repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12293/2/t1_712010023_full... ·...

35

Upload: vubao

Post on 03-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Sikap Gereja Terhadap Perempuan Alor Yang Mengalami Kekerasan Setelah DiBelis

Di Jemaat GMIT Pola Tribuana Kalabahi

NELCY SALLY

712010023

PENDAHULUAN

Setiap daerah mempunyai tradisi atau tata cara ritual perkawinan yang terwarisi

secara turun temurun dari adat istiadat para leluhur. Jika berbicara tentang perkawinan, maka

tidak terlepas dari fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat,merupakan suatu

keharusan di dalam pengurusan nilai-nilai “mas kawin”.1 Ikatan perkawinan bukan semata-

mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban

suami-isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua tetapi juga

menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan

ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.2

Mas Kawin di kepulauan Alor sering disebut belis, pada umumnya di setiap daerah

mempunyai ciri khas, bentuk dan nilainya berbeda-beda. Khususnya di Kepulauan Alor

belisnya berbentuk gendang yang disebut Moko. Bentuk perkawinan yang dipegang ialah

bentuk “perkawinan jujur” ialah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran

“jujur” dari pihak pria kepada pihak wanita.3

Dengan diterimanya uang atau barang jujur yang berupa moko oleh pihak wanita,

maka berarti setelah perkawinan wanita tersebut akan mengikatkan diri pada perjanjian untuk

ikut pada pihak suami. Setelah isteri berada ditangan suami maka isteri dan segala perbuatan

hukumnnya harus berdasarkan pada persetujuan suami. Isteri juga tidak boleh bertindak

sendiri, oleh karena ia adalah “pembantu” suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga

baik hubungan kekerabatan maupuan dalam hubungan kemasyarakatan.4

Dalam konteks yang demikian laki-laki menjadi norma, penjaga, ketertiban

masyarakat, kepala keluarga, ahli waris, penerus fam (marga) keluarga, penentu keputusan.

1 Vn Montolalu (ed), Sejarah dan Budaya Kepulauan Alor: Mas Kawin (BELIS) “Moko”, Alor, 2012, p 80

2 Prof . H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat Indonesia : Perkawinan Menurut Adat,

Bandung, 1990, p 8 3

Prof. H Hilman Hadikusuma, Hukum perkawinan Adat : Pemberiaan atau Pembayaran Adat, Bandung, 1977, p 57 4 Hilman Hadikusuma, Hukum perkawwinan adat: Bentuk- Bentuk Perkawinan, Bandung. 1977, p73

2

Laki-laki adalah pelindung dan pemilik perempuan. Oleh karena itu dalam budaya NTT

perempuan adalah pribadi yang harus tunduk dan taat kepada laki-laki dan juga perempuan

harus melayani semua kepentingan laki-laki.

Idealnya dalam pernikahan Kristen antara laki-laki dan perempuan tidak boleh ada

bias gender yang ada seharusnya adalah kesetaraan gender antara laki-laki maupun

perempuan. Hal ini tergambar dari jawaban Tuhan Yesus yang mengutip pada Kejadian 2:24

:

Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu

laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga

keduanya menjadi satu daging. Demikanlah mereka bukan lagi dua melainkan satu.

Karena apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia5”

Melalui jawaban itu maka perkawinan ialah suatu kemitraan yang sejajar antara laki-laki

dan perempuan. Tetapi kini gender lebih mengacu pada perbedaan antara perempuan dan

laki-laki yang dibuat melalui proses sosial dan budaya yang panjang.6

Perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak menimbukan

ketidakadilan gender. Namun perbedaan gender ternyata menjadi masalah karena telah

mengakibatkan berbagai ketidakadilan gender, baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum

perempuan. Ketidakadilan karena perbedaan gender itu terwujud dalam berbagai bentuk

ketidakadilan terhadap perempuan yakni: marginalisasi perempuan, subdordinasi perempuan,

stereotip jenis kelamin, beban kerja lebih berat dan kekerasan terhadap perempuan.7

