tukarpendapat.files.wordpress.com · web viewemha ainun najib. pahlawan sejati kepada seorang ibu...
TRANSCRIPT
Emha Ainun Najib
Pahlawan Sejati
KEPADA seorang Ibu sederhana di sebuah dusun, yang pekerjaannya mencintai dan menemani wong cilik di desanya sepanjang hidup, saya mengajukan pertanyaan yang agak muluk: "Bu, siapakah pahlawan sejati?"
Ia menjawab: "Pahlawan sejati ialah orang yang berani omong tentang perjuangan sosial dan membela rakyat hanya sesudah ia sendiri sanggup bertanggung jawab secara mandiri atas perutnya sendiri. Pahlawan sejati ialah orang yang membela rakyat dengan kekuatan dan uang pribadinya, bukan dengan dana dari luar yang apalagi ia sendiri diupah untuk apa yang diperjuangkannya. Tapi yang terpenting adalah bahwa pahlawan sejati tidak pernah sempat menganggap dirinya pahlawan bahkan tidak punya waktu untuk mengingat kata pahlawan".
Saya bereaksi: "Waduh, Bu, kok berat dan muluk sekali syarat untuk menjadi pahlawan sejati?" Ibu itu menjawab lagi: "Memang berat dan muluk. Maka tidak akan berminat. Maka tidak populer dan tidak dipakai. Kalau ada yang memakainya, mungkin malah dikutuk, dirasani dan difitnah di mana-mana..."
Rebutan Berkah
KALI ini aku mengalahBerduel dengan jutaan wanita berkerudung gelap, berbadan bongsor,Itu tidak mudahBerduel keluar masuk rumahMu yang dahsyat megahKalau bukan karenaMu, tak mungkin kulakukan ituTapi toh akhirnya aku mengalahMlipir
Mlipir pun susahKarena badanku yang tak sebanding dengan tubuh merekaMenyodok, menyikut, mendesak, melototAku takutSampai lupa pada siapa seharusnya aku takutAku terlalu sayang pada tubuhku, kakiku, hatiku
Dalam gelombang berjuta tubuh tambun mengumpatAku tercenungMereka semua ini pasti sangat mencintai TuhanAnggap ibadah bagai perang, entah melawan siapaMungkin diri mereka sendiriSampai-sampai berpikir pemenanglah pilihan TuhanPemenang rebutan berkah
Pecel Belut
MUNGKIN saja Anda kini sedang sibuk memulai 'Pelita' baru warung Anda. Tubuh warung gedhek dilapisi koran supaya sedikit cemerlang, meja kursi dibikin mulus, toples dan piring gelas diusahakan mengkilat, dan yang terpenting Anda persiapkan menu-menu baru yang istimewa dan unik.
Mungkin Anda mau populerkan -- sebutlah -- "Es Gombloh", pecel belut model kontemporer yang dibikin punya rasa salad Amerika, memperkenaikan sarakbah dari seberang laut, atau ballut ala negeri Cory Aquino.
Pokoknya suguhan serba sip. Setiap pelanggan rnerasa fly to heaven dan akan senantiasa terkenang-kenang, lantas memutuskan menu makanan warung Anda adalah pacar atau istri kedua.
Nah, 'Pelita' Anda tak cukup hanya dengan membenahi 'segi internal' warung. Sesudah menu mumpuni, pertanyaannya adalah bagaimana cara menjualnya, di mana Anda menjualnya dan kepada siapa saja berita tentang warung Anda harus disampaikan.Bagi beberapa putuh orang yang sudah selalu makan di warung Anda, perubahan menu itu langsung terasa.
Lantas mungkin mereka menggethok-tular-kan kepada handai tolan mereka. tapi gethok tular itu sifatnya spekulatif, seingga tak bisa Anda daftari dalam 'matematika target-target' Anda.
Ada jarak atau tahap antara pelanggan menuju menu. Sebelum itu ada tahap atau jarak antara warung Anda dengan sangat banyak orang yang tidak tahu menahu tentang warung Anda dan hanya sedikit mendengar slenthang-slenthing bahwa warung Anda menyelenggarakan revolusi menu: tapi hal itu kurang menarik minatnya, terutama karena selama ini reputasi warung memang seperti klub Galatama papan bawah.
Dengan kata lain, beratus beribu orang yang lalu lalang di depan lokasi Warung Anda tidak tahu menahu tentang warung Anda. Maka soalnya adalah bagaimana membikin mereka tahu. Kita harus yakin bahwa sekarang kelas kita adalah Galatama papan atas dan kita harus bermain di hadapan sebanyak mungkin orang.
Petinju Sugar Ray Robinson meniadi idolanya Mohammad Ali. Tapi Ali memiliki plus dibanding Robinson: di samping keprigelan bertinju yang cemerlang, Ali jauh lebih tahu bagaiamana 'berjualan'. Maka Ali-lah pionir dari omset bisnis tinju yang fantastik, di mana Ray Leonard dan Tyson kini harus berterirna kasih oleh rintisan itu.
Ali bukan 'the big mouth', karena yang disebut 'mulut besar' itu sekadar metode jual jamu. Tentu saja ia akan hancur kalau jamunya tidak benar-benar manjur.
Tapi semanjur apa pun jamunya, kalau ia tak tahu bagaimana menjualnya, maka jamu itu akan diminum hanya oieh beberapa pelanggan yang memang "telanjur mencintai Anda". Itu kalau Anda memang berniat 'berjualan'.
Kalau saya sendiri memang tak berbakat dan tak punya niat untuk itu. Saya hanya koki peracik kopi yang pasif. Kalau ada yang berminat, alhamdulillah, tidak ya alhamdulillah.
Saya tidak perlu teriak-teriak keliling kota, bikin poster, menyeponsori pentas, atau apa pun. Silakan bell kopi dari saya, dan kalau Anda hendak menjualnya kembali, silakan pakai kerangka dan metode Anda sendiri sesuai dengan cakrawala yang akan Anda arungi.
Sesekali saya akan bantu berteriak, sebab hidup tanpa teriak itu ibarat kopi kurang nyegrak.
