2011-2-01093-ps ringkasan001

24
5 PEMBUATAN KEPUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA HAK ASUH ANAK: PENERAPAN LEGAL NORM DALAM EVALUASI KEPUTUSAN YUDISIAL Raditya Adinugroho Universitas Bina Nusantara, Jl. Kemanggisan Ilir III No.45 Kemanggisan – Palmerah Jakarta Barat 11480. Telp. +62.21 534 5830 / Fax +62.21 530 0244, [email protected] . Raditya Adinugroho, Reza Indragiri Amriel ABSTRAK Child custody is a complex thing. One of its complexity comes from judge as the decision maker. Based on legal model, the judge have to use law that relevant with the case to make the best decision. Then, judge’s decision evaluation should be done trough legal norm perspective. By this perspective, judge’s behavior and judge’s decison quality can be observed. Using content analysis method, there are only 4% judge’s decision that mention Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. On the other hand, most of the judge’s decision (69%) still mention Kompilasi Hukum Islam. Keyword: Judge’s decision, child custody, legal norm

Upload: febri-tri-harmoko

Post on 26-Oct-2015

24 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

5

PEMBUATAN KEPUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA HAK ASUH ANAK: PENERAPAN

LEGAL NORM DALAM EVALUASI KEPUTUSAN YUDISIAL

Raditya Adinugroho

Universitas Bina Nusantara, Jl. Kemanggisan Ilir III No.45 Kemanggisan – Palmerah Jakarta Barat 11480. Telp. +62.21 534 5830 / Fax +62.21 530 0244, [email protected].

Raditya Adinugroho, Reza Indragiri Amriel

ABSTRAK

Child custody is a complex thing. One of its complexity comes from judge

as the decision maker. Based on legal model, the judge have to use law

that relevant with the case to make the best decision. Then, judge’s

decision evaluation should be done trough legal norm perspective. By

this perspective, judge’s behavior and judge’s decison quality can be

observed. Using content analysis method, there are only 4% judge’s

decision that mention Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak. On the other hand, most of the judge’s decision

(69%) still mention Kompilasi Hukum Islam.

Keyword: Judge’s decision, child custody, legal norm

6

ABSTRAK

Perkara hak asuh merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas tersebut,

salah satunya bersumber dari hakim sebagai pembuat keputusan tentang hak

asuh anak. Berdasarkan legal model, hakim dituntut untuk menggunakan dasar

hukum yang relevan guna membuat sebuah keputusan yang sebaik mungkin. Itu

sebabnya, perlu dilakukan evaluasi keputusan hakim berdasarkan perspektif

legal norm untuk mencermati pola perilaku hakim dalam membuat keputusan

tentang perkara hak asuh anak dan menakar kualitas keputusan yang hakim

hasilkan. Dengan menggunakan metode content analysis, dari 100 sampel

keputusan hakim, ditemukan hanya 4 % keputusan hakim yang mencantumkan

dasar hukum yang relevan terkait penentuan hak asuh anak, yakni Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sementara,

mayoritas keputusan hakim (69%) masih mencantumkan Kompilasi Hukum Islam

sebagai dasar hukum dalam pembuatan keputusan yudisial tentang hak asuh

anak.

Kata Kunci: Pembuatan keputusan hakim, hak asuh anak, legal norm

7

PENDAHULUAN

Dari tahun ke tahun, fenomena perceraian di Indonesia cenderung meningkat. Hal ini menunjukan seolah-olah perceraian telah menjadi jalan yang sangat mudah diambil sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan dalam rumah tangga. Dengan kondisi seperti itu, dikhawatirkan bahwa angka perceraian di Indonesia masih akan terus meningkat setiap tahunnya. Padahal, semakin tinggi jumlah perceraian yang terjadi di Indonesia, semakin kompleks pula persoalan-persoalan yang akan muncul pasca terjadinya perceraian. Perkara perceraian bukan merupakan sebuah babak akhir bagi pasangan suami istri yang memutuskan untuk bercerai, melainkan merupakan sebuah babak baru bagi persoalan berikutnya, salah satunya adalah tentang hak asuh anak. Persoalan hak asuh anak merupakan sebuah isu yang sangat kompleks. Salah-satunya disebabkan oleh adanya kecenderungan dari masing-masing pihak yang bercerai ingin memperoleh hak asuh atas anak mereka ketika perkara hak asuh anak gagal dikompromikan. Sebagai contoh, musisi Dewa 19, Ahmad Dhani dan istrinya Maia Estianty menghadapi konflik dalam persoalan penentuan hak asuh anak mereka. Masing-masing pihak menganggap bahwa mereka adalah pihak yang paling tepat untuk mengasuh ketiga anak mereka. Padahal, sebagai konsekuensinya, bukan tidak mungkin anak akan mengalami keterasingan terhadap orang tua atau disebut sebagai parental alienation. Hal tersebut ditandai dengan adanya perasaan keterasingan yang dialami oleh anak terhadap salah satu orang tuanya (yang diasingkan) (Gardner, 1985). Hal ini disebabkan salah satu orang tua (yang mengasingkan) ‘mencuci otak’ anak mereka untuk membenci orang tua (yang diasingkan). Jika hal itu benar-benar terjadi, artinya perceraian tersebut telah memunculkan konsekuensi-konsekuensi yang negatif bagi pihak yang terkait di dalamnya, termasuk anak.

Hakim pengadilan agama sebagai pihak yang menengahi perkara hak asuh anak juga memiliki kompleksitas pada kondisi psikologis dirinya dalam membuat keputusan yudisial. Kompleksitas ini bersumber dari proses psikologis yang mempengaruhi diri hakim dalam membuat sebuah keputusan. Misalnya, tingkat ketergantungan hakim pada dasar-dasar hukum tertentu (legal model) (Edwards, 1985), tingkat keterampilan dan pengetahuan hakim (Gizbert-Studnicki & Klinowski, 2009), dan pengaruh faktor-faktor ekstra legal, salah satunya sikap (Segal & Spaeth, 2002). Unsur-unsur inilah yang berkaitan dengan proses pembuatan keputusan yudisial dan berpotensi menimbulkan pengaruh-pengaruh psikologis pada diri hakim

Pembuatan keputusan hakim dalam perkara hak asuh anak yang bermuara di ranah hukum juga mengandung kompleksitas pada aspek legal, yaitu pada dasar hukum yang menjadi rujukan hakim dalam menangani perkara hak asuh anak. Adanya konsep yang kontradiktif antara dasar hukum yang satu dengan lainnya justru menghadirkan kerancuan dan memberikan pengaruh tertentu bagi keputusan hakim di persidangan. Menghadapi kompleksitas tersebut, hakim dituntut agar dapat memilih rujukan hukum yang paling relevan dengan kasus yang ditanganinya sehingga keputusannya dapat dinilai baik.

Persoalannya, aturan hukum yang digunakan oleh hakim sebagai dasar hukum dalam membuat keputusan mengenai perkara hak asuh anak memiliki konsep yang kontradiktif satu dengan lainnya. Artinya, Kompilasi Hukum Islam (KHI) memiliki konsep yang berbeda dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang merupakan aturan hukum yang lebih terkini. KHI menganut doktrin tender years yang secara eksplisit menerangkan bahwa adanya preferensi gender, yaitu menganggap bahwa pihak yang lebih berhak sebagai pemegang hak asuh anak adalah kaum hawa (ibu). Sebaliknya, UUPA tidak menaruh preferensi gender melainkan memegang prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Berdasarkan perbedaan konsep yang terdapat dalam dua aturan hukum yang digunakan hakim dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak, maka lagi-lagi hal tersebut berpeluang memunculkan kompleksitas dalam pembuatan keputusan hakim tentang hak asuh anak.

Terlepas dari perbedaan konsep yang terdapat pada KHI dan UUPA, peneliti berpendapat, semestinya, sejak lahirnya UUPA, KHI tidak digunakan lagi secara fanatik sebagai dasar hukum dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak karena telah hadir aturan hukum yang lebih terkini, yaitu UUPA. Hal ini merujuk kepada doktrin hukum yang berbunyi lex posteriori derogate lege priori, artinya, peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang lama. Artinya, jika dahulu KHI selalu digunakan hakim sebagai dasar hukum dalam pembuatan keputusan tentang hak asuh anak, maka setelah tahun 2002, UUPA-lah yang seharusnya dijadikan dasar hukum oleh hakim dalam membuat keputusan. Meskipun demikian, hakim tampaknya masih mengandalkan KHI dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak. Inilah salah satu persoalan yang patut dicermati lebih dalam guna mencermati pola perilaku hakim dalam mengandalkan aturan-aturan hukum tertentu melalui evaluasi kualitas keputusan hakim dalam perkara hak asuh anak.

Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi keputusan hakim adalah dengan menggunakan perspektif legal norm. Dengan norma ini, pola perilaku hakim dalam membuat sebuah keputusan dapat dicermati dari seberapa jauh hakim mendasari pertimbangannya pada aturan legal / hukum yang relevan terkait kasus hukum yang ia tangani (Mitchell, 2010). Jika dalam membuat keputusan, hakim

8

mendasari pertimbangannya dengan menggunakan aturan hukum yang relevan, maka lewat perspektif legal norm, dapat disimpulkan bahwa kualitas keputusan hakim baik. Dengan kata lain, dalam konteks penentuan hak asuh, jika hakim mendasari pertimbangannya berdasarkan aturan yang paling relevan, yakni UUPA, maka kualitas keputusannya dianggap baik.

Dengan mempertimbangkan keberadaan UUPA dan KHI, keputusan hakim perlu dievaluasi berdasarkan perspektif legal norm. Melalui evaluasi ini, pola perilaku hakim terkait seberapa jauh ia mengandalkan aturan-aturan hukum yang relevan dapat dipetakan menjadi empat kemungkinan, yaitu

1. UUPA digunakan setara dengan KHI 2. UUPA lebih banyak digunakan dibandingkan KHI 3. UUPA lebih sedikit digunakan dibandingkan KHI 4. UUPA dan KHI tidak digunakan

Berdasarkan persoalan yang peneliti kemukakan sebelumnya, penelitian ini berfokus pada persoalan tentang evaluasi keputusan hakim berdasarkan perspektif legal norm, yakni

1. Saat hakim membuat keputusan terkait perkara hak asuh anak, aturan-aturan hukum apakah yang menjadi acuan bagi perilaku pembuatan keputusan tersebut?

2. Dalam proses pembuatan keputusan, seberapa sering hakim menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai dasar hukum terkait perkara hak asuh anak?

