

pasal 2 KUHP yang menyatakan :

“Ketentuan pidana dalam perundang-

undangan Indonesia diterapkan bagi setiap

Page 14: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

14

orang yang melakukan suatu tindak pidana

di Indonesia”.

Pasal ini dengan tegas menyatakan asas

territorial, dan ketentuan ini sudah

sewajarnya berlaku bagi Negara yang

berdaulat. Asas territorial lebih menitik

beratkan pada terjadinya perbuatan

pidana di dalam wilayah Negara tidak

mempermasalahkan siapa pelakunya,

warga Negara atau orang asing. Sedang

dalam asas kedua (asas personal atau

asas nasional yang aktif) menitik

beratkan pada orang yang melakukan

perbuatan pidana, tidak

mempermasalahkan tempat terjadinya

perbuatan pidana. Asas territorial yang

pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-

negara di dunia termasuk Indonesia. Hal

ini adalah wajar karena tiap-tiap orang

yang berada dalam wilayah suatu Negara

harus tunduk dan patuh kepada

Page 15: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

15

peraturan-peraturan hukum Negara

dimana yang bersangkutan berada.

Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur

dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :

“Ketentuan pidana perundang-undangan

Indonesia berlaku bagi setiap orang yang

di luar wilayah Indonesia melakukan

tindak pidana didalan kendaraan air atau

pesawat udara Indonesia”.

Ketentuan ini memperluas berlakunya

pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa

perahu (kendaraan air) dan pesawat

terbang lalu dianggap bagian wilayah

Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah

supaya perbuatan pidana yang terjadi di

dalam kapal atau pesawat terbang yang

berada di perairan bebas atau berada di

wilayah udara bebas, tidak termasuk

wilayah territorial suatu Negara, sehingga

ada yang mengadili apabila terjadi suatu

perbuatan pidana.

Page 16: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

16

Setiap orang yang melakukan perbuatan

pidana diatas alat pelayaran Indonesia

diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran

pengertian lebih luas dari kapal. Kapal

merupakan bentuk khusus dari alat

pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut

bebas dan laut wilayah Negara lain.

Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan

dan hak-hak Istimewa (Immunity and

Previlege).

Kepala Negara asing dan anggota

keluarganya.

Pejabat-pejabat perwakilan asing

dan keluarganya.

Pejabat-pejabat pemerintahan

Negara asing yang berstatus

diplomatik yang dalam perjalanan

melalui Negara-negara lain atau

menuju Negara lain.

Suatu angkatan bersenjata yang

terpimpin.

Page 17: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

17

Pejabat-pejabat badan

Internasional.

Kapal-kapal perang dan pesawat

udara militer / ABK diatas kapal

maupun di luar kapal.

Ad. II. Asas Personal

Asas Personal atau Asas Nasional yang

aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya

terhadap warga Negara yang sedang

berada dalam wilayah Negara lain yang

kedudukannya sama-sama berdaulat.

Apabila ada warga Negara asing yang

berada dalam suatu wilayah Negara telah

melakukan tindak pidana dan tindak

pidana dan tidak diadili menurut hukum

Negara tersebut maka berarti

bertentangan dengan kedaulatan Negara

tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana

Indonesia berlaku bagi warga Negara

Indonesa di luar Indonesia yang

melakukan perbuatan pidana tertentu

Page 18: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

18

Kejahatan terhadap keamanan Negara,

martabat kepala Negara, penghasutan, dll.

Pasal 5 KUHP menyatakan :

“(1). Ketetentuan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia

diterapkan bagi warga Negara

yang di luar Indonesia melakukan :

salah satu kejahatan yang

tersebut dalam Bab I dan Bab II

Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160,

161, 240, 279, 450 dan 451. Salah

satu perbuatan yang oleh suatu

ketentuan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia

dipandang sebagai kejahatan,

sedangkan menurut perundang-

undangan Negara dimana

perbuatan itu dilakukan diancam

dengan pidana.

(2). Penuntutan perkara sebagaimana

dimaksud dalam butir 2 dapat

Page 19: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

19

dilakukan juga jika terdakwa

menjadi warga Negara sesudah

melakukan perbuatan”.

Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat

perkataan “diterapkan bagi warga Negara

Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’,

sehingga seolah-olah mengandung asas

personal, akan tetapi sesungguhnya pasal

5 KUHP memuat asas melindungi

kepentingan nasional (asas nasional pasif)

karena :

Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi

warga Negara diluar wilayah territorial

wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-

pasal tertentu saja, yang dianggap penting

sebagai perlindungan terhadap

kepentingan nasional. Sedangkan untuk

asas personal, harus diberlakukan seluruh

perundang-undangan hukum pidana bagi

warga Negara yang melakukan kejahatan

di luar territorial wilayah Negara.

Page 20: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

20

Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk

mencegah agar supaya warga Negara

asing yang berbuat kejahatan di Negara

asing tersebut, dengan jalan menjadi

warga Negara Indonesia (naturalisasi).

Bagi Jaksa maupun hakim Tindak

Pidana yang dilakukan di negara asing

tersebut, apakah menurut undang-undang

disana merupakan kejahatan atau

pelanggaran, tidak menjadi permasalahan,

karena mungkin pembagian tindak

pidananya berbeda dengan di Indonesia,

yang penting adalah bahwa tindak pidana

tersebut di Negara asing tempat perbuatan

dilakukan diancam dengan pidana,

sedangkan menurut KUHP Indonesia

merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.

Ketentuan pasal 6 KUHP :

“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2

dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak

dijatuhkan pidana mati, jika menurut

Page 21: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

21

perundang-undangan Negara dimana

perbuatan dilakukan terhadapnya tidak

diancamkan pidana mati”.

Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat

(1) butir 2 KUHP adalah untuk

melindungi kepentingan nasional timbal

balik (mutual legal assistance). Oleh

karena itu menurut Moeljatno, sudah

sewajarnya pula diadakan imbangan

pulu terhadap maksimum pidana yang

mungkin dijatuhkan menurut KUHP

Negara asing tadi.

Ad. III. Asas Perlindungan

Sekalipun asas personal tidak lagi

digunakan sepenuhnya tetapi ada asas

lain yang memungkinkan diberlakukannya

hukum pidana nasional terhadap

perbuatan pidana yang terjadi di luar

wilayah Negara

Page 22: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

22

Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan

ditambah berdasarkan Undang-undang

No. 4 Tahun 1976)

“Ketentuan pidana dalam perundang-

undangan Indonesia diterapkan bagi

setiap orang yang melakukan di luar

Indonesia :

1. Salah satu kejahatan berdasarkan

pasal-pasal 104, 106, 107,

108 dan 131;

2. Suatu kejahatan mengenai mata

uang atau uang kertas yang

dikeluarkan oleh Negara atau bank,

ataupun mengenai materai yang

dikeluarkan dan merek yang

digunakan oleh Pemerintah

Indonesia;

3. Pemalsuan surat hutang atau

sertifikat hutang atas tanggungan

suatu daerah atau bagian daerah

Indonesia, termasuk pula pemalsuan

Page 23: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

23

talon, tanda deviden atau tanda

bunga yang mengikuti surat atau

sertifikat itu, dan tanda yang

dikeluarkan sebagai pengganti surat

tersebut atau menggunakan surat-

surat tersebut di atas, yang palsu

atau dipalsukan, seolah-olah asli dan

tidak palsu;

4. Salah satu kejahatan yang disebut

dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai

dengan 446 tentang pembajakan laut

dan pasal 447 tentang penyerahan

kendaraan air kepada kekuasaan

bajak laut dan pasal 479 huruf j

tentang penguasaan pesawat udara

secara melawan hukum, pasal 479 l,

m, n dan o tentang kejahatan yang

mengancam keselamatan

penerbangan sipil.

Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas

melindungi kepentingan yaitu melindungi

kepentingan nasional dan melindungi

Page 24: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

24

kepentingan internasional (universal).

Pasal ini menentukan berlakunya hukum

pidana nasional bagi setiap orang (baik

warga Negara Indonesia maupun warga

negara asing) yang di luar Indonesia

melakukan kejahatan yang disebutkan

dalam pasal tersebut.

Dikatakan melindungi kepentingan

nasional karena pasal 4 KUHP ini

memberlakukan perundang-undangan

pidana Indonesia bagi setiap orang yang di

luar wilayah Negara Indonesia melakukan

perbuatan-perbuatan yang merugikan

kepentingan nasional, yaitu :

1) Kejahatan terhadap keamanan

Negara dan kejahatan terhadap

martabat / kehormatan Presiden

Republik Indonesia dan Wakil

Presiden Republik Indonesia (pasal 4

ke-1)

2) Kejahatan mengenai pemalsuan

mata uang atau uang kertas

Page 25: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

25

Indonesia atau segel / materai dan

merek yang digunakan oleh

pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)

3) Kejahatan mengenai pemalsuan

surat-surat hutang atau sertifkat-

sertifikat hutang yang dikeluarkan

oleh Negara Indonesia atau bagian-

bagiannya (pasal 4 ke-3)

4) Kejahatan mengenai pembajakan

kapal laut Indonesia dan pembajakan

pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-

4)

Ad. IV. Asas Universal

Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi

oleh pengecualian-pengecualian dalam

hukum internasional. Bahwa asas

melindungi kepentingan internasional (asas

universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa

setiap Negara di dunia wajib turut

melaksanakan tata hukum sedunia (hukum

internasional).

Page 26: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

26

Dikatakan melindungi kepentingan

internasional (kepentingan universal) karena

rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai

kejahatan pemalsuan mata uang atau uang

kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai

pembajakan kapal laut dan pembajakan

pesawat udara) tidak menyebutkan mata

uang atau uang kertas Negara mana yang

dipalsukan atau kapal laut dan pesawat

terbang negara mana yan dibajak.

Pemalsuan mata uang atau uang kertas

yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP

menyangkut mata uang atau uang kertas

Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin

menyangkut mata uang atau uang kertas

Negara asing. Pembajakan kapal laut atau

pesawat terbang yang dimaksud dalam

pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal

laut Indonesia atau pesawat terbang

Indonesia, dan mungkin juga menyangkut

kapal laut atau pesawat terbang Negara

asing.

Page 27: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

27

Jika pemalsuan mata uang atau uang

kertas, pembajakan kapal, laut atau

pesawat terbang adalah mengenai

kepemilikan Indonesia, maka asas yang

berlaku diterapkan adalah asas melindungi

kepentingan nasional (asas nasional pasif).

Jika pemalsuan mata uang atau uang

kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat

terbang adalah mengenai kepemilikan

Negara asing, maka asas yang berlaku

adalah asas melindungi kepentingan

internasional (asas universal).

Pasal 7 KUHP

“Ketentuan pidana dalam perundang-

undangan Indonesia berlaku bagi setiap

pejabat yang di luar Indonsia melakukan

salah satu tindak pidana sebagaimana

dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku

Kedua”.

Page 28: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

28

Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang

sebagian besar sudah diserap menjadi tindak

pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal

tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416,

417, 418, 419, 420, 423, 425, 435) telah

dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun

2001 tentang perubahan atas UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri

sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang

terdapat dalam masing-masing pasal KUHP

yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal

7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk

masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16

UU No. 31 Tahun 1999 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara

republik Indonesia yang memberikan bantuan,

kesempatan, sarana atau keterangan untuk

terjadinya tindak pidana korupsi dipidana

dengan pidana yang sama sebagai pelaku

tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

Page 29: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

29

dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai

dengan pasal 14”

Pasal 8 KUHP

“Ketentuan pidana dalam perundang-

undangan Indonesia berlaku nahkoda dan

penumpang perahu Indonesia, yang di luar

Indonesia, sekalipun di luar perahu,

melakukan salah satu tindak pidana

sebagaimana dimaksudkan dalam Bab

XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku

ketiga, begitu pula yang tersebut dalam

peraturan mengenai surat laut dan pas

kapal di Indonesia, maupun dalam

ordonansi perkapalan”.

Dengan telah diundangkannya tindak

pidana tentang kejahatan penerbangan

dan kejahatan terhadap sarana /

prasarana penerbangan berdasarkan UU

No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam

KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A.

pertimbangan lain untuk memasukkan Bab

Page 30: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

30

XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8

KUHP adalah juga menjadi kenyataan

bahwa kejahatan penerbangan sudah

digunakan sebagai bagian dari kegiatan

terorisme yang dilakukan oleh kelompok

terorganisir pasal 9 KUHP.

Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8

dibatasi oleh pengecualian-pengecualian

yang diakui dalam hukum-hukum

internasional.

Menurut Moeljatno, pada umumnya

pengecualian yang diakui meliputi :

1) Kepala Negara beserta keluarga dari

Negara sahabat, dimana mereka

mempunyai hak eksteritorial. Hukum

nasional suatu Negara tidak berlaku

bagi mereka

2) Duta besar Negara asing beserta

keluarganya meeka juga mempunyai

hak eksteritorial.

Page 31: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

31

3) Anak buah kapal perang asing yang

berkunjung di suatu Negara,

sekalipun ada di luar kapal. Menurut

hukum internasional kapal peran

adalah teritoir Negara yang

mempunyainya

4) Tentara Negara asing yang ada di

dalam wilayah Negara dengan

persetujuan Negara itu.

Page 32: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

32

BAB III

TINDAK PIDANA

a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA

Hingga saat ini belum ada kesepakatan para

sarjana tentang pengertian Tindak pidana

(strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H.,

Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

bagi barang siapa yang melanggar aturan

tersebut.

Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :

Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh

suatu aturan hukum dilarang dan diancam

pidana.

Larangan ditujukan kepada perbuatan

(yaitu suatu keadaan atau kejadian yang

ditimbulkan oleh kelakuan orang),

sedangkan ancaman pidana ditujukan

Page 33: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

33

kepada orang yang menimbulkan kejadian

itu.

Antara larangan dan ancaman pidana ada

hubungan yang erat, oleh karena antara

kejadian dan orang yang menimbulkan

kejadian itu ada hubungan erat pula. “

Kejadian tidak dapat dilarang jika yang

menimbulkan bukan orang, dan orang tidak

dapat diancam pidana jika tidak karena

kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas

dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid

van het feit) dan dapat dipidananya orang

(strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu

memisahkan pengertian perbuatan pidana

(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana

(criminal responsibility). Pandangan ini disebut

pandangan dualistis yang sering dihadapkan

dengan pandangan monistis yang tidak

membedakan keduanya.

b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Page 34: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

34

Dalam suatu peraturan perundang-undangan

pidana selalu mengatur tentang tindak pidana.

Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana

adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa

yang melanggar larangan tersebut”. Untuk

mengetahui adanya tindak pidana, maka pada

umumnya dirumuskan dalam peraturan

perundang-undangan pidana tentang perbuatan-

perbuatan yang dilarang dan disertai dengan

sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan

beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau

sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas

dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak

dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat

perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan

ancaman pidana kalau dilanggar.

Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana

(strafbaar feit) adalah :

Perbuatan manusia (positif atau negative,

berbuat atau tidak berbuat atau

membiarkan).

Page 35: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

35

Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)

Melawan hukum (onrechtmatig)

Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in

verband staand)

Oleh orang yang mampu bertanggung

jawab (toerekeningsvatoaar person).

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif

dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar

feit).

Unsur Obyektif :

Perbuatan orang

Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

Mungkin ada keadaan tertentu yang

menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal

281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka

umum”.

Unsur Subyektif :

Orang yang mampu bertanggung jawab

Page 36: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

36

Adanya kesalahan (dollus atau culpa).

Perbuatan harus dilakukan dengan

kesalahan.

Kesalahan ini dapat berhubungan dengan

akibat dari perbuatan atau dengan keadaan

mana perbuatan itu dilakukan.

Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur

perbuatan pidana :

Perbuatan (manusia)

Yang memenuhi rumusan dalam undang-

undang (syarat formil)

Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno

terdiri dari :

1) Kelakuan dan akibat

2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang

menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :

a. Unsur subyektif atau pribadi

Yaitu mengenai diri orang yang

melakukan perbuatan, misalnya unsur

pegawai negeri yang diperlukan dalam

Page 37: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

37

delik jabatan seperti dalam perkara

tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP

jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3

Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31

Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

tentang pegawai negeri yang menerima

hadiah. Kalau yang menerima hadiah

bukan pegawai negeri maka tidak

mungkin diterapka pasal tersebut

b. Unsur obyektif atau non pribadi

Yaitu mengenai keadaan di luar si

pembuat, misalnya pasal 160 KUHP

tentang penghasutan di muka umum

(supaya melakukan perbuatan pidana

atau melakukan kekerasan terhadap

penguasa umum). Apabila penghasutan

tidak dilakukan di muka umum maka

tidak mungkin diterapkan pasal ini

Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang

menentukan, memperingan atau memperberat

pidana yang dijatuhkan.

Page 38: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

38

(1) Unsur keadaan yang menentukan

misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP

Pasal 164 KUHP : barang siapa

mengetahui permufakatan jahat untuk

melakukan kejahatan tersebut pasal 104,

106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187

bis, dan pada saat kejahatan masih bisa

dicegah dengan sengaja tidak

memberitahukannya kepada pejabat

kehakiman atau kepolisian atau kepada

yang terancam, diancam, apabila

kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana

penjara paling lama satu tahun empat

bulan atau denda paling banyak tiga ratus

rupiah.

Kewajiban untuk melapor kepada yang

berwenang, apabila mengetahui akan

terjadinya suatu kejahatan. Orang yang

tidak melapor baru dapat dikatakan

melakukan perbuatan pidana, jika

kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi.

Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu

adalah merupakan unsur tambahan.

Page 39: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

39

Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika

menyaksikan bahwa ada orang yang

sedang menghadapi maut, tidak memberi

pertolongan yang dapat diberikan

kepadanya tanpa selayaknya

menimbulkan bahaya bagi dirinya atau

orang lain, diancam, jika kemudian orang

itu meninggal, dengan pidana kurungan

paling lama tiga bulan atau denda paling

banyak tiga ratus rupiah.

Keharusan memberi pertolongan pada

orang yang sedang menghadapi bahaya

maut jika tidak memberi pertolongan,

orang tadi baru melakukan perbuatan

pidana, kalau orang yang dalam keadaan

bahaya tadi kemudian lalu meninggal

dunia. Syarat tambahan tersebut tidak

dipandang sebagai unsur delik (perbuatan

pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.

(2) Keadaan tambahan yang memberatkan

pidana

Misalnya penganiayaan biasa pasal 351

ayat (1) KUHP diancam dengan pidana

Page 40: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

40

penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.

Apabila penganiayaan tersebut

menimbulkan luka berat; ancaman pidana

diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat

2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati

ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal

351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati

adalah merupakan keadaan tambahan

yang memberatkan pidana

(3) Unsur melawan hukum

Dalam perumusan delik unsur ini tidak

selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis.

Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan

secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat

melawan hukum atau sifat pantang

dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah

atau rumusan kata yang disebut. Misalnya

pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seorang

wanita bersetubuh di luar perkawinan”.

Tanpa ditambahkan kata melawan hukum

setiap orang mengerti bahwa memaksa

dengan kekerasan atau ancaman

Page 41: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

41

kekerasan adalah pantang dilakukan atau

sudah mengandung sifat melawan hukum.

Apabila dicantumkan maka jaksa harus

mencantumkan dalam dakwaannya dan

oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila

tidak dicantumkan maka apabila perbuatan

yang didakwakan dapat dibuktikan maka

secara diam-diam unsure itu dianggap

ada.

Unsur melawan hukum yang dinyatakan

sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362

KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu

pengambilan barang orang lain dengan

maksud untuk memilikinya secara

melawan hukum.

Pentingnya pemahaman terhadap

pengertian unsur-unsur tindak pidana.

Sekalipun permasalahan tentang

“pengertian” unsur-unsur tindak pidana

bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini

sangat penting dan menentukan bagi

keberhasilan pembuktian perkara pidana.

Page 42: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

42

Pengertian unsur-unsur tindak pidana

dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli)

ataupun dari yurisprudensi yan

memberikan penafsiran terhadap rumusan

undang-undang yang semula tidak jelas

atau terjadi perubahan makna karena

perkembangan jaman, akan diberikan

pengertian dan penjelasan sehingga

memudahkan aparat penegak hukum

menerapkan peraturan hukum.

Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian

unsur-unsur tindak pidana adalah :

1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar

dengan jelas;

2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa

yang menggambarkan uraian unsur tindak

pidana yang didakwakan sesuai dengan

pengertian / penafsiran yang dianut oleh

doktrin maupun yurisprudensi;

3) Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan

kepada saksi atau ahli atau terdakwa

Page 43: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

43

untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang

didakwakan;

4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk

membuktikan unsur tindak pidana. Biasa

terjadi bahwa suatu alat bukti hanya

berguna untuk menentukan pembuktian

satu unsur tindak pidana, tidak seluruh

unsur tindak pidana;

5) Mengarahkan jalannya penyidikan atau

pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan

secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan

dalam pembuktian akan dapat

dipertanggungjawabkan secara obyektif

karena berlandaskan teori dan bersifat

ilmiah;

6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian

penerapan fakta perbuatan kepada unsur-

unsur tindak pidana yang didakwakan, atau

biasa diulas dalam analisa hukum, maka

pengertian-pengertian unsur tindak pidana

yang dianut dalam doktrin atau

yurisprudensi atau dengan cara penafsiran

Page 44: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

44

hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya

karena ini menjadi dasar atau dalil untuk

berargumentasi.

c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA

Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian

jenis delik.

1. Kejahatan dan Pelanggaran

Pembagian delik atas kejahatan dan

pelanggaran ini disebut oleh undang-undang.

KUHP buku ke II memuat delik-delik yang

disebut : pelanggaran criterium apakah yang

dipergunakan untuk membedakan kedua jenis

delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban

tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau

memasukkan dalam kelompok pertama

kejahatan dan dalam kelompok kedua

pelanggaran.

Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara

intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan

kedua jenis delik itu.

Ada dua pendapat :

Page 45: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

45

a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua

jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat

kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2

jenis delik, ialah :

1. Rechtdelicten

Ialah yang perbuatan yang bertentangan

dengan keadilan, terlepas apakah

perbuatan itu diancam pidana dalam

suatu undang-undang atau tidak, jadi

yang benar-benar dirasakan oleh

masyarakat sebagai bertentangan

dengan keadilan misal : pembunuhan,

pencurian. Delik-delik semacam ini

disebut “kejahatan” (mala perse).

2. Wetsdelicten

Ialah perbuatan yang oleh umum baru

disadari sebagai tindak pidana karena

undang-undang menyebutnya sebagai

delik, jadi karena ada undang-undang

mengancamnya dengan pidana. Misal :

memarkir mobil di sebelah kanan jalan

(mala quia prohibita). Delik-delik

semacam ini disebut “pelanggaran”.

Page 46: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

46

Perbedaan secara kwalitatif ini tidak

dapat diterima, sebab ada kejahatan

yang baru disadari sebagai delik karena

tercantum dalam undang-undang

pidana, jadi sebenarnya tidak segera

dirasakan sebagai bertentangan dengan

rasa keadilan. Dan sebaliknya ada

“pelanggaran”, yang benar-benar

dirasakan bertentangan dengan rasa

keadilan. Oleh karena perbedaan secara

demikian itu tidak memuaskan maka

dicari ukuran lain.

b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua

jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat

kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan

kriterium pada perbedaan yang dilihat dari

segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu

lebih ringan dari pada “kejahatan”.

Mengenai pembagian delik dalam kejahatan

dan pelanggaran itu terdapat suara-suara

yang menentang. Seminar Hukum Nasional

1963 tersebut di atas juga berpendapat,

Page 47: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

47

bahwa penggolongan-penggolongan dalam

dua macam delik itu harus ditiadakan.

Kejahatan ringan :

Dalam KUHP juga terdapat delik yang

digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan

misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384,

352, 302 (1), 315, 407.

2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan

perumusan secara formil dan delik dengan

perumusan secara materiil)

a. Delik formil itu adalah delik yang

perumusannya dititikberatkan kepada

perbuatan yang dilarang. Delik tersebut

telah selesai dengan dilakukannya

perbuatan seperti tercantum dalam

rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal

160 KUHP), di muka umum menyatakan

perasaan kebencian, permusuhan atau

penghinaan kepada salah satu atau lebih

golongan rakyat di Indonesia (pasal 156

KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP);

sumpah palsu (pasal 242 KUHP);

Page 48: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

48

pemalsuan surat (pasal 263 KUHP);

pencurian (pasal 362 KUHP).

b. Delik materiil adalah delik yang

perumusannya dititikberatkan kepada akibat

yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini

baru selesai apabila akibat yang tidak

dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum

maka paling banyak hanya ada percobaan.

Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP),

penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan

(pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil

dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.

3. Delik commisionis, delik ommisionis dan

delik commisionis per ommisionen

commissa

a. Delik commisionis : delik yang berupa

pelanggaran terhadap larangan, ialah

berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,

penggelapan, penipuan.

b. Delik ommisionis : delik yang berupa

pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak

melakukan sesuatu yang diperintahkan /

Page 49: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

49

yang diharuskan, misal : tidak menghadap

sebagai saksi di muka pengadilan (pasal

522 KUHP), tidak menolong orang yang

memerlukan pertolongan (pasal 531

KUHP).

c. Delik commisionis per ommisionen

commissa : delik yang berupa pelanggaan

larangan (dus delik commissionis), akan

tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak

berbuat. Misal : seorang ibu yang

membunuh anaknya dengan tidak memberi

air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang

penjaga wissel yang menyebabkan

kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak

memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).

4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en

culpose delicten)

a. Delik dolus : delik yang memuat unsur

kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197,

245, 263, 310, 338 KUHP

b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan

sebagai salah satu unsur misal : pasal 195,

Page 50: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

50

197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359,

360 KUHP.

5. Delik tunggal dan delik berangkai

(enkelvoudige en samenge-stelde delicten)

a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan

dengan perbuatan satu kali.

b. Delik berangkai : delik yang baru

merupakan delik, apabila dilakukan

beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481

(penadahan sebagai kebiasaan)

6. Delik yang berlangsung terus dan delik

selesai (voordurende en aflopende delicten)

Delik yang berlangsung terus : delik yang

mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu

berlangsung terus, misal : merampas

kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).