Memelihara Fitnah Sampai Tua
TIDAK sedikit jumlah orang yang bertele-tele hidupnya dengan terus menerus membiarkan pikiran dan hatinya dihuni rasa dengki, dipenuhi fitnah tentang ini dan kepada itu, dikili-kili prasangka-prasangka dan digerogoti tuduhan tuduhan. Baik yang diungkapkan, diterapkan, maupun yang dibiarkan terpelihara di dalam dirinya sampai hari tuanya.
Tetapi teman-teman ini tetap harus kita kagumi, karena tenaga hidupnya sangat besar sehingga tidak merasa kelelahan bersikap demikian. Dan lebih mengagumkan lagi karena bersamaan dengan memelihara fitnah, para sahabat kita ini tetap mampu melakukan ibadah, sembahyang, bersujud dan berdoa minta banyak-banyak kepada Tuhan.
Bekerja itu Memproduksi Tenaga
IBU, anakmu bukan berpejam mata terhadap betapa penting perkembangan pemikiran-pemikiran. Anakmu belum segila itu.
Tapi ia merasa terlibat di dalam belum berhasilnya manusia memfungsikan ilmu pengetahuan untuk berpacu melawan laju kebobrokan.
Anakmu memusatkan omongannya ini pada ironi yang anakmu sandang sendiri. Ibu, kami sibuk merumus-rumuskan keadaan, meniti dan menggambar peta masalah, mengucapkan dan mengumumkannya. Pengumuman itu mandeg sebagai pengumuman. tulisan mengabdi kepada dirinya sendiri.
Sedangkan Ibu, hampir tanpa kata, berada di dalam peta itu, menjawabnya dengan tangan, kaki dan keringat.
Kami menghabiskan hari demi hari untuk mengeja gejala, dengan susah payah berusaha menjelaskan kepada diri sendiri, sampai akhirnya kelelahan, lungkrah dan ngantuk—Ibu pula yang dengan tekun memijiti tubuh kami.
Ibu tak kehabisan tenaga. Apakah Ibu menyewanya langsung dari Tuhan? Ya, Bu. Bekerja itu memproduksi tenaga. Berpikir, yang hanya berpikir, selalu menciptakan keletihan, yang belum tentu ada gunanya.
Manusia hendaknya tahu diri, belajar bertawadlu’ dan mencoba mengenali rahasia-rahasia firman-Nya, atau yang alau memakai bahasa keduniaan manusia; mengenali retorika dan diplomasi-Nya. Jangan sekali-kali kita terjebak dalam kandungan dan membayangkan Allah memiliki kepentingan atas kehidupan dan segala pekerjaan kita.
Peran Narkoba Dalam Pembangunan
DI KEDUA lengan tangan bawah saya bagian dalam terdapat sejumlah goresan kecil-kecil yang kayaknya nggak
bisa hilang. Orang yang meliriknya normal kalau menyimpulkan itu bekas luka-luka suntikan narkoba, tanpa bisa menemukan alasan apa pun untuk menggeremeng di dalam hatinya kenapa orang macam saya pasti bebas dari narkoba.
Luka-luka itu berasal dari praktik Ilmu Hijamahnya Rasulullah SAW yang di Jakarta terkenal dengan aplikasi nama ”bekam”. Seharusnya ujung jarum ditutul-tutulkan secara sangat hati-hati dan peka sehingga kedalaman tusukan itu tak boleh lebih dari 0,4 mm sebagaimana teknik tusukan dan hisapan lintah.
Tetapi karena pelakunya kecapaian, yang dia lakukan atas tangan saya bukan tutulan, melainkan goresan. Semacam malapraktik kecil-kecilan yang menguntungkan saya karena memperoleh rahmat seumur hidup untuk disangka orang pemakai narkoba. Setiap hari, terutama ketika mandi, selalu terpandang goresan-goresan itu sehingga selalu juga saya ingat narkoba. Tak ada hari saya lewati tanpa ingat narkoba. Dia menjadi teman hatiku sehari-hari, menjadi sahabat dialektika kesadaranku siang dan malam.
Kalau di suatu siang yang panas gerah selintasan angin menerpa badanmu dan mengusap rambutmu, angin itu menjadi bagian dari dirimu. Segala sesuatu yang kau pandang, kau dengar, kau rasakan,kau alami, apalagi memasuki dirimu dan menjadi anasir dalam darahmu, dia menjadi bagian dari dirimu, bagian dari ingatan dan kesadaranmu, bagian dari sejarahmu. Menjadi file hard disk-mu, hidden atau unhidden.
Kau sukai atau kau benci, dia tetap adalah bagian dari kosmologi dan dzat kemakhlukanmu. Soekarno, Soeharto, SBY, Hitler, Iblis, malaikat, apa saja, tak bisa hilang dari sistem komprehensif hidupmu.Semula dia sekadar kita sangka merupakan ”bagian dari” dirimu, suatu saat engkau menemukan dia ”adalah”dirimu. Itulah sebabnya terdapat nasihat ”kuno” tentang kehati-hatian:
”Setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, perhatikan asal usul kebenaran dan kebatilannya, posisi halal haramnya. Sebab engkau sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anak dan cucu-cucumu.”
Ini bukan filsafat teoretis. Ini ilmu dan pengetahuan empiris. Para ilmuwan meneliti tikus yang sakit turunan sejak kakek neneknya: mereka tidak melakukan tindakan kuratif medis untuk menyembuhkan tikus, melainkan mengubah habitatnya, merangsang perubahan perilakunya, tata ruang tempat tinggalnya, pola makan minumnya, memastikan keabsahan asal usul segala konsumsinya. Pada jangka waktu tertentu tikus itu sembuh dan tidak mewariskan sakit yang sama kepada anak-anaknya lagi.
Demikian berlangsung sampai generasi berikutnya, kecuali perubahan perilaku dan sejarah konsumsi itu diubah lagi. Dari kasus tikus itu kita temukan betapa terkait erat hubungan antara kondisi seseorang dengan habitat di mana dia hidup. Tidak bisa orang kena narkoba sendirian tanpa habitat yang memang kondusif terhadap kenarkobaannya. Itu tak harus berarti pemakai narkoba selalu lahir dari lingkungan pemakai narkoba, tetapi ada faktor-faktor yang jauh lebih luas dan komprehensif-dialektis.