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan indikasi taraf pengetahuan hukum (normatif) hakim tentang peraturan perundang-undangan. Secara lebih konkret, penelitian ini bertujuan mengevaluasi keputusan hakim berdasarkan perspektif legal norm. Melalui evaluasi tersebut, peneliti dapat mencermati pola perilaku hakim terkait dengan seberapa jauh ia mengandalkan aturan-aturan hukum yang relevan maupun yang tidak relevan dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak. Pada bagian tinjauan pustaka ini, peneliti memaparkan peran hakim dalam penentuan hak asuh anak. Selain itu, temuan-temuan mengenai psikologi hakim dalam pembuatan keputusan yudisial serta evaluasi kualitas keputusan yang hakim hasilkan juga akan diuraikan pada bab ini. Selanjutnya, untuk mempertajam persoalan pembuatan keputusan hakim tentang hak asuh anak, konsep hak asuh anak juga akan dibahas. Pada akhir bab ini, peneliti mencantumkan kerangka berpikir sebagai alur penelitian ini secara garis besar.

Dalam menangani perkara hak asuh anak, seorang hakim berperan sebagai pembuat keputusan yudisial. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek penting terkait penentuan hak asuh anak, hakim dapat membuat keputusan yang tepat. Adams dan Sevitch (dalam Kunin 1992) menandai beberapa faktor yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak, yaitu kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan anak, kesinambungan situasi hidup anak, kemampuan orang tua untuk mencintai anaknya, minat antara anak dan orang tua, dukungan emosional terhadap anak, dan pilihan orang tua biologis atau orang tua psikologis anak. Untuk menakar unsur-unsur tersebut, hakim, baik secara mandiri maupun melibatkan amicus curiae (sahabat peradilan, misalnya psikolog) dapat menggunakan panduan-panduan evaluasi tentang hak asuh anak berdasarkan “Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct” yang disusun American Psychological Association (dalam APA 2010). Salah satu poin panduannya menekankan bahwa tujuan dilakukannya evaluasi tentang penetapan hak asuh adalah membantu menentukan kepentingan terbaik bagi anak secara psikologis. Dengan begitu, hakim dapat membuat keputusan yang tepat karena memegang prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Keputusan hakim yang tepat akan memperbesar peluang bagi anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik bersama sosok yang bertanggung jawab selaku pengasuhnya.

Terkait prinsip kepentingan terbaik bagi anak, Freeman (2007) mengemukakan bahwa menentukan kepentingan terbaik anak merupakan hal ambigu. Hakim bisa saja mengklaim bahwa ia telah mempertimbangkan semua hal yang merupakan kepentingan terbaik bagi anak, namun tetap ada kemungkinan bahwa hakim akan bersifat subjektif. Artinya, pada saat menentukan sesuatu yang terbaik bagi anak, hakim tetap berhadapan dengan situasi yang tidak tentu dan bersifat spekulatif. Skivenes (2010) juga menduga keputusan yang dibuat oleh hakim di persidangan hanya sebatas penalaran yang masuk akal atau sekedar prasangka subjektif.

Salah satu unsur yang dapat dianggap sebagai pertimbangan berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak adalah perlunya hakim dibekali dengan keterampilan dan pengetahuan yang memadai tentang anak, khususnya mengenai kondisi psikologis anak. Jika hakim dibekali dengan kemampuan dan pengetahuan tersebut, maka hakim akan dapat lebih memahami tentang perilaku dan kebutuhan-kebutuhan anak. Dengan pemahaman yang baik itulah, hakim diharapkan lebih mampu mengambil keputusan yang tepat. Baron (2003) mengemukakan bahwa agar dapat menyidangkan perkara penentuan hak asuh secara baik, sebelum bertugas, hakim perlu diberikan pembekalan berupa pengetahuan tentang perkembangan anak, teori kelekatan, kekerasan dan penelantaran, kekerasan domestik, dan penyalahgunaan narkoba.

9

Faktanya, tingkat pengetahuan hakim mengenai psikologi anak masih minim. Padahal Araji dan Bosek (dalam Amriel, 2012) mengemukakan, minimnya keterlibatan psikologi di ranah pengadilan keluarga akan berpengaruh pada kurang berkualitasnya keputusan-keputusan hakim tentang hak asuh anak. Secara spekulatif, minimnya tingkat keterampilan dan pengetahuan hakim tentang psikologi anak lumrah terjadi karena hakim memang belum memiliki akses yang mudah guna memperoleh pengetahuan tentang psikologi anak. Hardcastle (2005) mengemukakan bahwa sekolah hukum di Amerika tidak membekali siswanya dengan pengetahuan tentang psikologi anak dan perkembangan anak. Itu sebabnya, ketika ditanyakan kepada hakim, Baron (2003) lewat risetnya menemukan para hakim berpendapat bahwa mereka sangat membutuhkan pengetahuan tentang psikologi anak dan perkembangan anak. Jika tingkat keterampilan dan kemampuan hakim masih minim atau belum memadai, dampak yang bisa dirasakan langsung oleh anak adalah adanya peluang anak diasuh oleh pihak yang tidak tepat. Selain itu, dampak psikologis pada anak yang mungkin terjadi akibat proses pengadilan yang cacat adalah keterasingan anak terhadap orang tua (parental alienation). Gardner (1985) menyebutkan parent alienation sebagai gangguan yang hampir selalu muncul secara eksklusif dalam konteks persengketaan hak asuh anak. Ini terjadi akibat salah satu pihak orang tua (yang mengasingkan) melakukan pencemaran terhadap orang tua lainnya (yang diasingkan). Hal ini menyebabkan anak merasa terasing dari salah satu pihak orang tuanya. Tidak menutup kemungkinan anak mulai menunjukkan tanda-tanda kebencian kepada salah satu orang tuanya (yang diasingkan) tersebut karena secara tidak sadar orang tua yang mengasingkan telah mencuci otak anak tersebut untuk membenci orang tuanya (yang diasingkan).

Manakala keputusan hakim berefek kontraproduktif bagi si anak, hal ini disebut dengan istilah jurigenic effect. Menurut Schma (dalam Amriel, 2012), jurigenic effect adalah sebuah istilah yang menandai adanya dampak-dampak negatif yang dialami individu (yang menjadi subjek keputusan pengadilan) setelah menjalani persidangan yang tidak mempertimbangkan unsur-unsur relevan dan kompleks secara memadai berkaitan dengan subjek tersebut.

Kinerja hakim dalam menangani perkara hak asuh anak sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang memadai terkait kasus yang ia tangani. Semakin banyak perbendaharaan pengetahuan yang hakim miliki terkait dengan kasus yang ia tangani, semakin baik pula kinerjanya dalam membuat keputusan. Ini yang disebut oleh Gizbert-Studnicki dan Klinowski (2009) dengan istilah Hercules Model. Dengan kata lain, informasi-informasi terkait dengan kasus yang ditangani hakim akan sangat mempengaruhi diri hakim dalam membuat pertimbangan-pertimbangan dalam menetapkan hak asuh anak. Selain itu, dalam bingkai psikologi terdapat rational choice theory yang dijelaskan oleh Green (2002) bahwa individu pengambil keputusan berusaha memaksimalkan kemanfaatan (utility) yang bisa diperolehnya dari pilihan-pilihan yang tersedia. Artinya, dalam membuat keputusan, hakim mempertimbangkan segala macam pilihan yang tersedia dan berusaha mengambil manfaat dari keputusan yang diambilnya sehingga keputusan yang ia hasilkan merupakan keputusan yang terbaik.

Kunin, Ebbesen, dan Konecni (1992) melakukan kajian terhadap 282 kasus hak asuh anak dan menemukan ada dua faktor yang mempengaruhi keputusan hakim secara langsung, yaitu preferensi anak dan rekomendasi dari evaluator (psikolog atau konselor). Rekomendasi ini ditujukan untuk menyediakan opini dan informasi yang objektif dalam membantu penetapan hak asuh anak. Atas dasar itu, hakim perlu mengumpulkan berbagai informasi penting ketika membuat keputusan dengan melibatkan anak maupun sahabat peradilan, misalnya psikolog yang melakukan asesmen terhadap kompetensi orang tua dalam mengasuh.

Di sisi lain, tingkat pengetahuan dan keterampilan hakim yang seringkali terbatas menyebabkan hakim bekerja hanya dengan mengandalkan dan bergantung pada aturan-aturan legal sederhana dalam membuat keputusan dan mengabaikan informasi-informasi penting lainnya. Proses kerja hakim tersebut dikenal dengan istilah heuristik. Guthrie, Rachlinski, dan Wistrich (2001) menguraikan bahwa proses heuristik ini berpotensi mengarah kepada kekeliruan dan bias sistematis.

Mekanisme psikologis hakim dalam membuat keputusan, termasuk keputusan tentang hak asuh anak juga berbeda-beda. Terdapat empat model terkait dengan cara hakim membuat sebuah keputusan, yaitu legal model, attitudinal model, strategic model, dan case manager model. 1. Legal model

Model ini mengemukakan bahwa hakim membuat sebuah keputusan yudisial dengan cara mengaplikasikan peraturan / undang-undang yang terkait dengan kasus yang ditangani. Dari situ, hakim berusaha membuat interpretasi hukum secara benar dan mencoba membuat hukum yang baik dengan cara bergantung kepada aturan-aturan legal / piranti hukum dalam mengambil keputusan, termasuk keputusan tentang hak asuh anak. Sebagai konsekuensi dari bergantungnya hakim kepada aturan-aturan legal, Edwards (1985) menekankan bahwa hukum-lah yang akan mengontrol perilaku hakim pada saat membuat keputusan. Dalam perkara hak asuh anak di Indonesia, terdapat dua piranti hukum yang mengurusi ihwal hak asuh anak, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA). Artinya, melalui legal model dapat dijelaskan bahwa mekanisme perilaku

10

hakim manakala menelurkan keputusan tentang hak asuh anak dipengaruhi aturan-aturan legal yang dijadikan landasan / dasar hukum, yaitu KHI ataupun UUPA. 2. Attitudinal model

Model ini menekankan bahwa sikap yang dimiliki hakim terhadap aspek-aspek tertentu akan mempengaruhi keputusan yang diambilnya. Rasionalisasinya, dalam membuat keputusan, hakim akan cenderung mementingkan ideologi, sikap, pengalaman pribadi, preferensi, dan kebijakan yang mereka sukai meskipun hakim telah memiliki pedoman hukum. Segal dan Spaeth (2002) mengemukakan bahwa fakta dan hukum tetap disaring oleh sikap dan preferensi hakim. Efeknya, keputusan hakim tidak akan terlepas dari faktor-faktor ekstralegal meskipun hakim berpegang teguh pada aturan-aturan legal terkait. Alhasil, faktor ekstralegal tersebut berpotensi mempengaruhi hakim dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak 3. Social background model.