Hal yang terjadi justru praktek kawin belis memberikan keuntungan juga untuk para

pemimpin dan orangtua mempelai perempuan, sementara bagi para laki-laki terbuka

kemungkinan bagi poligami atau kawin cerai, manakala istri yang diperoleh dengan kawin

belis tidak lagi berkenan atau memilki kelemahan yaitu tidak dapat memberikan anak kepada

suaminya maka perempuan tersebut dengan begitu saja dapat diceraikan oleh suaminya.8

Dengan demikian perempuan juga mengalami double penindasan, yaitu secara fisik dan

secara psikis ( dihakimi oleh perasaan bersalah).9

Masalah yang muncul ialah belis yang fungsinya merupakan kehormatan dari pihak

keluarga laki-laki terhadap perempuan justru sekarang berubah fungsi menjadi sebuah

5 Dr. Asnath N. Natar, Ketika Perempuan Berteologi: Perceraian karena kekerasan bolehkah?, Yogyakarta.

2004,p 1276. 6 Mansour Fakih, Menggeser Konsepesi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta,1996,p 8

7 Acmad Muthalin, Bias Gender dalam Pendidikan: Ketidakadilan Gender, Surakarta, p 32-41

8 Ebenhaizer Nuban Timo (ed), Rote Punya Cerita: Kawin belis dan Kawin Gereja,p 83

9 Dr. Asnath N Natar, Ketika Perempuan Berteologi: Perceraian karena kekerasan bolehkah?, Yogyakarta. 2004,

p 122

3

tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, dikarenakan pihak dari keluarga

perempuan sudah menyerahkan secara utuh anak perempuannya kepada pihak laki-laki

dengan harga sebuah belis berupa “moko”. Jika dari pihak laki-laki sudah memenuhi syarat-

syarat yang diminta maka perempuan itu sudah bisa diambil dan dibelis10

. Dampaknya bagi

perempuan yang mengalami kekerasan ialah jika mereka menceritakan persoalannya kepada

pendeta maka pendeta hanya menasehati agar kembali lagi ke rumah dan berbaikan lagi

dengan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan oleh para ibu-ibu termasuk orangtuanya

yang meminta istri agar lebih sabar lagi untuk melayani suami sehingga tidak dipukuli dan

mengalami kekekasan tersebut.11

Dalam kehidupan budaya dan agama kesadaran mengenai kesetaraan antara laki-laki

dan perempuan masih sangat sempit lingkupnya.12

Gereja yang seharusnya menjadi wadah

dan menyuarakan aspirasi perempuan justru menjadi salah satu lembaga yang diskriminatif

pada perempuan. Kata “Gereja” secara umum ialah berasal dari bahasa Yunani kyriakos yang

berarti, “milik kepunyaan Tuhan” namun juga merupakan kata yang dipakai untuk

menerjemahkan sebuah istilah dari Perjanjian Baru, yakni ekklesia, yang berarti “paguyuban”

atau “perkumpulan” dan yang menjadi dasar bagi panggilan khusus bahwa mereka yang telah

diselamatkan l oleh Allah untuk melayani dunia12

Gereja juga memiliki tugas dan panggilan

untuk melindungi mereka yang tertindas dan miskin, sekaligus juga mempunyai tugas untuk

mempertahankan keutuhan keluarga.13

Permasalahan yang muncul di GMIT Pola Tribuana Kalabahi adalah gereja belum

bisa untuk turut campur tangan dalam belis kawin yang dialami oleh warga jemaat sehingga

mengakibatkan adanya penyalahgunaan dari belis itu sendiri yang membuat adanya

perbedaan dan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan. Sikap seperti ini yang

mengindikasikan bahwa gereja cenderung bukan untuk menyelamatkan kehidupan keluarga,

secara khusus kaum perempuan yang mengalami kekerasan yang membuat gereja tidak

memiliki kepekaan terhadap persoalan- persoalan yang ada meliputi kekerasan karena

praktek belis yang dialami oleh warga jemaat terkhususnya kaum perempuan.