7. Delik aduan dan delik laporan

(klachtdelicten en niet klacht delicten)

Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya

dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak

yang terkena (gelaedeerde partij) misal :

penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP)

perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage

Page 51: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

51

(pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps.

335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan

dibedakan menurut sifatnya, sebagai :

a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal

284, 310, 332. Delik-delik ini menurut

sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan

pengaduan.

b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal

367, disebut relatif karena dalam delik-delik

ini ada hubungan istimewa antara si

pembuat dan orang yang terkena.

Catatan : perlu dibedakan antara aduan den

gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam

acara perdata, misal : A menggugat B di muka

pengadilan, karena B tidak membayar

hutangnya kepada A. Laporan hanya

pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu

tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.

8. Delik sederhana dan delik yang ada

pemberatannya / peringannya (eenvoudige

dan gequalificeerde / geprevisilierde

delicten)

Page 52: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

52

Delik yang ada pemberatannya, misal :

penganiayaan yang menyebabkan luka berat

atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3

KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb.

(pasal 363). Ada delik yang ancaman

pidananya diperingan karena dilakukan dalam

keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-

kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut

“geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal :

penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian

(pasal 362 KUHP).

9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak

pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi

Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu

terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun

1955, UU darurat tentang tindak pidana

ekonomi.

d. SUBYEK TINDAK PIDANA

Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur

pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang,

pada dasarnya yang dapat melakukan tindak

Page 53: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

53

pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat

disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim

dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang

…….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat

diartikan lain dari pada “orang”.

b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis

pidana yang dapat dikenakan kepada tindak

pidana, yaitu :

1. pidana pokok :

a. pidana mati

b. pidana penjara

c. pidana kurungan

d. pidana denda, yang dapat diganti

dengan pidana kurungan

2. pidana tambahan :

a. pencabutan hak-hak tertentu

b. perampasan barang-barang tertentu

c. dimumkannya keputusan hakim

Sifat dari pidana tersebut adalah

sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya

hanya dapat dikenakan pada manusia.

Page 54: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

54

c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari

hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya

kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk

bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu

adalah manusia.

d. Pengertian kesalahan yang dapat berupa

kesengajaan dan kealpaan itu merupakan

sikap dalam batin manusia.

Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia

tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak

pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP

terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung

soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke

arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu

perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut

pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang

melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu

korporasi. Seorang anggota pengurus dapat

membebaskan diri, apabila dapat membuktikan

bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut

campurnya.

Page 55: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

55

Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut

“pembalikan beban pembuktian” (omkering van

bewijslast).

Dalam KUHP juga ada pasal lain yang

kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai

subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam

pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide

pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang

terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai

pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan

sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan

perseroannya.

Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana

itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan

(M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi :

“suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh

manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah

ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia,

misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang

diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi

pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat

ketentuan yang mengatur apabila suatu badan

(hukum) melakuka tindak pidana yang disebut

Page 56: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

56

dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat

bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau

dalam UU Darurat tentang pengusutan,

penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi

(UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana

dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan

bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum

pidana.

Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan

ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan dengan

dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus

menemukan sendiri penyelesaian untuk problem

dalam materi baru ini”.

Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk

menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak

lebih luas dari pada biasanya dalam buku

pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum

kiranya akan menduduki tempat yang penting

dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai

penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan

kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.

Page 57: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

57

Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa

menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan

tindak pidana, ya bahkan kadang-kadang

korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat,

bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan

bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan

tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam

hal. 477 van Hattum menulis a.l. : (terjemahan)

…………. sebaiknya pembentuk undang-undang

membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal

suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu

korporasi.

Page 58: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

58

BAB IV

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT

(CAUSALITEIT, CAUSALITAT)

A. Kausalitas

Didalam delik-delik yang dirumuskan secara

materiil (selanjutnya disebut delik materiil),

terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang

dilarang dan merupakan unsur yang menentukan

(essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan

dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya

merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia,

sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang

dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada,

paling banyak ada percobaan.

Page 59: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

59

Misalnya :

Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja

merampas nyawa orang lain dihukum karena

pembunuhan.

Keadaan yang menentukan di sini adalah

terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya

si A.

Oleh karenanya untuk dapat menuntut

seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan

suatu perbuatan yang menyebabkan matinya

seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa

karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya

A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu

keadaan” dimana dapat berupa suatu

pembahayaan atau perkosaan terhadap

kepentingan hukum.

Hubungan sebab akibat

(causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik

materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada

delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door

het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-

pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333

Page 60: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

60

ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3,

355 ayat 2 dan 3 KUHP.

Persoalan kausalias ini terjadi karena

kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi

sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa

persoalan ini tidak hanya terdapat dalam

lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga

dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum

perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam

hukum dagang misalnya dalam persoalan

asuransi.

Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan

ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat.

Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap

sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah

beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak

menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan

(manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh

undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa

ditelusuri sampai ke sebab.

Akan tetapi sebenarnya tidak boleh

dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat

terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang

Page 61: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

61

terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu

disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non

propter hoc).

B. Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)

B.1. Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau

Bedingungstheorie atau teori condition sine qua

non dari von Buri

Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah

sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab

kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan

lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif

untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan

mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat

dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat

kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut

waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat

yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht

hiin weggedacht warden kann dan seterusnya)

tanpa menyebabkan berubahnya akibat.

Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa

ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting,

Page 62: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

62

lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga

merupakan sebab dari matinya A.

Teori ekivalensi ini memakai pengertian

“sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai

dalam logika. Dalam hubungan ini baik

dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain,

John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya :

Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu

adalah “the whole of antecedents” (1843).

Van Hamel, seorang penganut teori

ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum

pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki

dan diatur oleh teori kesalahan yang harus

diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini

dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara

hubungan kausal dan pertanggung jawaban

pidana.

Kritik / keberatan terhadap teori ini :

hubungan kausal membentang ke belakang tanpa

akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya

merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi

sebelumnya.

Page 63: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

63

Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati.

Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A,

tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan

penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada

pembuatan pisau.

Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan

begitu seterusnya. Berhubungan dengan

keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang

hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang

akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari

sekian faktor yang menimbulkan akibat itu

beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang

faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-

faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).

Kebaikan teori ini : mudah diterapkan,

sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan,

dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali

dalam membatasi lingkungan berlakunya

pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini

dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori

lain.

B.2. Teori-teori Individualisasi

Page 64: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

64

Teori-teori ini memilih secara post actum

(inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit

terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif

dipilih sebab yang paling menentukan dari

peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya

hanya merupakan syarat belaka. Penganut-

penganutnya tidak banyak antara lain :

1. Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab

adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist

die wirksamste Bedingung)

2. Binding. Teorinya disebut

“Ubergewichtstheorie)”

Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan

adalah identik dengan perubahan dalam

keseimbangan antara faktor yang menahan

(negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor

yang positif itu lebih unggul. Yang disebut

“sebab” adalah syarat-syarat positif dalam

keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot

yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang

negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau

syarat terakhir yang menghilangkan

Page 65: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

65

keseimbangan dan memenangkan faktor

positif itu.

B.3. Teori-teori generalisasi

Teori-teori ini melihat secara ante factum

(sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara

serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang

pada umumnya dapat menimbulkan akibat

semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup

biasa, atau menurut perhitungan yang layak,

mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini

dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat

yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat

sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori

adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie).

Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya

hubungan sebab akibat yang adequat :

a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya

dapat mengakibatkan hidung keluar darah.

Akan tetapi apabila orang yang pukul itu

Page 66: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

66

menjadi buta itu bukan akibat yang adequate.

Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak

biasa.

b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa

mengerem sekonyong-konyong, oleh karena

ada pengendara sepeda hendak menyebrang

jalan yang membelok, sedang ini tidak

disangka-sangka oleh pengendara mobil.

Pengendara mobil ini mendapat penyakit

trauma karena menekan urat. Dianipun dapat

dikatakan bahwa perbuatan pengendara

sepeda itu tidak merupakan penyebab yang

adequate untuk timbulnya penyakit trauma

tersebut.

c. Seorang petani membakar tumpukan rumput

kering (hooi), dimana secara kebetulan

bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga

ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang

adequate ? Jawabannya tergantung dari

keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman

sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu

maka perbuatan petani itu bukanlah sebab.

Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan

Page 67: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

67

kebiasaan orang untuk bersembunyi atau

menginap dalam tumpukan rumput, maka

perbuatan petani itu benar-benar mempunyai

kadar untuk matinya seseorang.

Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini

ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu

sebab itu pada umumnya cocok untuk

menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini

ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :

1. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche

Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah

apa yang oleh sipembuat dapat diketahui /

diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu

pada umumnya dapat menimbulkan akibat

semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau

pengetahuan si pembuatlah yang

menentukan).

2. Penentuan obyektif.

Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu

dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau

hal-hal yang secara obyektif kemudian

diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi

Page 68: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

68

bukan yang diketahui atau yang dapat

diketahui oleh sipembuat, melainkan

pengetahuan dari hakim.

Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini

disebut “objektive nachtragliche Prognose”

(Rumelin).

Sebenarnya dalam teori kausal adequat

subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur

penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu

dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif

dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang

murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap

sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat

dapat mengira-ngirakan atau membayangkan

(voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang

umumnya membayangkan terjadinya akibat itu;

jadi sipembuat dapat membayangkan dan

seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena

dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan,

maka ia juga menentukan pertanggunganjawab

(pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti

yang sesungguhnya.

Page 69: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

69

Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci

pekerjanya, tetapi tidak berani

melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu

mati. Pada waktu hujan yang disertai

petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke

suatu tempat dengan harapan agar

orang itu disambar petir. Harapan itu

terkabul dan pekerjanya itu mati

disambar petir.

Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya

pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka

ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya

dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih

memuaskan apabila dipakai teori adequate.

Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke

tempat lain pada umumnya tidak mempunyai

kadar untuk kematian seseorang karena disambar

petir. Penyambaran petir adalah hal yang

kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan

kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.

Beberapa penganut teori adequat yang lain :

1. Simons :

Page 70: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

70

Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat

disebut sebagai sebab dari suatu akibat,

apabila menuntut pengalaman manusia pada

umumnya harus diperhitungkan kemungkinan,

bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi

akibat itu”.

2. Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47)

berpendirian senada dengan Simons. Beliau

katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan

hukum itu terdiri atas persangkaan,

(presumptie), bahwa alur peristiwa di dunia ini

ada biasa dan normal. Ini kesimpulan

pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang

pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti

hal ikhwal yang berada dan menurut

pengalaman kita, dengan kadarnya memadai

sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai

suatu sebab”.

3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatan-

perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu

mempunyai strekking untuk menimbulkan

akibat yang bersangkutan.

Page 71: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

71

Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas

tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan

teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi

suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan

penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada

sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup

memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu

merupakan sebab dari sesuatu akibat yang

dimaksudkan dalam rumusan delik yang

bersangkutan.

Mengenai teori adequat dari von Kries, itu

dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai

dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu

mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan

hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang

membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut

maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap

perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan

kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat

menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan

tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam

kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak

Page 72: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

72

terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman

manusia pada umumnya dan sebagainya.

Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang

sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu,

mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat

dengan nyata teori mana yang dipakai.

Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan

tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan

pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan,

bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada

hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk

en rechtsreeks)

a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (.

147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda

motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas

rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api.

Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh

kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai

akibat langsung dan segera dari penabrakan

sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban

dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si

terdakwa (pengendara mobil).

b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933

Page 73: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

73

Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang

berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya.

Anak tersebut menabrak orang. Disini memang

perbuatan si ayah dapat disebut syarat

(voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak

boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena

antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada

hubungan kausal yang langsung.

c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember

1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari

1937.

Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang

pengemudi mobil yang sembrono dari tempat

kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi

tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai

sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena

antara perbuatan terdakwa dan terjadinya

kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang

langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan

pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang

sebagai suatu syarat dan bukan sebab.

d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei

1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta

Page 74: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

74

Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas

tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh

terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan

7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa

sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-

barang angkutan dalam kapal in casu tidak

mempedulikan peringatan-peringatan dari

berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan

pada waktu kapal akan berangkat.

Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa

perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat”

dengan “kecelakaan itu”.

C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat

Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi

dan dalam delik comisionis per ommisionem

commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya).

Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang

dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik

omissi persoalannya mudah, karena delik omissi

itu adalah delik formil, sehingga tidak ada

persoalan tentang kausalitas.

Page 75: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

75

Yang ada persoalan ialah pada delik

commisionis per omission commissa. Pada delik

ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak

berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa

pendirian :

a. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa

menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan

kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang

berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak

mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini

tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan

alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu

pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana

ini).

b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang

positif yang dilakukan oleh sipembuat pada

saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang

ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi

susu, yang disebut sebagai sebab ialah

“sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia

tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko.

Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori

inipun tidak dapat diterima, karena kepergian

Page 76: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

76

ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan

dengan akibat itu.

c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan

yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini

disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal

seorang penjaga wesel yang menyebabkan

kecelakaan kereta api karena tidak

memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang

menjadi sebab ialah apa yang dilakukan

penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan,

sebab sulit dilihat hubungannya antara

penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul.

d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan

sebab dari sesuatu akibat, apabila ia

mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat.

Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya

yang nyata-nyata tertulis dalam suatu

peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan

yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang

berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di

bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada

kewajiban berbuat atau tidak :

Page 77: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

77

1) Ada anak yang dibunuh; orang tuanya

mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat

apa-apa. Apakah orang tua bertanggung

jawab sebagai ikut berbuat dalam

pembunuhan ?

Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober

1883): tidak, tetapi memang sikap

semacam itu sangat tercela (laakbaar)

dan tidak patut.

2) Seorang penjaga gudang membiarkan

pencuri melakukan aksinya, ia dapat

dipertanggungjawabkan, sebab sebagai

penjaga ia berkewajiban untuk menjaga

dan berbuat sesuatu.

Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal

tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi,

bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari

suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga

merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis

per omissionem commissa (delik omissi yang tidak

sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak

berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat

sesuatu”, yang diharapkan untuk

Page 78: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

78

diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini

hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan

“berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat

untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut

teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit,

dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya

akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.

Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal

hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif

(yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan

syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari

persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab

pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah

yang menyangkut orangnya.

Page 79: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

79

BAB IV

SIFAT MELAWAN HUKUM

(Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk,

Onrechmatig)

A. Istilah dan Pengertian

KUHP memakai istilah bermacam-macam :

a. tegas dipakai istilah “melawan hukum”,

(wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1),

522;

b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa

mempunyai hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549);

“tanpa izin” (zonder verlof) (pasal 496, 510);

Page 80: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

80

“dengan melampaui kewenangannya” (pasal 430);

“tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan

oleh peraturan umum” (pasal 429).

Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan

unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam

sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang-

undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak

dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau

berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu,

mungkin dipidana pula.

Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga

pendirian:

1. bertentangan dengan hukum (Simons)

2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang

lain (Noyon)

3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak

perlu bertentangan dengan hukum (H.R).

Salah satu unsur dari tindak pidana adalah

unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan

Page 81: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

81

suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan

bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu

perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang

akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam

rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut

“tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti

sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana

dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand

dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male,

ialah masing-masing unsur dari rumusan delik.

Pengecualian atas tasbestand mer male,

dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi

rumusan delik (tatbestandsmaszig) itu tidak

senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin

ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya

perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan

perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) :

1) regu penembak, yang menembak

mati seorang terhukum yang telah dijatuhi

hukuman pidana mati, memenuhi unsur-unsur

Page 82: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

82

delik tersebut pasal 338 KUHP. Perbuatan mereka

tidak melawan hukum.

2) Jaksa menahan orang yang sangat

dicurigai telah melakukan kejahatan. Ia tidak dapat

dikatakan melakukan kejahatan tersebut pasal 333

KUHP, karena ia melaksanakan undang-undang

(terdapat dalam peraturan hukum acara pidana)

sehingga tidak ada unsur melawan hukum.

Di dalam kedua contoh tersebut hal yang

menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan

terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam

kasus :

- seorang ayah memukul seorang pemuda yang

memperkosa anak-anaknya

- seorang menembak mati temannya atas

permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan

tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter,

karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan

- seorang bioloog membedah binatang-binatang

(vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah.

Page 83: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

83

Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan

hukumnya perbuatan. Contoh lain yang

mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah :

- Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936

Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama

dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut

hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan

pelanggaran adat ini, maka Mamak dari

perempuan ini bersama-sama dengan orang lain

mendatangi orang tersebut untuk dimintai

pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki

itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan itu

tidak mau membuka pintu rumahnya pintu

didobrak.

Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak

cs melanggar pasal KUHP (merusak ketentraman

rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara

dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan

- Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933

Page 84: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

84

Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan

sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke

dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah

sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan

sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan

itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik

tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak,

ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam

keadaan yang membahayakan / mengkhawatirkan.

Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan

pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan

untuk kepentingan peternakan. Putusan

Mahkamah Agung Belanda : Pasal 82 Undang-

undang ternak tidak dapat diterapkan kepada

dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain :

“tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang

melakukan perbuatan yang diancam pidana itu

mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri

tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya

alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali

dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum

tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan

meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena

Page 85: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

85

dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan

ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal

yang bersangkutan tidak berlaku terhadap

perbuatan yang secara letterlijk memenuhi

rumusan delik”.

Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum

Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana

membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua

sudut pandang yaitu :

1. menurut ajaran sifat melawan

hukum yang formil

suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum,

apabila perbuatan diancam pidana dan

dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-

undang; sedang sifat melawan hukumnya

perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan

suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut

ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan

atau bertentangan dengan undang-undang

(hukum tertulis).

Page 86: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

86

Menurut Simons, “Memang boleh diakui, bahwa

suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam

sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat

melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat

melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di

dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu

pengecualian berlakunya ketentuan / larangan itu.

Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum

tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga

alasan yang disebut dalam undang-undang tidak

boleh diartikan lain daripada secara limitatief.

2. menurut ajaran sifat melawan

hukum yang materiil

Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak,

tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang

(yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat

berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis.

Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-

nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus

berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga

Page 87: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

87

berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber

gezetzlich).

Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama

dengan bertentangan dengan undang-undang

(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan

hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan

sebagainya sebagaimana para sarjana yang

menganut ajaran sifat melawan hukum yang

meteriil ialah :

a) Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan

terhadap kepentingan hukum hanyalah

bersifat melawan hukum materiil (materiel

rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan

dengan tujuan ketertiban hukum (den

Zwecken der das Zusammenleben regelnden

Recht sordnung widerspricht); kalau tidak

bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak

bersifat melawan hukum.

b) Zu Dohna mengatakan :

Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika

perbuatan itu merupakan upaya yang haq

Page 88: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

88

untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum

techten zwecke). Contohnya ialah seorang

yang memukulpemuda yang memperkosa

anak perempuannya. Di sini menurut Zu

Dohna perbuatan ayahnya tidak bersifat

melawan hukum.

c) M.E. Mayer mengatakan :

Perbuatan itu melawan hukum materiil atau

tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan

(kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti

bertentangan dengan kulturnorm yang diakui

oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai

dengan kulturnorm itu maka sifat melawan

hukumnya hapus.

d) Zevenbergen

Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum,

obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya

ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan

delik dalam undang-undang, tetapi mengenai

hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian

Page 89: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

89

yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh

ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan

mengenai sifat melawan hukum maka tidak

boleh ada penjatuhan pidana.

e) Van Hattum

Dengan adanya keputusan Hoge Raad

tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan :

dengan itu menurut hemat saya (mer van

Hattum) telah diterima ajaran sifat melawan

hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan

telah dipecahkan persoalan mer azas-azas

yang boleh dikatakan benar dalam ajaran

“penentuan hukum” dewasa ini (in de

hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist).

Persaksian terhadap sifat melawan hukum

yang materiil itu harus dilakukan secara hati-

hati, dan istimewa hakim harus membuka diri

pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal

abortus protus (ps. 348 KUHP) bisa tidak

melanggar hukum berdasarkan petunjuk

eugenetisch atau sosial. (Eugenetiek adalah

Page 90: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

90

ajaran yang mempelajari perbaikan ras /

keturunan).

Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya

perbuatan, bila suatu perbuatan itu memenuhi

rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi

bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan

tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya

alat pembenar (rechtvaardigingsgrond). Bagi mereka

yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang

formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan

hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat

melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil

dan luar hukum yang tertulis.

Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam

perkara kongkrit yang sedang dihadapi harus

mempertimbangkan :

a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang

tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum

yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-

betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu

dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang

Page 91: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

91

dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang

adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa,

juga dipandang adil / benar oleh seluruh

masyarakat pada umumnya.

b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang

tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum

yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-

betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu

dapat menghapuskan kekuatan berlakunya

peraturan yang tertulis dsb.

c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan

masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang

tertulis, yang dibuat dengan sah.

Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap-

tiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari

keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar

mengetahui bagaimanakah keadaan masyarakat

lebih-lebih keadaan masyarakat Indonesia yang

dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat

yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata,

pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat

menangkap apa yang sedang terjadi dalam

Page 92: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

92

masyarakat, agar supaya putusannya tidak

kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh

kepribadiannya harus bertanggung jawab atas

kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun

secara materiil.

Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil

itu perlu dibedakan :

- dalam fungsinya yang negatif

Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam

fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan

adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang

melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi

rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai

alasan penghapus sifat melawan hukum.

- dalam fungsinya yang positif

Pengertian sifat melawan hukum yang materiil

dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu

perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun

tidak nyata diancam dengan pidana dalam

Page 93: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

93

undang-undang, apabila bertentangan dengan

hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar

undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak

tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

Kalau Seminar Hukum Nasional tersebut di atas

menganut ajaran sifat melawan hukum yang

materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya

yang negatif. Ini adalah konsekwensi dari

diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional

nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang

ini dimana juga masih tercantum azas seperti

tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang

mengakui azas nullum delictum dalam arti yang

sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat

melawan hukum yang materiil dalam fungsinya

yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan

bahwa B telah membunuh C kakak dari A.

Memang di daerah yang bersangkutan ada

anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur

dengan nyawa.

B. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum

Page 94: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

94

Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan

delik :

1. ada yang tercantum dengan

tegas, maka dalam hal ini adanya unsur tersebut

harus dibuktikan

2. ada pula yang tidak

tercantum. Terhadap delik-delik semacam itu ada

perbedaan paham :

a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap

mempunyai fungsi yang positif untuk

sesuatu delik (artinya ada delik kalau

perbuatan itu bersifat melawan hukum),

maka harus dibuktikan. Sifat melawan

hukum disini sebagai unsur konstitutif.

b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap

mempunyai fungsi yang negatif (artinya :

tidak ada unsur sifat melawan hukum pada

perbuatan merupakan pengecualian untuk

adanya suatu delik), maka tidak perlu

dibuktikan.

Page 95: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

95

Yang menganggap sifat melawan hukum itu

mempunyai fungsi yang positif (merupakan unsur

konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang

menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi

yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons,

“ajaran sifat melawan hukum untuk hukum pidana

pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan

dengan pertanyaan apakah ada pengecualian yang

menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”.

Prof. Muljatno yang meskipun menganggap unsur

sifat melawan hukum adalah syarat mutlak yang tak

dapat ditinggalkan”, namun berpendirian, bahwa itu

tidak berarti bahwa dalam lapangan procesueel

(acara pemeriksaan perkara) sifat itu harus

dibebankan pembuktiannya kepada penuntut umum.

Beliau setuju, jika tak disebut dalam rumusan delik,

unsur dianggap dengan diam-diam ada, kecuali jika

dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, karena pada

umumnya dengan mencocoki rumusan undang-

undang sifat melawan hukumnya perbuatan sudah

ternyata pula. Hazewinkel-Suringa memandang sifat

Page 96: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

96

melawan hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak

pidana.

C. Putatif Delik

Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini

ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini

terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict,

padahal perbuatannya itu sama sekali bukan suatu

delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan

hukum.

Page 97: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

97

BAB V

KESALAHAN DAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab

(Zurechnungsfahigkeit –

Toerekeningsvatbaarheid)

Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggung-

jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu

bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat

Page 98: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

98

dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu

bertanggung jawab.

Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung-

jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya

kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak

memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana

Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan

bertanggung jawab”.

Simons : “kemampuan bertanggung jawab dapat

diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian,

yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya

pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari

orangnya”.

Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu

bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :

a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari

bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum

b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan

kesadaran tersebut.

Page 99: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

99

Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah

suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan

(kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan :

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat

perbuatannya sendiri

b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu

menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas

perbuatannya-perbuatannya itu

Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung-

jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan

hidupnya dengan cara yang patut.

Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga

kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah

seseorang itu dikatakan “dapat mempertahankan

hidupnya dengan cara yang patut” ?

Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan)

secara negative menyebutkan mengenai kemampuan

bertanggung jawab itu, antara lain demikian :

Page 100: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

100

Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku

:

a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih

antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa

yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-

undang.

b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang

sedemikian rupa, sehingga tidak dapat

menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan

dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat

perbuatannya.

Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi

untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam

praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan

ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk

mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal

jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk

menilai dengan pikiran atau perasaannya bahwa

perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan

berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.

Page 101: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

101

Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu

ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “norm-

adressat” (sasaran norma), yang mampu. Seorang

terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu

bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat

pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana).

2. Kesalahan

2.1. Pengertian Kesalahan

Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan

membuktikan bahwa orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau

bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya

memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan

tidak dibenarkan (an objective breach of a penal

provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat

untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat

dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu

adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan

Page 102: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

102

itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika

dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam

hal ini berlaku asas “TIADA PIDANA TANPA

KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen

straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa”

disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).

Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia

atau dlam peraturan lain, namun berlakunya asas

tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan

dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi

pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6

ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4

/ 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi

pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang,

mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap

dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan

yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu,

sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang,

Page 103: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

103

dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) “sing salah,

seleh” (yang bersalah pasti salah). Untuk adany

pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas

“tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di

atas mempunyai sejarahnya sendiri.

Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat

pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan

kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht

atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang

berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana

(taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat

dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang

ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht,

artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya

kesalahan pada si pelaku.

Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam

sistem hukum di Negara Eropa Kontinental, unsur

kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di

Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim

(asas) “Actus non facit reum nisi mens sit rea” atau

disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil

Page 104: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

104

will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt

melekat pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent

(kesengajaan setidak-tidaknya negligence (kealpaan).

2.2. Dasar Pemikiran

Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan

sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat

dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada

pemikiran tentang hubungan antara perbuatan

dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan

antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak

adanya kesalahan ada 3 pendapat dari :

a. Aliran klasik yang melahirkan pandangan

indeterminisme, yang pada dasarnya

berpendapat, bahwa manusia mempunyai

kehendak bebas (free will) dan ini merupakan

sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa

ada kebebasan kehendak maka tidak ada

kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan,

maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada

pemidanaan.

Page 105: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

105

b. Aliran positivist yang melahirkan pandangan

determinisme mengatakan, bahwa manusia

tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan

kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak

(dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam

hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-

motif ialah perangsang-perangsang yang datang

dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan

watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang,

tidak dapat dicela atas perbuatannya atau

dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia

tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun

diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu

tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak

pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya.

Justru karena tidak adanya kebebasan

kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab

dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi

terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa

tindakan (maatregel) untuk ketertiban

masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti

Page 106: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

106

penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh

si pelaku.

c. Dalam pandangan ketiga melihat

bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak

itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal

(irrelevant). Kesalahan seseorang tidak

dihubungkan dengan ada dan tidak adanya

kehendak bebas

1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana

Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang

kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di bawah

ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai

penulis.

a. MEZGER mengatakan : kesalahan adalah

keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk

adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku

tindak pidana (Schuldist der Erbegriiffder

Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen

personlichen Verwurf gegen den Tater

begrunden).

Page 107: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

107

b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai

pengertian yang “sociaal ethisch” dan

mengatakan antara lain :

“Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab

dalam hukum pidana ia berupa keadaan

psychisch dari si pelaku dan hubungannya

terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa

berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu

perbuatannya dapat dicelakakan kepada si

pelaku”.

c. VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan

dalam suatu delik merupakan pengertian

psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si

pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena

perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan

jawab dalam hukum (Schuld is de verant

woordelijkheid rechtens)”.

d. VAN HATTUM berpendapat : “Pengertian

kesalahan yang paling luas memuat semua unsur

dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan

menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang

Page 108: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

108

melawan hukum, meliputi semua hal, yang

bersifat psychisch yang terdapat dapat

keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk

si pelakunya (al het geen psychisch is aan dat

complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en

deswege een strafbare dader).

e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa”

mengatakan : “Pengertian salah dosa

mengandung celaan. Celaan ini menjadi

dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum

pidana”. Selanjutnya ia katakan : “Salah dosa

berada, jika perbuatan dapat dan patut

dipertanggungkan atas si perbuat; harus boleh

dicela karena perbuatan itu; perbuatan itu

mengandung perlawanan hak; perbuatan itu

harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun

dengan salah”.

f. POMPE mengatakan antara lain : “Pada

pelanggaran norma yang dilakukan karena

kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu

merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan

hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya,

Page 109: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

109

yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah

kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch.

Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang

sebagai hubungan psychologis (batin) antara

pelaku dan perbuatannya. Hubungan batin

tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan,

pada kesengajaan hubungan batin itu berupa

menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan

pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.

Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif)

keadaan batin berupa kehendak terhadap

perbuatan atau akibat perbuatan.

Dari pengertian-pengertian kesalahan dari

beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan

dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut :

- Pengertian kesalahan yang normatif

Pandangan yang normatif tentang kesalahan

ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya

berdasar sikap batin atau hubungan batin antara

pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu

harus ada unsur penilaian atau unsur normatif

Page 110: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

110

terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya

penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara

sipelaku dengan perbuatannya.

“Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan

dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat

dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya

diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan

bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat

dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam kepala

orang-orang lain”, ialah di dalamkepala dari mereka

yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang

memberi penilaian pada instansi terakhir adalah

hakim.

Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku

ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap

diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur

dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban

pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian

mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan

bertanggungjawab dan tidak adanya alasan

penghapus kesalahan.

Page 111: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

111

1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana

Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut :

a. menurut akibatnya ia ada hal yang dapat

dicelakakan (verwijtbaarheid)

b. menurut hakekatnya ia adalah hal dapat

dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang

melawan hukum

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah

dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur

pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan

tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan

sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat

dicelakakan kepadanya, pencelaan disini bukannya

pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan

berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische

schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti

dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk

adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan

ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat,

bahwa “das Recht ist das ethische Minimum”. Setidak-

tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati

Page 112: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

112

tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama

hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup

bersama.

1. Arti “kesalahan” dalam hukum Pidana

Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian

yaitu :

a. kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya,

yang dapat disamakan dengan pengertian

“pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di

dalamnya terkandung makna dapat dicelanya

(verwijtbaarheid) sipelaku atas perbuatannya. Jadi

apabila dikatakan, bahwa orang bersalah

melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti

bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.

b. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan

(sculdvorm) yang berupa :

1. kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau

intention) atau

2. kealpaan (culpa, onachtzaamheid,

fahrlassigkeit atau negligence).

Page 113: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

113

c. kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan

(culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas.

Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini

sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah

“kealpaan”.

Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti

luas) sebagai dapat dicelanya si pelaku atas

perbuatannya, maka berubahlah pengertian

kesalahan yang psychologis menjadi pengertian

kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).

2. Unsur-unsur dari kesalahan (dalam arti yang

seluas-luasnya)

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan

dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi :

a. adanya kemampuan bertanggungjawab

pada sipelaku (schuldfahigkeit atau

zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa

sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah

orang tertentu menjadi “normadressat” yang

mampu.

Page 114: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

114

b. hubungan batin antara sipelaku dengan

perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus)

atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk

kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin

seseorang pelaku terhadap perbuatannya.

c. tidak adanya alasan yang menghapus

kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun

apa yang disebut dalam a dan b ada, ada

kemungkinan bahwa ada keadaan yang

mempengaruhi sipelaku sehingga kesalahannya

hapus, misalnya dengan adanya kelampauan

batas pembelaan terpaksa (ps. 49 KUHP)

Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang

bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau

mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga

bisa dipidana.

Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya

kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya

(pertanggungan jawab pidana) orang yang

bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu

bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.

Page 115: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

115

Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak

melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk

menerapkan kesalahan sipelaku.

Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan

yang melawan hukum tidak dengan sendirinya

mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan

sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu.

Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa

menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat

pemidaan ialah adanya :

1. dapat dipidananya perbuatan

(strafbaarheid van het feit)

2. dapat dipidananya orangnya

atau pelakunya (strafbaarheid van de persoon).

Page 116: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

116

BAB VI

KESENGAJAAN

(DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)

Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-

luasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan

batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang

dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa

berupa kesengajaan atau kealpaan.

Page 117: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

117

Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita

tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui

arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van

Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet)

sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en

wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa

sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang

dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan

sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu

mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan

itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu

kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan

perbuatannya.

1. Teori-teori Kesengajaan

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat

dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan

mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum

pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:

a. Teori kehendak (wilstheorie)

Page 118: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

118

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk

mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan

undang-undang (Simons, Zevenbergen)

b. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstelling-

theorie)

Sengaja berarti membayangkan akan akibat

timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa

menghendaki akibat, melainkan hanya dapat

membayangkannya. Teori ini menitikberatkan

pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh

sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia

akan berbuat. (Frank).

Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua

teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui

bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk

berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori

adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya

saja.

2. Bentuk Kesengajaan

Page 119: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

119

Dalam hal seseorang melakukan sesuatu

dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap

batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari

kesengajaan sebagai berikut :

a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)

untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus

directus

b. kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met

zekerheidsbewustzijn atau

noodzakkelijkheidbewustzijn

c. kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus

eventualis atau voorwaardelijk-opzet)

Bentuk kesengajaan ini merupakan bentuk

kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan

sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang

dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak

akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan

beserta akibatnya.

Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B

agar B tidak membohong.

Page 120: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

120

Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan

motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang

mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel

dsb.

Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor

kausa yang menghubungkan perbuatan dengan

akibat (kausalitas) dimana :

1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat

merupakan delik tersendiri atau tidak.

2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan

suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no.

1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi.

Contoh 1 :

A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B

duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan

terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik

restoran itu.

Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan

tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406

Page 121: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

121

KUHP) ada kesengajaan dengan keinsyafan

kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya

tujuan.

Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula

merupakan diperkirakan sipelaku sebagai

kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar

terjadi merupakan resiko yang harus diemban

sipelaku.

Contoh 2 :

A hendak membalas dendam B yang bertempat

tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun

dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa

ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga

akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya,

meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap

mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan

dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam

batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan

baginya.

Page 122: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

122

Jadi dalam kasus ini :

Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B

dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan

terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911)

Contoh 3 :

Seorang yang melakukan penggelapan, merasa

bahwa akhirnya ia akan ketahuan. Ia ingin

menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak

membunuh dirinya dengan merencanakan sustu

kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang

dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang.

Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi

(1 ton) itu dapat dibayarkan kepada soprnya.

Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka.

Beberapa penumpang bis mengalami luka dan

seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa.

R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang diperkuat

oleh Hoogerechtshof dalam tingkat banding

menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan

Page 123: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

123

penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain

sebagai berikut:

Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang-

penumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini

ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan

perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang

mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers,

ketika menjadi Jaksa Tinggi (Officier van Justitie)

pada R.v.J di Semarang.

3. Dolus Eventualis

Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana

sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki

suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana,

akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat

mengelak dari suatu keadaan tertentu.

Contoh:

Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan

lajunya di jalan dalam kota. Dimuka ia lihat

Page 124: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

124

sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila

ia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa

menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil

tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya

itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada

kesengajaan unuk menganiaya atau membunuh,

meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia

mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki

hal itu, dalam arti, meskipun ia sadar akan

kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia

mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima

apa boleh buat kemungkinan itu, dengan

melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya.

Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan

bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan

perbuatan dengan sengaja. Bagaimanakah

menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar

kemungkinan (dolus eventualis) ?

Berdasarkan teori kehendak, jika sipelaku

menetapkan dalam batinnya, bahwa ia lebih

menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun

Page 125: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

125

nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari

pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut

juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan

itu.

Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui /

membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat

yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak

mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat

dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada

akibat yang mungkin terjadi itu.

Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam

batin si – pelaku terjadi suatu proses, bahwa ia lebih

baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu

yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori

itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (“In

Kauf nehmen theorie”atau” op de koop toe nemen

theorie”).

Menurut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen

theorie “atau”op de koop toe nemen theorie”) keadaan

batin si pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai

berikut:

Page 126: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

126

a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia

benci atau takut akan kemungkinan timbulnya

akibat itu

b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya,

namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa

boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia

berani memikul resiko.”

Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S.

Menteri Modderman mengatakan, bahwa

“voorwaardelijkk opzet” (dolus eventualis) itu ada,

apabila kehendak kita langsung ditujukan pada

kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui

bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun

kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan

terjadinya hal yang telah kita ketahui itu.

Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya

tidak perlu lagi untuk membedakan kesengajaan

dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan

sadar kemungkinan.

Page 127: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

127

Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang

kesengajaan si-pelaku adalah dengan melihat

bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat

perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan

dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap

perbuatannya.

Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan

kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah

mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap

batin yang berupa kesengajaan (atau kealpaan) itu

benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat

secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain,

lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu

orang ini berbuat.

Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan

batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran.

Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan

dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam

banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya

kesengajaan itu.

Contoh Van Bemmelen:

Page 128: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

128

A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2

meter.

Meskipun A mungkin, bahwa ia mempunyai

kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap

akan menentukan adanya kesengajaan tersebut,

kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang

sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi

atau bahwa matinya B itu disebabkan karena

kekhilafan dari A.

Dalam hal ini diragukan adanya kesenjajaan,

sehingga ada pembebasan. Hakim harus sangat

berhati-hati. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan

tidak berwarna (kleurloos). Persoalan ini berhubungan

dengan masalah: apakah untuk adanya kesengajaan

itu sipelaku harus menyadari bahwa perbuatannya itu

dilarang (bersifat melawan hukum) ?

Mengenai hal ini ada 2 pendapat, ialah yang

mengatakan bahwa:

a. sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan

melakukan sesuatu perbuatan mencakup

Page 129: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

129

pengetahuan sipelaku bahwa perbuatanya

melawan hukum (dilarang); harus ada hubungan

antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan

hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja

disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk

berbuat jahat (boos opzet). Jadi menurut pendirian

yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu

bahwa sipelaku menyadari bahwa perbuatannya

dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen,

yang mengatakan (dalam bukunya leerboek van

het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman

169), bahwa: Kesengajaan senantiasa ada

hubungannya dengan dolus molus, dengan

perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul

adanya kesadaran mengenai sifat melawan

hukumnya perbuatan.” Untuk adanya

kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada

sipelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya

dilarang dan/atau dapat dipidana

b. Kesengajaan tidak berwarna

Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak

berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk adanya

Page 130: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

130

kesengajaan cukuplah bahwa sipelaku itu

menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak

perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang / sifat

melawan hukum.

Dapat saja sipelaku dikatakan berbuat dengan

sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa

perbuatannya itu dilarang atau bertentangan

dengan hukum.

Penganut-penganutnya antara lain : Simons,

Pompe, Jonkers. Menurut M.v.T. tidak perlu ada

“boos opzet”. M.v.T. mengatakan demikian :

“Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu

apakah sipelaku tidak harus menyadari, bahwa ia

melakukan suatu perbuatan yang menurut tata

susila tidak dibenarkan (zadelijk ongeoorlooid) ?

Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau

perlukah adanya “kesengajaanj jahat” (boos opzet)

?

Jawabnya tidak akan lain dari pada itu.

Page 131: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

131

Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan

itu berwarna ialah akan merupakan beban yan

berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan

adanya kesengajaan, tiap kali ia harus

membuktikan bahwa pada terdakwa ada

kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya

perbuatan itu. Sebaliknya, alasan bahwa

kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi

termasuk kesengajaan, berisi bahwa sipelaku

harus sadar bahwa perbuatan itu keliru.

Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu,

meskipun pada kenyataannya ia melakukan

perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia

tidak dapat dipidana.

4. Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP

M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara

lain, bahwa “unsur-unsur delik yang terletak

dibelakang perkataan opzettelijk (dengan sengaja)

dikuasai atau diliputi olehnya”.

Page 132: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

132

Oleh karena itu pembentuk undang-undang

menetapkan dengan seksama dimana letak perkataan

“opzettelijk” itu. (bacalah ps. 151 dan 152 dan

bandingkan letak perkataan sengaja dalam kedua

pasal tersebut). Unsur yang terletak di muka

perkataan “opzettelijk” disebut “diobjektip-kan”

(geobjektiveerd), artinya dilepaskan dari kekuasaan

kesengajaan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa

kesengajaan sipelaku ditujukan kepada hal tersebut,

seperti halnya ps. 152. Lihat ps. 303 KUHP.

Kesengajaan disini harus ditujukan kepada hal-hal

apa saja ? Pecahkanlah sendiri !

Dalam hal itu asas yang dianut M.v.T. itu tidak

berlaku untuk semua delik. Ada pengecualiannya.

Lihat ps. 187 KUHP. Di sini ada keadaan-keadaan,

yang disebut di belakang perkataan sengaja,

diobjektipkan, sehingga tak perlu dibuktian bahwa

kesengajaan pelaku ditujukan kepada hal tersebut

yang diobjektipkan, artinya yang tidak perlu

ditanyakan apakah sipelaku mengetahui atau

menghendakinya, ialah “dapat terjadinya bahaya

umum atau bahaya maut tersebut”.

Page 133: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

133

Demikianlah teknik perundang-undangan yang

diikuti oleh KUHP dalam teks Belanda. Yang menjadi

masalah ialah apabila kita menghadapi KUHP dalam

teks Bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan teks

resmi. Tata bahasa kedua bahasa itu tidak sama, oleh

karena itu teknik perundang-undangan dalam

menyusun kalimat tentunya tidak dapat atau tidak

perlu mengikuti KUHP sepenuhnya. Menghadapi teks

terjemahan yang diusahakan oleh beberapa penulis

sekarang ini tidak ada jalan lain bagi pelaksana

hukum misalnya hakim, untu melihat teks aslinya ialah

teks Bahasa Belanda dan mendasarkan penafsiran

pada teks tersebut.

Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur “met

het oogmerk om ........ (dengan tujuan untuk),

misalnya pada delik pencurian (ps. 362), pemalsuan

surat (ps. 263), ialah yang disebut “Tendenz-delikte”

atau Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur

tersebut bukannya unsur kesengajaan, melainkan

unsur melawan hukum subjektif. Unsur ini

memberi.sifat atau arah dari perbuatan yang

dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.

Page 134: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

134

Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur ”met

het oogmerk om..............(dengan tujuan untuk.........),

misalnya dalam delik pencurian (pasal 362),

pemalsuan surat (pasal 263), ialah apa yang disebut

“Tendenz-delikte” atau “Absicht-delikte”, ada pendapat

bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan,

melainkan unsur melawan hukum yang subjektif.

Unsur ini memberi sifat atau arah dari perbuatan yang

dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.

4.1. Kata “dan”

Dalam KUHP (teks Belanda), dalam merumuskan

sesuatu delik, terdapat bentuk rumusan:

- Sengaja tanpa ada rumusan unsur melawan

hukum (wederrechtelijk)

- Sengaja melawan hukum (wederrechtelijk) tanpa

kata dan

- Meyisipkan kata “dan” diantara perkataan

“sengaja” dan perkataan “melawan hukum”, jadi

merumuskan sebagai “sengaja dan melawan

hukum” (opzettelijk en wederrechtelijk).

Page 135: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

135

Contoh:

Pasal 333: Hij die opzettelijk iemand wederrechtelijk

van devrijhiid berooft of berooft houdt..............

Dalam pasal ini jelas bahwa kesengajaan meliputi

melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain

pelaku harus tahu, bahwa perbuatan yang dilakukan

itu bertentangan dengan hukum, disamping ia berbuat

dengan sengaja. Apabila ia dengan iktikad baik (te

goeder trouw) mengira, bahwa ia dalam keadaan

tertentu boleh merampas kemerdekaan seseorang,

maka ia tak dapat dipidana. Disini ada kesesatan

yang bisa membebaskan.

Pasal 406: Hij die opzettelijk en wederrechitelijk enig

goed dat geheel of ten deele aan een onder toebe

hoort, vernielt, beschadigt, onbruik baar maakt of

wegmaakt, wordt.....................

Dalam rumusan (dalam bahasa Belanda) yang

demikian ini menjadi persoalan apakah sifat melawan

hukumnya perbuatan juga harus diliputi oleh

Page 136: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

136

kesengajaan. Mengenai hal ini terdapat tiga

pandangan:

a. Perkataan “en” (dan) menunjukkan kedudukan

yang sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu

ditujukan kepada sifat melawan hukumnya

perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan

hukum ini diobjektipkan. Sipelaku tidak perlu tahu

bahwa perbuatannya melawan hukum.

Contoh pasal 406 : Seorang pekerja yang

mendapat perintah dari pemilik rumah untuk

membongkar rumahnya, tetapi sebelum

melaksanakan perintah tersebut, tanpa diketahui

olehnya rumah itu ganti pemilik. Ia terus saja

membongkar. Ia merusak dengan sengaja dan

dengan melawan hukum. Ia dapat dipidana.

b. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya.

Semua delik yang menurut unsur “sengaja

melawan hukum” dapat dibaca “sengaja dan

melawan hukum”, yang berarti dua hal yang

terpisah dan tidak berpengaruh satu sama lain,

Page 137: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

137

meskipun tidak ada perkataan “en” (dan) tersebut :

Dalam hukum, pendapat ini diragukan.

c. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya

Berbeda dengan pendapat ke 2 tersebut,

pendapat ini justru mengartikan sengaja dan

melawan hukum “sebagai” sengaja melawan

hukum. Jadi meskipun ada perkataan dan,

kesengajaan sipelaku harus ditujukan kepada

melawan hukumnya perbuatan, sesuai dengan

asas, bahwa semua unsur yang terletak di

belakang perkataan sengaja dikuasai olehnya.

Jadi menurut pendapat ini dalam contoh tersebut

di atas, si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia

sama sekali tidak mengetahui sifat melawan

hukumya perbuatan yang ia lakukan.

Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat

yang pertama, sedang Vos, Zevenbergen,

Langemeyer mengikuti pendapat yang ketiga. Hoge

Raad mengikuti pendapat pertama. Dalam arrest tgl.

21 Desember 1914 dimuat antara lain : karena antara

unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum ada

Page 138: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

138

perkataan “en”, maka unsur melawan hukum tidak

diliputi oleh kesengajaan.

Bagi Prof. Muljatno perkataan “dan” diantara

perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum”

tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu

harus dikuasai oleh unsur kesengajaan. Pelaku harus

tahu bahwa yang dilakukan itu bersifat melawan

hukum.

5. Kesengajaan Menurut Doktrin

Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa macam

kesengajaan :

a. dolus premeditatus

Bentuk ini mengacu pada rumusan delik yang

mensyaratkan unsur “dengan rencana lebih

dahulu” (met voorbedachte rade) sebagai unsur

yang menentukan dalam pasal. Ini terdapat dalam

delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340,

342 KUHP.

Page 139: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

139

Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya

“kesengajaan” dan bukan merupakan bentuk atau

tingkat kesengajaan. Menurut M.v.T. untuk

“voorbedachte rade” diperlukan “saat memikirkan

dengan tenang” (een tijdstip van kalm overleg, van

bedaard nedenken). Untuk dapat dikatakan “ada

rencana lebih dulu”, si pelaku sebelum atau ketika

melakukan tindak pidana tersebut, memikirkan

secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan

ia lakukan.

b. dolus determinatus dan indeterminatus

Unsurnya ialah pendirian bahwa kesengajaan

dapat lebih pasti atau tidak. Pada dolus

determinatus, pelaku misalnya menghendaki

matinya orang tertentu, sedang pada dolus

indeterminatus pelaku misalnya menembak ke

arah gerombolan orang atau menembak

penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak

mau disuruh berhenti, atau meracun reservoir air

minum, dan sebagainya.

c. dolus alternativus

Page 140: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

140

Dalam hal ini, sipelaku menghendaki atau A atau

B, akibat yang satu atau yang lain

d. dolus indirectus, Versari in re illicita

Ajaran tentang “dolus indirectus” mengatakan,

bahwa semua akibat dari perbuatan yang

disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau

tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang

ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan

tegas ditolak oleh pembentuk undang-undang.

Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal

Perancis. Dolus ini ada, apabila dari suatu

perbuatan yang dilarang dan dilakukan dengan

sengaja timbul akibat yang tidak diinginkan.

Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh

dan dilindas mobil. Ini oleh Code Penal dipandang

sebagai “meutre”. Hazewinkel-Suringa

menganggap hal ini sebagai suatu pengertian

yang tidak baik.

Page 141: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

141

Ajaran dolus indirectus ini mengingatkan orang

kepada ajaran kuno (hukum kanonik) tentang

pertanggung-jawab, ialah versari in re

illicita.menurut ajaran ini seseorang yang

melakukan perbuatan terlarang juga

dipertanggung-jawabkan atas semua akibatnya.

Dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana,

meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan sama

sekali olehnya dan timbul secara kebetulan. Di

Inggris dan Spanyol pengertian dolus indirectus

adalah sama dengan apa yang kita sebut “dolus

eventualis”.

e. dolus directus

Ini berarti, bahwa kesengajaan sipelaku tidak

hanya ditukaun kepada perbuatannya, melainkan

juga kepada akibat perbuatannya.

f. dolus generalis

Pada delik materiil harus ada hubungan kausal

antara perbuatan terdakwa dan akibat yang tidak

dikehendaki undang-undang.

Page 142: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

142

Misalkan seseorang yang bermaksud untuk

membunuh orang lain, telah melakukan

serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan

kemudian melemparnya ke dalam sungai. Menurut

otopsi (pemeriksaan mayat) matinya orang ini

disebabkan karena tenggelam, jadi pada waktu

dilempar ke air ia belum mati.

Menurut ajaran kuno disini ada dolus generalis,

ialah harapan dari terdakwa secara umum agar

orang yang dituju itu mati, bagaimanapun telah

tercapai. Simons menyetujui jenis dolus ini.

Hazewinkel-Suringa menganggap hal tersebut

secara dogmatis tidak tepat. Perbuatan pertama

(mencekik) dikualifikasikan sebagai “percobaan

pembunuhan”, sedang perbuatan kedua

(melempar ke kali) merupakan perbuatan yang

terletak / di luar lapangan hukum pidana atau

“menyebabkan matinya orang karena

kealpaannya”.

Contoh :

Page 143: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

143

Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari

bayinya, menaruh bayi itu di pantai dengan

harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan

tetapi air pasangnya tidak setinggi yang

diharapkan; namun bayinya mati karena kelaparan

dan kedinginan. Meskipun jalannya peristiwa tidak

tepat seperti yang dibayangkan oleh sipelaku,

namun karena akibat yang dikenhendaki telah

terjadi, maka disini menurut von Hippel ada

pembunuhan yang direncanakan. Pendirian von

Hippel ada pembunuhan yang direncanakan.

Pendirian Von Hippel ini sama dengan pendapat

H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962.

Page 144: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

144

BAB VII

KEALPAAN (CULPA)

(CULPA dalam arti sempit), SCHULD, NALATIGHEID,

RECKLESSNESS,NEGLIGENCE, FAHRLASSIGKEIT,

SEMBRONO, TELEDOR).

Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula

sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam

beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia

sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau

kurang penduga-duga.

Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang

memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa

Page 145: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

145

(culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam

:

Pasal 188 : Karena kealpaannya menimbulkan

peletusan, kebakaran dst

Pasal 231 (4) : Karena kealpaannya sipenyimpan

menyebabkan hilangnya dan

sebagainnya barang yang disita

Pasal 359 : Karena kealpaannya menyebabkan

matinya orang

Pasal 360 : Karena kealpaannya menyebabkan

orang luka berat dsb.

Pasal 409 : Karena kealpaannya menyebabkan

alat-alat perlengkapan (jalan api dsb)

hancur dsb.

Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada

umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk

kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang

sedemikian membahayakan keamanan orang atau

barang, atau mendatangkan kerugian terhadap

seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat

diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak

Page 146: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

146

terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono

(teledor), pendek kata “ schuld” (kealpaan yang

menyebabkan keadaan tadi)”.(er zijn feiten, die de

algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in

gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel

bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de

onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in

een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer

gaan”)

1. Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)

Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan

benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan

hal yang kebetulan (toevel atau caous).kealpaan

merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada

kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang

ringan.

Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk

adanya kealpaan:

a. Hazenwinkel – Suringa

Page 147: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

147

Ilmu pengetahuan hukum dan jurispruden

mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai:

1. kekurangan penduga – duga atau

2. kekurangan penghati-hati.

b. Van hamel

Kealpaan mengandung dua syarat:

1. tidak mengadakan penduga-duga

sebagaimana diharuskan oleh hukum.

2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana

diharuskan oleh hukum.

c. Simons:

Pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua

unsur :

1. Tidak adanya penghati-hati, di samping

2. dapat diduganya akibat

Page 148: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

148

d. Pompe.

Ada 3 macam yang masuk kealpaan

(anachtzaamheid):

1. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya

akibat

2. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der

mogelijkheid)

3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen

kennen van de mogelijkheid)

Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui

atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut juga

kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya

(=untuk tidak melakukan perbuatan).

Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara

normatif, dan tidak secara fisik atau psychis.

Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin

seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka

haruslah ditetapkan dari luar bagaimana

Page 149: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

149

seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran

sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam

situasi yang sama dengan si-pelaku itu.

a. “Orang pada umunya” ini berarti bahwa

tidak boleh orang yang paling cermat, paling

hati-hati, paling ahli dan sebagainya.

b. Untuk menentukan adanya kealpaan ini

harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang

harus memegang ukuran normatif dari

kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang

mewajibkan seseorang untuk melakukan

sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.

Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada

ketentuan bahwa” di simpangan jalan, apabila

datangnya bersamaan waktu maka kendaraan

dari kiri harus didahulukan”.

Apabila seorang pengendara dalam hal ini

berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang

diatur itu, maka apabila perbuatannya itu

mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain

luka berat, maka ia dapat dikatakan karena

Page 150: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

150

kealpaannya mengakibatkan orang lain

(Pasal. 360 (1) K.U.H.P)

Dalam hubungan ini VOS mengemukakan,

bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan

hukum telah tersimpul di dalam culpa itu

sendiri.

Ia menyatakan antara lain “Memang culpa

tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku,

namun culpa menunjukkan kepada tidak

patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu

tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah

mungkin perbuatan itu perbuatan yang

abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa.

Dalam delik culpoos tidak mungkin

diajukan alasan pembenar (rechtvaar

digingsgrond).

c. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya

kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi

harus culpa lata dan bukanya culpa levis

(kealpaan yang sangat ringan).

Page 151: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

151

2. Bentuk kealpaan

Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara

sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak

berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat

dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu

a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)

Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang

dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia

percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya

tidak akan terjadi

b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).

Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang

tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya

sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat

menduga sebelumnya.

Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang

disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang

Page 152: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

152

tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan

kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang

sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa

“kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang

mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada

pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”.

Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya.

Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan

suatu pengertian yang menyatakan keadan (bukan

feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus

dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi

tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.

3. Delik “pro parte dolus pro parte culpa”

Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188,

409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang

sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di

dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan

kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama.

Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik

yang salah satu unsurnya diculpakan.

Misalnya:

Page 153: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

153

Pasal 480 (penadahan)

Pasal 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan

penerbit).

Pasal 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).

Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah

“diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan

“sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga

bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau

kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada

salah satu unsur dari delik itu.

- Pada delik penadahan ditujukan kepada hal

“bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari

kejahatan”.

- Pada delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal

288) ditujukan kepada “umur-wanita belum lima

belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata,

bahwa belum mampu dikawin”.

- Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “

belum cukup umur dari orang yang sama kelamin

itu”.

Page 154: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

154

- Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484

ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang

menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat

dituntut, atau menetap diluar Indonesia.

Dalam surat dakwaan:

a. Cukup dicantumkan uraian kata-kata

presis seperti apa yang dirumuskan dalam

undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam

pasal 480 : benda), yang diketahui atau

sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari

kejahatan”.

b. Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus

dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan

ditetapkan oleh Hakim.

c. Pembuktiannya cukup secara normatif,

jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui.

Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat kasasi) yang

membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang

membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan

“schuldheling” (pasal 480), Hooggerechtshof (H.G.H)

Page 155: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

155

menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya

dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga

bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama

sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul-

betul mempunyai dugaan atau tidak.

Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan

dari terdakwa. Contoh :

a. terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana

karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang

tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa,

tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.

b. Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00

melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di

tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh

dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus

ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada

pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan

kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan

mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini

merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila

lampunya normal, maka seharusnya ia dapat

Page 156: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

156

mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak,

maka ini merupakan kealpaan.

Page 157: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

157

BAB VIII

KESALAHAN DALAM DELIK

PELANGGARAN

Persoalan kesalalahan pada tindak pidana berupa

pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan

diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam

undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas

atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak

pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa

pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan

tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut

apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa.

Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau

tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka

tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga

tidak perlu dibuktikan.

Page 158: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

158

Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait materiel” (de leer an

het matericle feit ajaran perbuatan materiil) dimana

menurut M.v.T. :

Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan

pemeriksaan secara khusus tentang adanya

kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi

pula tidak perlu memberi keputusan tentang hal tersebut.

Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak berbuat sesuatu

yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak.

Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari 1916 (arrest air

dan susu).

Duduk perkara;

A.B., pengusaha (veehouder) menyuruh melever susu

kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D,

pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu

ternyata tidak murni (dicampur air). D tidak tahu menahu

tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi

Umum mengancam dengan pidana Barang siapa

melever susu dengan nama susu murni, padahal

Page 159: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

159

dicampur dengan sesuatu (tidak murni). Ini merupakan

tindak pidana berupa pelanggaran.

A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana.

A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan yang lebih

kurang demikian:

a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47

W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P), sebab telah

memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah

menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa

menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku materiil

(ialah D) tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu.

b. tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil (D)

dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan

tidaknya susu yang disuruh melevernya.

c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam

dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak

murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak.

Page 160: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

160

Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge Raad, dan

terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R.

memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut:

a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi (A

B) telah menyuruh pelayannya (D) untuk melever

susu dengan sebutan “susu murni” padahal dicampur

dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D.

b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas

bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus

mempunyai kesalahan (“enige schuld”), akan tetapi ini

tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak

mempunyai kesalahan sama sekali (geheel gemis van

schuld) peraturan ini dapat diterapkan kepada.

c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat

W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal

unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan

delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk

Undang-undang menyetujui sistem, orang yang

berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undang-

undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama

sekali (asas : afwezigheid van alle schuld).

Page 161: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

161

d. Untuk menerima sistim tersebut (dalam c), yang

bertentangan dengan rasa keadilan dan asas ”tiada

pidana tanpa kesalahan” yang juga dianut dalam

hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata

dalam rumusan delik.

Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum

pidana. Dengan arrest itu, maka:

a. ajaran “fait materiel” pada pelanggaran ditinggalkan.

b. Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan

yang tertinggi (Belanda) berlaku asas ”tiada pidana

tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld).

Page 162: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

162

BAB IX

PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM

PENITENSIER)

Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita

memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan

pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/derita yang

dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui

pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada

seseorang yang secara sah telah melanggar hukum

pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses

peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the

criminal) justice process) merupakan struktur, fungsi, dan

proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga

(kepolisian, kejaksaan,pengadilan & lembaga

pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan &

pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.

Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing

sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum

Page 163: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

163

untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang

yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah

dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan

pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan

hukuman itu sendiri.

Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan

pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi

sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai

bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran

terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang

mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang

merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran

terhadap “hati nurani bersama“ sebagai bentuk

ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya

berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya

tidak menyenangkan.

Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan

dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum

Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai

sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan

Page 164: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

164

(matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini

merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu

bagian yang menentukan:

1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal

ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana

lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan

UU non pidana yang memuat sanksi pidana);

2. Beratnya sanksi itu;

3. Lamanya sanksi itu dijalani;

4. Cara sanksi itu dijalankan;dan

5. Tempat sanksi itu dijalankan.

Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan

dipelajari oleh hukum penitensier.

I S T I L A H

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al:

Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman,

Punishment, dan Jinayah.

Page 165: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

165

Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman,

menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk

menerjemahkan straf. Sudarto juga berpendapat

demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan pidana /

hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang

dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang

telah melanggar UU Hukum Pidana.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur

atau ciri-ciri pidana meliputi:

1. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-

akibat lain yang tidak menyenangkan;

2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki

kekuasaan (berwenang);

3. Dikenakan pada seseorang penanggung jawab

peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi

rumusan delik/pasal).

SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA

Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak

Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun

1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No.

Page 166: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

166

1/1946 tentang KUHP (berdasarkan atas konkordansi).

Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh

Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al:

1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang (hanya

untuk pelaku pembakar/pembunuh)

2. Dimatikan dengan suatu keris

3. Dicap bakar.

4. Dipukul, dipukul dengan rantai (pidana

badan/corporal punishment)

5. Ditahan/dimasukkan dalam penjara

6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.

Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum pidana

merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa:

terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan

perampasan terhadap harta kekayaan (pidana denda),

pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang

(pidana kurungan/penjara) dan perampasan terhadap

nyawa (hukuman mati). Di samping itu hukum pidana

Page 167: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

167

merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan

terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).

Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang

berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku

untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh

Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah yang

berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan

tata tertib negara (dilihat dari sudut obyektif), dalam hal

ini KUHP merupakan peraturan yang dibentuk oleh

negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang

dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari

sudut subyektif);

Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang

berhak melakukan hal tersebut, mengingat;

1. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh

karena itu sangat logis jika negara diberi tugas

mempertahankan tata tertib masyarakat;

2. Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat

menjamin kepastian hukum.

Page 168: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

168

Teori-Teori yang berkaitan dengan Pemidanaan

Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin

1. Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para

penganutnya antara lain E. Kant, Hegel,Leo Polak,

Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu

yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya

kejahatan dengan demikian orang yang salah harus

dihukum. Menurut Leo Polak (aliran retributif),

hukuman harus memenuhi 3 syarat:

a. Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar

etika)

b. Tidak bboleh dengan maksud prevensi

(melanggar etika)

c. Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya

delik.

2. Teori relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa

penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu,

bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman

pada umumnya bersifat menakutkan, sehingga

Page 169: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

169

seyogyanya hukuman bersifat

memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan

adalah orang yang “sakit moral” sehingga harus

diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada

treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan

model medis.

Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya

prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan

yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh

pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau

kejahatan yang telah dilakukan (prevensi umum) dan

ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok,

tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau

kejahatan lain (prevensi khusus). Tujuan yang lain

adalah memberikan perlindungan agar orang

lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak

disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami

kejahatan.

3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari

teori-teori sebelumnya. Sehingga pidana bertujuan

untuk:

Page 170: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

170

Pembalasan, membuat pelaku menderita

Upaya prevensi, mencegah terjadinya

tindak pidana

Merehabilitasi Pelaku

Melindungi Masyarakat

Saat ini sedang berkembang apa yang disebut

sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas

Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang

merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat

pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi

semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan

sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga

memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini

telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005.

Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP

tahun 2005:

Pasal 54

(1) Pemidanaan bertujuan:

Page 171: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

171

a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan

menegakkan norma hukum demi pengayoman

masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan

berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh

tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;

e. memaafkan terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan

dan merendahkan martabat manusia .

Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman

pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita.

Pasal 55;

(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:

a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

Page 172: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

172

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

c. Sikap batin pembuat tindak pidana;

d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan

berencana;

e. Cara melakukan tindak pidana;

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan

tindak pidana;

g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi

pembuat tindak pidana

h. Pengaruh pidana terhadap massa depan

pembuat tindak pidana;

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau

keluarga korban;

j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya

dan /atau;

k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana

yang dilakukan.

Page 173: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

173

(2) Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau

keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang

terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan

untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan

tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan

dan kemanusiaan.

Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP

menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam

tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin

dari tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak

pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan

resosialisasi tergambar dari tujuan pemidanaan untuk

memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan

berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan

pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik

yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah

pada terpidana; dan memaafkan terpidana.

Page 174: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

174

Jenis-jenis Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10

KUHP :

a. Hukuman Pokok:

1. Hukuman mati

2. Penjara (sementara waktu atau seumur hidup)

3. Kurungan

4. Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15)

5. Tutupan (UU No.20/1946)

b. Hukuman Tambahan:

1. Pencabutan beberapa hak tertentu

2. Perampasan barang tertentu

3. pengumuman keputusan hakim

Jenis-jenis Hukuman / Pidana Menurut R-KUHP:

Pasal 65

(1) Pidana pokok terdiri atas:

Page 175: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

175

a. pidana penjara;

b. pidana tutupan

c. pidana pengawasan

d. pidana denda; dan

e. pidana kerja sosial.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menentukan berat ringannya pidana

Pasal 66

Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat

khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

Pasal 67

(1) Pidana tambahan terdiri atas:

a. pencabutan hak tertentu;

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti kerugian; dan

Page 176: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

176

e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau

kewajiban menurut hukum yang hidup dalam

masyarakat.

(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama

dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri

sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan

pidana tambahan lain.

(3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama

dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri

sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak

tercantum dalam perumusan tindak pidana.

(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan

adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan

pidananya.

Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP:

Hukuman/pidana Mati (diatur dalam pasal 11 jo Pasal

10 KUHP)

Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati :

A. Dalam KUHP :

Page 177: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

177

Pembunuhan berencana

Kejahatan terhadap keamanan negara

Pencurian dengan pemberatan

Pemerasan dengan pemberatan

Pembajakan di laut dengan pemberatan.

B. Diluar KUHP;

Terorisme

Narkoba

Korupsi

Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan

terhadap kemanusiaan dan genosida yang

dilakukan secara meluas dan sistematis.

Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan

(ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Penpres no. 2/1964 :

ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak

dilakukan di muka umum (rahasia, baik waktu dan tempat

eksekusinya).

Page 178: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

178

Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana

mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah

dihukum menjadi gila dan wanita hamil.

Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh

dan wanita tersebut telah melahirkan.

Hukuman/Pidana Penjara (Menurut pasal-pasal dalam

KUHP dan UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan)

Pasal 12 KUHP:

Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau

sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu

tertentu (min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat

dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20

thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di

indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan

(LP/lapas). Untuk pemulihan kembali hubungan antara

narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut

narapaidana/napi (inmates): Warga Binaan

Pemasyarakatan (berdasarkan UU No.12/1995).

Page 179: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

179

Pembagian Sistem Penjara – gevangenisstelsel,

menurut Utrecht :

Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman

terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu

kamar sel. Terhukum hanya melakukan kontak

dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan

peringatan: terhukum diperkenankan melakukan

pekerjaan tangan dan secara terbatas dapat

menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul

dengan terhukum lain

Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga

sebagai silent system, di mana para hukuman pada

siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak

boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.

Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal

dr mark system, menggunakan penilaian. Para

hukuman mula-mula ditempatkan dalam ruang

tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan

hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk

merenung, menyesali perbuatannya dan diharapkan

ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul

dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi

Page 180: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

180

bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka

hukumannya diperingan : mulai dimasyarakatkan

dan dapat diberikan the rise of feformatory

(pelepasan bersyarat), publik work prison, dan ticket

to leave. Kemudian diperkenankan kerja sama-sama,

lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk

bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat

dilakukan jika telah menjalani dari ¾ hukumannya.

Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi

terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn.

Disebut sebagai penjara reformatory yakni tempat

untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat

yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun

titik berat lebih pada usaha-usaha untuk

memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan

pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang nantinya

bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.

Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam

penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri

Kehakiman (Minister of justice). Khusus untuk pelaku

yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang

Page 181: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

181

dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki

di Tangerang, Banten.

Sistem Osborne (NY,US). Memilih ‘BOS’ –

mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur

napi : Tamping/building tender.

Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :

Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu

sel atau 1 orang/1 sel. Minimum security/maximum

security/Super Maximum Security (SMS)

Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi

dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok

pagi. Ada jadwal kegiatannya.

Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan

tidak baik ataupun melanggar aturan maka

dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga

dengan tutupan sunyi.

Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama =

kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan

kolam, kerja di bengkel LP untuk buat

kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai

Page 182: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

182

bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh

membaca, dengar radio/nonton TV olah raga dsb.

Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai

dengan jam yang telah ditentukan.

Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB-

reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr

hukumannya (pasal 15 KUHP). Selain itu terdapat

juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti

yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.

Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama-

sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :

Laki-laki dan perempuan

Orang dewasa dan anak di bawah umur

Orang yang dihukum/ditahan – orang yang

dihukum karena upaya preventif

Orang militer dan orang sipil

Pidana kurungan

Page 183: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

183

Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole

yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara.

Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan UU No.

1/1960)

Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan

Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda

dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP.

Pidana Tutupan (UU No.20/1946)

Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan

mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan

didasari oleh suatu motivasi yang patut

dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara, namun

diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh

membawa dan menikmati buku bacaan dan radio/tape.

Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.

Page 184: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

184

BAB X

PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)

I. PENGERTIAN

Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti

beberapa istilah yang dipakai dalam kitab

undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti

atau definisi mengenai apa yang dimaksud

dengan istilah “percobaan”. KUHP hanya

merumuskan batasan mengenai kapan

dikatakan adanya percobaan untuk melakukan

kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53

(1) yang menyatakan :

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika

niat untuk itu telah ternyata dari adanya

permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya

Page 185: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

185

pelaksanaan itu, bukan semata-mata

disebabkan karena kehendaknya sendiri”.

Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu

definisi, tetapi hanya merumuskan syarat-

syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas

antara percobaan yang dapat dipidana dan

yang tidak dapat dipidana.

Percobaan yang dapat dipidana menurut

system KUHP bukanlah percobaan terhadap

semua jenis tindak pidana. Yang dapat

dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak

pidana yang berupa “kejahatan” saja,

sedangkan percobaan terhadap pelanggaran

tidak dipidana sebagimana ditentukan dalam

pasal 54 KUHP. Pada pasal 54 KUHP

memperlihatkan adanya pemikiran dari para

perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat

lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena

itu percobaan pun terlalu rendah dari KUHP.

Disamping itu perlu dicatat bahwa ketentuan

umum dalam pasal 53 (1) diatas tidak berarti

bahwa percobaan terhadap semua kejahatan

Page 186: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

186

dapat dipidana. Pengecualian tersebut

misalnya :

Percobaan duel / perkelahian tanding

(pasal 184 ayat 5);

Percobaan penganiayaan ringan

terhadap hewan (pasal 302 ayat 4);

Percobaan penganiayaan biasa (pasal

351 ayat 5);

Percobaan penganiayaan ringan (pasal

352 ayat 2);

II. SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN

Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk

delik khusus yang berdiri sendiri ataukah hanya

merupakan suatu delik yang tidak sempurna?

Mengenai sifat dari percobaan ini terdapat dua

pandangan :

(1). Percobaan dipandang sebagai

Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan

perluasan pertanggungjawaban pidana).

Menurut pandangan ini, seseorang yang

melakukan percobaan untuk melakukan

suatu tindak pidana meskipin tidak

memenuhi semua unsur delik, tetap dapat

Page 187: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

187

dipidana apabila telah memenuhi rumusan

pasal 53 KUHP. Jadi sifat percobaan

adalah untuk memperluas dapat

dipidananya orang, bukan memperluas

rumusan-rumusan delik. Dengan demikian

menurut pandangan ini, percobaan tidak

dipandang sebagai jenis atau bentuk delik

yang tersendiri (delictum sui generis)

tetapi dipandang sebagai bentuk delik

yang tidak sempurna (onvolkomen

dekictsvorm). Termasuk dalam

pandangan pertama ini ialah : Prof. Ny.

Hazewinkel-Suringa dan Porf. Oemar

Seno Adji.

(2). Percobaan dipandang sebagai

Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan

delik).

Menurut pandangan ini, percobaan

melakukan sesuatu tindak pidana

merupakan satu kesatuan yang bulat dan

lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik

Page 188: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

188

yang tidak sempurna, tetapi merupakan

delik yang sempurna hanya dalam bentuk

yang khusus/istimewa. Jadi merupakan

delik tersendiri (delictum sui generis).

Termasuk dalam pandangan kedua ini

ialah Prof. Pompe dan Prof. Moelyatno.

Alasan Prof. Moelyatno memasukkan

percobaan sebagai delik tersendiri, ialah :

a. Pada dasarnya seseorang itu

dipidana karena melakukan

suatu delik;

b. Dalam konsep “perbuatan

pidana” (pandangan dualistis)

ukuran suatu delik didasarkan

pada pokok pikiran adanya sifat

berbahayanya perbuatan itu

sendiri bagi keselamatan

masyarakat;

c. Dalam hukum adat tidak dikenal

percobaan sebagai bentuk delik

yang tidak sempurna

Page 189: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

189

(onvolkomen delictsvorm), yang

ada hanya delik selesai.

d. Dalam KUHP ada beberapa

perbuatan yang dipandang

sebagai delik yang berdiri

sendiri dan merupakan delik

selesai, walaupun pelaksanaan

dari perbuatan itu sebenarnya

belum selesai, jadi baru

merupakan percobaan.

Misalnya delik-delik maker

(aanslagdelicten) dalam pasal

104, 106, dan 107 KUHP.

Mengenai contoh yang dikemukakan Prof

Moelyatno terakhir ini, dapat pula misalnya

dikemukakan contoh adanya pasal 163 bis.

Menurut pasal ini percobaan untuk melakukan

penganjuran (poging tot uitloking) atau yang

biasa juga disebut penganjuran yang gagal

(mislukte uit-lokking) tetap dapat dipidana, jadi

pandangan sebagai delik yang berdiri sendiri .

Page 190: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

190

Mengenai adanya dua pandangan tersebut

diatas. Prof. Mulyatno berpendapat bahwa

pandangan pertama sesuai dengan alam atau

masyarakat individual karena yang diutamakan

adalah strafbaarheid van de person (sifat

dipidananya orang); sedangkan pandangan

yang kedua sesuai dengan alam atau

masyarakat kita sekarang karena yang

diutamakan adalah perbuatan yang tak boleh

dilakukan.

III. DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAANMengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori sbb:1. Teori Subyektif

Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori ini ialah Van Hamel.

2. Teori Obyektif Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu :

Page 191: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

191

2.a. Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum.

2.b. Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan / benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons.

3. Teori Campuran. Teori ini melihat dasar patut dipidananya

percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah pendapat Langemeyer dan Jonkers.Namun karena dalam kenyataanya, pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka nampaknya lebih cendrung pada teori subyektif.Prof. Moelyatno dapat dikategorikan sebagai penganut teori campuran. Menurut beliau rumusan delik percobaan dalam pasal 53 KUHP mengandung dua inti yaitu : yang subyektif (niat untuk melakukan kejahatan tertentu) dan yang obyektif (kejahatan tersebut telah mulai dilaksanakan tetapi tidak selesai). Dengan demikian menurut beliau, dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori obyektif dan teori subyektif karena jika demikian berarti menyalahi dua inti dari delik percobaan itu; ukurannya harus mencakup dua criteria tersebut (subyektif dan obyektif). Di samping itu

Page 192: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

192

beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif maupun obyektif, apabila dipakai secara murni akan membawa kepada ketidak adilan.

IV. UNSUR-UNSUR PERCOBAANDari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah :IV.1. Niat.

Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa unsur niat sama dengan sengaja dalam segala tingkatan/coraknya. Catatan Prof. Moelyatno terhadap unsur niat : a. Niat jangan disamakan dengan

kesenjangan, tetapi niat secara potensiil dapat berubah menjadi kesenjangan apabila sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju; dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul (percobaan selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% menjadi kesengajaan, sama kalau mengahadapi delik selesai.

b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sikap batin yang membari arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve onrechtselement.

c. Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan

Page 193: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

193

kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul; untuk ini diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat belum ditunakan jadi perbuatan.

Dari delik percobaan dapat mempunyai dua arti :1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan

lengkap/voltoo-ide poging/completed attempt), niat sama dengan kesengajaan;

2. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan terhenti atau tidak lengkap/geschorste poging/incompleted attempt), niat hanya merupakan unsur sifat melawan hukum yang subyektif (subyektif onrechtselement).

Dikatakan ada “percobaan selesai” apabila terdakwa telah melakukan semua perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan, tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi;Misal : A bermaksud membunuh B dengan pistol, Picu (trekker) pistol telah ditarik, tetapi ternyata pistol tersebut tidak meletus atau tembakan tidak mengenai sasaran. Dalam hal ini, menurut Moelyatno, niat sudah berubah menjadi kesengajaan karena telah diwujudkan dalam bentuk perbuatan.

Page 194: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

194

Tetapi apabila dalam contoh diatas, perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan belum dilakukan (misal : picu belum ditarik) sehingga akibat yang terlarang juga belum ada maka dalam hal demikian dikatakan ada “percobaan tidak selesai/tertunda”. Menurut Moelyatno, dalam hal ini maka niat yang belum diwujudkan sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar) masih tetap menjadi niat yaitu baru merupakan sikap batin yang mengarah kepada suatu perbuatan yang melawan hukum.Dalam hal niat telah berubah menjadi kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan pendapat yang luas bahwa hal itu meliputi juga kesenjangan sebagai keinsyafan kemungkinan.