Model ini merupakan lanjutan dari attitudinal model. Selaras dengan model tersebut, social background model juga melihat bahwa sikap yang dimiliki hakim terhadap aspek-aspek tertentu berpotensi memberikan pengaruh dalam proses pembuatan keputusan yudisial. Model ini, khususnya menekankan bahwa sikap hakim terhadap aspek demografi mempengaruhi hakim dalam membuat sebuah keputusan. Artinya, faktor jenis kelamin, usia, suku dan agama dapat memberikan pengaruh pada pembuatan keputusan yang dilakukan hakim. Lewat risetnya, (Lizarraga, Baquedano, & Cardelle-Elawar, 2007) menemukan, aspek demografi, misalnya jenis kelamin, memiliki pengaruh terhadap keputusan yudisial 4. Strategic model

Model ini menyebutkan bahwa hakim cenderung membuat sebuah keputusan dengan strategi-strategi tertentu yang akan mendatangkan hal-hal menguntungkan untuk dirinya. Robbennolt, MacCoun, dan Darley (2010) menyebutkan bahwa strategic model terjadi ketika hakim tidak lagi berpusat pada dirinya dan pada kasus yang ia tangani. Jika hakim melihat kemungkinan bahwa dengan membuat keputusan tertentu akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya, misalnya mendapat opini yang positif dari publik, maka hakim akan cenderung membuat keputusan berdasarkan pertimbangan strategis tersebut. Sebaliknya, jika hakim merasa keputusan tersebut tidak akan mendatangkan keuntungan untuknya, maka hakim tidak akan berpihak pada keputusan tersebut.

Dari model-model pembuatan keputusan hakim diatas, dapat dipahami bahwa pola perilaku hakim dalam membuat keputusan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor intralegal seperti landasan / dasar hukum yang diandalkan hakim, maupun faktor ekstralegal seperti sikap dan preferensi yang dimiliki oleh hakim.

Berkaitan dengan pola perilaku hakim dalam membuat keputusan yudisial, terdapat lima norma untuk mengevaluasi perilaku hakim (judicial behavior), yaitu social, moral, legal, coherence, dan efficacy norms (Mitchell, 2010). 1. Social norm

Norma ini menjelaskan bahwa evaluasi perilaku hakim ketika membuat sebuah keputusan dilakukan dengan cara membandingkan keputusan hakim tersebut dengan keputusan-keputusan hakim yang lain. Ketika keputusan yang dibuat hakim cenderung sesuai dengan tren keputusan-keputusan hakim lainnya, maka keputusan tersebut dianggap baik. Namun, sebaliknya jika keputusan yang dibuat hakim bertentangan dengan keputusan hakim pada umumnya, maka keputusan hakim tersebut dianggap menyimpang.

2. Moral norm Melalui norma ini, digambarkan bahwa kualitas keputusan hakim dianggap baik manakala keputusan yang dihasilkan hakim sebangun atau kongruen dengan nilai-nilai moral yang beredar pada masyarakat tertentu.

3. Legal norm Norma ini menekankan bahwa evaluasi perilaku hakim dilakukan dengan cara melihat seberapa jauh hakim bergantung pada aturan-aturan hukum / legal yang relevan untuk membuat sebuah keputusan. Ketika keputusannya berlandaskan oleh aturan-aturan hukum yang relevan, maka kualitas keputusan hakim tersebut dianggap baik. Di sisi lain, jika keputusan hakim tidak berlandaskan oleh aturan-aturan hukum yang relevan serta tidak menerapkan doktrin-doktrin hukum yang berlaku, maka kualitas keputusan hakim tersebut patut dipertanyakan.

4. Coherence norm Norma ini menjelaskan, evaluasi perilaku hakim dilakukan dengan menilai sejauh mana pertimbangan keputusan hakim merupakan sebuah unit tunggal atau menyeluruh sehingga pertimbangan hakim tersebut menjadi sebangun / kongruen dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

11

5. Efficacy norm Melalui norma ini, keputusan hakim dievaluasi dengan cara melihat seberapa jauh keputusan yang

diambil terbenarkan secara empiris. Artinya, keputusan yang diambil oleh hakim dinilai baik ketika keputusannya didukung oleh hasil-hasil kajian ilmiah termasuk disiplin non-hukum serta jauh dari asumsi yang subjektif (subjective presumption) Berdasarkan kelima norma di atas, dapat dikategorikan bahwa penelitian ini menggunakan legal norm. Konkretnya, peneliti mencermati pola perilaku hakim terkait seberapa sering hakim mengandalkan aturan legal / hukum yang relevan dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak, yakni UUPA dan KHI. Dalam perkara hak asuh anak, aplikasi konsep kepentingan terbaik bagi anak bukan hal yang sederhana. Mulai dari adanya pertentangan dalam konsep aturan-aturan hukum / aspek legal yang mengurusi persoalan hak asuh anak hingga beragamnya mekanisme psikologis pembuatan keputusan hakim di pengadilan yang mengandung kompleksitas tersendiri. Walker, Brooks, dan Wrightsman (1998) menyatakan bahwa tidak ada bahasan di dalam psikologi forensik yang membutuhkan keahlian melebihi area hak asuh anak. Memperjelas istilah hak asuh anak, berdasarkan Uniform Child-Custody Jurisdiction and Enforcement Act (1997), Article 1, Section 102(3) (dalam Amriel 2012), Hak asuh anak (child custody) adalah keputusan, ketetapan, ataupun bentuk-bentuk perintah lainnya yang dihasilkan oleh lembaga peradilan yang memberikan kewenangan atas hak asuh legal (legal custody) atas hak asuh fisik (physical custody) atas anak serta kunjungan (visitation) orangtua pascaperceraian ke anak–anak mereka. Berkaitan dengan asal-usul dasar penetapan hak asuh anak, pada zaman dahulu terdapat sebuah doktrin yang disebut property rights. Doktrin ini beranggapan bahwa anak merupakan properti (Ackerman, 1999). Pada penerapannya, ketika ada persengketaan hak asuh anak, ayah dipandang sebagai pihak yang paling berhak untuk mendapatkan hak asuh anak. Pertimbangannya, karena laki-laki merupakan pihak yang dianggap paling berhak bagi properti / hak kepemilikan, maka hak asuh jatuh di tangan ayah. Seiring berkembangnya zaman, pada saat era Revolusi Industri muncul paradigma yang disebut sebagai tender years. Berbeda dengan doktrin property rights, kali ini ayah tidak lagi dianggap sebagai pihak yang paling berhak untuk mendapatkan hak asuh anak. Ayah dipandang sebagai orang tua yang kurang mampu memenuhi kebutuhan anak yang usianya masih berada pada tahun-tahun peka tersebut (Ackerman, 1999). Alhasil, preferensi hak asuh pun bergeser menjadi hak ibu. Tipe pengasuhan tunggal dalam konsep property rights maupun tender years ini disebut sole custody. Wrightsman dan Folero (2005) menyebutkan sole custody adalah hak asuh yang diberikan hanya kepada salah satu dari orang tua (ayah atau ibu) anak sebagai pemegang tunggal hak asuh anak. Sebagai pemegang tunggal hak asuh anak, orang tua tersebut memiliki hak untuk mengambil segala keputusan atas kehidupan anaknya.

Sebagai salah satu aturan hukum yang membahas perkara hak asuh anak, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) digunakan hakim sebagai rujukan hukum dalam mengambil keputusan tentang perkara hak asuh anak. Meskipun KHI tidak secara khusus membahas perkara-perkara yang berkaitan dengan anak, KHI mencantumkan persoalan hak asuh anak sehingga keberadaannya dijadikan rujukan oleh hakim dalam mengambil keputusan. Substansi KHI menyiratkan adanya preferensi gender, yaitu menganggap bahwa pihak yang lebih berhak sebagai pemegang hak asuh anak adalah ibu. Hal ini dilihat dari Pasal 105 KHI yang mengungkapkan bahwa pemeliharan anak yang berusia dibawah 12 tahun merupakan hak ibunya. Di sisi lain, istilah “kepentingan terbaik anak” baru dirumuskan (Goldstein, Freud, & Sonit, 1973) pada rentang 60an dan 70an. Indonesia secara resmi mengadopsi prinsip tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Persoalan hak asuh anak bukan lagi memperdebatkan isu preferensi gender yang melihat kepantasan pemegang hak asuh berdasarkan jenis kelamin, melainkan menekankan bahwa kepantasan pemegang hak asuh didasarkan pada kompetensi orang tua untuk mengasuh anak (parental competency). Dengan begitu, anak sepenuhnya berhak untuk diasuh oleh pihak yang betul-betul mampu memberikan pengasuhan terbaik, terlepas apapun jenis kelamin pihak pengasuh tersebut. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam pasal 4 menyebutkan “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Berangkat dari hal tersebut, fokus persoalan hak asuh anak bergeser dari domain orang tua menjadi domain anak sehingga konsep kepentingan terbaik anak dapat diterapkan.