Tradisi konsumsi narkoba sangat bisa terkait dengan pola budaya, cara berpikir, nilai sosial, cara- cara mempertimbangkan sesuatu, kualitas nilai yang dipilih tentang siapa tokoh siapa bukan, siapa duta siapa bukan, termasuk kewaspadaan atau kesembronoan institusional ketika menentukan atau memilih ini dan itu. Bagian dari korek api yang terbakar hanya sumbunya,tetapi tak ada nyala api tanpa bagian-bagian lain dari korek api. Jangan berpikir korek api adalah nyala api ”saja”, jangan berpikir bahwa habitat narkoba hanya pemakai narkoba ”saja”.
Kalau diperluas, jangan berpikir bahwa pelaku korupsi adalah koruptor saja, sebab mereka melakukan korupsi ”berkat” adanya faktor-faktor lain yang komprehensif yang memungkinkannya melakukan korupsi.
Tegasnya, kita semua ”menanggung dosa” sistemik dan struktural atas penyalahgunaan obat terlarang, atas korupsi, juga atas munculnya apa yang kemudian terpaksa kita sebut sebagai aliran sesat. Ada dimensi-dimensi sosial di mana kita semua telah melakukan ketidakbertanggungjawaban kolektif atas sejumlah nilai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga suburlah ketiga ”narkoba”itu.
Dengan teori habitat itu, tak ada yang mengherankan kenapa lembaga penanggulangan narkoba ”salah pilih” dutanya: api menyala pada sumbu, tapi berasal dari sistem menyeluruh korek api. Oleh karena itu memang diperlukan ekstrakewaspadaan di dalam mempersepsi, menganalisis, dan mengatasinya.
Apalagi kita sedang berada pada habitat alamiah kemanusiaan yang sampai batas tertentu justru sangat potensial untuk lambat atau cepat pasti menghancurkan kemanusiaan kita sampai anak cucu.
Misalnya, mari sejenak kita keluar dari rumah tikus itu dan memperhatikan faktor yang lain sama sekali. Misalnya, para ilmuwan itu lebih tertarik pada tikus yang sakit dibanding jutaan tikus lain yang sehat. Ini hukum alam. Sakit lebih menonjol dibandingkan waras.
Kacau lebih menggairahkan dibanding aman. Buruk lebih laku dibandingkan baik. Jahat lebih sensasional dibandingkan mulia. Hancur lebih mudah dipasarkan dibandingkan bangkit. Curang lebih nendang dibandingkan jujur. Bentrok lebih nikmat dipergunjingkan dibandingkan rukun. Chaos lebih nyaman diinformasikan dibandingkan tenteram.
Kalau rumus ”orang baik” kalah menarik dan kalah unggul dibandingkan ”orang pernah buruk” yang dipakai oleh birokrasi, lembaga informasi, institusi pengelolaan sosial serta semua kepengurusan kehidupan bangsa kita, sesungguhnya kita sedang menyediakan ruang utama dalam pengelolaan pembangunan sejarah bangsa ini kepada ”orang pernah buruk”, sekadar karena kurang selera atas ”orang baik”.
Adalah narkoba nasional yang segera menghancurkan kita semua jika tak segera berhenti menyerahkan negara ini kepada ”orang yang menarik”, bukan kepada ”orang yang mengamankan.”
Nabi Membakar MasjidEmha Ainun Najib
RASULULLAH Muhammad s.a.w. pernah memerintahkan sejumlah petugasnya untuk membakar sebuah masjid, karena beliau menemukan bahwa kecenderungan pada “Takmir Masjid” dan komunitas yang melingkupinya membuat masjid itu lebih merupakan tempat kemunafikan dan pemecah-belah kesatuan, dengan berbagai manipulasi dan kemunkaran, sehingga adanya masjid itu menimbulkan mudharat lebih besar dibanding manfaatnya.
Coba kita ambil pelajaran, satu poin saja dulu, dari kejadian itu. Misalnya, tidak bisa kita memahaminya dengan pola pandang modern dengan sistem dan konstitusi kenegaraan seperti yang kita anut sekarang. Di zaman kepemimpinan Rasulullah di Madinah, beliau adalah pusat keadilan, pusat nurani, dan pusat kebenaran, yang dipercaya. Orang percaya sepenuhnya kepada beliau, sehingga beliau diridhai orang banyak untuk menjadi pusat pengambilan keputusan.
Rasulullah bisa disebut diktator atau otoriter andaikata beliau tidak dipercaya rakyat, serta apabila beliau memaksakan suatu keputusan yang umat menilai ada kemunkaran pada keputusan itu. Tetapi belum pernah ada buku sejarah menyebut Muhammad s.a.w. sebagai seorang yang otoriter, karena memang umat percaya dan rela. Padahal secara sistem, konstitusi dan hukum sebagaimana yang kita pahami sekarang, Rasulullah tidak punya hak atau kewenangan untuk mengambil keputusan dan tindakan seperti itu: Rasulullah melanggar HAM dan konstitusi.
Di dunia modern, tidak ada manusia yang bisa dipercaya oleh orang banyak, apalagi dipercaya sampai tingkat, kadar dan cinta masyarakat memercayai Muhammad s.a.w. Kalau orang tidak saling percaya, maka mereka sama-sama berkepentingan untuk membikin aturan, hukum, konstitusi, transaksi, konvensi, atau apa pun namanya dan konteksnya. Orang mendirikan pagar bersama karena dikhawatirkan sewaktu-waktu akan ada, entah siapa, yang melanggar batas.
Di zaman ini orang memerlukan perlindungan norma dan hukum, karena sesama manusia tidak ada kemungkinan saling mempercayai dan mempercayakan secara nurani untuk mendapatkan perlindungan satu sama lain.
Anda bisa berkata: “Saya tidak perduli dan tidak mempelajari hukum. Tanpa pasal-pasal hukum pun saya tidak mencuri, tidak akan melakukan korupsi, mo-limo, pembunuhan atau menyakiti orang lain. Kunci-kunci hukum sudah ada dalam kandungan nurani, kalbu dan akal sehat saya. Ada KUHP atau tidak, ada Undang-Undang atau tidak, saya insya allah bisa menjadi manusia yang tidak akan melanggar hakikat hidup manusia yang sejak diciptakan Allah memang wajib saling menyelamatkan, saling menyejahterakan dan saling mencintai.”