IV.2. Ada permulaan pelaksanaan.Unsur kedua ini, merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) dan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling). Dalam memecahkan masalah ini para sarjana menghubungkannya dengan teori atau dasar-dasar patut dipidananya percobaan. Bertolak dari

Page 195: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

195

pandangan atau teori percobaan yang subyektif, VAN HAMEL berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternyata adanya kepastian niat untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si pembuat. Ukuran demikian menurut VAN HAMEL sesuai dengan ajaran hukum pidana yang lebih baru yang bertujuan memberantas kejahatan sampai ke akar-akarnya.Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat sbb :

a. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik;

b. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada pabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang tanpa mensyaratkan adanya perbuatan lain.

Contoh untuk delik formil :A bermaksud melakukan pencurian dirumah B untuk melaksanakan aksinya, A telah

Page 196: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

196

mempersipkan segala sesuatu peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari ia mendatangi rumah B. Sesampainya di rumah B, ia mematikan lampu teras, melepas kaca jendela dan baru saja A masuk rumah lewat jendela itu ia tertangkap.Apabila digunakan ukuran Van Hamel, maka dalam hal ini dikatakan sudah ada perbuatan pelaksanaan, tetapi menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum mulai melakukan perbuatan seperti yang disebut dalam rumusan delik (pencurian : pasal 362 KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila A sudah mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan tertangkap, barulah dikatakan pada saat itu A telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh karenanya dapat dituntut telah melakukan percobaan pencurian.Contoh untuk delik materiil :A bermaksud membunuh B dengan meledakkan mobil yang dikendarainya dengan dinamit di suatu tempat yang dilalui B. A telah mempersiapkan dinamit dengan segala peralatan yang diperlukan dengan rapid an menunggu di samping saklar sampai B lewat ditempat itu. Apabila pada saat menunggu itu, gerak gerik A dicurigai

Page 197: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

197

dan akhirnya ditangkap, maka menurut ukuran Simons perbuatan A belum merupakan perbuatan pelaksanaan tetapi baru perbuatan persiapan, karena untuk meledakkan dinamit itu masih diperlukan perbuatan lain yaitu mengotakkan/menekan saklarnya.

Dalam menentukan adanya permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik percobaan Prof Moelyatno berpendapat bahwa ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu :

1. Sifat atau inti dari delik percobaan, dan2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya

Mengingat kedua factor tersebut, maka menurut beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3 syarat yaitu :

i. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik/kejahatn yang dituju atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut;

ii. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada delik/kejahatan yang tertentu tadi;

iii. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

Page 198: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

198

V. PERCOBAAN DALAM BEBERAPA YURISPRUDENSI

Yurispridensi yang terkenal ialah Arrest HR tahun 1934 tentang Eindhoven.

Kasus Posisi : H dituduh hendak membakar rumah R (dengan persetujuan R).Pada malam yang telah ditentukan H masuk kerumah R, menaruh pakaian dan barang-barang yang mudah terbakar di tiap kamar, yang semuanya dihubungkan satu sama lain dengan sumbu yang akhirnya dihubungkan pada kompor gas yang mengeluarkan api jika ditembakkan. Trekker (penarik pintol gas) diikatkan dengan tali dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar rumah yang terletak di pinggir jalan kecil. Pakaian-pakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah. Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H menyingkirkan benda-benda ke tempat lain. Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak orang berpendapat di dekat tali itu, sehingga H tak mugkin menyelesaikan maksudnya.

Page 199: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

199

Terhadap kasus tersebut peradilan (gerechtshop) di Her-togenbosch menyatakan bahwa perbuatan H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar pasal 53 jo 187 KUHP.H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan karena belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk melakukan pembakaran.Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum merupakan perbuatan yang sangat diperlukan untuk pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak dapat tidak menuju kearah dan langsung berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan juga menurut pengalaman nyata-nyata menuju pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan putusan Hof dan H dilepaskan dari segala tuntutan.

Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas dihubungkan pendapat para Sarjana yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa :

Page 200: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

200

- Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR, lebih cocok dengan teori atau pendapat Simons (Teori Obyektif Materiil);

- Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau pendapat Duynstee (Teori Obyetif Formil)

Terhadap putusan HR tersebut, DUYNSTEE sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya terdakwa H telah mulai dengan perbuatan pelaksanaan pembakaran. Alasan yang dikemukakannya ialah :

a. Semua perbuatan terdakwa (H) saling berhubungan dan memenuhi rumusan delik;

b. Jika HR menganggap perbuatan pelaksanaan yaitu perbuatan yang menimbulkan kejahatan (akibat) tanpa adanya perbuatan lain, berarti jika tiap perbuatan pelaksanaan akan menimbulkan akibat terlarang, maka perbuatan pelaksanaan hanya ada percobaan lengkap saja, ini tidak tepat karena di dalam teori dikenal juga adanya percobaan yang tidak lengkap.

Mengenai kasus diatas, Prof. Moelyatno mengemukakan pendapatnya sbb :“Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau dengan ukuran yang saya sarankan, maka mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan adanya. Secara potensiil apa yang telah dilakukan

Page 201: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

201

terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang dituju. Juga mengenai syarat yang kedua yaitu bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran, telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu di diami orang lain di waktu orangnya tidak ada, hemat saya adalah perbuatan yang melanggar hukum. Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah dipenuhi, hemat saya putusan yang yang diberikan oleh Hof’s Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa telah melakukan delik percobaan pembakaran seperti yang ditentukan dalam pasal 53 juncto pasal 187 KUHP”.

IV.3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak pelaku sendiri.

Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukankarena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sbb :

a. Adanya penghalang fisik;Misal : tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistol terlepas. Termasuk dalam pengertian penghalang fisik ini ialah apabila adanya kerusakan pada alat yang digunakan (misal : pelurunya macet /

Page 202: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

202

tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak).

b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.Misal : takut segera ditangkap karena gerak geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.

c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh factor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada obyek yang menjadi sasaran.Misal : daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan, barang yang kan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.

Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri sukarela, sering dirumuskan bahwa ada pengnduran diri sukarela, apabila menurut pandangan terdakwa, ia masih dapat meneruskannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya.Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri, secara teori dapat dibedakan antara :

Page 203: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

203

Pengunduran diri secara sukarela (Rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan;

Tindakan penyesalan (Tatiger Reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak delik tersebut.Misal : Orang member racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya, ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.

Sehubungan dengan masalah pengunduran diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal 53 KUHP ialah :

Untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya sendiri secara sukarela mengrungkan kejahatan yang telah dimulai tetapi belum terlaksana, tidak dipidana;

Pertimbangan dari segi kemanfaatan (utilitas), bahwa usaha yang paling tepat (efektif) untuk mencegah timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang yang telah

Page 204: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

204

mulai melakukan kejahatan tetapi kemudian dengan sukarela mengurungkan pelaksanaannya.

Dengan adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini merupakan :

Alasan pengahpus pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe).

Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji).

Alasan pengahpusan penuntutan (Vos, Moelyatno).

Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini sebagai alasan pemaaf (fait d’ex-cuse) maupun sebagai alasan pengahpus pidana, sebab perbuatannya tetap tidak baik (yang baik adalah tidak mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan ataupun membenarkan. Menurut beliau dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi stimulans bagi orang-orang lain yang mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk ditengah-tengah mengundurkan diri secara sukarela. Jadi ada pertimbangan utilitas. Dalam pengunduran sukarela (dan tindakan penyesalan/Tatiger Reue), tidak ada fait d’excuxe karena sifat tak baik perbuatan maupun kesalahn tetap ada, tetapi tidak

Page 205: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

205

dituntutnya itu karena dipandang lebuh berguna bagi masyarakat, seprti halnya dirumuskan pada pasal 367 (1) KUHP (pencurian antara suami-istri). Pertimbangan utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk menghemat tenaga dan biaya. Walaupun Prof. Moelyatno memandang unsur ke-3 ini sebagai alasan penghapusan penuntutan, namun beliau tidak berkeberatan untuk menuntut orang yang secara sukarela telah mengurngkan niatnya itu apabila telah menimbulkan kerugian, dan pidananya dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim.

Mengenai konsekwensi adanya unsur ke-3 dalam perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua pendapat :

a. Mempunyai konsekuensi materiil Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan perkataan lain, untuk adanya percobaan unsur ke-3 ini (tidak selesainya pelaksanaan perbuatan bukan karena kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti apabila ada pengunduran diri secara sukarela, maka tidak ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni 1889 tentang kasus sumpah palsu.Dalam kasus ini ada tanda-tanda bahwa saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas

Page 206: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

206

sumpah telah meberikan keterangan yang bertentangan dengan kenyataan (kesaksian palsu). Setelah Jaksa dan Hakim memperingatkan bahwa ia akan dituntut sumpah palsu, maka saksi tersebut mencabut kembali keterangan palsunya itu. Apakah saksi dapat dipidana karena percobaan sumpah palsu?HR dalam putusannya berpendapat bahwa saksi itu tidak dapat dipidana melakukan percobaan sumpah palsu karena dalam hal ini ada pengunduran diri secara sukarela. Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana karena adanya pengunduran diri itu perbuatannya (saksi) tidak merupakan perbuatan terlarang.

b. Mempunyai konsekwensi formil (dibidang processuil)Artinya unsur ke-3 itu dicantumkan dalam pasal 153 maka unsur tersebut harus disebutkan didalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3 ini tidak merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia merupakan unsur yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini tidak ada (yaitu karena adanya pengunduran diri secara sukarela) maka percobaan tetap dipandang ada. Jadi dalam kasus yang

Page 207: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

207

dikemukakan diatas, meskipun ada pengunduran diri secara sukarela, perbuatannya tetap dipandang sebagai perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat maupun si penganjur adalah masalah pertanggunganjawab. Dalam kasus diatas si pembuat (saksi) tidak dipidana karena (menurut HR) disitu ada pengunduran diri secara sukarela, sedangkan sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah menganjurkan suatu perbuatan yang terlarang. Jadi pendapat kedua ini membedakan antara perbuatan yang dapat dipidana (criminal act) dan pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility).

VI. PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU

Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-undang tidak timbul. Tidak selesainya delik atau tidak timbulnya akibat terlarang itu dapat disebabkan karena tidak mempunyai obyek (misal : mencoba menggugurkan bayi yang ternyata tidak hamil, mencoba membunuh orang yang sudah mati, mencuri uang dari sebuah peti uang yang ternyata kosong, dsb) atau karena tidak

Page 208: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

208

mempunyai alat yang digunakan ( misal : mencoba membunuh orang dengan gula yang dikiranya racun).

Pembeda antara percobaan mampu dan tidak mampu ini sebenarnya hanya pada mereka yang menganut teori percobaan yang obyektif, karena hanya menitik beratkan pada sifat bahayanya perbuatan. Para penganut teori yang subyektif tidak mengenal pembedaan tersebut, karena lebih menitik beratkan pada sifat berbahayanya sikap batin atau watak si pembuat.

Mengenai percobaan yang tidak mampu karena obyeknya, M.v.T mengemukakan :“Syarat-syarat umum percobaan menurut pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu didalam buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya obyek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga tidak ada percobaan”.

Jadi menurut M.V.T tidak mungkin ada percobaan pada obyek yang tidak mampu, yang ada hanya percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja.

Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, M.v.T membedakan antara :

Page 209: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

209

Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai, dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan.

Tidak mampu relative, yaitu bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.

Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas terlihat bahwa ketidakmampuan relative dapat dilihat dari dua segi :- Keadaan tertentu dari alat pada waktu si

pembuat melakukan perbuatan- Keadaan tertentu dari orang yang dituju.Ukuran yang dikemukakan M.v.T itu ternyata tidak mudah :a. Alat itu dapat dilihat sebagai jenis tersendiri

dan dapat dilihat dari keadaan konkritnya :- Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri,

maka gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh, sedangkan warangan (arsenicum) adalah mampu;

- Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka alat yang pada umumnya mampu untuk membunuh (misal warangan) dapat menjadi alat yang tidak mampu apabila jumlahnya tidak memenuhi dosis yang

Page 210: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

210

cukup mematikan (untuk arsenicum 5 mg).

b. Begitu pula orang yang dituju, dapat dilihat secara abstrak untuk rata-rata orang dan dapat dilihat dari keadaan konkrit tertentu.

- Gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh orang pada umunya, tetapi dapat menjadi alat yang mampu mematikan untuk orang yang berpenyakit diabetes;

- Warangan yang memenuhi dosis 5 mg, merupakan alat yang mampu untuk membunuh, tetapi untuk orang yang sudah biasa warangan sejumlah itu tidak merupakan alat yang mematikan.

Berdasarkan hal-hal diatas, maka banyak sarjana yang menyatakan bahwa batas antara absolute dan relative itu tergantung dari kehendak orang yang menggunakan (willekeurig), tergantung dari cara berpikir seseorang mengenai sesuatu hal.

Misal : percobaan pembunuhan dengan pistol yang tidak berpeluru.

Orang dapat mengatakan bahwa pistol yang demikian adalah alat yang absolut tidak mampu, tetapi dapat juga dikatakan bahwa pistol adalah alat yang mampu untuk membunuh, namun dalam

Page 211: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

211

hal tertentu bersifat relative karena tidak ada pelurunya. Sehubungan dengan tidak jelas dan tidak mudahnya ukuran yang diberikan oleh M.v.T itu, maka para sarjana berusaha memberikan batas atau ukuran antara percobaan yang mampu dan tidak mampu.

Karena pada hakekatnya masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini dalah masalah hubungan kausal yang ada dalam lapangan obyeltif, maka banyak sarjana (misal Simons, Pompe, Van Hattum) yang berusaha menentukan garis pembatas tersebut dengan menggunakan ukuran-ukuran dalam hubungan kausal.Ukuran-ukuran kausalitas yang digunakan adalah teori generalisasi (adekuat) yang melihat secara ante factum (sebelum peristiwa/akibat) karena memang dalam hal percobaan, akibat yang merupakan delik yang dituju justru belum terjadi, jadi tidak menggunakan teori individualisasi yang melihat sesudah terjadinya akibat (post factum).Ukuran atau batas percobaan mampu dan tidak mampu yang dikemukakan oleh para sarjana itu adalah sbb :

1. SIMONSAda percobaan yang mampu, apabila perbuatan yang menggunakan alat yang

Page 212: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

212

tertentu itu dapat membahayakan benda hukum.

Tidak perlu bahwa bahaya itu harus nyata-nyata ada dalam keadaan khusus dimana perbuatan itu dilakukan. Jika menurut keadaan normal, dengan alat tersebut tidaklah akan ditimbulkan delik maka dalam hal demikian tidak ada percobaan yang mampu. Sebaliknya jika alat yang pada umumnya tidak berbahaya, tetapi dalam keadaan tertentu dapat membahayakan dan dengan sengaja pula alat itu digunakan, maka persangkaan bahwa alat itu tidak berbahaya akan lenyap dengan diajukan bukti-bukti sebaliknya. Perbuatan demikian lalu dapat dipidana.

2. POMPEAda percobaan mampu, jika perbuatan atau alat yang digunakan mempunyai kecendrungan (strekking) atau menurut sifatnya mampu untuk menimbulkan delik selesai.Misal : - Mencoba membunuh orang dengan

mendoakan terus menerus supaya mati, bukanlah percobaan yang mampu sebaliknya pemberian warangan pada orang yang normal adalah mampu jika jumlahnya

Page 213: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

213

memang dapat mematikan orang yang normal.

- Ada orang membeli warangan di apotik untuk melakukan pembunuhan, tetapi karena kekeliruan apotik, bukan warangan yang diberikan tetapi gula sehingga tidak menimbulkan kematian. Dalam hal demikian, tetap dikatakan ada percobaan karena meskipun sifat gula adalah tidak mampu secara absolute, tetapi penting dilihat dari keseluruhan perbuatan yaitu mencampurkan gula (yang diberikan oleh apotik) yang dikiranya warangan, kedalam makanan orang lain.

3. VAN HATTUMDalam menentukan percobaan mampu dan tidakmampu, van Hattum seperti halnya Simons dan Pompe jelas-jelas menggunakan hubungan kausal yang adekuat. Dikatakan ada percobaan yang mampu, apabila perbuatan terdakwa ada hubungan kausal yang adekuat dengan akibat yang dilarang oleh undang-undang.Dalam menggunakan hubungankausal yang adekuat itu, menurut van Hattum yang penting adalah bagaimana merumuskan (memformulir) perbuatan terdakwa yang bersangkutan. Dalam memformulir perbuatan terdakwa secara

Page 214: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

214

adekuat kausal itu, van Hattum memberikan ukuran/pedoman sbb :a. Hal-hal yang terjadi secara kebetulan

jangan dimasukan, karena rasa keadilan tidak membenarkan hal demikian member keuntungan kepada si pembuat;

b. Hal-hal yang merintangi selesainya kejahatan yang dituju jangan dimasukkan, apabila pada hakekatnya perbuatan terdakwa membahayakan benda/kepentingan hukum (rechtsgoed).

Misal : Dengan maksud menembak musuhnya, seseorang telah mengisi senapanya dengan peluru dan kemudian meletakkannya di suatu tempat untuk menunggu saat yang baik. Sementara itu dengan tidak diketahuinya ada orang lain mengososngkan senapanya itu, sehingga pada saat ditembakkan tidak menimbulkan akibat amtinya orang lain (musuhnya itu).

Dalam hal yang demikian, menurut van Hattum janganlah perbuatan terdakwa diformulir sebagai percobaan yang tidak mampu karena kenyataannya ia membunuh dengan alat yang relative tidak mampu yaitu senapan yang kosong. Tetapi harus diformulirkan sbb : “mengarahkan senapan yang semula sudah diisi dengan peluru dan kemudian menembakkannya”. Perbuatan demikian

Page 215: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

215

merupakan yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat matinya orang lain (jadi mempunyai hubungan kausal yang adekuat untuk adanya pembunuhan). Dengan demikian perbuatan terdakwa merupakan percobaan yang mampu. Tidak berbeda dengan menembakkan senapan yang pelurunya macet. Dari pendapat van Hattum diatas jelas terlihat bahwa “kosongnya pistol” merupakan hal yang kebetulan dan mengisi senapandengan peluru dan menembakkannya” merupakan perbuatan yang membahayakan benda hukum orang lain (berupa nyawa). Van Hattum menyatakan bahwa makin banyak hal-hal konkrit yang dimasukkan dalam merumuskan perbuatan terdakwa, maka ketidakmampuan yang relative akan menjadi ketidakmampuan yang absolut.

4. MOELYATNODalam memecahkan masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini, Prof. Moelyatno tidak mendasarkan pada teori adekuat kausal karena kenyataanya dalam percobaan tidak sampai menimbulkan kejahatan yang dituju (tidak timbul akibat terlarang). Ukuran yang dugunakan beliau dikembalikan pada ukuran patut dipidananya suatu delik, yaitu adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Jadi ukurannya tidak ditetapkan secara kausatif, tetapi secara normatif.

Page 216: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

216

Dikatakan ada percobaan yang mampu apabila perbuatan terdakwa mendekatkan pada terjadinya delik selesai sedemikian rupa sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum. Perlu dicatat bahwa karena beliau menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil, maka perbuatan itu harus menggelisahkan masyarakat atau tidak pantas dilakukan.

Ukuran yang digunakan Prof. Moelyatno itu didasarkan pada Eindrucks theorie (teori kesan) yang berasal dari Von Bar, yang dikemukakan didalam bukunya Prof. Edmund Mezger (1952).Menurut teori ini, sudah cukup dikatakan ada percobaan, yang mampu apabila dalam keadaan tertentu ada perbuatan yang menimbulkan kesan keluar bahwa ada permulaan perbuatan yang dapat dipidana. Apabila suatu perbuatan dipandang dari sudut masyarakat telah menimbulkan kesan mengganggu atau melukai tata-hukum, dan oleh karena itu telah menggincangkan kesadaran umum mengenai kepastian berlakunya tata hukum tadi, maka perbuatan demikian sudah mengandung bahaya. Dengan demikian ternyata, menurut Mezger, bahwa di dalam teori kesan terdapat azas general preventive. Misal : perbuatan orang yang

Page 217: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

217

hendak membunuh dengan senjata yang ternyata kosong atau macet pelurunya, atau pencuri yang merogoh kantong orang lain yang ternyata kosong.Perbuatan-perbuatan demikian dilihat dari teori kesan sudah merupakan percobaan yang mampu dan oleh karenanya dapat dipidana, karena ada kesan dari luar yaitu dari sudut masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan itu telah mengganggu/ melukai tata hukum.Menurut Prof. Moelyatno, dengan memakai ukuran melawan hukumnya perbuatan dalam menentukan mampu tidaknya suatu percobaan berdasar teori kesan, tidak berarti bahwa sifat berbahaya tidaknya percobaan itu dilihat dari sudut hubungan kausal tidak perlu diperhatikan. Pertimbangan segi kausalitas ini tetap penting, tetapi bukan untuk menentukan mampu tidaknya suatu percobaan, melainkan untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dalam hubungan ini beliau membandingkan dengan pasal 23 KUHP Swiss yang menentukan. “Jika alat yang dipakai untuk mencoba melakukan kejahatan, atau obyek/terhadap mana dilakukan kejahatan, adalah sedemikian rupa hingga perbuatan memang tidak mungkin dilaksanakan dengan alat atau terhadap obyek yang demikian itu, maka hakim boleh mengurangi pidana menurut kebijaksanaanya

Page 218: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

218

sendiri. Jika si pembuat berbuat karena kebodohan (unverstand) hakim boleh tidak menjatuhkan pidana”.

5. MANGEL AM TATBESTANDTelah dilemukakan diatas bahwa secara teoritis percobaan mampu dan tidak mampu dapat dibedakan mengenai obyeknya maupun mengenal alatnya dan dapat pula dibedakan antara tidak mampu yang absolute dan relative.

Karena tidak jelasnya batas penetu antara tidak mampu absolute danrelatif, tergantung dari kehendak/ cara berpikir seseorang (bersifat Willekeurig), maka ada pendapat seperti M.v.T yang tidak memasukkan kedalam lapangan percobaan tidak mampu apabila objek tidak mampu. Menurut pendapat aliran ini, percobaan tidak mampu karena obyeknya bukanlah delik percobaan karena tidak cukupnya atau tidak terpenuhinya unsur-unsur delik. Misal dalam hal membunuh orang yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disitu tidak terpenuhi unsur delik dalam pasal 333 KUHP yaitu harus adanya nyawa orang (hidup) yang dihilangkan dan unsur delik dalam pasal 346 KUHP (menggugurkan/mematikan kandungan) yaitu harus adanya seorang wanita yang benar-benar mengandung.

Page 219: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

219

Dalam ilmu hukum pidana Jerman, tidak adanya atau tidak lengkapnya/ tidak terpenuhinya unsur-unsur delik itu, disebut Mangel am Tatbestand (Mangel =kekurangan; Tatbestand = keadaan yang betul/sempurna atau mencocoki rumusan delik). Istilah ini dikemukakan oleh Graf zu Dohna (1910).

Yang setuju dengan pendapat ini ialah Simons dan Pompe. Menurut Pompe, dalam kedua contoh yang dikemukakan diatas tidak mungkin lagi dikatakan ada percobaan karena maksud/tujuan terdakwa sudah tercapai. Sedangkan van Hamel, tidak setuju dengan mereka yang memandang tidak ada percobaan apabila obyeknya tidak mampu. Menurut beliau memang benar bahwa membunuh bayi yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil adalah tidak mungkin, tetapi hal yang demikian sebenarnya tidak berbeda dengan membunuh bayi yang lahir hidup tetapi kemudian diganti dengan boneka atau mencuri uang dari sebuah kantong yang ternyata kosong.

Demikian pula Jonkers tidak setuju bahwa dalam contoh-contoh di atas dikatakan tidak ada percobaan, karena sifat khusu dari percobaan ialah :

Page 220: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

220

a. Delik tidak selesai karena hal ikhwal yang tidak tergantung dari kehendak terdakwa;

b. Oleh karena dalam pikiran terdakwa (dalam kasus-kasus diatas) adalah mungkin sekali akan melaksanakan delik yang dituju.

Dari alasan yang kedua (b) ini jelas terlihat pandangan yang subyektif tentang percobaan.Sehubungan dengan masalah ini KARNI membedakan antara Mangel am Tatbestand dengan percobaan tidak mampu (istilah beliau “percobaan tak terkenan”). Dalam hal menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disini ada percobaan yang tidak mampu karena tujuan si pembuat tidak tercapai (jadi berbeda dengan pendapat Pompe), jadi ini bukan Mangel am Tatbestand. Sedangkan untuk mangel am Tatbestand dicontohkan sbb:

- Orang yang melarikan perempuan yang ternyata sudah cukup umur;

- Orang yang mencuri barang yang ternyata sudah menjadi miliknya.

Dalam kedua contoh ini menurut Karni tujuanya sudah tercapai, hanya saja unsur delik yang bersangkutan (pasal 332 dan pasal 362 KUHP) tidak terpenuhi secara sempurna. Ketidak sempurnaan dipenuhinya unsur delik inilah

Page 221: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

221

yang menurut Karni merupakan hakekat atau watak hukum dari Mangel am Tatbestand. Dalam hal demikian, terdakwa tidak dapat dipidana karena memang tidak ada pasal yang dilanggar dan kepastian hukum terancam (jadi berlainan dengan van Hamel). Selanjutnya ditegaskan oleh Karni bahwa Mangel am Tatbestand ini merupakan “kekhilafan tentang anasir delik” yang harus dibedakan dengan salah sangka tentang adanya undang-undang (putatief delict).

Perbedaan ini terlihat pula dalam pendapat Utrecht, delik putatief merupakan “rechtsdwaling” sedangkan Mangel am Tatbestand merupakan “feitelijke dwaling”.

VII. PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN

Telah dikemukakan di muka bahwa menurut system KUHP, yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan, sedangkan terhadap pelanggaran tidak dipidana.

Dalam hal percobaan terhadap kejahatan, maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal) yang bersangkutan dikurangi sepertiga. Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338

Page 222: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

222

KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah apabila kejahatan yangbersangkutan diancam pidana mati atau penajara seumur hidup, seperti halnya dalam pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)? Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan selesai.