Dari uraian beberapa paragraf di atas, tersirat bahwa KHI dapat diasumsikan menganut doktrin tender years. Hal ini disebabkan karena KHI menaruh preferensi kepada ibu sebagai pihak yang paling berhak mengasuh anak. Berseberangan dengan KHI, UUPA tidak menaruh preferensi gender dalam persoalan hak asuh anak melainkan menekankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Substansi UUPA secara eksplisit mengungkapkan bahwa anak berhak diasuh oleh kedua orang tuanya (joint custody). Pasal

12

26 ayat 1a UUPA menyebutkan, “Orang tua [berarti ayah dan ibu] berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak [mereka].”. Ini membuktikan bahwa substansi UUPA tidak mengandung keberpihakan kepada jenis kelamin tertentu (preferensi gender). Memperjelas istilah sebelumnya, joint custody adalah hak asuh yang diberikan kepada kedua orang tua (ayah dan ibu) untuk mengasuh anaknya. Dalam tipe hak asuh ini, meskipun bercerai, anak tetap dapat diasuh oleh kedua orang tuanya secara bergantian. Lewat risetnya, Felner dan Terre (1987) menjelaskan, waktu bagi anak untuk melewati pengasuhan secara fisik pada masing-masing orang tua relatif sama. Di samping sole dan joint custody, pada prakteknya hakim juga bisa menjatuhkan hak asuh terbelah (split custody) ketika pemegang hak asuh anak terbagi menjadi dua pihak. Wrightsman dan Folero (2005) menjelaskan, dengan menerapkan hak asuh terbelah, salah satu anak hidup bersama salah satu orang tua, sementara anak yang lain tinggal bersama orang tua lainnya. Dalam mengambil keputusan tentang hak hak asuh anak, seorang hakim harus membingkai keputusannya berdasarkan hukum-hukum formal yang berlaku. Dengan mencantumkan hukum-hukum formal yang ada, hakim dapat membuat sebuah keputusan yang baik. Hariri (2012) menjelaskan salah satu hukum formal adalah doktrin hukum. Doktrin hukum adalah pendapat seorang atau beberapa sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Itu sebabnya, hakim perlu memperhatikan doktrin-doktrin hukum yang berlaku ketika membuat sebuah keputusan yudisial. Berkaitan dengan pentingnya hakim memperhatikan doktrin-doktrin hukum yang berlaku, terdapat doktrin hukum yang krusial dan tidak dapat dikesampingkan hakim, yaitu lex posteriori derogate lege priori, lex superiori derogate lege priori, dan lex specialis derogate lege generali. Secara urut, istilah tersebut mengandung maksud bahwa peraturan yang terbaru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, dan peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum (Hariri, 2012). Keberadaan ketiga unsur doktrin tersebut memunculkan konsekuensi pada kinerja hakim. Agar dapat menghasilkan keputusan yang sebaik mungkin, hakim diharuskan mengikuti doktrin atau panduan kognitif tersebut. Konkretnya, ketika hakim berhadapan dengan dua aturan hukum (legislasi) yang kontradiktif, maka hakim harus memilih legislasi yang akan ia terapkan sesuai dengan doktrin / panduan kognitif tersebut. Dengan kata lain, kinerja hakim dalam membuat keputusan selalu berpatokan kepada doktrin-doktrin hukum yang berlaku Dengan menjadikan tiga unsur doktrin tersebut sebagai acuan kerja hakim, dapat dikatakan bahwa UUPA merupakan aturan yang lebih terkini dibandingkan KHI karena UUPA lahir tahun 2002 sementara KHI dilahirkan tahun 1991. Selain itu, UUPA merupakan aturan hukum yang memiliki derajat hukum yang lebih tinggi dibandingkan KHI, karena pada prinsipnya undang-undang memiliki derajat hukum yang lebih tinggi dibandingkan KHI yang merupakan Instruksi presiden / Inpres. Ditambah lagi, UUPA merupakan aturan hukum yang lebih khusus membahas persoalan tentang anak karena membahas segala persoalan tentang anak dibandingkan KHI yang lebih bersifat lebih umum. Artinya, UUPA sebagai aturan legal yang lebih terkini, lebih tinggi dan lebih khusus dibandingkan KHI, semestinya digunakan hakim sebagai aturan legal / piranti hukum yang relevan dalam menetapkan hak asuh anak.

13

METODOLOGI PENELITIAN Variabel Penelitian Keputusan Hakim Keputusan hakim adalah dokumen / teks tertulis yang dihasilkan hakim pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di Pengadilan Agama (PA) yang berisikan keputusan tentang hak asuh anak. Hak asuh anak adalah status pengasuhan anak yang tercantum pada keputusan hakim. Subjek Penelitian & Teknik Sampling

Penelitian ini merupakan sebuah studi kearsipan (archival study) karena data yang diteliti berupa

data arsip. Dengan kata lain, penelitian ini menggunakan subjek yang ’tidak hidup’ sebagai sumber data. Sumber data dalam penelitian ini tidak diperoleh melalui manusia melainkan melalui arsip / dokumen (yang diproduksi oleh manusia). Azwar (2010) menyebutkan, data dokumentasi dan arsip-arsip resmi termasuk data sekunder karena diperoleh dari sumber tidak langsung.

Studi kearsipan merupakan metode yang cukup banyak digunakan dalam penelitian psikologi di ranah hukum, khususnya yang membahas pembuatan keputusan yudisial (judicial decision making). Salah satunya, pernah dilakukan oleh Carla C. Kunin, Ebbe B.. Ebbesen dan Vladimir J. Konecni di Universitas Florida, San Diego dalam jurnalnya yang berjudul An Archival Study of Decision-Making In Child Custody Disputes.

Dalam penelitian ini, arsip / dokumen yang dimaksud adalah keputusan hakim tentang hak asuh anak. Menurut Mertokusumo (dalam Pitoyo 2012) putusan hakim / keputusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak yang terlibat. Keputusan hakim dalam penelitian ini dipersempit karakteristiknya menjadi keputusan hakim tentang hak asuh anak setelah tahun 2002 (pasca lahirnya UUPA) di Pengadilan Agama (PA) dan merupakan keputusan pengadilan tingkat pertama. Secara singkat, keputusan hakim merupakan pintu gerbang untuk menyelami kondisi psikologis hakim dalam pembuatan keputusan yudisial (psychology of judicial decision making). Seperti diindikaskan Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister (2009), archival data (dalam penelitian ini merupakan keputusan hakim), merupakan “rekaman yang menjelaskan aktivitas individu” (Hal.199). Dengan kata lain, keputusan hakim merupakan produk perilaku dan kognisi hakim yang telah dieksplisitkan atau dieksternalisasikan ke dalam bentuk tertulis. Di dalam keputusan tersebut, tercantum beberapa hal, di antaranya, pertimbangan hakim atas alat bukti, dasar hukum (KHI atau UUPA), dan amar / bunyi keputusan. Keputusan hakim tersebut dapat diunduh melalui situs resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yaitu http://www.badilag.net/ Situs ini berisikan segala informasi mengenai peradilan agama termasuk informasi tentang perkara hak asuh anak.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah non-probability sampling dengan bentuk purpossive sampling. Artinya, sampel dipilih dan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Kemudian, untuk menentukan jumlah sampel penelitian, peneliti menggunakan pendekatan quota sampling. Quota sampling digunakan dengan tujuan mengambil sampel sebanyak jumlah tertentu yang dianggap dapat merefleksikan ciri populasi (Azwar, 2010). Jika dengan jumlah tertentu sampel dianggap sudah mewakili populasi, maka sampel dapat ditetapkan sebanyak jumlah tersebut. Dalam penelitian ini, sampel yang diambil berjumlah 100 keputusan hakim yang terbagi dalam PA Jakarta Selatan, PA Arda Makmur, PA Bondowoso, PA banyuwangi dan Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Jumlah tersebut dapat dikatakan cukup karena menurut Abrami, Cholmsky, dan Gordon (dalam Indria & Nindyati 2007) jumlah sampel minimal adalah sebanyak 30 responden.

14

Desain Penelitian Perspektif Tujuan Berdasarkan perspektif tujuan, penelitian ini bersifat deskriptif. Artinya, informasi yang disajikan dalam penelitian ini disusun untuk menggambarkan suatu situasi. Azwar (2010) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan fakta dan karakteristik bidang tertentu secara sistematik dan akurat. Perspektif Tipe Informasi Berdasarkan tipe informasinya, desain penelitian ini adalah kuantitatif. Azwar (2010) menjelaskan, jenis penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal yang diolah dengan metode statistik. Itu sebabnya, dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data, memformulasikannya sedemikian rupa dan menyajikannya dalam bentuk angka / numerikal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis). Martono (2011) menjelaskan content analysis merupakan sebuah metode penelitian yang tidak menggunakan manusia sebagai objek penelitian. Analisis isi menggunakan simbol atau teks yang ada dalam media tertentu, dengan maksud simbol-simbol atau teks tersebut diolah dan dianalisis. Sementara, Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister (2009) menguraikan, content analysis adalah proses membuat kesimpulan tertentu berdasarkan koding yang objektif pada suatu data arsip.

Dengan menerapkan metode ini, peneliti dapat menela’ah psikologi hakim, yakni mencermati pola perilaku hakim dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak (psychological of judicial decision making) melalui keputusan yang hakim hasilkan. Asumsinya, keputusan hakim tersebut merupakan representasi kondisi psikologis hakim, yakni pola perilaku dan kognisi dalam membuat keputusan yang telah diekplisitkan dan dieksternalisasikan. Dari isi keputusan hakim yang memuat pertimbangan hakim atas alat bukti, dasar hukum, dan amar / bunyi keputusan hakim, peneliti ’membaca’ seberapa jauh legal model diterapkan hakim dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak.

Dengan desain sedemikian rupa, peneliti mengevaluasi serta menguji dugaan sementara bahwa ada ketergantungan hakim pada aturan-aturan hukum tertentu (faktor legal) dan disaat yang sama ada kecenderungan hakim untuk mengesampingkan doktrin-doktrin hukum saat membuat keputusan tentang hak asuh anak. Evaluasi tersebut sesuai dengan konsep yang telah dibahas pada bab 2, yaitu, legal norm. Dari situ, dapat dilihat seberapa sering aturan-aturan legal, yakni KHI maupun UUPA dijadikan dasar hukum oleh hakim dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak. Menghitung seberapa sering objek tertentu (orang, benda, konsep) dijadikan rujukan disebut Krippendorff (Dalam Rahardjo 2010) dengan istilah Designation Analysis. Selain itu, analisis ini juga dikenal dengan istilah analisis isi pokok bahasan (Subject-Matter Content Analysis)

Perspektif aplikasi Penelitian ini merupakan penelitian murni (basic research) karena memiliki fokus utama untuk memahami perilaku dan proses mental dari fenomena sosial (Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister; 2009). Fokus utama dalam penelitian ini adalah evaluasi keputusan hakim tentang hak asuh anak berdasarkan legal norm untuk mencermati dan memahami pola perilaku hakim dalam mengandalkan aturan legal / hukum ketika membuat keputusan tentang hak asuh anak. Persiapan Penelitian Persiapan penelitian ini adalah mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan, membuat perencanaan alur penelitian, serta mencari Pengadilan Agama yang memuat keputusan hakim tentang hak asuh anak setelah tahun 2002 yang merupakan keputusan peradilan tingkat pertama. Dokumen tersebut dapat diperoleh melalui situs resmi Badan Peradilan Agama, yaitu http://www.badilag.net./ Prosedur penelitian yang bersifat content analysis ini meliputi tiga hal (Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister; 2009)

1. Identifikasi sumber yang relevan Dalam tahap ini, peneliti mengambil data arsip (archival data) berupa keputusan hakim tentang hak asuh anak dengan cara mengunduhnya lewat situs resmi Badan Peradilan Agama, http://www.badilag.net/. Dalam situs ini terdapat arsip-arsip keputusan hakim tentang hak asuh anak.