Akan tetapi di alam modern sekarang, kalimat Anda itu tidak akan dipercaya oleh siapa pun. Karena manusia modern tidak punya pengalaman menjadi manusia baik dengan hanya berbekal nurani dan akal sehatnya sendiri. Manusia modern tidak melanggar hukum karena takut kepada hukum, bahkan takut kepada polisi. Manusia modern sangat sukar percaya kepada orang baik, karena tidak punya pengalaman otentik untuk menjadi orang baik.
Ada sejumlah orang di dunia modern yang benar-benar baik, tapi tak akan diakui sebagai orang baik, karena adanya orang baik pada wacana modern hanya terdapat di masa silam. Orang baik adalah mitos. Kebaikan hanya terdapat dalam mitologi. Sufi, ulama sejati, hanya beralamat dalam khayalan tentang masa silam. Kalau Sufi hidup sekarang, tak akan ada mata, kalbu, dan akal yang menemukan dan mengakuinya sebagai Sufi.
Meskipun Anda benar-benar orang baik, berhasil menolong Raja dan rakyat dari bentrok dan kesengsaraan, bahkan dibantu oleh Allah menerapkan keajaiban sehingga produk Anda tak ada duanya di dunia, jangan berharap dipercaya oleh siapa-siapa. Anda pasti justru dicurigai, disinisi, difitnah, dituduh setan, pengkhianat dan segala kata kutukan lain. Karena Anda memang hidup di tengah manusia modern yang merasa dirinya pahlawan-pahlawan rakyat namun yang otentik dan kongkret pada hidup dan kepribadiannya adalah khianat, sinisme, kecurigaan, buruk sangka, potensialitas setan, pemfitnah. Mereka tidak kenal yang selain fitnah, sangka buruk, kemunafikan, sikap sok pahlawan, yang datang ke rakyat menderita untuk memproklamasikan diri menjadi pembela rakyat, pejuang rakyat, tanpa para rakyat pernah memintanya atau mengamanatinya menjadi pahlawan.
Rakyat juga sama sekali tidak punya parameter untuk membedakan mana pejuang mana pedagang, mana pahlawan mana pendusta, atau mana pecinta mana eksploitator (pemeras). Rakyat semacam itu, yang sabar dan tahan memelihara kebodohannya, saya jamin akan terus-menerus sengsara, tak kan pernah memperoleh solusi apa pun atas masalah-masalah mereka. Karena para pejuang yang mendatangi mereka memang tidak pernah punya
niat untuk mencari solusi; justru mereka membutuhkan masalah, membutuhkan penderitaan rakyat, demi eksistensi mereka, demi pencarian nafkah mereka: menjual penderitaan orang banyak.
Mereka memproklamasikan diri menjadi “Nabi” tanpa ‘nubuwwah’. Mengklaim diri sebagai “Rasul” tanpa ‘risalah’. Makanan mereka adalah kepala kosong rakyat yang memelihara kebodohannya.
“Masjid” semacam itulah yang dibakar oleh Rasulullah.
Sekarang hal itu tak mungkin terjadi, karena Negara memiliki hukum. Hukum yang memang sangat diperlukan, namun sangat sempit, linier, serta mengandung kebodohan dan bumerang berlimpah-limpah.
Tapi silakan Anda percaya atau tidak: “Masjid” itu nanti akan “dibakar”?
MENANGIS Emha Ainun Nadjib (1987)
Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bersholat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat " iyyaka na'budu " Abah Latif biasanya lantas terhenti ucapannya, menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan " wa iyyaka nasta''in" .
Banyak di antara jamaah yang turut menangis, bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar," berkata Abah Latif seusai wirid bersama, " Mengucapkan kata-kata itu dalam Al-fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakikat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakikat itu."
"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang mulut para santri.
" Jadi, anak-anakku," beliau melanjutkan, " apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Alloh ..iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Alloh itu sendiri, Abah?" bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan."
"Belum jelas benar bagiku, Abah?"
" Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan."
"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," geremang mulut para santri.
Dan Abah Latif meneruskan, " Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka na'budu.KepadaMu aku menyembah.Tetapi kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepadaMu kami menyembah, na'budu."
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan wahidah.Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita telah capai lebih dari abdullah, yakni khalifatulloh.Suatu maqom yang dipersyarati oleh kebersamaan kamu muslim dalam menyembah Alloh di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan.Mengucapkan iyyaka na'budu dalam sholat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita kaum muslim telah membawa
urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Alloh.Maka anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapan kata-kata itu?"
"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang para santri.
"Al-fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatulloh di dalam berbagai hubungan kehidupan.Tangis kita akan sungguh-sungguh tak tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari.Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Alloh, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakikatnya melawan Alloh."
Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," geremang mulut para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis.Karena alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu : airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya."
----------------------------------------------------
Dari : Seribu Masjid Satu Jumlahnya Tahajjud cinta seorang hamba Penerbit Mizan 19995
ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANIoleh Jalaluddin Rakhmat
Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang palingsempurna di dunia ini. Hal ini, seperti yang dikatakanIbnu 'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allahdi bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi jugakarena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan)asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allahmeniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Akutiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakasatau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakandari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalamdirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukanpara sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung(al-qalb).
RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakanjasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alamciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahlisufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahidan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkankepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelahditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh didalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baikdan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia danterpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumberakhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagijiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani(binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yangorganis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwahewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh danmelahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yangkecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyaikelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah ataual-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga denganhakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yangkhusus, Dzatnya dan Penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifatyang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusiamempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat danmemperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itusendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yangmenyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yangdemikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifattercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencelamanusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalaiberbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Akubersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifatyang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafsal-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwayang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagidiridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telahmenjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telahmelakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yangtelah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telahdijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan denganruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia danterpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allahsampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allahmengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karenaitu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atauintelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikiryang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak dikepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) didada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumberpengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) danpengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsufmengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkanpengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatantertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapatmengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yangdemikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan(sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan ituberpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yangdemikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenalkebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akanhancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karenakesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak padakesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperolehkebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ketingkat akal perolehan.