Page 223: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

223

BAB XIPENYERTAAN

A. BEBERAPA ISTILAH

1. Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna).

2. Turut berbuat delik (Karni).3. Turut serta (Utrecht).4. Delneming (Belanda); Complicity (Inggris);

Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation (Perancis).

B. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG SIFAT PENYERTAAN

Filosofi dasar keberadaan lembaga penyertaan terdapat dua pandangan :1. Sebagai Strafa sdehnungsgrund (dasar

memperluas dapat dipidananya orang) :

Page 224: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

224

- Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggung jawaban pidana- Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya tidak sempurna.- Penganut a.l : Simons, van Hattum, Hazewinkel Suringa.

2. Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan) :- Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana.- Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa.- Penganut a.l : Pompe, Moelyatno, Roeslsn Saleh.

Menurut Prof. Moelyatno pandangan yang pertama sesuai dengan alam/pandangan individual karena yang diprimairkan adalah “strafbaarheid van de person” (hal dapat dipidananya orang), pandangan yang kedua sesuai dengan alam Indonesia karena yang diutamakan adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, jadi lebih ditekankan pada strafbaarheid van het feit” (hal dapat dipidananya perbuatan). Menurut Moelyatno, pandangan pertama tidak dikenal dalam hukum adat.

C. PEMBAGIAN PENYERTAAN

Page 225: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

225

1. Terbagi dua :a. Von Feuerbach membagi penyertaan

dalam dua bentuk :a.1. Urherber (pembuat)a.2. Gehilfe (pembantu)

b. KUHP Belanda dan Indonesia :b.1. Dader / Pembuat (pasal 47 Belanda / pasal 55 KUHP Indonesia).b.2. Medeplichtige / pembantu (pasal 48

KUHP Belanda / pasal 56 KUHP Indonesia).

c. Code Penal Perancis dan Belgia :c.1. Autores.c.2. Complices.

d. Di Inggris :d.1. Principals (peserta baku).d.2. Accessories (peserta pembantu).

2. Pembagian tiga :2.a. Di Jerman :

2.a.1. Tater (pembuat)2.a.2. Anstifter (penganjur)2.a.3. Gehile (pembantu)

2.b. Di Jepang :2.b.1. Co principals (pembuat)2.b.2. Instigator (penganjur)2.c.3. Accessories (pembantu)

3. Pembagian empat :Di Uni Sovyet :

3.1. Executive of crime3.2. Organizer

Page 226: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

226

3.3. Instigator3.4. Accessory

D. PENYERTAAN MENURUT KUHP INDONESIA1. Pembagian penyertaan menurut KUHP

Indonesia adalah :a. Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri

dari :a.1. Pelaku (pleger)a.2. yang menyuruh lakukan (doenpleger)a.3. yang turut serta (medepleger)a.4. penganjur (uitlokker)

b. Pembantu / mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari :b.1. pembantu pada saat kejahatan dilakukanb.2. pembantu pada saat kejahatan belum dilakukan.

Mengenai pengertian pembuat (dader), ada dua pandangan :

a. Pandangan yang luas (extensief) :- Dengan demikian mereka yang

disebut dalam pasal 55 diatas adalah pembuat.

Page 227: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

227

- Penganut : M.v.T, Pompe, Hazewinkel-Suringa, van Hattum, Moelyatno.

b. Pandangan yang sempit (restrictief) :- Pembuat hanyalah orang yang

melakukan sendiri perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik, jadi hanya pembuat materiil saja (yaitu pada no.1 pada pasal 55 di atas).

- Menurut pandangan ini, mereka yang tersebut dalam pasal 55 hanya dipandang sebagai pembuat, jadi hanya disamakan saja dengan dader.

- Penganut : HR, Simons, van Hamel, Jonkers.

2. Pleger (pelaku)a. Pelaku (pleger) ialah orang yang

melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.

b. Dalam praktek sukar menentukannya, terutama dalam hal pembuat undang-

Page 228: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

228

undang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi pembuat.Mengenai hal ini ada beberapa

pedoman :1). Peradilan Indonesia

Pembuat (dalam arti sempit yaitu pelaku) ialah orang yang menurut maksud pembuat undang-undang harus dipandang yang bertanggung jawab.

2). Peradilan BelandaDader (dalam arti sempit) ialah orang yang mempunyai kekuasaan/kemampuan untuk mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tetap memberikan keadaan terlarang itu berlangsung terus.

3). PompeDader (dalam arti sempit) ialah orang yang mempunyai kewajiban untuk mengakhiri keadaan terlarang itu.

c. Kedudukan “pleger” dalam pasal 55 sering dipermasalahkan. Mengenai hal ini ada dua pendapat :1). Janggal dan tidak pada tempatnya

Alasan : Karena pasal 55 berada dibawah bab V yang berjudul “Penyertaan tersangkut beberapa pidana”, pada penyertaan apabila “mereka yang melakukan” (para

Page 229: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

229

pelaku) itu diartikan pembuat tunggal.

2). Dapat dipahamiAlasan : Karena pasal 55 menyebut “mereka yang dipidana” sebagai pembuat”, jadi plegers termasuk didalamnya “Pompe”. Karena pasal 55 menyebut “ siapa-siapa yang dinamakan pembuat”, jadi plegers juga termasuk didalamnya (Hazewinkel-Suringa).

3. Doenpleger (yang menyuruh lakukan)a). Doenpleger ialah orang yang melakukan

perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat.Dengan demikian :- Pembuat langsung (onmiddelijke

dader, auctor physicus, manus ministra)

- Pembuat tidaklangsung (middelijke dader, doenpleger, auctor intellectuals, manus domina).

b). Pada Doenpleger terdapat unsur-unsur sbb :

- Alat yang dipakai adalah manusia;- Alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan

alat yang mati)

Page 230: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

230

- Alat yang dipakai itu “tidak dapat dipertanggungjawabkan” unsur ketiga inilah yang merupakan tanda ciri dari doenpleger .

Hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat dipertanggungjawabkan ialah :

Bila ia tidak sempuna pertumbuhan jiwanya atau rusak jiwanya (pasal 44);

Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48)

Bila ia melakukannya atas perintah jabatan yang tidak sah seperti dimaksudkan dalam pasal 51 ayat (2);

Bila ia keliru (sesat) mengenai salah satu unsur delik, misalnya A menyuruh B untuk menguangkan pos wesel yang tanda tangannya dipalsu oleh A, sedangkan B tidak mengetahui pemalsuan tersebut;

Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan ybs. (dalam undang-undang) misal A menyuruh B (seorang kuli) untuk mengambil barang dari suatu tempat. B mengambilnya untuk diserahkan

Page 231: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

231

kepada A dan ia sama sekali tidak mempunyai maksud untuk memiliki bagi dirinya sendiri.

c). Dalam hal pembuat materiil (alat) seseorang yang belum cukup umur, maka tidak ada menuruh lakukan, karena pada dasarnya KUHP menganggap orang yang belum cukup unur itu tetap mampu bertanggungjawab (lihat pasal 45 jo 47). Namun demikian, apabila yang disuruh itu anak yang masih sangat muda sekali, yang belum begitu sadar akan perbuatannya, maka dalam hal ini dimungkinkan ada menyuruh lakukan.

d). Apakah orang yang menyuruh lakukan (doenpleger) harus mempunyai kualitas sebagai pelaku ? ada dua pendapat :d.1. Pendapat pertama : “harus”.

Alasan, karena tidakmungkin seorang A menyuruh oarng lain B melakukan sesuatu yang A sendiri tidak dapat melakukannya. Misalnya : A bukan pegawai negeri, maka ia tidak dapat melakukan “delik jabatan”, jadi A tidak bisa menjadi pembuat langsung (onmiddelijke dader) oleh karena itu ia juga tidak

Page 232: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

232

bisa menjadi pembuat tidak langsung, maka A tidak bisa menjadi doenpleger. Jadi walaupun B (yang disuruh) adalah “ pegawai negeri, tetap dikatakan tidak ada doenpleger.

d.2. Pendapat kedua : “tidak harus”.“Menyuruh-lakukan sesuatu delik jabatan tidak hanya terdapat apabila pembuat materiilnya adalah seorang pejabat, akan tetapi juga sebaliknya, ialah apabila pelaksanaanya bukan, sedang yang menyuruh-lakukan itu adlah pejabat”.

← Hazewinkel-Suringa :← “Seorang peserta itu bukannya dipidana karena ia melakukan perbuatan (pidana), akan tetapi ia justru dipidana walaupun ia tidak melakukan perbuatan”. Misal : A membius B seorang penjaga keamanan kereta api, sehingga lalai menjalankan tugasnya dan timbul kecelakaan.← Walaupun A tidak berkualitas seperti B (yaitu tidak mempunyai kewajiban seperti B), A tetap dikatakan sebagai doenpleger dalam delik omissi yang dilakukan oleh B.

Page 233: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

233

← Arrest HR tgl. 21 April 1913 (kasus Walikota Zaan-dam) menyatakan :← “Pasal 55 tidak menyatakan bahwa mereka yang menyuruh lakukan adalah dader, tetapi bahwa mereka dipidana sebagai dader, sehingga untuk menjadi middelijke dader (doenpleger) tidak perlu ada kualitas pribadi seperti pembuat materiil”.←

e). Mungkinkah ada menyuruh lakukan terhadap delik-colpoos? Mungkin, dalam halo rang yang menyuruh-lakukan dapat menduga sebelumnya bahwa ka nada sesuatu akibat yang tidak diharapkan. Misal :A menyuruh seseorang pekerja B untuk melemparkan benda yang berat dari atap rumah ke bawah, tanpa menghiraukan apakah benda itu akan menimpa orang yang kebetulan ada / lewat di bawah atap rumah itu. B mengira bahwa A telah mengadakan pengamanan seperlunya. Jika karena lemparan itu ada yang tertimpa dan mati, maka A dapat dituntu karena menyuruh-lakukan tindak pidana yang tersebut dalam pasal 359 KUHP.

4. Medepleger (orang yang turut serta)

Page 234: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

234

a. Pengertian :1). Undang-undang tidak memberikan definisi2). Menurut M.v.T : Orang yang turut

serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.

3). Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana itu ada dua kemungkinan :

- Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik.Misal : dua orang dengan bekerja sama melakukan pencurian disebuah gudang beras, salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lainnya tidak.Misal : dua orang pencopet (A dan B) saling bekerja sama, A yang menabrak orang yang menjadi sasaran, sedang B yang mengambil dompet orang itu.

- Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu misalnya : dalam pencurian dengan

Page 235: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

235

merusak (pasal 363 ayat (1) ke-5) salah seorang melakukan penggangsiran, sedang kawannya masuk rumah dan mengambil barang-barang yang kemudian diterimakan kepada kawannya yang menggangsir tadi.

b. Syarat adanya medepleger : Ada kerjasama secara sadar

(bewuste samenwerking).Adanya kesadaran bersama tidak berarti ada permufakatan lebih dulu, cukup apabila ada pengertian antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan tujuan menacpai hasil yang sama. Yang penting aialah harus ada kesenjangan secara sadar.Tidak ada turut serta, bila orang yang satu hanya menghendaki untuk menganiaya, sedang kawannya menghendaki matinya si korban. Penentuan kehendak atau kesenjangan masing-masing peserta itu dilakukan secara normatif.

Ada pelaksanaan bersama secara fisik (gezamenlijke

Page 236: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

236

ultvoering/physieke samenwerking).Persoalan kapan dikatakan ada perbuatan pelaksanaan merupakan persoalan yang sulit (ingat/lihat Bab VI tentang “percobaan”), namun secara singkat dapat dikatakan bahwa perbuatan pelaksanaan berarti perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik ybs. Yang penting disini harus ada kerjasama yang erat dan langsung. Batas antara perbuatan pelaksanaan dan perbuatan pembantuan sangatlah sulit dan hal ini akan dibicarakan dalam masalah pembantuan.

c. Apakah medepleger harus mempunyai kualitas sebagai pelaku ?Mengenai hal ini ada dua penadapat :

1). Pendapat pertama : “harus”. Medepleger adalah suatu bentuk

daderschap (keadaan / sifat pelaku pembuat), orang turut serta melakukan adalah pembuat (dader) apabila ada beberapa orang bersama-sama melakukan delik,

Page 237: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

237

maka mereka timbal balik terhadap satu sama lain disebut pembuat peserta (mededader). Pembuat peserta sebagai pembuat harus mempunyai sifat yang oleh rumusan undang-undang diisyaratkan untuk daderschap. Barang siapa tidak dapat menjadi pembuatan tunggal (alleendader) juga tidak dapat dinamakan pembuat peserta (mededader). Sifat-sifat atau keadaan pribadi yang menentukan dapat dipidananya perbuatan, hanya berlaku pada pembuat peserta yang mempunyai sifat-sifat tersebut.

2). Pendapat kedua : “tidak harus”.Yurisprudensi putusan pengadilan Negeri Tulunganggung tanggal 5 Januari 1932 yang kasusnya sbb :A memegang gelang milik orang lain untuk dijualkan. Suami A menggadaikan gelang tersebut untuk kepentingannya sendiri, dengan persetujuan A. Dalam kasus A dinyatakan salah melakukan penggelapan, sedang suaminya “turut serta melakukan penggelapan” meskipun suaminya tidak memenuhi

Page 238: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

238

semua unsur yang terdapat dalam pasal 372.Status A terhadap barang ialah “memiliki dengan melawan hukum barang yang ada padanya bukan karena kejahatan “, sedang status suaminya terhadap barang itu ialah menggadaikan barang milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya karena kejahatan”. Yaitu ia dapat dari A dan tahu bahwa barang itu bukan milik A.

d. Mungkinkah ada turut serta terhadap delik culpoos ? pada turut serta, kesengajaannya ditujukan kepada :1. Kerjasama dengan orang lain

(ditujukan pada perbuatan).2. Tercapainya hasil yangmerupakan

delik (ditujukan pada akibat).

Dalam delik culpa orang tidak menghendaki terjadinya akibat. Kalau kesenjangan orang turut serta juga harus ditujukan untuk timbulnya delik culpa tersebut, maka jelas tidak mungkin ada turut serta melakukan secara culpa. Akan tetapi jika kesengajaan itu hanya ditujukan kepada adanya kerjasama, ialah kepada perbuatan yang dilakukan

Page 239: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

239

bersama, maka mungkin ada turut serta melakukan secara culpa. Misal :

A dan B bersama-sama melemparkan barang berat dari gedung bertingkat dan menimpa orang yang ada di bawah sampai mati. Keduanya tidak menghendaki sampi matinya orang tersebut, akan tetapi mereka bersama-sama secara sadar melakukan pelemparan barang dan merekapun kurang berhati-hati serta patut menduga akibat yang timbul. Oleh karena itu mereka dapat dituntut bersama-sama melakukan perbuatan yang tersebut dalam pasal 55 jo pasal 359 KUHP.

5. Uitlokker (penganjur)

a. Pengertian :Pengajur ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana denganmenggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang untuk melakukan kejahatan.Jadi hamper sama dengan menyuruh-lakukan (doen-pleger), pada penganjuran (uitlokking) ini ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai

Page 240: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

240

pembuat materiil / auctor physicus. Adapun perbedaannya sbb :

Penganjuran Menyuruh-lakukanMenggerakkannya dengan sarana-sarana tertentu (limitatif)

Sarana menggerakkannya tidak ditentukan (tidak limitatif)

Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan (tidakmerupakan manus ministra)

Pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan (merupakan manus ministra)

b. Syarat penganjuran yang dapat dipidana :Berdasarkan pengertian diatas, maka syarat pengajuran yang dapat dipidana ialah :

Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang.

Menggerakkannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti tersebut

Page 241: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

241

dalam undang-undang (bersifat limitatif).

Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada a dan b (jadi ada psychise causaliteit).

Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana.

Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

Dari lima syarat yang disebutkan diatas, jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan syarat yang harus ada pada si penganjur, sedangkan syarat 3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada orang yang dianjurkan (pembuat materiil).

c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa ?Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :1. Tidak mungkin.

d. Mungkinkah ada percobaan pengajuran atau pengajuran yang gagal ?

e. Pertanggungjawaban si penganjur.

Page 242: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

242

c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa ?

Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :

(a). Tidak mungkin.

Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh van Hamel dengan mengemukakan alasan bahwa sifat khas dari uitlokking ialah membujuk terjadinya perbuatan dengan sengaja.

(b). Mungkin.

Simons menganggap bukannya mustahil dalam bentuk demikian seseorang dapat membujuk terjadinya sesuatu perbuatan dengan pengetahuan bahwa orang yang akan melakukan perbuatan itu dapat mengira-ngira kemungkinan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki atau dapat mengirakan kemungkinan terjadinya akibat tersebut. Menurut Pompe orang nyata-nyata dapat sengaja menyuruh orang lain untuk melakukan delik culpa, dalam arti orang itu sebagai pembujuk mempunyai kesengajaan untuk menggerakkan agar orang lain melakukan perbuatan yang ternyata suatu delik culpa dan

Page 243: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

243

inklusif didalam perbuatan sengaja itu termasuk kealpaan, dan pula dalam arti bahwa yang di bujuk dan pembujuk mempunyai kealpaan yang diisyaratkan oleh undang-undang. Misal :

Seorang pemilik mobil sengaja meminjamkan mobilnya untuk dipakai orang lain dengan mengetahui bahwa dengan pemberian pinjaman itu, orang lain tersebut akan mengendarainya. Jadi, pada pembujuk ada kesengajaan yang ditujukanuntuk menggerakkan orang lain untuk menyupir. Kalau orang lain itu tidak dapat menyupir hal mana diketahui oleh pembujuk, maka jika pengendara tersebut melanggar seseorang yang mengakibatkan mati, ia dapat dikatakan melakukan tindak pidana dalam pasal 359, sedang pemilik mobil dapat dikatakan melakukan pembujukan untuk terjadinya pelanggaran pasal 359 itu.

d. Mungkinkah ada percobaan penganjuran atau penganjuran yang gagal ?

Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam hal seseorang telah dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu tindak pidana dengan menggunakan salah satu sarana dalam pasal 55 (1) ke-2, akan tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau

Page 244: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

244

mau melakukan akan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan perbuatan yang dapat dipidana.

(catatan : Dengan kata lain, baru terpenuhi syarat 1 dan 2 atau syarat 1 s/d 3) seperti dikemukakan pada no. b diatas.

Timbul masalah apakah terhadap percobaan untuk membujuk atau penganjuran yang gagal dapat dipidana ? mengenai hal ini sebelum adanya pasal 163 bis, ada dua pandangan :

1). Pendapat pertama : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri = onzelfstandig).

Menurut pandangan ini, pengajuran itu ada apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat materiil. D.p.l si penganjur dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana. Karena dalam “percobaan untuk penganjuran” ini, tindak pidana itu tidak terjadi maka si pengajur juga tidak dapat dipidana.

Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van Heml, vos.

2). Pendapat kedua : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak accessoir (berdiri sendiri = zelfstanding, tidak bergantung pada yang

Page 245: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

245

lain). Menurut pendapat ini, ada / tidaknya penganjuran tidak tergantung pada ada tidaknya atau terjadi / tidaknya tindak pidana. D.p.l sipenganjur tetap dapat dipidana walaupun tindak pidana yang dianjurkan kepada si pelaku tidak terjadi. Jadi menurut pandangan kedua ini, “percobaan untuk penganjuran” tetap dapat dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe, van Hattum.

Catatan :

Dari uraian diatas jelas, bahwa menurut pendapat pertama (accessoir), strafbaarheid (sifat dapat dipidananya si penganjur digantungkan dari apa yang dilakukan oleh orang lain). Jadi sudut pandangnya tidak membedakan antara sifat dapat dipidananya perbuatan (tindak pidana) dan sifat dapat dipidananya orang (pertanggungjawaban pidana). Jadi lebih mendekati pandangan monistis.

Sehubungan dengan pandangan yang pertama diatas, dalam KUHP Jerman (sebelum perubahan tahun 1943), dikenal apa yang dinamakan extreme accessoiriteit yaitu bahwa untuk adanya bentuk-bentuk penyertaan harus ada yang bertanggung jawab sebagai Tater (pelaku).

Menururt KUHP Jerman itu, untuk dapat memidana seseorang peserta sebagai Mittater

Page 246: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

246

(si turut-serta melakukan / medepleger, anstifter / pengajur uitlokker, atau gehilfe / pembantu / medeplichtige), maka si pembuat materiil harus melakukan strafbare handlung, yang diartikan bukan saja melakukan perbuatan yang dilarang / diancam pidana, tetapi juga dapat dijatuhi pidana. Dengan demikian apabila si pembuat materiil tidak dapat dijatuhi pidana (karena tidak ada kesalahan), tidak mungkin ada penyertaan.

Pertanggungjawaban peserta tidak lagi digantungkan pada pertanggungjawaban si pelaku atau peserta lainnya, tetapi dipandang berdiri sendiri, asal saja pelaku atau peserta lainnya itu telah melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang.

Pandangan accessoiriteit yang terbatas ini sesuai dengan pandangan dualistis (a.l Prof. Ruslan saleh) yang melihatnya dari dua sudut pandang :

1). Dari sudut perbuatan, pada umumnya tiap-tiap peserta tidak berdiri sendiri-sendiri, sifat melawan hukumnya perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatannya di hubungkan dengan pelaku atau peserta lainnya.

Page 247: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

247

2). Dari sudut pertanggungjawaban, tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri menurut sikap batinya masing-masing berhubung dengan apa yang diperbuatnya.

Persoalan percobaan pengajuran atau penganjuran yang gagal ini sekarang sudah tidak menjadi persolan lagi, setelah pada tahun 1925 (S. 1925 No. 197 / jo 273) ditambahkan pasal 163 bis kedalam KUHP pasal ini berbunyi :

1). Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam pasal 55 ke-2, mencoba menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan, diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (sekarang menjadi Rp. 4.500,-), jika tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana, tetapi dengan ketentuan, bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang ditentukan terhadap percobaan kejahatan, atau jika percobaan itu tidak dipidana, tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari yang ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri.

2). Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkannya kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana itu disebabakan karenakehendaknya sendiri.

Page 248: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

248

Pasal diatas mengancam pidana terhadap pembujukan yang gagal dan juga yang tidak menimbulkan akibat. Dengan demikian pasal ini menjadikan perbuatan “ pembujukan yang gagal” sebagai delik yang berdiri sendiri (delictum suigeneris). Delik ini merupakan delik formil, artinya perumusannya dititikberatkan pada perbuatan si pembuat, jadi jika seseorang dengan salah satu sarana yang tersebut dalam pasal 55 ke-2 itu berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan, maka ia sudah dapat dipidana. Alasan penghapus pidananya tercantum dalam ayat (2). Menurut Prof. Moelyatno, pasal 163 biss (2) merupakan alasan penghapus penuntutan.

Perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 163 bis itu digunakan kata-kata “mencoba / berusaha menggerakkan orang lain untuk…”. Jadi dapat juga dikenakan kepada “menyuruh lakukan / doenplegen yang gagal”, asal saja sarana yang dipakai oleh si pembuat termasuk salah satu sarana untuk pembujukan yang tersebut dalam pasal 55 ayat (1) ke-2.

e. Pertanggungjawaban si penganjur.

Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa penganjur dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya. Misal :

Page 249: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

249

A menganjurkan B untuk menganiaya C dan akibat penganiayaan itu C mati, Dalam hal ini pertanggungjawaban A bukan terhadap perbuatan “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan” (pasal 55 jo 351) tetapi “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan yang berakibat mati” (pasal 55 jo 351 ayat (3)).

Bagaimanakah apabila B yang dianjuri langsung membunuh C. dalam hal ini matinya C tidak dapat dipertanggungjawabkan pada A (Jadi tidak dapat dituduh berdasar pasal 55 jo 338), karena pembunuhan itu bukan dimaksud (disengaja) oleh A. Namun demikian, A masih dapat dipertanggungjawabkan berdasrkan pasal 163 bis, yaitu pembujukan yang gagal untuk penganiayaan. Maksimum pidana yang dapat dikenakan adalah maksimum pidana untuk penganiayaan yang terbukti sengaja dianjurkan oleh A, yaitu kalau penganiayaan biasa pasal 351 (1), maksimumnya 2 tahun 7 bulan, kalau penganiayaan ringan pasal 352 maksimumnya 3 bulan, kalau penganiayaan yang direncanakan pasal 351 (1) maksimumnya 4 tahun penjara dst. Jadi maksimumnya bukan 6 tahun (perhatikan redaksi pasal 163 bis).

Ketentuan pasal 163 bis juga dapat dipertanggungjawabkan pada A dalam hal B (yang dianjuri) tidak mau melaksanakan anjuran dari A walaupun mungkin ia sudah menerima sesuatu

Page 250: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

250

pemberian / hadiah dari A. jadi gagalnya pengajuran A karena kehendak orang yang ditujuk (B). Apabila tidak terjadi atau gagalnya pengajuran A itu karena kehendak A sendiri, maka pasal 163 bis tidak dapat dikenakan pada A.

Bagaimanakah apabila dalam melaksanakan anjuran A untuk menganiaya C itu, B baru melaksankannya sampai taraf percobaan penganiayaan tidak dipidana dan ini berarti “tidak terjadi percobaan kejahatan yanmg dipidana” seperti disebutkan dalam pasal 163 bis.

Kalau A membujuk B untuk membunuh C dengan menggunakan pistol, tetapi karena “penyimpangan sasaran” (aberretio ictus / afdwalirgsgevallen) tembakan B mengenai D, maka perbuatan A tetap dapat disebut “membujuk untuk percobaan pembunuhan terhadap C” (pasal 55 jo 53 jo 338). Bagaimanakah terhadap matinya D, apakah A dapat dipertanggungjawabkan ?

Ada pendapat bahwa dalam hal ini A tidak dapat dipertanggungjawabkan karena matinya D bukan yang dikenhendaki (disengaja dianjurkan) oleh A, jadi karena tidak ada identitas (kesamaan) antara perbuatan yang dibujukkan dengan perbuatan yang benar–benar dilakukan. Pendapat ini menghendaki adanya hubungan langsung antara kesengajaan si pembujuk dengan terjadinya delik yang dilakukan oleh

Page 251: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

251

orang yang dibujuk. Jadi masalah pokoknya berkisar pada sampai seberapa jauh “kesengajaan” menurut pasal 55 (2) itu dapat dipertanggungjawabkan kepada di pembujuk, apakah hanya bertanggung jawab terhadap “kesengajaan dengan maksud (yang langsung dituju)” atau meliputi juga seluruh corak kesengajaan.