2. Seleksi sampel

15

Dalam tahap ini, sampel keputusan hakim diseleksi karena keputusan hakim yang akan diambil tidak acak (non-randomized) dan menggunakan pendekatan purpossive sampling. Sampel keputusan hakim yang diambil hanya keputusan hakim yang mencantumkan perkara hak asuh anak setelah tahun 2002 (pasca lahirnya UUPA) dan merupakan keputusan peradilan tingkat pertama. Keputusan hakim, di antaranya memuat pertimbangan hakim atas alat bukti, dasar / rujukan hukum (KHI atau UUPA) dan amar / bunyi keputusan. 3. Koding

Pada tahap ini, peneliti memformulasikan data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya dengan membuat tabel-tabel per-Pengadilan Agama dengan menggunakan piranti lunak Microsoft Excel 2007. Data-data yang telah terkumpul, dikelompokkan ke dalam kategori-kategori, di antaranya, pihak pemegang hak asuh (ayah dan ibu), tipe hak asuh (sole, join, dan split custody), dan dasar hukum yang digunakan oleh hakim (UUPA dan KHI). Dalam proses pengolahan data, peneliti mengorganisasikan data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya agar mengubahnya menjadi sebuah sajian yang informatif dengan cara melakukan analisis deskriptif. Cara tersebut, menurut Azwar (2010) bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian berdasarkan data variabel yang diperoleh dari kelompok subjek yang diteliti dan tidak ditujukan untuk menguji hipotesis. Dengan menggunakan piranti lunak Microsoft Office Excel 2007, peneliti mengolah data-data mentah menjadi data yang lebih sistematis untuk disajikan dimulai dengan membuat tabulasi dari data-data yang telah diperoleh. Setelah itu, peneliti melakukan pengelompokan data seperti, nomor, nomor keputusan, tipe hak asuh, pihak pemegang hak asuh dan dasar hukum / rujukan. Kemudian, peneliti melakukan checklist data dan mengkalkulasi jumlahnya dan melakukan penyajian presentase untuk memberikan gambaran informasi secara praktis.

16

PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, peneliti mengevaluasi perilaku hakim dengan memakai perspektif legal norm. Artinya, peneliti mengevaluasi kualitas keputusan hakim dalam perkara hak asuh anak dengan cara melihat seberapa jauh hakim mengandalkan aturan-aturan hukum yang relevan dalam membuat keputusan yudisial. Dengan begitu, penelitian ini dapat menunjukkan indikasi taraf pengetahuan hukum (normatif) hakim tentang peraturan perundang-undangan.

Pada bab ini, keputusan-keputusan hakim diolah dan disajikan dalam bentuk tabel. Peneliti memaparkan hasil penelitian dengan menyajikan tabel-tabel keputusan hakim yang berisi tentang nomor keputusan hakim, tipe hak asuh, pihak yang memegang hak asuh, dan dasar hukum / rujukan yang menjadi dasar pembuatan keputusan hakim. Lalu, peneliti memberikan deskripsi singkat atas isi masing-masing tabel tersebut dan dilanjutkan dengan analisis deskriptif terkait teori yang telah dijelaskan pada bab 2. Mempertajam analisis tersebut, peneliti turut menyajikan analisis data inferensial dengan menggunakan alat ukur Chi-Square.

Tabel 1 Deskripsi 14 Keputusan Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta

No No. Putusan Tipe Hak Asuh Pihak Pemegang Hak Asuh Dasar Hukum / Rujukan

Ayah Ibu Ayah & Ibu KHI UUPA KHI &

UUPA Tidak Ada

1 0306/Pdt.G/2010/PA.Yk sole custody

1

1

2 0364/Pdt.G/2010/PA.Yk sole custody

1

1

3 0365/Pdt.G/2010/PA.Yk sole custody 1 1 4 0425/Pdt.G/2010/PA.Yk sole custody

1

1

5 461/Pdt.G/2010/PA.Yk sole custody

1

1

6 507/Pdt.G/2010/PA.Yk sole custody 1

1

7 524/Pdt.G/2010/PA.Yk sole custody 1 1 8 528/Pdt.G/2010/PA.Yk sole custody

1

1

9 0025/Pdt.G/2011/PA.Yk sole custody

1

1

10 0026/Pdt.G/2011/PA.Yk sole custody

1

1

11 0033/Pdt.G/2011/PA.Yk sole custody

1

1

12 50/Pdt.G/2011/PA.Yk sole custody

1

1

13 66/Pdt.G/2011/PA.Yk sole custody

1

1

14 75/Pdt.G/2011/PA.Yk sole custody

1

1

Jumlah 1 13 0 11 0 1 2

Persentase 7.14% 92.86% 0.00% 78.57% 0.00% 7.14% 14.29%

Sumber: Hasil Penelitian

Dari 14 dokumen keputusan hakim Pengadilan Agama Yoyakarta, hakim menetapkan hak asuh anak diberikan kepada ibu sebanyak 13 kali (92.86%) dan ayah 1 kali (7.14%). Sebagian besar rujukan hukum yang digunakan oleh hakim Pengadilan Agama Yogyakarta adalah KHI, yakni sebanyak 11 kali (78.57%). Sementara, terdapat 1 kali keputusan yang mencantumkan KHI dan UUPA (7.14%). Selain itu, ada 2 keputusan hakim yang tidak menggunakan rujukan hukum apapun (14.29%). Semua keputusan hakim dapat digolongkan dengan tipe hak asuh tunggal (sole custody)

17

Tabel 2 Deskripsi 1 Keputusan Hakim Pengadilan Agama Arda Makmur

No No. Putusan Tipe Hak Asuh Pihak Pemegang Hak Asuh Dasar Hukum / Rujukan

Ayah Ibu Ayah & Ibu KHI UUP

A KHI & UUPA

Tidak Ada

1 0330/Pdt.G/2011/PA.AGM sole custody

1

1

Jumlah 0 1 0 1 0 0 0

Persentase 0% 100% 0%

100%

0% 0% 0%

Sumber: Hasil Penelitian Dari satu keputusan hakim Pengadilan Agama Arda Makmur, hakim menetapkan hak asuh anak

diberikan kepada ibu. KHI dijadikan satu-satunya landasan hukum untuk mengambil keputusan tersebut.

Tabel 3 Deskripsi 1 Keputusan Hakim Pengadilan Agama Bondowoso

No No. Putusan Tipe Hak Asuh

Pihak Pemegang Hak Asuh Dasar Hukum / Rujukan

Ayah Ibu Ayah & Ibu KHI UUPA

KHI & UUPA

Tidak Ada

1 1747/Pdt.G/2011/PA.Bdw sole custody

1

1

Jumlah 0 1 0 1 0 0 0

Presentase 0% 100% 0% 100% 0% 0% 0%

Sumber: Hasil Penelitian Dari satu keputusan hakim PA Bondowoso, hakim menetapkan hak asuh anak diberikan kepada

ibu. Rujukan hukum yang digunakan dalam mengambil keputusan adalah KHI.

Tabel 4 Deskripsi 1 Keputusan Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi

No No. Putusan Tipe Hak Asuh Pihak Pemegang Hak

Asuh Dasar Hukum / Rujukan

Ayah Ibu Ayah

& Ibu KHI UUPA

KHI &

UUPA

Tidak Ada

1 2493/Pdt.G/2010/PA.Bwi sole custody

1

1

Jumlah 0 1 0 0 0 0 1

Persentase 0% 100% 0% 0% 0% 0% 100%

Sumber: Hasil Penelitian

18

Dari satu keputusan yang dihasilkan hakim pengadilan Agama Banyuwangi, hakim menetapkan hak asuh anak diberikan kepada ibu. Namun, tidak ada aturan hukum yang digunakan hakim sebagai rujukan hukum dalam mengambil keputusan.

Tabel 5

Deskripsi 1 Keputusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Bireuen

No No. Putusan Tipe Hak Asuh Pihak Pemegang Hak Asuh Dasar Hukum / Rujukan

Ayah Ibu Ayah & Ibu KHI UUPA KHI &

UUPA Tidak Ada

1 274/Pdt.G/2011/MS-Bir split custody

1

1

Jumlah 0 0 1 0 0 0 1

Persentase 0% 0% 100% 0% 0% 0% 100%

Sumber: Hasil Penelitian Dari satu keputusan hakim Mahkamah syar’iyah Bireuen, diperoleh hasil bahwa hak asuh

anak diberikan kepada masing-masing pihak ayah dan ibu. Dengan kata lain, tipe hak asuh anak yang terjadi adalah hak asuh terbelah (split custody). Dalam dokumen keputusan hakim tidak ditemukan rujukan hukum apapun dalam pengambilan putusan tersebut.

Tabel 6

Deskripsi 82 Keputusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan

No No. Putusan Tipe Hak Asuh

Pihak Pemegang Hak Asuh Dasar Hukum / Rujukan

Ayah Ibu Ayah &

Ibu KHI UUPA KHI & UUPA

Tidak Ada

1 1123/Pdt.G/2007/PA.JS sole custody

1

1

2 1322/Pdt.G/2008/PA.JS sole custody

1

1

3 0159/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

4 0202/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

5 0208/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

6 0220/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

7 0345/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody 1 1

8 0429/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

9 0992/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

10 1791/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

11 1893/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody 1 1

12 2003/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

13 2038/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

14 2137/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

15 2139/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

16 2149/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

17 2250/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

18 2389/Pdt.G/2009/PA.JS sole custody

1

1

19 0883/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody 1 1 20 1408/Pdt.G/2010/PA.JS split custody

1

1

19

21 1568/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

22 1836/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

23 2245/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody 1

1

24 2251/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody 1 1 25 2282/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

26 2359/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody 1

1

27 2373/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

28 2419/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

29 2511/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

30 22/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

31 107/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

32 729/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody 1 1 33 1750/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

34 1839/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

35 1944/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody

1

1

36 2024/Pdt.G/2010/PA.JS sole custody 1 1 37 321/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

38 592/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

39 1167/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody 1

1

40 1435/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

41 1600/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

42 1603/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

43 1654/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

44 1697/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody 1 1 45 1706/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

46 1737/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

47 1805/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

48 1854/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody 1 1 49 1858/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

50 2161/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

51 2386/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

52 2428/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

53 2477/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

54 2534/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

55 2613/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

56 2781/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody 1 1

57 667/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

58 829/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

59 875/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

60 0884/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody 1 1 61 902/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