Menurut Kamla Bahsin, istilah patriarki secara harafiah berarti kekuasaan

bapak/patriarch, untuk menyebut suatu jenis keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki. 10

Vn Montolalu (ed), Sejarah dan Budaya Kepulauan Alor : Mas Kawin Belis (MOKO), Alor,2012,p 88 11

Asnath Natar, Ketika Perempuan Berteologi: Bolehkan Bercerai?, Yogyakarta 2004, p 12 12

J. B Banawiratma, “Kata Pengantar “, dalam Asnath Natar (ed): Perempuan Indonesia: Berteologi Feminis dalam konteks Indonesia, Yogyakarta, 2004, p 11 13

M. Yosef Florisan (ed),” Memperkenalkan Teologi Feminis,Maumere 2002

4

Sekarang istilah ini yang digunakan lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, suatu

hubungan kuasa yang menguasai perempuan dan untuk menyebut sistem yang membuat

perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara.14

Melihat akan kasus ini maka

kekuasaan laki-laki yang ada dimasyarakat Alor masih dipegang secara utuh dikarenakan

belis yang masih melekat sehingga membuat laki-laki akan bertindak secara tidak adil kepada

perempuan.

Diharapkan dari kasus ini ialah agar tidak ada kekerasan yang dialami oleh

perempuan sebagai korban dari “belis”. Seharusnya gereja lebih serius menangani

permasalahan ini dengan memberikan sosialiasi agar jelas bagaimana sikap keberpihakan dan

kepedulian bagi warga jemaat yang mengalami tindakan yang tidak kristiani dan manusiawi.

Berdasarkan apa yang dikutip maka peneliti mengambil judul “ Sikap gereja terhadap

perempuan Alor yang mengalami kekerasan setelah dibelis dijemaat GMIT Pola Tribuana

Kalabahi.

1.1 Rumusan Masalah

1. Bagaimana tindakan gereja terhadap para korban kekerasan dari praktek belis

tersebut.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan wujud tindakan gereja terhadap perempuan yang menjadi

korban kekerasan karena belis.

1.3 Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian diatas , maka manfaat

yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan kepada GMIT

terkhususnya di GMIT Pola Tribuana Kalabahi sehingga gereja bisa untuk

memberikan perhatian yang serius terhadap praktek belis serta dampak kekerasan

yang harus dialami oleh perempuan, diharapkan hasil penelitian ini juga akan

menjadi bermanfaat bagi pengembangan GMIT yang akan datang.

14

Kamla Basin, Menggugat Patriakhi : Pengantar tentang persoalan dominasi terhadap kaum perempuan, Yogyakarta-Jakarta, 1996, p1

5

1.4 Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Kualitatif, yang digunakan sebagai

rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi, dari keadaan sewajarnya dalam

kehidupan suatu objek, dihubungkan dengan suatu pemecahan masalah, baik dari sudut

pandang teoritis maupun praktis.15

2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik Wawancara,

FGD dan Studi Pustaka

A. Wawancara

Wawancara bertujuan untuk mendapatkan keterangan tentang masalah yang

diteliti, dengan percakapan tatap muka.16

Sumber datanya ialah pendeta, para majelis

dan tetua adat.

A. Studi Pustaka

Studi pustaka bermanfaat untuk menyusun landasan teoris yang akan menjadi tolak

ukur untuk menganalisa hasil interpretasi data penelitian lapangan guna menjawab persoalan

pada rumusan dan tujuan masalah serta penyusunan kerangka teoritik untuk menyusun

hipotesis dan membuktikan hipotesa masalah yang diteliti.17

B. FGD ( Focus Group Discussion)

FGD berarti suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistemmatis

mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok.18

15

J. D. Enggel. Metode Penelitian dan Teologi Kristen: Metode Penelitian Sosial dan Teknik Pengumpulan Data,Salatiga,2005,p 32-33

16 J. D Enggel. Metode Penelitian dan Teologi Kristen : Metode Penelitian Sosial dan Teknik

Pengumpulan Data, Salatiga, 2005, p 32-33 17

J. D. Enggel. Metode Penelitian dan Teologi Kristen : Metode Penelitian Sosial dan Teknik Pengumpulan Data, Salatiga, 2005, p 32-33 18

Irwanto, Ph.D. Focus Group Discussion (FGD) Sebuah Pengantar Praktis : Serba-Serbi FGD,Jakarta,2006, p 1-2

6

Sumber datanya adalah warga jemaat baik yang mengalami maupun tidak mengalami

kekerasan karena belis.