Apabila pengertian “sengaja yang dianjurkan” dalam pasal 55 (2) meliputi juga dolus eventualis yang dilakukan oleh pembuat materiil, maka dlam kasus diatas A juga dapat dipertanggungjawabkan terhadap matinya D apabila terbukti bahwa pada saat B (pembuat materiil) menembak C dapat dibayangkan kemungkinan tertembaknya orang lain (b) yang berada di dekat C. Penetuan hal ini dilakukan secara normative oleh Hakim.

6. PEMBANTUAN (medeplichtige)

a. Sifat : Dilihat dari perbuatannya.

Pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban tidak accessoir. Artinya dipidananya pembantu tidak

Page 252: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

252

tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut pidana.

b. Jenis : Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu :

Jenis pertama :

Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan; Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif

dalam undang-undang

Jenis kedua :

Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan; Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam

undang-undang (yaitu dengan cara : memberi kesempatan, sarana atau keterangan).

Pembantuan jenis pertama ini mirip dengan turut serta (medeplegen) perbedaannya sbb :

Pembantuan Turut SertaMenurut ajaran penyertaan obyektif : perbuatannya hanya membantu / menunjang (ondersteuning shanling)

Menurut ajaran obyektif : perbuatan merupakan perbuatan pelaksanaan (uitvoering shandelling)

Menurut ajaran subyektif :

Kesenjangan merupakan animus

Menurut ajaran subyektif :

Kesenjangan

Page 253: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

253

socii (hanya untuk memberi bantuan saja pada orang lain);

Tidak harus ada kerja sama yang disadari (beweste samenwerking)

Tidak mempunyai kepentingan / tujuan sendiri.

merupakan animus coauctores (diarahkan untuk terwujudnya delik);

Harus ada kerja sama yang disadari (bewuste samenworking)

Mempunyai kepentingan / tujuan sendiri.

Terhadap pelanggaran tidak dipidana (pasal 60 KUHP).

Terhadap kejahatan maupun pelanggaran dapat dipidana.

Maksimum pidananya dikurangi sepertiga (pasal 57-1).

Maksimum pidananya sam dengan si pembuat.

Pembantuan jenis kedua ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya adalah sebagai berikut :

Penganjuran PembantuanKehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat materiil ditimbulkan oleh si pengajur (ada kausalitas psikhis)

Kehendak jahat pada pembuat materiil sudah ada sejak semula (tidak ditimbulkan oleh si pembantu).

Page 254: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

254

Adanya ajaran / teori penyertaan yang obyektif dan subyektif, ditimbulkan oleh adanya konsepsi yang saling bertentangan menganai batas-batas pertanggungjawaban para peserta, yaitu :

A. Sistem yang berasal dari hukm Romawi,

Menurut system ini tiap-tiap peserta sama nilainya (sama jahatnya) dengan orang yang melakukan, tindak pidana itu sendiri, sehingga mereka masingt-masing juga dipertanggungjawabkan sama dengan pelaku.

Karena tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sama, maka batas antara bentuk-bentuk penyertaan sama, maka batas antara bentuk-bentuk penyertaan tidaklah prinsip, yang dijadikan titik berat untuk menentukan batas antara pelaku dengan para peserta diletakkan pada perbuatannya dan saat bekerjanya masing-masing (jadi bersifat obyektif). Pendirian inilah yang kemudian dikenal dengan teori atau jaran penyertaan obyektif.

Sistem yang pertama ini terdapat dalam Code Penal Prancis dan dianut juga di Inggris.

B. Sistem yang berasal dari para jurist Italia dalam abad pertengahan.

Page 255: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

255

Menurut system ini tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilainya (tidak sama jahatnya), tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu pertanggungjawabannya juga berbeda, ada kalanya sama berat dan ada kalanya lebih ringan dari pelaku. Karena pertanggungjawaban para peserta itu berbeda, maka batas antara masing-masing bentuk penyertaan itu adalah prinsip sekali, artinya harus ditentukan secara tegas. Adapun yang dijadikan batas antara masing-masing bentuk penyertaan dititik beratkan pada sikap batin masing-masing peserta. Pendirian inilah yang dikenal dengan teori atau ajaran penyertaan yang subyektif.

Sistem, kedua ini dianut dalam KUHP Jerman dan Swiss. Seperti telah dikemukakan, di Jerman dibedakan antara Tater (pembuat), anstifter (penganjur) dan Gehilfe (pembantu). Berdasar teori subyektif, maka jarang termasuk tater harus mempunyai tater-willen (niat untuk menganjurkan) dan yang termasuk Gehilfe harus mempunyai Gehilfewiller (niat untuk membantu orang lain).

Menurut Prof Moelyatno, KUHP kita dapat digolongkan kedalam kelompok teori campuran karena :

- Dalam pasal 55 disebutkan “dipidana sebagai pembuat” dan dalam pasal 56 disebutkan “

Page 256: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

256

dipidana sebagai pembantu”. Dengan adanya dua bentuk penyertaan ini (yang dapat disamakan dengan pembagian autors dan complices di Prancis atau principals dan accessoir di Inggris, berarti menganut system yang pertama.

- Akan tetapi apabila dilhat perbedaan pertanggungjawabannya yaitu pembantu dipidana lebih ringan (dikurangi sepertiga) dari si pembuat, maka ini berarti dianut yang kedua.

Selanjutnya dikemukakan oleh beliau, bahwa apabila pada dasarnya KUHP kita menganut system Code Penal (system pertama) dengan pengecualian untuk pembantuan dianut system KUHP Jerman (system kedua), maka konsekuensinya ialah :

A). Perbedaan dalam pasal 55 antara pelaku orang yang menyuruh lakukan, yang turut serta dan yang menganjurkan, dalah tidak prinsipil. Ini berarti batas antara mereka yang tergolong dalam “daders” itu tidak perlu ditentukan secara subyetif menurut niatnya masing-masing peserta, tetapi cukup secara obyektif menurut bunyinya peraturan saja.

Dalam hubungan ini yang penting adalah perbedaan antara orang yang menyuruh lakukan dan penganjur. Perbedaan antara

Page 257: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

257

keduanya jangan dicari dalam sikap batin masing-masing, tetapi cukup bahwa :

- Untuk menjadi orang yang menyuruh lakuka, apabila orang yang disuruh tidak dapat dipidana sebagai pembuat karena dipandang tidak mempunyai kesalahan, dan

- Untuk menjadi pengajur sudah cukup, apabila cara-cara yang digunakan untuk menganjurkan tersebut dalam pasal 55 (1) ke-2 dan si pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan.

B). Perbedaan antara pembuat (dader) dan pembantu (megeplichtige)) adalah prinsipil, sehingga batas antara keduanya ditentukan menurut sikap batinnya.

c. Pertanggungjawaban pembantu.

1). Pada prinsipnya KUHP menganut system bahwa pidana poko untuk pembantu lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1) dan (2) yaitu : - Maksimum pidana poko untuk pembantuan dikurangi sepertiga (ayat 1);

- Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat 2).

Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam :

Page 258: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

258

a). Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, (lihat juga pasal 415 dan 417).

b). Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat dari si pembuat, (lihat juga pasal 349).

2). Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si pembuat (pasal 57 : 3).

3). Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu, KUHP mengamut system bahwa pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat accessoir), artinya tidak digantungkan pada pertanggungjawaban si pembuat. Misal pasal 57 (4) dan 58.

4). Ada pendapat dari Prof Moelyatno dan Prof. Oemar sadji, bahwa system pemidanaan untuk pembantuan hendaknya dipakai system “facultative Minderbes Taftung / strafmilderung yaitu terserah pada hakim apakah terhadap pembantu pidananya akan dikurangi atau tidak.

E. PENYERTAAN DENGAN KEALPAAN (CULPOSE DEELNEMING)

Misal :

Page 259: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

259

1. A memberi gunting kepada B yang katanya untuk menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B untuk mencuri atau untuk membunuh.

2. Pada waktu B akan memasuki rumah C dengan maksud mencuri, ia berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan kunci rumah A yang pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri, menolong B membuka kaca jendela sehingga B dapat masuk ke rumah C.

Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak dapat dipidana karena adanya untuk “membujuk” atau “membantu” menurut hukum pidana positif harus ada unsur sengaja. Unsur ini harus juga dipenuhi untuk :

- Doenplegen / menyuruh lakukan (dianalogikan dengan “membujuk”)

- Medeplegen / turut serta (dianalogikan dengan “membantu”).

Terhadap kasus serupa itu Karni juga berpendapat A tidak dapat dipidana karena adanya unsur “sengaja” didalam pasal 56 merupakan anasir subyektif dari pembantuan, artinya kesengajaan si pembantu harus diarahkan pada kejahatan yang bersangkutan.

F. PENYERTAAN MUTLAK PERLU (NOODZAKELIJKE DEELNEMING / NECESSARY COMPLICITY).

Page 260: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

260

Misal :

1. Pasal 149 : Menyuap (membujuk) seseorang untuk tidak menjalankan haknya untuk memilih;

2. Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas militer Negara asing;

3. pasal 297 : bigamy

4. pasal 284 : perzinahan;

5. pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah umur 15 tahun;

6. Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri.

Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau ada orang lain (kawan berbuat) yang mau harus ada, apabila kawan berbuat itu tidak ada maka delik itu tidak dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud dengan penyertaan yang tidak dapat dihindarkan atau penyertaan yang harus dilakukan.

Mr. Karni menyebutnya dengan “istilah” bekerja bersama-sama yang diharuskan oleh penegasan delik . jadi istilah beliau dimasukkan dalam pengertian “noodzakelijke medeplegen” (turut serta yang diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah “bekerja / berbuat bersama-sama” oleh beliau adalah sama dengan istilah “turut serta” (medeplegen).

Dalam pasal-pasal diatas ada yang menetapkan bahwa dipidana hanya si pelaku, tetapi ada juga yang

Page 261: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

261

menetapkan bahwa kawan pelakunya dapat dipidana. Mengenai pasal 287, Kami mempersoalkan bagaimana apabila justru yang membujuk terjadinya delik itu adalah anak perempuan yang belum berumur 15 tahun itu ? terhadap hal ini, kami menyatakan tidak keberatan untuk memidana anak gadis tersebut.

G. TINDAKAN-TINDAKAN SESUDAH TERJADINYA TINDAK PIDANA SEBAGAI DELIK YANG BERDIRI SENDIRI.

Misal :

1. pasal 221 : menyembunyikan penjahat;2. pasal 223 : menolong orang melepaskan diri

dari tahanan;

3. Pasal 480, 481, 482 : delik penadahan;

4. pasal 483 : menerbitkan tulisan / gambar yang dapat dipidana karena sifatnya.

Dalam contoh-contoh diatas sebeanrnya juga merupakan bentuk penyertaan, tetapi yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana lain. Dalam il;mu hukum pidana Jerman dikenal dengan istilah “Nachtaterschaft” atau “Begunstigung” (bentuk-bentuk “pemudahan”).

H. PERBUATAN PENYERTAAN DALAM PENYERTAAN (DEELNEMING AAN DEELNEMINGSHANSELINGEN)

Page 262: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

262

Misal :

1. Membujuk untuk membujuk (pasal 55 jo 56);

- putusan Landraad Batavia 18-21936

- putusan Rv j Batavia 20-3-1936

- putusan Rv j Senmarang 20-12-1937

2. membujuk untuk membantu (pasal 55 jo 56);

- putusan Rv j Batavia 8-5-1930

3. membantu untuk menganjurkan (pasal 56 jo 55)

– putusan Hoge Raad 25-1-1950

Catatan :

bagi mereka yang memandang “deelneming” sebagai “Tatbescandausdeh-nungsgrund”, contoh-contoh diatas dapat dimaklumi karena penyertaan dipandang sebagai “delichtum sui generic”. Namun bagi mereka yang memandangnya sebagi “strafaus-dehnungsgrund”, contoh-contoh diatas dipandang tidak mungkin atau janggal.

Page 263: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

263

BAB XII

GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP / CONCURSUS)

Dalam suatu tindak pidana dikatakan telah terjadi suatu perbarengan dalam kondisi, jika satu orang, melakukan lebih dari 1 tindak pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana pada orang tersebut, di mana untuk tindak pidana itu belumada

Page 264: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

264

putusan hakim diantaranya dan terhadap perkara-perkara pidana itu akan diperiksa serta diputus sekaligus.

I. BEBERAPA PANDANGAN.

Ada dua kelompok pandangan mengenai persoalan concursus :

1. Yang memandang sebagai masalah pemberian pidana a.l Hazewinkel- Suringa

2. Yang memandang sebagai bentuk khusus dari tindak pidana a.l : Pompe, Mezger, Moelyatno.

II. PENGATURAN DIDALAM KUHP

Didalam KUHP diatur dalam pasal 63 s/d 71 yang terdiri dari :

1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63.

2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum /Voortgezettehandeling) pasal 64.

3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65 s/d 71.

Page 265: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

265

III. PENGERTIAN

1. Menurut rumusan KUHP :

Sebenarnya didalam KUHP tidak ada definisi mengenai Concursus, namun demikian dari rumusan pasal-pasal diperoleh pengertian sbb :

Concursus Idealis, pasal 63 (suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.

Ada perbuatan berlanjut, apabila pasal 64

Seseorang melakukan beberapa, perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.

Catatan : Diantara perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada (concursus realis dan perbuatan berlanjut) narus belum ada keputusan hakim.

2. Menurut pendapat sarjana :

Page 266: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

266

Adanya istilah “perbuatan/feit” dalam pasal-pasal di atas menimbulkan masalah yang cukup sulit, khususnya dalam hal terdakwa hanya melakukan perbuatan. Kesulitan ini timbul karena dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, “perbuatan” (feit) itu ada meninjaunya secara materiil, secara fisik jasmaniah, yaitu dipikikan terlepas dari akibatnya, terlepas dari unsur-unsur tanbahan (dikenal dengan jaran feit materiil), dan ada pula yang melihatnya dari sudut hukum yaitu yang dihubungkan dengan danya akibat / keadaan yang terlarang.

Sehubungan dengan kesulitan itu, maka para sarjana mengemukakan beberapa pendapat :

HAZEWINKEL-SURINGA

Ada concursus Idealis apabila suatu perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak mau (eoipso) masuk pula dalam peraturan pidana lain.

Misal : perkosaan dijalan umum, disamping masuk 281

Page 267: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

267

(melanggar kesusilaan di muka umum).

POMPE

Ada concursus Idealis, apabila orang melakukan sesuatu perbuatan konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan merupakan benda / obyek aturan hukum. Misalnya bersetubuh dengan anak sendiri yang belum berusia 15 th, perbuatan ini masuk pasal 294 (perbuatan cabul dengan anak sendiri yang belum cukup umur) dan pasal 287 (bersetubuh dengan wanita yang belim berusia 15 tahun diluar perkawinan).

TAVERNE

Ada concursus Idealis , apabila :

- Dipandang dai sudut hukumpidana ada dua perbuatan atau lebih;

- Antara perbuatan-perbuatan itu tidak dapat

Page 268: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

268

dipikirkan terlepas satu sama lain.

Contoh : Oranga dalam keadaan mabuk mengendarai mobil diwaktu malam tanpa lampu. Dalam hal ini perbuatan hanya satu yaitu “mengendarai mobil”, tetapi dilihat dari sudut hukumada dua perbuatan yang masing-masing dapat dipikirkan terlepas satu sama lain, yaitu:

Pertama, “mengendarai mobil dalam keadaan mabul” (menggambarkan keadaan orang / pelakunya) dan kedua “mengendarai mobil tanpa lampu diwaktu malam” (menggambarkan keadaan mobilnya). Jadi dalam hal ini ada Concursus Realis.

VAN BEMMELEN

Ada Concursus Idealis, apabila :

- Dengan melanggar satu kepentingan hukum.

Page 269: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

269

- Dengan sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula.

Contoh : Perkosaan dijalan umum (melanggar pasal 285 & 281 KUHP). Khusus mengenai penjelasan M.v.T mengenai criteria untuk adanya “perbuatan berlanjut” seperti dikemukakan diatas, Simons tidak sependapat. Mengenai syarat “ ada satu keputusan kehendak”, Simons mengartikannya secara umum dan lebih luas yaitu “tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap-tiap kejahatan”. Berdasar pengertian yang luas ini, maka tidak perlu perbuatan-perbuatan itu sejenis, asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan tujuan. Misalnya untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B, A melakukan serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya membunuh.

Page 270: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

270

IV. SISTEM PEMBERIAN PIDANA / STELSEL PEMIDANAAN1. Concursus Idealis (pasal 63).

a). Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat.

Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 th penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara).

Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.

b). Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana poko sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat.

c). Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.

Page 271: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

271

d). Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis derogate legi generali” Contoh : seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara.

2. Perbuatan berlanjut (pasal 64).

a). Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.

b). Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun)

Page 272: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

272

kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15 tahun penjara

c). Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatn ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.

Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).

Page 273: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

273

3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).a. Untuk concursus realis berupa kejahatan

yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.

Misal :

A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku system absorbsi yang dipertajam.

A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah ancaman pidananya yaitu 10 tahun penjara, karena melebihi jumlah maksimum pidana untuk masing-masing kejahatan tersebut.

b. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya

Page 274: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

274

tidak boleh melebihi maksimum piudana yang terberat ditambah sepertiga, system ini disebut system Kumulasi yang diperlunak.

Misal :

1). A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua tahun penjara.

Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan kurungan.

2). Bagaimanakah dalam hal A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,- ? mengenai hal ini ada dua pendapat :

- Menurut Noyon semuanya harus dijatuhkan yaitu 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,-;

Page 275: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

275

- Menurut blok perhitungannya sbb : pidana denda dijadikan dulu pidana kurungan pengganti yaitu maksimum 6 bulan (lihat pasal 30 KUHP). Dengan demikian maksimumnya ialah 6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan maka 6 bulan ini dipecah menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan 1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,- (atau dibulatkan menjadi Rp. 334,-_

- Perhitungan blok mengenai jumlah pidana kurungan pengganti di atas masih didasarkan pada perhitungan lama sebelum adanya perubahan pidana denda 15 kali menurut UU No. 18 tahun 1960.

- Menurut perhitungan lama, tiap denda 50 sen atau kurang dihitung sama dengan satu hari kurungan pengganti, tetapi karena menurut pasal 30 (3) maksimum kurungan pengganti 6 bulan, maka untuk denda Rp. 1.000,- maksimumnya kurungan penggantinya 6 bulan.

Page 276: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

276

- Dengan telah adanya perubahan pidana denda, maka 1 hari kurungan pengganti dihitung sama dengan Rp. 7,50,- (yaitu 50 sen dikalikan 15) jadi untuk denda Rp. 1.000,- kurungan penggantinya sama dengan 134 hari (dibulatkan).

- Dengan demikian apabila diikuti perhitungan menurut Blok di atas maka jumlah maksimum 8 bulan dapat dipecah misalnya menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan denda 60/134 x Rp. 1.000,- = Rp.447,76.

3). Bagaimanakah dalam hal A melakukan dua jenis kejahatan yang terdapat dalam pasal 351 (diancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360 (diancam pidana 5 tahun penjara atau 1 tahun kurungan ?

Dalam hal ini hakim harus mengadakan “pilihan hukum” terlebih dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana yang sejenis, maka digunakan system absornsi yang dipertajam / diperberat (pasal 65).

Page 277: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

277

c. Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system kumulasi. Misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam piadan kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan. Namun menurut pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam pidana kurungan 9 bulan, maka maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.

d. Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan.

Misal :

A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang masing-masing diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6 bulan penjara (system kumulasi).

Page 278: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

278

Tetapi apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan ringan yang masing-masing diancam pidana penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara.

e. Untuk Concursus Realis, baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb: “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama”.

Misal :

A melakukan kejahatan-kejahatan sbb :

Tgl. 1/1 : pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara);

Tgl. 5/1 : penganiayaan biasa (pasal 351 diancam 2 tahun 8 bulan);

Tgl. 10/1 : penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara);

Page 279: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

279

Tgl. 20/1 : penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara).

Kemudian A ditangkap dan diadili dalam satu keputusan. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata untuk keempat tindak pidana itu, hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara, maka jika kemudian ternyata bahwa A pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada keputusan) melakukan penggelapan (pasal 372 yang diancam pidana penjara 4 tahun), maka keputusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak hanya dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahu (putusanI) yaitu 8 bulan penjara.

Dengan contoh diatas, dapatlah bunyi pasal 71 diatas dirumuskan secara singkat sbb :

Putusan ke II = (putusan sekaligus) – (putusan ke-I).

Page 280: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

280

BAB XIII

ALASAN / DASAR PENGHAPUS PIDANA

(Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of Impunity)

Page 281: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

281

Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi tentang alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, UU pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal yang umum dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, masih menurut Utrecht, UU pidana mengatur hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka UU pidana mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana. Dengan demikian materi ini menjadi penting untuk memperoleh kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian suatu perkara pidana.

Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak dihukum, karena :

1) Orangnya tidak dapat dipersalahkan;2) Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan

yang melawan hukum.

Bab I dan Bab II KUHP memuat : “ Alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pidana”. Pembicaraan selanjutnya akan mengenai

Page 282: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

282

alasan penghapus pidana, aialah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak dapat dipidana. M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai alasan mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”.

M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :

Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig), yakni :

a. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44 KUHP)

b. Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan lasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).

Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uitwendig), yaitu:

a. Daya paksa atau overmacht (pasal 48);

b. Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal 249);

Page 283: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

283

c. Melaksanakan Undang-undang (pasal 50);

d. Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);

Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukm Pidana juga mengadakan pembedaan sendiri, ialah :

1. Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;

2. Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang hanya berlaku unutk delik-delik tertentu saja, misal :

I. Pasal 166 KUHP : “Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut sendiri dst………………………………………” Pasal 164 dan 165 memuat ketentuan : bila seseorang mengetahui ada makar terhadap suatu kejahatan yang membahayakan Negara dan Kepala Negara, maka orang tersebut harus melaporkan.

II. Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya”. Disini ia tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntut dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).

Page 284: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

284

Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana :

a) Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).

b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.

Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat

Page 285: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

285

(2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).

Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.

ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM KUHP.

Uraian berikut membahas tentang dasar penghapus pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.

TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB (PASAL 44) :

Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti diketahui M.v.T menyebutkan sebagai tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak didalam si pembuat sendiri.

Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab mengahpuskan kesalahan mekipun perbuatannya tetap melawan hukum, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan

Page 286: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

286

suatu alasan penghapus kesalahan. Untuk membuktikan apakah seseorang yang melakukan tindakpidana ternyata tidak dapat dihukum dengan lasan pasal 44 KUHP, maka kita memerlukan ilmu pengetahuan lain yang dapat membantu yaitu psikiatri forensic. Pelaku akan diperiksa oleh seorang ahli (yang akan menyampaikan catatan medis), selanjutnya dari hasil tersebut akan disampaikan di muka persidangan. (Mengenai pasal 44 KUHP ini hendaknya dilihat lagi Bab Kemampuan Bertanggung jawab yang membahas tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana).

DAYA PAKSA-OVERMACHT (PASAL 48 KUHP).

Pasal 48 KUHP menentukan : “ tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika undang-undang (Belanda) itu dibuat.

Dalam M.v.T dilukiskan sebagai : “setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat

Page 287: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

287

ditahan” menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam du hal :

1. vis absoluta (paksaan yang absolut).2. vis compulsive (paksaan yang relatif).

Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda (pasal 406 KUHP).

Yang dimaksud denganm daya paksa dalam pasal 48 ialah daya paksa relative (vis complusiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan. (Prof. Moelyatno hanya menyebut “karena penagruh daya paksa”).

Contoh :

A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk

Page 288: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

288

mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan. Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh si pembuat di lain pihak harus ada keseiombangan.

Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.

Paksaan Dario dalam :

Kita mengambil contoh dari Arrest H.R tgl 26 Juni 1916 (Arrest “tak mau masuk tentara”). Dalam Arrest ini, orang yang tak mau masuk dinas tentara karena suara hati atau hati nuraninya keberatan tetap dihukum. Mereka tak mau taat pada undang-undang dan ingin mengikuti pandanganya sendiri mengenai keadilan dan kesusilaan yang menyimpang dari ketenatuan undang-undang. Hal

Page 289: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

289

ini tidak bisa diterima. Namun di Belanda sejak tahun lima puluhan ada perubahan pandangan.

Hakim tidak boleh begitu saja mengabaikan alasan keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa kemungkinannya masuk kedalam alasan penghapusan pidana yang umum.

Keberatan hati nurani (terhadap masuk dinas tentara) bukan keadaan darurat, tanpa melihat sampai di mana si pembuat dapat di cela atas perbuatannya.

KEADAAN DARURAT-NOODTOESTAND (PASAL 48 KUHP).

Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. Di Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand (pasa; 52 SGB) dan keadaan darurat disebut notstand, yang diatur dalam pasal 54 SGB.

Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat :

I. Pertentangan antara dua kepentingan hukum :

Contoh klasik : “papan dari carneades”.

Page 290: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

290

Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut (cerita ini berasal dari CICERO).

Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun menurut hukum perbuatan ini karena dapat difahami bahwa merupakan naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

II. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Misal :

1. Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang-barangnya.

2. Seorang pemilik toko kacamata kepada seorang yang kehilangan kacamatanya. Padahal pada saat itu menurut peraturan penutupan took sudah jam tutup took, sehingga pemilik took dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu

Page 291: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

291

ternyata tanpa kacamata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kacamata dapat dikatakan bertindak dalam keadaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa, terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong sesame (Arrest ini disebut Arrest optician).

III. Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum : a) Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan

laut) diperintahkan atasannya untuk melaporkan apakah ada para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan) terjangkit penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya.

Disini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :

Page 292: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

292

Melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara)

Memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.