62 0926/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

63 1070/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

64 1076/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

65 1207/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

20

66 1338/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody 1

1

67 1520/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

68 1550/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

69 1558/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody 1 1 70 1760/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

71 1812/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

72 1833/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

73 2029/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody 1

1

74 2158/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

75 2447/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

76 2615/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody

1

1

77 2775/Pdt.G/2011/PA.JS sole custody 1 1 78 0063/Pdt.G/2012/PA.JS sole custody

1

1

79 0406/Pdt.G/2012/PA.JS sole custody

1

1

80 1700/Pdt.G/2012/PA.JS sole custody

1

1

81 0073/Pdt.G/2012/PA.JS sole custody 1 1 82 2661/Pdt.G/2012/PA.JS sole custody

1

1

Jumlah 6 75 1 57 3 10 12

Presentase

7% 91% 1% 70% 4% 12% 15%

Sumber: Hasil Penelitian Dari 82 keputusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, hakim menetapkan hak asuh anak

diberikan kepada ayah sebanyak 6 kali (7%). Selain itu, hakim memberikan hak asuh anak kepada ibu sebanyak 75 kali (91%). Sama dengan keputusan hakim Pengadilan Agama Mahkamah Syar’iyah Bireuen, peneliti menemukan adanya penetapan hak asuh berbentuk hak asuh terbelah (split custody). Dalam hak asuh ini, hakim menetapkan salah satu anak diasuh oleh ibunya, sementara yang lainnya diasuh oleh ayahnya. Hakim menetapkan hak asuh terbelah (split custody) sebanyak satu kali (1%). Hakim mencantumkan KHI dalam keputusannya sebanyak 57 kali (70%), UUPA sebanyak 3 kali (3%), mencantumkan KHI dan UUPA sebanyak 10 kali (12%), dan tidak mencantumkan KHI dan UUPA sebanyak 12 kali (15%).

Tabel 7

Deskripsi Keputusan Hakim (Seluruh Sampel Penelitian)

100 Keputusan Hakim (Seluruh Sampel Penelitian) Pihak Pemegang Hak Asuh Dasar Hukum / Rujukan Ayah Ibu Ayah & Ibu KHI UUPA KHI & UUPA Tidak Ada

Jumlah 7 91 2 69 4 11 16

Presentase 7.00% 91.00% 2.00% 69.00% 4.00% 11.00% 16.00% Sumber: Hasil Penelitian

Dari 100 keputusan hakim (seluruh sampel penelitian), hakim menetapkan hak asuh anak

diberikan kepada ayah sebanyak 7 kali (7%). Hak asuh anak diberikan kepada ibu sebanyak 91 kali (91%). Sementara, terdapat 2 kali (2%) keputusan yang diberikan hakim kepada masing-masing ayah dan ibu untuk memperoleh hak asuh (split custody). Hakim Pengadilan Agama menggunakan Kompilasi Hukum Islam sebanyak 69 kali (69%), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak sebanyak 4

21

kali (4%), KHI dan UUPA sebanyak 11 kali (11%), dan tidak menggunakan KHI dan UUPA sebagai rujukan hukum sebanyak 16 kali (16%).

Berdasarkan seluruh data hasil penelitian, peneliti melakukan analisis deskriptif terkait dengan tinjauan pustaka yang telah diuraikan pada bab 2. Dengan analisis tersebut, peneliti dapat menyajikan informasi dan gambaran serta menarik kesimpulan tentang keputusan hakim yang dievaluasi berdasarkan perspektif legal norm. Menurut Azwar (2010), berdasarkan kedalaman analisisnya, analisis data dapat digolongkan menjadi dua, yaitu analisis data deskriptif dan analisis data inferensial. Analisis Data Deskriptif Evaluasi pengambilan keputusan hakim berdasarkan legal norm merupakan fokus dalam penelitian ini. Dari legal norm, perilaku hakim dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak dicermati dari seberapa jauh hakim mengandalkan aturan-aturan hukum yang relevan dan seberapa jauh ketaatan hakim terhadap doktrin-doktrin hukum yang berlaku. Artinya, suatu keputusan hakim dinilai baik apabila dilandasi oleh aturan-aturan hukum yang relevan terkait dengan kasus yang ia tangani dan berpatokan pada doktrin-doktrin hukum yang berlaku. Sebaliknya, keputusan hakim dinilai buruk apabila tidak dilandasi oleh dasar hukum yang relevan terkait kasus yang ditangani oleh hakim dan tidak berpatokan pada doktrin-doktrin hukum yang berlaku.

Penelitian memperlihatkan bahwa terlihat sedikit sekali hakim yang mengandalkan aturan hukum yang relevan, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Dari 100 keputusan hakim, hanya 4% yang menggunakan UUPA. Dengan kata lain, dari 100 keputusan hakim, hanya 4 keputusan hakim yang mencantumkan UUPA.

Pada saat yang sama, berdasarkan data-data hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa mayoritas hakim masih mengandalkan KHI dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak. Dari 100 sampel penelitian, 69% hakim masih menggunakan KHI sebagai dasar hukum. Padahal, pada bab 2 telah dibahas bahwa KHI semestinya sudah tidak digunakan hakim sebagai dasar hukum dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak karena keberadaannya sudah tidak relevan lagi.

Temuan tentang minimnya penggunaan UUPA sebagai landasan penentuan hak asuh anak merupakan sebuah masalah. Pada bab 2, telah diuraikan bahwa dalam membuat keputusan, hakim harus berpedoman kepada doktrin hukum lex posteriori derogate lege priori, lex superiori derogate lege priori, dan lex specialis derogate lege general. Istilah tersebut, secara urut mengandung maksud bahwa peraturan yang terbaru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, dan peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum (Hariri, 2012).

Jumlah 69% pada keputusan hakim yang mencantumkan KHI ditambah 11% keputusan hakim yang secara simultan mencantumkan KHI dan UUPA, menandakan bahwa mayoritas hakim masih menjadikan KHI sebagai landasan hukum utama dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak. Dengan kata lain, ada 80% keputusan hakim yang masih mencantumkan KHI. Dari sisi doktrin, penggunaan KHI, sesuai uraian diatas, problematis karena bertentangan dengan doktrin hukum yang berlaku, dimana aturan hukum yang lama (KHI) harus dikesampingkan dengan aturan hukum yang lebih baru (UUPA). Selain itu, dari sisi substansi, konsep KHI mengandung preferensi gender, menganggap bahwa serta-merta ibu berhak mendapat hak pengasuhan anak dibandingkan ayah. Secara logis, Ibu dipandang sebagai sosok yang penuh kasih sayang, mampu merawat dan memegang peranan pengasuhan anak. Hal tersebut memang sekilas benar. Namun, bukan berarti ayah tidak mampu menjalankan fungsi pengasuhan anak sehingga dianggap kurang berhak mendapatkan hak pengasuhan anak. Ayah memiliki peran pengasuhan anak yang sangat penting. Walker (dalam Villarica 2012) menjelaskan bahwa ayah memiliki posisi unik dalam peran pengasuhan, yakni membantu anaknya mengembangkan ketekunan sehingga memiliki kecakapan dalam menghadapi tantangan-tantangan di sekolah dan sukses dalam kehidupannya. Memperkuat pentingnya peran ayah dalam pengasuhan, Pruett (2001), menjelaskan ada banyak dampak yang positif apabila ayah terlibat dan berperan dalam hal pengasuhan anak, yaitu anak akan memiliki kecerdasan (IQ) yang meningkat, anak akan lebih siap secara mental untuk menghadapi suasana sekolah karena lebih stabil secara emosional, anak memiliki kemungkinan yang lebih kecil menampakkan perilaku disruptif atau berbohong, anak akan cenderung menampakkan sikap pro-sosial, dan anak laki-laki lebih cenderung tidak nakal di sekolah, sementara anak perempuan cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih kuat. Atas dasar itu, ayah tetap memiliki hak yang sama untuk mendapatkan hak pengasuhan anak.

Hasil yang menunjukkan penggunaan UUPA sebesar 4%, KHI sebesar 69%, UUPA dan KHI sebesar 11%,dan tidak menggunakan UUPA dan KHI sebesar 16%, mengindikasikan bahwa hakim tidak memiliki ketaatan terhadap doktrin hukum yang berlaku. Secara spekulatif, ketidak-taatan tersebut merupakan indikasi masih sangat terbatasnya pengetahuan hukum (normatif) hakim tentang peraturan perundang-undangan terkait dengan pengasuhan anak. Terbatasnya pengetahuan hukum hakim tentang

22

peraturan perundang-undangan dapat dilihat melalui data Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL) yang menunjukkan bahwa materi diklat calon hakim sama sekali tidak membekali hakim dengan materi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Materi diklat calon hakim hanya meliputi Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Hukum Perkawinan (Kompilasi Hukum Islam), Etika Profesi Hakim Peradilan Agama, dan Aspek Hukum Perbankan Syariah. Berangkat dari fakta tersebut, peneliti berargumentasi bahwa doktrin-doktrin hukum yang berlaku belum ditaati hakim dan pengetahuan hakim tentang aspek hukum (normatif), tentang perundang-undangan terkait perkara hak asuh masih terbatas.

Keterbatasan pengetahuan hakim terkait hak asuh anak ternyata tidak berhenti pada sisi hukum, tetapi juga berlanjut pada sisi psikologis. Hal ini terlihat dari materi diklat calon hakim yang hanya membahas peraturan perundang-undangan, namun sama sekali tidak membekali calon hakim dengan informasi tentang psikologi anak. Padahal, informasi tersebut sangat dibutuhkan hakim dalam menunjang pekerjaannya terkait penentuan hak asuh anak. Baron (2003) lewat risetnya menemukan para hakim berpendapat bahwa mereka sangat membutuhkan pengetahuan tentang psikologi anak dan perkembangan anak. Secara bersamaan, masalah tentang keterbatasan pengetahuan hakim tentang psikologi anak tidak hanya terjadi di indonesia, tetapi juga di Amerika. Hardcastle (2005) mengemukakan bahwa sekolah hukum di Amerika tidak membekali siswanya informasi tentang psikologi anak dan perkembangan anak.

Penerapan UUPA memang menuntut hakim untuk tahu lebih jauh mengenai informasi penting terkait pihak yang paling berkapasitas menjalankan fungsi pengasuhan anak. Hal ini terkait dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam poin 10.1 yang menyebutkan, hakim harus meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadinya. Itu sebabnya, hakim dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas terkait dengan kasus yang ia tangani. Semakin banyak perbendaharaan pengetahuan yang ia miliki terkait dengan kasus yang ia tangani, semakin baik pula kinerja hakim dalam membuat keputusan. Ini yang disebut oleh Gizbert-Studnicki dan Klinowski (2009) dengan istilah Hercules Model. Dalam penerapannya, hakim memiliki keterbatasan untuk menilai kapasitas orang tua dalam menjalankan fungsi pengasuhan. Sehingga, hakim perlu melibatkan amicus curiae / sahabat peradilan, misalnya psikolog untuk melakukan asesmen.