HATI SUKMA (QALB)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kitamemakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalahsegumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak didada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objekkajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteranyang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yanghalus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yangada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yangdisebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumberpengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allahberfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakanmemahaminya." (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itujiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbedapendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi parafilsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuanakal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melaluipengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-samamerupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadahatau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-halyang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersihdari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moraldengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang terceladengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapatmenjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapaipengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialahmoralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpujiadalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berartiketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luarhanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnyakehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas daripenyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnyaberkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani--hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan olehhasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnyaberuntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilahorang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalahpantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jikacermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan darituntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nuranibersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dariAllah Swt.
Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya padadada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadapdunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitandengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memilikiAllah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul darihati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapilewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengannafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalumenggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaanmanusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nuranidalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy,Kairo, 1983.
Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudinal-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983.
Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906.
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H.
------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo,1327 H.
------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,Jakarta, 1978.
Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.
--------------------------------------------Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam SejarahEditor: Budhy Munawar-RachmanPenerbit Yayasan ParamadinaJln. Metro Pondok IndahPondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21Jakarta SelatanTelp. (021) 7501969, 7501983, 7507173Fax. (021) 7507174
KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGISoleh Jalaluddin Rakhmat
Al-Qur'an adalah kitab manusia. Karena al-Qur'an seluruhnya berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia. Dr. Yusuf Qardhawi (1977: 33)
Masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu Islam,kata Fazlur Rahman (1980: 43). Ideologi adalah Weltanchauung,yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologiadalah cara memandang realitas. Di antara realitas pentingyang diulas ideologi adalah manusia. Toute ideologie precised'emblee, tacitement on explicitement, la nature de l'individuet la place qui lui est assignee daus la groupe, en fonctionde l'objektif social poursuiri. Pour une religioneschatologique comme l'Islam, dieu sera la referenceprimordial et unique puisqu'll est, a la fois, I origine et lefin de la destine e humaine, tulis Marcel A. Boisard (1979:84), ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur'animengenai manusia dalam bab Les Fils d'Adam.
Agak mengherankan, walaupun Boisard mengakui pentingnyafilsafat antropologis dalam Islam, ia kemudian menyebutkanbahwa al-Qur'an diwahyukan untuk memperkenalkan Tuhan kepadamanusia; bukan untuk menjelaskan manusia -non pour expliquerl'humain (Boisard, 1979: 84). Karena itu dalam seluruhbukunya, Boisard hampir tidak pernah membahas karakteristikmanusia menurut al-Qur'an, seperti lazimnya filsafat manusia(philosophic de l'homme). [1]
Dirk Bakker (1965) dalam bukunya Man in the Qur'an, mengulasmanusia dari segi penciptaannya, hubungannya dengan dunia,sesama manusia, Tuhan, dan fungsi manusia sebagai hamba Tuhan,tapi tidak membahas principe d'entre manusia.
Adalah Rahman (1980), yang secara khusus menjelaskan principed'entre manusia ini. Agak terperinci, ia menjelaskan perbedaanmanusia dengan makhluk lain. Semuanya dapat disimpulkan dalamkalimatnya,
The only different is that while every other creature followsits nature automatically, man ought to follow his nature; thistranformation of the is into ought is both fhe uniqueprivelege and the unique risk of man (Rahman, 1980: 24)
Rahman mengulas manusia dengan mengulas pandangan al-Qur'antentang kedudukan manusia sebagai individu dan anggotamasyarakat. Ia tidak memulai dari konsep dasar yang digunakanal-Qur'an untuk mengabsorbsikan manusia. Dalam tulisantersebut, juga dalam tulisan lain (Rahman, 1967) --yangmembahas amanah sebagai inti kodrat manusia-- uraian Rahmantidak berbeda dengan pembahasan al-Ghazali yang lebih klasik(Lihat Othman, 1960). Mungkin tulisan Mutahhari (tanpa tahun)dan beberapa tulisan lainnya (Lihat Mutahhari, 1986) membahaskarakteristik khas manusia yang lebih "maju" dari al-Ghazali,juga walaupun pendek tulisan al-Faruqi (1404: 332). Sayangnya,seperti Fazlur Rahman, mereka meneliti ayat-ayat al-Qur'anyang berkenaan dengan manusia, lalu menyimpulkan secarainduktif. Yang kita perlukan di sini, sebetulnya menemukan
bagaimana al-Qur'an memberi makna tentang konsep-konsep dasarmanusia. Dengan kata lain, kita mengidentifikasikanistilah-istilah al-Qur'an tentang manusia, kemudian mengenalbidang semantik setiap istilah itu, sebagaimana digunakandalam al-Qur'an.
Saya sangat terkesan dengan Izutsu (1964, 1965) yangmemperkenalkan metodologi semantik [2] dalam memahamikonsep-konsep dasar al-Qur'an. Tidak mungkin dalam makalahini, saya menguraikannya secara terperinci. Izutsu sendiriberkata, Unfortunately, what is called semantics today is sobewilderingly complicated. It is extremely difficult, if notabsolutely impossible, for an outsider even to get a generalidea of what it is like (Izutsu, 1964: 10). Malangnya disamping makalah ini tidak dimaksudkan untuk itu, penulismakalah ini juga outsider. Jadi, dengan resiko salah beberapalangkah.
Pertama, kita memilih istilah-istilah kunci (key-terms) darivocabulary al-Qur'an, yang kita anggap merupakan unsurkonseptual dasar dari Weltanschauung Qur'ani ini. Kedua, kitamenentukan makna pokok (basic meaning) dan makna nasabi(relational meaning). Makna pokok yang berkenaan denganconstant semantic element which remains attached to the wordwhereever it goes and however it is used (Izutsu, 1964: 19).Makna nasabi adalah makna tambahan yang terjadi karena istilahitu dihubungkan dengan konteks di mana istilah itu berada.Ketiga, kita menyimpulkan weltanschauung yang menyajikankonsep-konsep itu dalam satu kesatuan.
Ketika Izutsu membahas kosep Tuhan dan manusia dalamal-Qur'an, ia menyebut pembahasannya sebagai semantics of theKoranic weltanschauung. Ia mengambil konsep Allah sebagaiistilah kunci dan menjelaskan hubungan konsep itu denganmanusia. Ia menyebutkan tiga hubungan ontologis, hubungankomunikasi nonlinguistik, dan hubungan komunikasi linguistik.Ia sama sekali tidak menyebut berbagai konsep yang digunakanal-Qur'an untuk merujuk manusia. Tulisan ini mengambil jalanlain. Pertama, akan dibahas istilah-istilah kunci manusia danbidang semantiknya. Kedua, akan dibahas implikasi dari bidangsemantik tersebut untuk memperoleh gambaran tentangWeltanschauung Qur'ani.