Ia memberatkan salah satu. Di sini ia memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya, jadi ia tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh pengadilan tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan mahkamah tentara tinggi membebaskannya karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26 November 1916).

b) Seorang yang dalam satu hari (pada waktu yang bersamaan) dipanggil menjadi saksi di dua tempat, VAN HATTUM dalam hal 351 membandingkan daya memaksa dengan noodtoestand sebagai berikut :

Pada daya memaksa dalam arti sempit si pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia dororng oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau

Page 293: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

293

mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap undang-undang.

BELA PAKSA-PEMBELAAN DARURAT-NOODWEER (PASAL 49 AYAT (1)).

Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dialkukan untuk membela dirinya sendiri atau orng lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melwan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”. Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga Negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya. Padahal Negara dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada waktunya melindungi kepentingan hukum dari orang yang diserang itu : maka pembelaan diri ini bersifat menghilangkan sifat melawan hukum. Istilah noodmeer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP sehingga untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para ahli hukum pidana .

Dalam pembelaan darurat ada dua hal yang pokok :

1. adanya serangan,

Page 294: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

294

Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :

a. melawan hukumb. seketika dan langsung

c. ditujukan pada diri sendiri / orang lain

d. terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda

2. ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Syarat pembelaan :

a. seketika dan langsung

b. memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak ada cara lain selain membela diri dan proporsionalitas artinya seimbang antara serangan dan pembelaan.

Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tapi hal ini tidak perlu asal saja memenuhi syarat-syarat seperti tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak merupakan tindak pidana, misalnya dengan tinju menyerbu seseorang, mengambil catatan untuk di fotocopy guna kepentingan majikannya tapi tidak untuk dimiliki sendiri.

Page 295: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

295

Persoalan yang timbul pada serangan ialah : kapankah ada serangan dan kapankah serangan itu berakhir ?

Sebagai contoh : A menunggu B di luar rumah, maka perbuatan A tersebut, yakni menunggu belum dapat dikatakan serangan. Kapan serangan itu ada dan kapan serangan itu berlangsung menurut Hazewinkel-Suringa, ialah : jika dapat dicegah atau dihilangkan. Istilah mengancam seketika dan langsung berarti bahwa serangan itu sedang berlangsung dan juga bahaya serangannya. Sebagai contoh : pembunuh dengan pisau terhunus menyerbu korbannya.

Kalau misal A menembak B tidak kena dan A tidak menunjukkan akan menembak lagi, tetapi B lalu membalas, maka perbuatan b itu bukanlah perbuatan pembelaan karena terpaksa, karena disini terjadi serangan balasan. Tentu saja perbuatan B itu harus dilihat dalam keadaan yang menyertai perbuatan itu. Terhadap serangan yang tidak melawan hukum tidak mungkin ada pembelaan darurat.

Apakah perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat ?

1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam pembelaan daruart situasi darurat ini ditimbulkan

Page 296: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

296

oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan bukan hak.

2. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.

3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara limitative (pasal 49 ayat (1)).

4. Sifat keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari pada penulis yakni ada yang berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada sebagai alasan pembenar, sedang dalam pembelaan darurat para penulis memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat melawan hukum.

Dalam hubungan pembelaan darurat ini ada satu perbuatan orang yang disebut putatief noodweer, disini kesengajaan dihilangkan karena orang mengira bahwa dia berada dalam keadaan di mana harus mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini harus di lihat peristiwa dari peristiwa oleh karena itu maka harus diterangkan dalam proses verbal.

BELA PAKSA LAMPAU-NOODWEER EXCES (PASAL 49 AYAT 2 KUHP)

Page 297: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

297

(pelampauan batas pembelaan darurat atau bela paksa lampau batas)

Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal tersebut bunyinya : “tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”.

Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai berikut :

1. Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, melampaui asas subsidairitas dan proporsionalitas seperti yang diisyaratkan dalam pasala 49 ayat (1) KUHP, pasal 49 ayat (2) dan ayat (1) itu mempunyai hubungan yang erat, maka syarat pembelaan yang tersebut dalam pasal 49 ayat (1) disebut sebagai syarat dalam pasal 49 ayat (2). Disini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan.

2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang sangat panas). Termasuk disini adalah rasa tajut, bingung, dan mata gelap.

3. kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain : antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal. Yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus

Page 298: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

298

penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat mudah tersinggung. Disini juga yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya.

Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi sabagai alasan pemaaf sementara perbuatannya tetap bersifat melawan hukum.

MENJALANKAN PERINTAH UNDANG-UNDANG (PASAL 50 KUHP).

Pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan”. Mula-mula Hoge Raad (HR) menafsirkan secara sempit, yang dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam arti formil, hasil perundang-undangan dari DPR dan/atau raja. Tetapi kemudian pendapat HR berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam hubungan ini persoalannya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undangan itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hala ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban.

Page 299: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

299

Dengan perkataan lain kewajiban / tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang. Dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata dapat dijumpai adannya kewajiban dan tugas-tugas/wewenang yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk dapat membebaskan diri dari tuntutan hukum. Jadi untuk dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam tindakan ini seperti dalam daya memaksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya.

Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat berlindung dibawah pasal 50 KUHP ini. Kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya. Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar. Kadang-kadang dalam melaksanakan peraturan undang-undang dapat bertentangan dengan peraturan lain. Dalam hal ini dipakai pedoman : “lex specialis derogate legi generaki” atau “lex posterior derogate legi priori”. Yang diperbolehkan adalah tindakan eksekutor yang melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.

Page 300: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

300

MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51 AYAT (1) DAN (2)).

Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya. Maka jika seorang melakukan perintah yangsah ini maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.

Contoh kasus : seorang Letnan Polisi diperintah oleh Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak pidana. Colonel polisi tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam hal ini letnan polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah. Bilamanakah perintah itu dikatakan sah ? apabila perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan. Anatar orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan bawahan), meskipun sifatnya sementara, misalnya seperti permintaan bantuan oleh pamong praja kepada angkatan bersenjata (sesuai pasal 413 KUHP). Dalam pasal 51 inipun cara melaksanakan perintah harus patut dan wajar, pula harus seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar.

Page 301: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

301

Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat :

1. jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.

2. perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.

Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya.

Contoh lainnya :

Seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah uang guna sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk dalam mata-anggaran. Andaikata bendaharawan tiu melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ? perintah tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah sudah ditentukan pos-pos tertentu. Disini bendaharawan

Page 302: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

302

itu dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa perintah itu tidak sah.

Catatan :

Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeert” (tidak patut di pidananya perbuatan).

Contoh lainnya :

Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan. Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena perintah jabatan yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi behubung dengan keadaan pribadinya maka ia tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan pemaaf.

ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.

Page 303: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

303

Dimuka telah dibicarakan tentang alasan penghapus pidana yang berupa alasan pembenar dan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang pun ada alasan penghapus pidana, misalnya :

a. hak dari orang tua, gurur untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);

b. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie);

c. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengnai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);

d. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);

e. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil (arrest dikter hewan);

f. tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada arrest susu dan air).

ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF DAN AVAS.

Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan

Page 304: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

304

penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang putatief. Dapatkah orang tersebut dipidana ? sesuai dengan pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana, apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung pada “taksi” (avas). Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari afwezigheid van alle schuld, jika ada kasus-kasus di mana kita dapay membuktikan bahwa tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis). Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf.

Page 305: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

305

BAB XIV

GUGURNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN

PIDANA

A. GUGURNYA KEWENAGAN MENUNTUT.

Pada prinsipnya kewenangan melakukan penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya tindak pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan umum dianggap langsung terkena sehingga pihak yang terkena tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi dasar atas gugurnya kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP adalah :

a. Tidak adanya pengaduan dalam hal delik aduan (pasal 72-75 KUHP)

b. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)

c. Matinya terdakwa (pasal 77 KUHP)

d. Daluwarsa (pasal 78 KUHP)

Page 306: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

306

e. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP).

Sementara ketentuan diluar KUHP adalah :

a. Abolisib. Amnesti

Delik Aduan.

Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya tidak berhubungan dengan kehendak perorangan kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya perzinahan (pasal 284), persetubuhan terhadap anak dibawah umur (pasal 287-288), untuk melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama baik (319) dan lain-lain.

I. 1. Bentuk Delik Aduan

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, delik aduan dibagi dalam dua bentuk :

a. Delik Aduan Absolut

Dalam hal dianggap bahwa kepentingan orang yang terkena tindak pidana itu melebihi kerugian yang diderita oleh umum, maka hukum memberikan pilihan kepadanya untuk

Page 307: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

307

mencegah atau memulai suatu proses penuntutan.

Misal :

Seorang perempuan muda yang telah disetubuhi boleh memilih untuk menikahi laki-laki yang menyetubuhinya daripada pelaku dijatuhi pidana.

Delik aduan absolute ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan pasal 293 (perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur) pasal 322 (pelanggaran kewajiban menyimpan rahasia), pasal 335 (1) & (2) (perbuatan tidak menyenangkan) atau pasal 369 (pengancaman).

b. Delik Aduan relative

Karakter delik aduan ini tidak terletak pada sifat kejahatan yang dilakukan melainkan pada hubungan antara pelaku / pembantu dan korban. Baik hubungan karena keturunan / darah atau dalam hal hubungan perkawinan. Dalam hal relasi antara sifat keperdataan yang lahir dari h8ubungan tersebut dapat menjadi alasan dalam mencegah terjadinya penuntutan. Kebanyakan delik-delik ini terkait dengan delik dibidang harta benda (pasal 367 KUHP).

Page 308: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

308

II.2. Yang berhak mengadu (subyek).

Ketentuan umum dalam pasal 72 KUHP menentukan :

1) Jika ybs. Belum 18 th / belum cukup umur / dibawah pengampunan (pasal 72) :

Oleh wakil yang sah dalam perkara perdata;

Wali pengawas / pengampu

Istrinya

Keluarga sedaraj garis lurus

Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3

2) Jika ybs meninggal pasal 73 oleh :

Orang tuanya

Anaknya, atau

Suami / istri (kecuali ybs tidak menghendaki).

Disamping ketentuan umum tersebut diatas , ada pula ketentuan-ketentuan khusus, misalnya :

Untuk perzinahan (pasal 284).

Page 309: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

309

Yang berhak mengadu hanya suami / istri yang tercemar (ketentuan pasal 72 dan 73 diatas tidak berlaku).

Penarikan kembali pengaduan dapat dilakukan, sewaktu-waktu, selama pemeriksaan dalam siding pengadilan belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan pasal 75 KUHP tidak berlaku.

Untuk melarikan wanita (pasal 332)

Yang berhak mengadu :

Jika belum cukup umur oleh : wanita ybs, atau orang yang harus memberi ijin bila wanita itu kawin

Jika sudah cukup umur, oleh : wanita ybs, atau suaminya.

II.3. Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal 74)

a. Bertempat tinggal di Indonesia 6 bulan sejak mengetahui

b. Bertempat tinggal di luar Indonesia 9 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan.

II.4. Penarikan kembali aduan.

Page 310: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

310

Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta merta berarti bahwa ijin memberikan kewenangan penuntutan dilakukan secara final. Memang selayakanya pengaduan mencakup pelaporan (aangifte) dengan permohonan dilakukannya penuntutan (verzoek tot vervolging). Bila pengaduan sudah disampaikan, pada dasarnya jaksa penuntut umum tak perlu menunggu lewatnya daluarsa menarik adauan, meskipun undang-undang memberikan jangka waktu 3 bulan (pasal 75). Akan tetapi jika aduan tersebut ditarik kembali, maka kewenangan menuntut menjadi hapus.

B. NE BIS IN IDEM (PASAL 76)

Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah “tidak atau jangan dua kali yang sama”. Sering juga digunakan istilah “nemodebet bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatnya dapat diganggu / dibahayakan untuk kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon diterjemahkan menjadi “No one could be put twice in jeopardy for tha same offerice”.

Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :

a) Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara);

b) Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.

Page 311: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

311

Diakuinya azas Neb is in idem ini terlihat dalam rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi (ayat (1) sub 1) sbb :

“Kecuali dalam hal putusan haikm masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”.

Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi syarat-syarat sbb :

Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;

Orang terhadap siap putusan itu dijatuhkan adalah sama;

Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.

Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang

Page 312: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

312

tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum yang kedua kali.

B.1. Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;

Keputusan hakim (yang berkekuatan hukum tetap) yang dimaksud disini adalah keputusan terhadap perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa :

I. Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP (dulu 313 RIB).

II. Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2) KUHAP (dulu 314 RIB);

III. Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP (dulu 315 RIB).

Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum

Page 313: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

313

berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya disebut “penetapan-penetapan” (beschikking), misalnya :

a. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan;

b. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;

c. Tetang tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.

Adanya penetapan-penetapan serupa itu tidak merupakan alasan untuk adanya neb is in idem. Jadi pasal 76 KUHP tidak mengenai penetapan-penetapan. Perlu pula diperhatikan bahwa putusan-putusan hakim seperti dikemukakan diatas adalah putusan yang menyangkut perkara pidana, jadi keputusan mengenai hukum pidana.

Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.

Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adsalah perkara pidananya lebih dulu, maka putusan ini tidak

Page 314: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

314

merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara gugatan perdata. Jadi tegasnya pasal 76 KUHP hanya berlaku untuk perkara-perkara pidana.

Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is in idem ini tidak hanya keputusan hakim Indonesia, tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim asing). Hal ini disebut dalam pasal 76 (2) dengan syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa :

a) Putusan yang berupa pembebasan;

Dengan syarat-syarat diatas, maka apabila keputusan hakim asing yang berupa pemidanaan baru sebagian dijalani, maka orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi. Dalam pengertian “telah dijalani seluruhnya” putusan hakim asing itu, menurut Pompe termasuk pidana bersyarat (V.V. = voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan bersyarat (V.I. = voorwaardelijke invrijheidstelling).

b) Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan hukum;

Orang yang dituntut harus sama. Ini merupakan segi subyektif dari persyaratan neb is in idem. Apabila misalnya A dan B melakukan tindak pidana bersama-sama, akan tetapi yang tertangkap dan dituntut pidana baru

Page 315: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

315

A, maka dalam hal B kemudian tertangkap ia tetap masih dapat dituntut walaupun misalnya A dibebaskan.

c) Putusan berupa pemidanaan :- Yang sekuruhnya telah dijalani, atau

- Yang telah diberi ampun (grasi), atau;

- Yang wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena kadaluwarsa.

B.2. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.

Harus ada feit / perbuatan yang sama. Ini segi obyektif dari neb is in idem (objective identiteit). Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar, seperi halnya dijumpai dalam concursus/ gabungan tindak pidana.

Misal :

A melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285 dan 281). Seandainya Jaksa hanya menuntut berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata tidak terbukti, sehingga terdakwa lepas dari segala tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut yang kedua kalinya berdasar pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum) ? dan pakah putusan yang

Page 316: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

316

pertama merupakan res judicata (putusan yang neb is in idem)?

Jawaban terhadap masalah ini tergantung atau berkisar pada apa yang dimaksud dengan “feit”. Kalau kasus diatas dipandang sebagai concursus realis, sehingga dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada penuntutan lagi. Akan tetapi apabila dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang ada satu perbuatan, maka hanya dimungkinkan adanya satu kali penuntutan saja.

Catatan :

- Apabila dipandang sebagai concursus realis , maka tidak ada neb is in idem;

- Apabila dipandang sebagai concursus idealis , maka ada neb is in idem;

Dalam yurisprudensi, ajaran feit materiil pada neb is in idem telah ditinggalkan pada tahuan 1932, yaitu dengan Arrest HR 27 Juni 1932.

Kasusnya : Orang yang sedang mabuk ditempat umum mengganggu ketentraman umum, telah memukul dada dan menendang kaki seorang anggota polisi yang sedang menjalankan tugasnya.

Page 317: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

317

Mula-mula terdakwa diputus dan dipidana karena menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2), kemudian oleh jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman umu dalam keadaan mabuk (pasal 492). Tuntutan kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa dijatuhi pidana. Terdakwa banding, dan pengadilan tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan mengatakan bahwa perbuatan terdakwa itu merupakan dua perbuatan dipandang dari sudut hukum pidana, jjadi disini tidak ada perbuatan yang sama, seperti dimaksud dalam pasal 76 HR melihat disini juga ada 2 perbuatan yang mempunyai cirri yang berlainan, sehingga tuntutan jaksa dapat diterima.

Persoalan feit / perbuatan pada pasal 76, disamping berlkaitan erat de4ngan masalah concursus, juga berhubungan dengan masalah, alternativitas dalam tuduhan dapat meliputi masalah :

a. Perbuatannya/ketentuan yang dilanggar :

Misal : perbuatan A sebenarnya dapat dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu :

1) Dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain (pasal 338),

2) Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain (pasal 359),

Page 318: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

318

3) Dengan sengaja menganiaya yang berakibat mati (pasal 351 ayat (3)).

b. Waktu terjadinya tindak pidana

Misal seorang dituntut telah melakukan pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapi didalam surat tuduhan tercantum tgl 1 Juli 1979. apabila terdakwa dibebaskan unutk tuduhan pencurian tercantum tgl. 1 Juni, Jaksa tidak dapat menuntut lagi berdasar tgl. Yang betul. Disini ada neb is in idem. Dalam hala ini sebenarnya sebelum ada putusan, jaksa dapat mengajukan permintaan unutk “merubah surat tuduhan berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya tetap.

c. Tempat terjadinya tindak pidana.

Misal semula terdakwa dituduh mencuri di taman Diponegoro, kemudian dibebaskan. Jaksa kemudian mengajukan tuduhan lagi. Berdasar tempat pencurian yang sebenarnya dilakukan yaitu di Stadion Diponegoro. Disinipun ada neb is in idem.

Kesukaran dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perkataan ”feit” dirubah menjadi “strafbaar feit”. Dengan perubahan ini menurut Pompe, penerapan pasal 76 lebih mudah. Namun diakui bahwa itu berarti

Page 319: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

319

menyempitkan berlakunya pasal 76, artinya kemungkinana penuntutan kembali menjadi longgar. Tetapi menurut Pompe, halangan dalam penuntutan baru, dapat lebih merugikan kepentingan umum dari pada mengulangi percobaan untuk penerapan undang-undang pidana dengan setepat-tepatnya.

C. MATINYA TERDAKWA (PASAL 77) DAN MATINYA TERPIDANA (PASAL 83).

Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum hanyalah orang dan pertanggungan jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini tidak ada suatu tanggungjawab pidana diwariskan. Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa kematian seorang tersangka atau terdakwa menyebabkan kewenangan seorang Jaksa penuntut menjadi gugur. Sementara kematian seseorang terpidana menyebabkan kewajiban menjalankan pidana menjadi terhapuskan.

D. DALUWARSA (VERJARING).

D.1 Daluwarsa Penuntutan.

Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh beberapa pemikiran yaitu :

Page 320: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

320

Dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga mengahpuskan keinginan untuk melakukan pembalasan.

Berjalannya waktu sekaligus menghapuskan jejak-jejak tindak pidana yang menyebabkan kesulitan pembuktian.

Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.

Namun demikian yang utama dari ketiga lasan itu adalah kebutuhan untuk memidana dan kesulitan pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu adagium punier non (simper) necesse est (menghukum tidak selamanya perlu) menajdi dasar dari keberadaan lembaga ini.

D.1.1. Tenggang Waktu Daluwarsa Penuntutan.

Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam pasal 78 (1), yaitu :

Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun;

Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3 tahun : daluwarsanya sesudah 6 tahun;

Page 321: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

321

Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12 tahun;

Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah 18 tahun.

Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut yang menyangkut vorduurende delict (delik berlangsung terus lihat penjelasan dalam bab tetang jenis delik). Adapun yang diatur dalam pasal 79 adalah :

- Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244) perhitungan daluwarsa didasarkan pada waktu setelah uang dipakai atau diedarkan;

- Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333), daluwarsa dihitung keesokan hari setelah orang tersebut dibebaskan atau ditemukan meninggal dunia;

- Kejahatan terhadap register kependudukan (pasal 556-558 a), sehari setelah data tersebut dimasukkan dalam catatan register.

D.1.2. Pencegahan dan penangguhan.

a. Pencegahan (stuiting).

Page 322: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

322

Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada tindakan penuntutan (daad van vervolging). Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan secara luas yaitu mencakup juga tindakan-tindakan pengusutan (daad van opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian menerima pendapat yang lebih sempit, yaitu hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum yang langsung menyangkutkan hakimdalam acara pidana (misal menyerahkan perkara ke siding, mendakwa / mengajukan tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan pengusutan tidak lagi dianggap termasuk tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2) sesudah terjadinya pencegahan (stuiting) mulai berjalan tenggang daluwarsa yang baru, jadi selama terhentinya selama ada tindakan penuntutan tenggang waktunya tidak dihitung.

b. Penangguhan (scorsing).

Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/tertangguhkan (geschorst) apabila ada perselisihan praejudisiil, yaitu perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dulu harus diselesaikan sebelum acara pidana dapat diteruskan. Dalam hal ada

Page 323: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

323

penundaan/pertangguhan (schorsing) maka tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya penundaan, tetap diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata berlangsung dan belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan pidana, dipertangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat dipenuhinya tenggang daluwarsa penuntutan pidana.

D.2. Daluwarsa Pemidanaan.

Sama dengan daluarsa penuntutan maka landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan didasarkan kepada dua hal yaitu :

1. dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga menghapuskan keinginan unutk melakukan pembalasan

2. bahwa pelaku setetlah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.

Perbedaannya disini adalah alasan kesulitan pembuktian tetunya tidak lagi relevan disini.

Page 324: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

324

D.2.1. Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana.

Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam pasal 84 (2), yaitu :

untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2 tahun.

Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya 5 tahun.

Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat pasal 78 ) ditambah sepertiga.

Pada ayat (3) ditetapkan bahwa :

“tidak ada daluwarsa untuk kewenangan mejalankan hukuman mati”.

Menurut pasal 85 (1) tenggang daluwarsa dihitung mulai pada keesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama dengan putusan hakim yang inkracht van gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap). Pada umumnya memang putusan hakim yang berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan hakim yang sudah dapat dieksekusi sebelum keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu “verstek-vonnis” (keputusan diluar hadirnya terdakwa).

D.2.2. Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa Pemidanaan.

Page 325: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

325

a. pencegahan (stuiting)

pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa hak untuk menjalankan / mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 85 ayat (2)) yaitu :

1) Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana.

Dalam hal ini, tenggang daluwarsa baru dihitung pada keesokan harinya setelah melarikan diri.

2) Jika pelepasan bersyarat dicabut

Dalam hal ini, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.

Dengan demikian selama ada pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang sama sekali (tidak dihitung).

b. penagguhan (schorsing).

Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 33 ayat (3) yaitu :

Page 326: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

326

selama perjalanan pidana ditunda menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

selama terpidana dirampas kemerdekaannya (ada calon tahanan), walaupun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.

A. Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan Menjalankan Pidana di luar KUHP.

E.1. Grasi.

Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs. Keputusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi / diringankan. Jadi grasi dari presiden, dapat berupa :

Tidak mengeksekusi seluruhnya, Hanya mengeksekusi sebagian saja

Mengadakan komutasi yaitu jenis pidananya diganti, misal penjara diganti kurungan, kurungan diganti dengan denda, pidana mati diganti penjara seumur hidup.

Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink adalah keadaan pada waktu hakim menjatuhkan putusan tidak atau kurang diperhatikan atau mungkin pertimbangan dan yang bila (secara memadai sebelumnya ia keathui, akan mendorongnya menjatuhkan pidana atau tindakan

Page 327: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

327

lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi sekalipun. Grasi dapat dikabulkan manakala hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak akan mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu sendiri.

Perihal prosedur Grasi diatur dalam undang-undang 22 tahun 2002, menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun. Dalam pasal 2 ayat (3) permohonan grasi hanya dapat diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :

I. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut;

II. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.

Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.

Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali

Page 328: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

328

dalam hal terpidana dijatuhi pidan mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana (pasal 6 ayat (3)).

Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya kepada Presiden. Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan slinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.

Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) haru terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, penagdilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan dalam

Page 329: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

329

jangka waktu paling lambat 3 (tigta) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Preisden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung, keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.

E.2. Amnesti.

Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan perundang-undangan) yang memuat pencabutan senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu atau satu kelompok delik tertentu, demi kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan, mereka yang identitasnya diketahui ataupun tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan) maupun post sentantiam (pasca proses ajudikasi).

Page 330: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

330

Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan politik.

E.3. Abolisi.

Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Abolisi mengandung pengertian penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang sudah dimulai.

Page 331: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

331

BAB XV

R E S I D I V E

( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)

1. PENGERTIANResidive atau pengulangan terjadi apabila

seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( MKHT) atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi.

Page 332: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

332

Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada putrusan Pengadilan yang MKHT.

Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :

1. Sistim Residive UmumMenurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.

2. Sistem Residive KhususMenurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis

Page 333: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

333

tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.

2. MENURUT KUHPDalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran.

Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus.

a. Residive Kejahatan.Residive terhadap kejahatan dalam pasal : 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).

Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberat. Perlu diingat bahwa mengenai tenggang waktu dalam residive tersebut tidak sama, misalnya :

i. Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua tahun ;

Page 334: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

334

ii. Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.

iii. Sedangkan untuk residive yang diatur dalam Pasal 486, 477 dan 488 KUHP mensyaratkan bahwa tindak pidana yang diulangi termasuk dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.

b. Residive PelanggaranResidive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :

Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.

Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan.

3. RECIDIVE DI LUAR KUHP

Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam Undang-Undang:

i. Tindak Pidana Narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85, dan pasal 87;Tenggang waktu lima tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga

Page 335: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

335

ii. Tindak Pidana Psikotropika (UU No.5/1997), Pasal 72, ancaman pidana ditambah sepertiga.

SOAL UJIAN

DAFTAR PERTANYAAN

MATERI DIKLAT

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

1. Ruang berlakunya hukum pidana dapat dibedakan menurut waktu dan menurut tempat. Jelaskan dimana diatur ruang berlakunya

Page 336: 91870617 Asas Asas Hukum Pidana

336

hukum pidana di dalam KUHP dan di luar KUHP ?

2. Menurut Prof. Moeljatno apa saja yang menjadi unsur dari suatu perbuatan pidana ?.

3. Apa pentingnya bagai Jaksa memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana ?.

4. Siapa yang dimaksud sebagai Pelaku (dader) menurut pasal 55 KUHP ?.

5. Apa yang dimaksud dengan Recidive ?