Adanya asesmen untuk mengukur kompetensi orang tua dalam mengasuh merupakan pendekatan yang baik dilakukan agar hakim dapat memperoleh informasi penting terkait pihak yang mampu menjalankan fungsi pengasuhan dengan baik. Begitu pentingnya asesmen, “Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct” yang disusun American psychological Association (dalam APA 2010), menjelaskan dalam salah satu poinnya bahwa asesmen diperlukan untuk mengetahui kapasitas orang tua dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya. Dengan cara tersebut, hakim diharapkan dapat menghindari dugaan yang diungkapkan oleh Skivenes (2010) bahwa keputusan hakim hanya berdasarkan asumsi pribadi ataupun sebatas penalaran.

Asesmen akan memberikan justifikasi empiris bagi keputusan hak asuh anak yang hakim jatuhkan. Berdasarkan perspektif efficacy norm, justifikasi empiris ini sangat baik apabila dilakukan. Meskipun penelitian ini tidak menggunakan efficacy norm dalam mengevaluasi pola perilaku hakim. Namun, memperhatikan dominannya keputusan dijatuhkan dengan berdasarkan KHI dan berdasarkan tuntutan pihak yang berperkara, dapat ditangkap indikasi bahwa hakim tidak sungguh-sungguh konsekuen memegang prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Hal itu terlihat pada tidak adanya cermatan lebih mendalam terhadap kondisi anak, serta minimnya pembenaran psikologi empiris yang menopang keputusan hakim. Hasil penelitian menunjukkan dari 100 keputusan yang diambil hakim, tidak satupun melibatkan amicus curiae. Atas dasar itu, ragam tipikal keputusan hakim tersebut masih cenderung menitikberatkan kepentingan orang tua, bukan kepentingan anak sebagai fokus perhatian dan pertibangan hakim. Alhasil, dengan kondisi seperti itu sangat besar potensi terjadinya jurigenic effect. Berdasarkan data mengenai pekerjaan ibu yang dimuat dalam keputusan hakim, ditemukan sebagian besar ibu memiliki pekerjaan, yakni 67%. Ini merupakan realita yang terjadi sesuai perkembangan zaman. Kini, kaum hawa tidak lagi hanya menjalankan fungsi domestik, mengurus segala urusan yang berhubungan dengan rumah tangga, tetapi juga mulai aktif bekerja, menghabiskan waktu di luar rumah seperti kaum adam. Berdasarkan berita resmi statistik yang dikeluarkan BPS provinsi DKI Jakarta No. 23/05/31/Th XIV, 7 Mei 2012 tentang keadaan ketenagakerjaan di DKI Jakarta, angkatan kerja perempuan tahun 2010 hingga tahun 2012 mengalami kenaikan. Pada tahun 2010 angkatan kerja perempuan tahun 2010 berjumlah, 1.88 juta, pada tahun 2011 berjumlah 1.91 juta, dan pada tahun 2012 berjumlah 2.06 juta. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa tren angkatan kerja perempuan akan terus meningkat setiap tahunnya.

Apabila dalam membuat keputusan, hakim masih cenderung memiliki preferensi kepada ibu, maka hakim sebetulnya perlu menyadari dan mencermati bahwa realita sosiologis terkini berbeda dengan zaman dahulu. Kini, wanita tidak lagi menjalankan fungsi domestik di rumah. Kini, banyak wanita mulai aktif

23

bekerja dan menghabiskan waktu di luar rumah. Sebagai contoh, nomor keputusan hakim 1123/Pdt.G/2007/PAJS menunjukkan bahwa hak asuh diserahkan kepada ibu. Pertimbangan hakim adalah si anak belum berumur 12 tahun sehingga anak yang belum mumayyiz tersebut berhak diasuh oleh ibunya. Namun, dalam keputusannya tersebut, hakim tidak mempertimbangkan mengenai pekerjaan ibu. Padahal, sang ibu bekerja sebagai pegawai swasta. Persoalannya, ketika ibu memiliki sebuah tanggung jawab pekerjaan, otomatis ibu akan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Apabila ibu lebih banyak berada di luar rumah untuk bekerja, maka sesungguhnya ibu memiliki waktu yang semakin terbatas untuk menjalankan fungsi pengasuhan anak. Atas dasar itu, sesungguhnya sangat sulit bagi ibu selaku pemegang hak asuh untuk menjalankan fungsi pengasuhan seperti yang hakim perintahkan lewat keputusannya. Itu sebabnya, peneliti menekankan pentingnya hakim agar tidak serta-merta menganggap ibu adalah pihak yang paling berhak memegang hak asuh anak, tetapi mencoba untuk mengumpulkan informasi-informasi penting terlebih dahulu secara menyeluruh terkait kapasitas orang tua dalam menjalankan fungsi pengasuhan anak. Dengan begitu, prinsip kepentingan terbaik bagi anak dapat diterapkan.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa mayoritas hakim hanya cenderung memperhatikan satu aspek pertimbangan saja, akan tetapi tidak memperhatikan aspek-aspek lainnya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pembuatan keputusan hakim tentang hak asuh anak didasari oleh pertimbangan-pertimbangan yang kurang komperhensif. Dengan pola pembuatan keputusan dengan sedemikian rupa, hakim sesungguhnya rapuh untuk menyimpulkan bahwa keputusan tentang hak asuh anak benar-benar dibuat dengan mengedepankan terealisasinya prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Analisis Data Inferensial

Guna menambah derajat kompleksitas dalam penelitian ini, peneliti melakukan uji beda untuk

mengetahui signifikansi perbedaan penggunaan dasar hukum yang digunakan hakim dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak. Untuk maksud tersebut, peneliti melakukan analisis data inferensial. Melalui analisis tersebut, peneliti dapat memperoleh informasi tentang signifikansi perbedaan penggunaan dasar hukum yang digunakan hakim dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak sekaligus mengukur kemungkinan error dalam penarikan kesimpulan dari data penelitian. Seperti yang diuraikan Azwar (2010), analisis data inferensial dapat melihat kemungkinan error yang dapat terjadi dalam penarikan kesimpulan.

Analisis ini dilakukan dengan melakukan perhitungan uji beda dengan menggunakan Chi-Square melalui piranti lunak SPSS 17.0. Hasil perhitungan uji beda dengan menggunakan alat ukur Chi-Square melalui piranti lunak SPSS 17.0 menghasilkan tabel berikut

Tabel 8 Deskripsi Perhitungan Uji beda Chi-Square

Dasar Hukum

Observed N Expected N Residual

UUPA 4 25.0 -21.0

KHI 69 25.0 44.0

UUPA & KHI 11 25.0 -14.0

Tanpa Dasar Hukum 16 25.0 -9.0

Total 100

Sumber: Hasil Uji Beda Chi-Square

Test Statistics

Dasar Hukum

Chi-Square 106.160a

Df 3

Asymp. Sig. .000

a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 25.0.

24

Hasil penghitungan menunjukkan bahwa Asymp.Sig. bernilai 0.000. Artinya, jika nilai Asymp.Sig. di bawah 0.050 (5 %), maka kemungkinan error pada penelitian ini sangat kecil, yakni dibawah 5%. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti dengan yakin mengatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan antardasar hukum yang hakim gunakan dalam pembuatan keputusan yudisial tentang hak asuh anak. Konkretnya, hakim secara fanatik sangat bergantung kepada KHI sebagai dasar hukum dalam pembuatan keputusan yudisial tentang hak asuh anak dibandingkan dengan dasar hukum lainnya.

25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan . Perkara perceraian bukan merupakan sebuah babak akhir bagi pasangan suami istri yang memutuskan untuk bercerai, melainkan merupakan sebuah babak baru bagi persoalan berikutnya, salah satunya adalah tentang hak asuh anak. Perkara hak asuh anak merupakan sebuah hal yang kompleks. Kompleksitas tersebut dimulai dari konsekuensi negatif yang mungkin dialami oleh anak pasca perceraian, faktor-faktor yang mempengaruhi diri hakim dalam pengambilan keputusan tentang hak asuh anak, hingga aspek legal / aturan-aturan hukum yang digunakan hakim untuk menangani persoalan hak asuh anak. Penelitian ini berfokus pada keputusan hakim tentang hak asuh anak pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang dievaluasi berdasarkan perspektif legal norm. Melalui perspektif ini, kualitas keputusan hakim tentang hak asuh anak dinilai dari seberapa jauh hakim mengandalkan aspek legal / aturan-aturan hukum yang relevan dan menaati doktrin-doktrin hukum yang berlaku. Apabila dalam membuat keputusan hakim menggunakan aturan hukum yang relevan dan mentaati doktrin hukum yang berlaku, maka kualitas keputusan hakim dinilai baik. Sebaliknya, jika keputusan hakim dilandasi oleh aturan hukum yang kurang relevan dan tidak mentaati doktrin-doktrin hukum yang berlaku, maka kualitas keputusan hakim dinilai buruk. Keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) sebagai aturan legal / hukum yang membahas persoalan hak asuh anak menjadi persoalan tersendiri. Kedua aturan hukum ini memiliki konsep yang secara substansial berbenturan. KHI menganut tender years yang cenderung menganggap ibu adalah pihak yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak. Sementara, UUPA memegang prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). UUPA sebagai aturan yang terkini, lebih khusus, dan lebih tinggi derajat hukumnya dibandingkan KHI semestinya digunakan hakim sebagai rujukan hukum dalam mengambil keputusan tentang hak asuh anak. Namun, ada dugaan hakim masih mengandalkan KHI dalam mengambil keputusan. Evaluasi keputusan hakim berdasarkan legal norm bermuara pada usaha peneliti untuk mengidentifikasi seberapa sering hakim mencantumkan UUPA sebagai dasar hukum dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak setelah tahun 2002 (pasca lahirnya UUPA) dan melihat apakah keputusan hakim tentang hak asuh anak masih mencantumkan KHI sebagai rujukan hukum pasca lahirnya UUPA.

Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dengan menggunakan metode content analysis. Untuk mengevaluasi keputusan hakim, peneliti menggunakan subjek yang ‘tidak hidup’, yakni keputusan hakim. Melalui keputusan hakim, peneliti dapat menyelami kondisi psikologis hakim dalam membuat keputusan yudisial (psychological of judicial decision making). Asumsinya, keputusan hakim merupakan produk kognisi dan perilaku hakim yang dieksternalisasikan dan di eksplisitkan. Sehingga, ketika peneliti mencermati keputusan yang dihasilkan hakim, sesungguhnya peneliti sedang membaca kognisi dan pola perilaku hakim.

Hasil pengukuran menemukan, banyak di dalam keputusan hakim masih tercantum KHI sebagai landasan hukum dalam pengambilan keputusan. Dari 100 sampel penelitian, ditemukan 69% keputusan hakim mencantumkan KHI. Ditambah lagi, 11% keputusan hakim mencantumkan KHI dan UUPA. Secara total, terdapat 80% keputusan hakim yang mencantumkan KHI.

Disisi lain, keputusan hakim yang mencantumkan UUPA hanya 4%. Artinya, dari 100 sampel keputusan hakim, hanya ditemukan 4 keputusan hakim yang mencantumkan UUPA. Sisanya, ditemukan 16% keputusan hakim sama sekali tidak mencantumkan UUPA maupun KHI.

Dari minimnya penggunaan UUPA sebagai landasan hukum yang relevan dalam penetapan hak asuh anak (hanya 4% dari seluruh sampel penelitian), peneliti menarik kesimpulan bahwa kualitas keputusan hakim dapat dikatakan buruk, setidaknya dari tiga sisi. Pertama, dari sisi doktrin hukum, keputusan hakim tidak mematuhi doktrin lex posteriori derogate lege priori, lex superiori derogate lege priori , dan lex specialis derogate lege general dimana hakim masih sangat minim menggunakan UUPA. Kedua, dari sisi kode etik dan pedoman perilaku hakim, hakim terindikasi tidak memperluas pengetahuannya terkait penetapan pengasuhan anak karena keputusan hakim cenderung simplistis. Hal ini dapat dicerminkan dari tidak adanya upaya hakim untuk mencermati lebih lanjut mengenai kompetensi orang tua dalam mengasuh anak, apalagi melibatkan amicus curiae. Ketiga, dari sisi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, mayoritas hakim tidak mempertimbangkan informasi yang relevan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak. Hal tersebut tercermin dari total 80% keputusan hakim masih mencantumkan KHI. Padahal, secara substansi, aturan hukum yang relevan untuk menangani hak asuh anak bukan KHI, melainkan UUPA

26

Saran

Penelitian ini bersifat studi kearsipan (archival study) dengan menggunakan metode content analysis. Melalui cara ini, peneliti dapat mengkaji sebuah isi informasi tanpa perlu bertemu dengan subjek penelitian karena data yang digunakan adalah data tidak langsung / data kearsipan (archival data) Dengan kata lain, peneliti mengumpulkan informasi dengan cara menela’ah data kearsipan yang merupakan hasil produk yang dibuat oleh subjek penelitian kemudian menganalisisnya; dalam hal ini, peneliti ‘menyelami’ kondisi psikologis hakim melalui keputusan yang hakim hasilkan. Melalui keputusan tersebut, peneliti dapat mengevaluasi perilaku hakim.

Dengan melakukan penelitian yang bersifat studi kearsipan, peneliti menemukan bahwa penelitian ini tidak mendorong peneliti untuk mengumpulkan data dengan cara bertemu langsung dengan subjek penelitian, membuat kuisioner, melakukan tahap expert judgement, menguji reabililitas dan validitas, dan sebagainya, melainkan mendorong peneliti untuk langsung berfokus pada tahap-tahap yang diutarakan Shaughnessy, Zechmeister, dan Zechmeister (2009), yaitu mengidentifikasi sumber data yang relevan, menyeleksi sampel dan melakukan koding untuk memformulasikan data. Pada akhirnya, dengan cara tersebut, peneliti dapat merasakaan beberapa manfaat seperti menghemat waktu, biaya dan tenaga. Atas dasar itu, peneliti merekomendasikan penelitian-penelitian sejenis selanjutnya juga dapat menggunakan content analysis. Sekilas, metode content analysis terlihat sederhana, tetapi pada prakteknya metode ini cocok digunakan untuk penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kasus hukum, seperti yang dikatakan oleh Hall & Wright (dalam Raharjo 2010), pada permukaan content analysis tampak sederhana, bahkan tak berarti. Namun, content analysis merupakan metode yang sangat baik dalam membaca kasus-kasus hukum. Dengan keunggulan tersebut, metode ini membawa ilmu pengetahuan sosial untuk memahami kasus hukum. Pada akhirnya, metode ini dapat menciptakan sebuah bentuk legal tersendiri dari sebuah empirisme.

27

REFERENSI

American Psychological Association. (2010). Guidelines for Child Custody Evaluation in family law

Proceedings, 65(9). 863-867. Amriel, R, I. (2012). Hak Asuh Anak dan Keabaian Hukum dalam Prawitasari, J. (2012). Psikologi Terapan

Melintas Batas Disiplin Ilmu. Jakarta: Erlangga Azwar,S. (2010). Metode Penelitian. Jakarta: Pustaka Pelajar. Ackerman, M.J. (1999). Essentials of Forensic Psychological Assessment. New York: John Wiley & Son.

Badan Pusat Statistik. (2012). Keadaan Ketenagakerjaan Di DKI Jakarta Februari 2012. Diunduh dari http://jakarta.bps.go.id/fileupload/brs/2012_05 _07_13_29_11.pdf

Baron, S. (2003). Issue facing family courts: The scope of family court intervention. Journal of the Center

for Children and the Courts, 4, 115-129. Bow, J.N. & Quinnell, F.A. (2004). Critique of child custody evaluations by the legal profession. Family

Court Review, 42(1), 115-127. Edwards, H.T. (1985). Public misperceptions concerning the “politics” of judging: Dispelling some myths

about the D.C. Circuits. University of Colorado Law Review, 56, 619. Freeman, M. (2007). A Commentary on the United National Convention on the Rights of the Child. Leiden:

Martinus Nijhoff Publishers. Felner, R.D., & Terre, L. (1987). Child custody dispositions and children’s adaptation following divorce.

Dalam L.A. Weithorn (Ed.), Psychology and child custody determinations: Knowledge, roles, and expertise (hal. 106-153). Lincoln: University of Nebraska Press.

Gardner, R.A. (1999, April-June). Differentiating Between Parental Alienation Syndrome and Bona Fide

Abuse-Neglect. The American Journal of Family Therapy, 27(2), 97-107. Gizbert-Studnicki, T. & Klinowski, M. (2009). Complexity of the social sphere and the judicial decision-

making process. Archivum Ludiricum Cracoviense, XLII, 5-25. Goldstein, J., Freud, A., & Solnit, A. (1973). Beyond the Best Interests of the Child. New York: Free Press. Guthrie, C., Rachlinki, J. J., & Wistrich, A. J. (2001). Inside the judicial mind. Cornell Legal Review, 86,

777-829. Hardcastle, G.W. (2005). Adversarialism and the family court: A family court judge’s perspective. UC

Davis Journal of Juvenile Law and Policy, 9 (1), 57-125. Hariri, W, M. (2012). Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia. Indria, K. & Nindyati, A.D. (2007). Kajian Konformitas dan Kreativitas Affective Remaja. Jurnal Provitae

3(1), 97. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI nomor

047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2002 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Khaleeli, J. (2007) A needs assessment for the training judges involved in contested child custody

decisions. Disertasi doktoral tidak dipublikasikan.The California School of Professional Psychology, Alliant International University, San Fransisco.

Klein, D. & Mitchell, G. (2010). The Psychological of judicial making. Oxford: Oxford University Press.

28

Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam Berdasar Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Dalam

Tata Hukum Nasional Kunin. C.C., Ebbesen. E.B.. & Konccni, V.J. (1992). An archival study of decision-making in child custody

disputes. journal of clinical psychology, 8, S64-573. Lizarraga, M.L.S.de A., Baquedano, M.L.S. de A. (2007). Factors that affect decision making: gender and

age differences. International Journal of Psychology and Psychological Therapy, 7(3), 381-391 Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2012). Materi diklat calon hakim. Diunduh dari

http://litbangdiklatkumdil.net/materi-diklat-calon-hakim/ category/17-peradilan-agama.html# Martono, Nanang. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif: Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder.Jakarta:

RajaGrafindo Persada Mitchell, G. (2010). Evaluating judges. Dalam D. Klein & G. Mitchell, The Psychology of Judicial

Decision Making. Oxford: Oxford University Press. Pitoyo, W. (2012). Strategi Jitu Memenangi Perkara Perdata Dalam Praktek Peradilan. Jakarta:

Transmedia Pustaka Pruett, D. P. (2001). Fatherneed: Why Father Care Is As Essential As Mother Care for Your Child. New

heaven: Broadway Books Raharjo, M. (2010). Content Analysis Sebagai Metode Tafsir Teks: Akar Sejarah Dan Penggunaannya.

Diunduh dari : http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/286-content-analysis-sebagai-metode-tafsir-teks-akar-sejarah-dan-penggunaannya-.html

Robbennolt, J.K., Darley, J.M., & MacCoun, R.J. (2003). Symbolism and incommensurability in civil

sanctioning: Decision makers as goal managers. Brooklyn Law Review, 68, 1121. Shaughnessy, J. J., Zechmeister, E. B., & Zechmeister, (2009). Research Methods in Psychology (8th

edition) J. S. New York: McBrow-Hill Segal, J. A., & Spaeth, H. J. (2002). The Supreme Court and the Attittudinal Model Revisited. New York:

Cambridge University Press. Skivenes, M. (2010). Judging the child’s best interests: Rational reasoning or subjective presumptions? Acta

Sociologica, 53, 339-354. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Walker, N.E., Brooks, C.M., & Wrightsman, L.S. (1998). Children’s rights in the United States: In search

of a national policy. Thousand Oaks, CA: Sage. Wallace, S, R. Koerner, S, S. (2003). Determining a Child’s ‘‘Best Interests’’. Influence of Child and

Family Factors on Judicial Decisions in Contested Custody Cases. Vol 52(2). 180-188. doi: 10.1111/j.1741-3729.2003.00180.x

Wrightsman, L.S., & Fulero, S.M. (2005). Forensic Psychology, 2nd ed. Belmont, CA: Wadsworth. Villarica, H.(2012). Study of the Dad: Persistence Comes From Your Father's Parenting diunduh dari

http://www.theatlantic.com/health/archive/2012/06/ study-of-the-dad-persistence-comes-from-your-fathers-parenting/258540/