BASYAR, INSAN, DAN AL-NAS
Dalam al-Qur'an, ada tiga istilah kunci yang mengacu kepadamakna pokok manusia: basyar, insan, dan al-Nas. Adakonsep-konsep lain yang jarang dipergunakan dalam al-Qur'andan dapat dilacak pada salah satu di antara tiga istilah kuncidi atas, unas, anasiy, insiy, ins. Unas disebut lima kalidalam al-Qur'an (2:60; 7:82; 70:160; 17:71; 27:56) danmenunjukkan kelompok atau golongan manusia. Dalam QS. 2:60,misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12 golongan dalamBani Israil. Surat 17:21 dengan jelas menunjukkan makna inipada hari kami memanggil setiap unas dengan imam mereka.Anasiy hanya disebut satu kali (25:49). Anasiy dalam bentukjamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh jugabentuk jamak dari insiy, seperti kursiy, menjadi karasiy(Lihat al-Thabrasi, 1937), yang merupakan bentuk lain dari
insan. Ins disebut 18 kali dalam al-Qur'an, dan selaludihubungkan dengan jinn sebagai pasangan makhluk manusia yangmukallaf (6:112, 128, 130; 7:38, 179; 17:88; 27:17; 41:25, 29;46:18; 51:56; 55:33, 39, 56, 74; 72:5, 6).
Basyar. Marilah kita kembali kepada ketiga istilah kunci tadi.Basyar disebut 27 kali. [3] Dalam seluruh ayat tersebut,Basyar memberikan referensi pada manusia sebagai makhlukbiologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata, Tuhanku,bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidakdisentuh Basyar (3:47); atau bagaimana kaum yang diseru paranabi menolak ajarannya, karena nabi hanyalah Basyar --manusiabiasa yang "seperti kita," bukan superman. Kata Basyardihubungkan dengan mitslukum (tujuh kali) dan mitsluna (enamkali) diantara ayat-ayat tersebut di muka. Nabi Muhammad saw,disuruh Allah menegaskan bahwa secara biologis, ia sepertimanusia yang lain, Katakanlah, aku ini manusia biasa (Basyar)seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialahTuhan yang satu (18:110; 41:6). Tentang para Nabi, orang-orangkafir selalu berkata, Bukankah ia Basyar seperti kamu, iamakan apa yang kamu makan, dan ia minum apa yang kamu minum(33:33). Ayat ini ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka berkata,Bukankah Rasul itu memakan makanan dan berjalan-jalan dipasar; dan QS. 25: 20, Dan tidak Kami utus sebelummu parautusan kecuali mereka itu memakan makanan dan berjalan-jalandi pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampananYusuf as., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan Basyar, tapiini tidak lain kecuali malaikat yang mulia (12:31).
Secara singkat konsep Basyar selalu dihubungkan dengansifat-sifat biologis manusia: makan, minum, seks, berjalan dipasar. Dari segi inilah, kita tidak tepat menafsirkan Basyarunmitslukum sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa.Kecenderungan para Rasul untuk tidak patuh pada dosa dankesalahan bukan sifat-sifat biologis, tapi sifat-sifatpsikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya untuk tidakmenafsirkan Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentukyang sebaik-baiknya (95: 4) dengan menunjukkan karakteristikfisiologi manusia. Yusuf Ali (1977: 1759) dengan tepatmenafsirkan ayat ini to man God gave the purest and the bestnature, and man's duty is to preserve the pattern on which Godhas made him (QS 30:30). Al-Syaukani (1964, 5: 465)menyebutkan umumnya para mufasir mengartikan ayat ini untukmenunjukkan kelebihan manusia secara fisiologis: berjalantegak, dan makan dengan menggunakan tangan. Tapi Ibn 'Arabiberkata, Tak ada makhluk Allah yang lebih bagus daripadamanusia. Allah membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa,berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan,dan ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.
Insan. Sekali lagi, kekeliruan penafsiran, umumnya paramufassir bermula dari salah paham tentang semantic fieldistilah insan, yang berbeda dengan Basyar. Insan disebut 65kali dalam al-Qur'an. [4] Kita dapat mengelompokkan konteksinsan dalam tiga kategori. Pertama, Insan dihubungkan dengankeistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah. kedua,Insan dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia.Dan ketiga Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia.Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan kemudian,semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau
spiritual.
Pada kategori pertama, kita melihat keistimewaan manusiasebagai wujud yang berbeda dengan hewani. Menurut al-Qur'an,manusia adalah makhluk yang diberi ilmu, Yang mengajar denganpena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya. [5] (96: 4,5), "Ia mengajarkan (insan) al-bayan" [6] (55: 3). Manusiadiberi kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalarnya. Karenaitu juga, kata insan berkali-kali dihubungkan dengan katanazhar. Insan disuruh menazhar (merenungkan, memikirkan,menganalisis, mengamati) perbuatannya (79: 35), prosesterbentuknya makanan dari siraman air hujan hinggaterbentuknya buah-buahan (80: 24-36), dan penciptaannya (86:5). Dalam hubungan inilah, setelah Allah menjelaskan sifatinsan yang tidak labil, Allah berfirman, Akan Kami perlihatkankepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam semesta ini danpada diri mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itual-Haq (41: 53).
Kedua, manusia adalah makhluk yang memikul amanah (33: 72).Menurut Fazlur Rahman (1967: 9), amanah adalah menemukan hukumalam, menguasainya atau dalam istilah al-Qur'an "mengetahuinama-nama semuanya" dan kemudian menggunakannya, denganinisiatif moral insani, untuk menciptakan tatanan dunia yangbaik. (Al-Thabathabai, tt, 351-352) mengutip berbagai pendapatpara mufassir tentang makna amanah dan memilih makna amanahsebagai predisposisi (isti'dad) untuk beriman dan mentaatiAllah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia sebagaipemikul al wilayah al-ilahiyyah. Amanah inilah yang dalamayat-ayat lain disebutkan sebagai perjanjian (ahd, mitsaq,'isr). [7] Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkansecara metaforis [8] dalam surat 7:172.
Ketiga, karena manusia memikul amanah, maka insan dalamal-Qur'an juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (75:36; 75:3; 50:16). Ia diwasiatkan untuk berbuat baik (29:8;31:14; 46:15); amalnya dicatat dengan cermat untuk diberibalasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya (53: 39). Karenaitu, insanlah yang dimusuhi setan (17:53; 59:16) danditentukan nasibnya di hari Qiyamat (75:10, 13, 14; 79:35;80:17; 89:23).
Keempat, dalam menyembah Allah, insan sangat dipengaruhilingkungannya. Bila ia ditimpa musibah, ia cenderung menyembahAllah dengan ikhlas; bila ia mendapat keberuntungan, iacenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik (10:12; 11:9;17:67; 17:83; 39:8, 49; 41:49, 51; 42:48; 89:15).Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan denganpredisposisi negatif pada diri manusia. Menurut al-Qur'an,manusia itu cenderung zalim dan kafir (14:34; 22:66; 43:15),tergesa-gesa (17:11; 21:37), bakhil (17:100), bodoh (33:72),banyak membantah atau mendebat (18:54; 16:4; 36:77), resah,gelisah, dan segan membantu (70:19; 20,21), ditakdirkan untukbersusah payah dan menderita (84:6; 90:4), tidak berterimakasih (100:6), berbuat dosa (96:6; 75:5), meragukan hariakhirat (19:66).
Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategoripertama, insan menjadi makhluk paradoksal, yang berjuangmengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan:
kekuatan mengikuti fitrah (memikul amanat Allah) dan kekuatanmengikuti predisposisi negatif. Kedua kekuatan ini digambarkandengan kategori ayat-ayat ketiga.
Secara menarik proses penciptaan manusia atau asal kejadianmanusia dinisbahkan pada konsep insan dan Basyar sekaligus.Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, saripatitanah, tanah (15:26; 55:14; 23:12; 32:7). Demikian pula Basyarberasal dari tanah liat, tanah (15:28; 38:71; 30:20) dan air(25:54). Ini mendorong saya untuk menyimpulkan bahwa prosespenciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristikBasyari dan karakteristik insani. Menurut Qardhawi (1973: 76),manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi(bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsurmaterial dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsurBasyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabungdalam keseimbangan. "Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangihak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh iamengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh," kata AbbasMahmud al-'Aqqad (1974, 7:381).
Al-Nas. Konsep kunci ketiga ialah al-Nas yang mengacu padamanusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang palingbanyak disebut al-Qur'an (240 kali, lihat 'Abd al-Baqi,al-Mu'jam; pada kata al-Nas). Tak mungkin dalam makalahsingkat ini, kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilahal-Nas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yangmemperkuat pertanyaan pada awal paragraf ini --yakni, al-Nasmenunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial.
Pertama, Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosialdengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal denganungkapan wa min al-Nas (dan diantara sebagian manusia). Denganmemperhatikan ungkapan ini, kita menemukan kelompok manusiayang menyatakan beriman, tapi sebetulnya tidak beriman (2:8),yang mengambil sekutu terhadap Allah (2:165), yang hanyamemikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orangdalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi memusuhikebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu,petunjuk, dan al-Kitab (22:3,8; 31:20), yang menyembah Allahdengan iman yang lemah (22:11; 29:10), yang menjualpembicaraan yang menyesatkan (31:6); di samping ada sebagianorang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari kerelaanAllah.
Kedua, dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapatmenyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kwalitasrendah, baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurutal-Qur'an sebagian manusia itu tidak berilmu (7:187; 12:21;28,68; 30:6, 30; 45:26; 34:28,36; 40:57), tidak bersyukur(40:61; 2:243; 12:38), tidak beriman (11:17; 12:103; 13:1),fasiq (5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92), kafir(17:89; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22:18).Ayat-ayat ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkansedikitnya kelompok manusia yang beriman (4:66; 38:24; 2:88;4:46; 4:155), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran(18:22; 7:3; 27:62; 40:58; 69:42), yang bersyukur (34:13;7:10; 23:78; 67:23; 32:9), yang selamat dari azab Allah(11:116), yang tidak diperdayakan syetan (4:83). Surat 6116
menyimpulkan bukti kedua ini, Jika kamu ikuti kebanyakan yangada di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jolan Allah.
Ketiga, al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk al-Qur'an bukanlahhanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tapi jugamanusia secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan al-Qur'andengan petunjuk atau al-Kitab (57:25; 4:170; 14:1; 24:35;39:27; dan sebagainya).
WELTANSCHAUUNG QUR'ANI TENTANG MANUSIA
Dari uraian di muka tampak al-Qur'an memandang manusia sebagaimakhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana adahukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologismanusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusiasebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.
Manusia sebagai Basyar berkaitan dengan unsur material, yangdilambangkan manusia dengan unsur tanah. Pada keadaan itu,manusia secara otomatis tunduk kepada takdir Allah di alamsemesta, sama taatnya seperti matahari, hewan dantumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musayyar. Namun manusiasebagai insan dan al-Nas bertalian dengan unsur hembusanIlahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikankekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Iamenjadi mahkluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifatrabbaniah menurut ungkapan Ibn Arabi, seperti sama', bashar,kalam, qadar. Ia mengemban wilayah Ilahiyah, seperti kataal-Thabathabai. Karena itu, ia dituntut untuk bertanggungjawab.
Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positifsekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban manusia ialahmemenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusiatetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkritkesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari'at Islamyang dirancang sesuai amanah. Al-Qur'an tak lain merupakanrangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhijanjinya itu.
Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia yangmembedakannya dari binatang, yaitu potensi mengembangkan imandan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut 'amalshalih. "Karenanya, kita menyimpulkannya bahwa ilmu dan imanadalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.Inilah hakikat kemanusiaannya," tulis Mutahhari (tt.: 17).Keduanya harus dikembangkan secara seimbang.
Dalam pandangan al-Qur'an, sedikit sekali orang yang dapatmengembangkan ilmu dan iman ini sekaligus. Sedikit orang yangberiman, sedikit orang yang berilmu, dan lebih sedikit lagiorang yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yangdisebut al-Qur'an, "Allah mengangkat derajat orang-orang yangberiman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu" (QS.58:11). Makna hidup manusia diukur sejauh mana ia berhasilberamal sebaik-baiknya, yakni sejauh mana ia mengembangkaniman dan ilmunya. Ia lah yang menciptakan kehidupan dankematian untuk menguji kamu siapa diantara kamu yang palingbaik amalnya (QS. 67:2). Sesungguhnya kami jadikan apa yangada dipermukaan bumi sebagai perhiasan untuk menguji mereka,
siapa diantara mereka yang paling baik amalannya (18:7). BilaSartre mengatakan hidup ini absurd, al-Qur'an menyatakan hidupini medan untuk membuktikan 'amal shalih.
CATATAN
1. Obyek formal dari filsafat manusia ialah inti manusia, alam kodratnya strukturnya yang fundamental. "Apa yang ingin ditelaah bukanlah suatu makhluk, sebuah benda, tapi suatu prinsip adanya (principe d'etre). Sesuatu yang olehnya manusia menjadi apa yang terwujud, sesuatu yang olehnya manusia mempunyai karakteristik yang khas, sesuatu yang olehnya ia merupakan sebuah nilai yang unik." tulis Leahy (1985: 11) 2. Metodologi semantik didefinisikan sebagai an analytic study of the key-terms of language with a view to arriving eventually at a conceptual grasp of the Weltanschauung or world-view of the people who use that language as tool not only of speaking and thinking, but, more important still, of conceptualizing and interpreting the world that surround them (Izutsu, 1964:11) 3. Lihat al-Baqi, al-Mu'jam. 4. Karena banyak, pembaca dianjurkan melihat sendiri dalam Al-Baqi, Mu'jam. 5. Dr Muhammad Mahmud Hijazi (1968,30:65) menjelaskan ayat ini, "Allah telah memberi manusia gairah dan kemampuan untuk meneliti dan menyelidiki untuk mengadakan percobaan sehingga sampai pada pengetahuan tentang rahasia alam semesta serta tabiat segala hal. Lalu ia menundukkan semuanya untuk berbakti memenuhi kehendak manusia." 6. Al-Bayan ditafsirkan sebagai kemampuan berbicara, pengetahuan tentang halal dan haram, kemampuan mengembangkan ilmu. Lihat al-Syaukani (1964, 5:131), al-Thabathabai (TT, 19:95) 7. Abd al-Karim Biazar menulis tentang the Covenant in the Qur'an sebagai kunci yang mempersatukan ayat-ayat dalam setiap surat al-Qur'an. Surat-surat dalam al-Qur'an mengingatkan manusia pada perjanjian Allah, yang terdiri dari pihak pertama (Allah) pihak kedua (Manusia), nikmat Allah, daftaer kondisi yang harus dipenuhi pihak kedua, janji, ancaman, saksi, sumpah dengan ayat-ayat Allah, tanda-tanda yang berjanji, dan pelajaran dari masa lalu. Biazar (1366) banyak memberikan contoh-contoh yang menarik. 8. Tentang perjanjian manusia di alam dzarrah ini, terjadi banyak ikhtilaf di kalangan mufassir. Uraian berbagai pendapat tersebut beserta kritiknya disajikan lengkap oleh Subhani (1400:75 106).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abd al Baqi, Muhammad Fuad, Tanpa tahun, Al-Mu'jam al MufahrasLi al-Alfazh al Qur'an al-Karim, Beirut: Dar el-fikr.
Al-'Aqqad Abbas Mahmud, 1974, "Al-lnsan fil Qur'an" dalam
Al-A'mal al-Kamilah, jilid 7, Beirut: Dar al-Kutub al-Lubuani.
Al-Faruqi, Ismail, 1404, "Nazhriyat al-lnsan fi 'l- Qur'an,"al-Tawhid, no 9, tahun 2.
Ali, Yusuf 1977, The Holy al-Qur'an American TrustPublication.
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali. 1964, Fath al-Qadir Kairo:Mustafa Al-Babi al-Halbi.
Al-Thabathabai, Muhamad Hussein, Al-Mizan fi 'l-Tafsiral-Qur'an, Qum: Al-Hauza al-Ilmiyah.
Al-Thabrasi, Abu Ali Al-Fadhl, 1937. Majma' al-Bayan, Sida:A1-Irfan
Bakker, Dirk. 1966, Man in The Qur'an, Amsterdam: DrukkerrijHolland NV:
Biazard, Ahd al Karim, 1356. The Covenant in The Koran,Penerbit tidak diketahui.
Boisard, Marcel A, 1978, L'humanisme de L'Islam, Paris: AlbinMichel.
Hijazi, Muhammad Mahmud, 1968, Al-Tafsir al-Wadhih Kairo:A1-Istiqdal al-Kubra.
Izutsu, Toshihiko. 1964, God and Man in The Koran, Tokyo KeioInstitute of Cultural and Linguistic Studies.
------, 1966, Ethico Religious Concepts in the Qur'an,Montreal: McGill University Press.
Leahy, Louis, 1986, Manusia: Sebuah Misteri, Jakarta:Gramedia.
Mutahhari, Murtadha, Tanpa tahun, Al-Insan wa 'l-Iman Teheran:Muassasah al-Bi'tsah.
------, 1986. Manusia dan Agama, Bandung: Mizan.
Othman, Ali Issa, 1960, The Concept of Man in Islam in thewritings of Al Ghazali, Kairo: Dar al-Maaref
Qardhawi, Yusuf. 1973. Al-Iman wa 'l-Hayat, Maktabah Wahbah.
------, 1977. Al-Khashaish al-Amimah li 'l-Islam. MaktabahWahbah
Rahman, Fazlur, 1965, The Qur'anic Concept of God, theuniverse, and Man. Islamic Studies, March 1967, VI: 1.
------, 1980. Major Themes of the Qur'an. Chicago: BibliothecaIslamica
Subhani, Ja'far, 1400. Ma'alim al-Tawhid fi 'l-Qur'anal-Karim. Qum: Antara lain Khayyam.
--------------------------------------------Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam SejarahEditor: Budhy Munawar-RachmanPenerbit Yayasan ParamadinaJln. Metro Pondok IndahPondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21Jakarta SelatanTelp. (021) 7501969, 7501983, 7507173