1.5 Sistematika Penulisan

Bab I Latar belakang yang terdiri dari:

A. Rumusan Masalah

B. Tujuan Penelitian

C. Manfaat Penelitian

D. Metode Penelitian

Bab II Teori, teori rujukan yaitu

A. Gereja dan fungsinya sebagai lembaga pelayanan bagi yang menderita (

Diakonia Transformatif)

B. Budaya Belis

C. Jender dan Kekerasan

Bab III Hasil Penelitian dan Analis

Bab IV Refleksi Teologis

Bab V Penutup dan Saran

7

BAGIAN II

LANDASAN TEORI

Pada bagian ini akan di paparkan teori-teori sebagai rujukan penelitian yang akan dipakai

pada waktu penelitian. Teori-teori yang dibahas ialah:

1. Gereja dan fungsinya sebagai lembaga pelayanan bagi yang menderita (Diakonia

Transformatif).

2. Budaya Belis

3. Ketidakadilan Jender

2. 1 Gereja dan fungsinya sebagai lembaga pelayanan bagi yang menderita (Diakonia

Transformatif)

Gereja mempunyai arti “ milik kepunyaan Tuhan”, namun juga merupakan kata yang

dipakai untuk menerjemahkan sebuah istilah dari Perjanjian Baru, ekklesia yang berarti

“paguyuban” atau “perkumpulan”. Secara tradisional, umat yang berkumpul disatukan dari

beraneka ragam lapisan masyarakat, “dalam Kristus” (Roma 8:1, Filipi 1:1).19

Tugas gereja ialah:

1. Koinonia (Persekutuan Roh)

Gereja sebagai koinonia diumpamakan Tubuh Kristus. Di dalam Tubuh Kristus juga

semua orang menjadi satu, dan satu dalam semua tubuh Kristus ( 1Kor 12: 26). Dalam

persekutuan koinonia ibadah juga berperan untuk merefleksikan kekudusan persekutuan,

menjadi pusat penyampaian syukur dan terima kasih kepada Tuhan Allah atas seluruh berkat

yang melimpah dalam gereja misalnya dalam perkawinan.20

Oleh sebab itu jemaat adalah

persekutuan yang tidak bercacat, karena itu ia harus hidup di dalam kemurnian.21

2. Marturia ( Mengaku dan Bersaksi)

19

M. Yosef Florisan (ed),” Memperkenalkan Teologi Feminis,Maumere 2002 20

Midiankhsirait.wordpress.com/2012/01/18/koinonia-marturia-diakonia/ diunduh tanggal 04-Agustus-2014 pukul 21.04 21

Dr.J.L. Ch. Abineno, Djemaat ( wujud, peraturan,susunan,pelayanan dan pelayan-pelayananya) : Djemaat sebagai persekutuan roh, Djakarta,1965, p 13

8

Gereja hadir untuk dapat memberitakan dan menyaksikan berita keselamatan kepada

semua makhluk. Pemberitaan dan kesaksian itu harus dilakukan oleh orang percaya baik

secara individu maupun sebagai persekutuan.Oleh sebab itu tugas gereja sebagai marturia

harus dilakukan oleh persekutuan gereja baik individu maupun persekutuan masing-masing.22

Bersaksi memiliki pengertian bahwa mengatakan apa yang jemaat percaya dan akui kepada

orang lain dengan maksud orang itu datang kepada Kristus dan jemaat terpanggil bukan saja

untuk mengaku tetapi untuk bersaksi karena Tuhan menghendaki agar semua orang beroleh

selamat.23

3. Diakonia ( Melayani)

Gereja hadir untuk memberikan pelayanannya kepada semua orang oleh karena

pemberitaan dan kesaksian tidaklah selalu dilaksanakan dengan kata-kata tetapi dengan

perbuatan atau pelayanan diakonia. Pelayanan diakonia juga mencakup upaya pemahaman

akar penyebab keprihatianan sosial sekaligus mengembangkan prakarsa pemberdayaan

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak kepada orang-orang mengalami

ketertindasan yang ada ditengah gereja itu sendiri. Jika gereja sudah bisa menghadirkan

diakonia yang baik maka gereja bisa untuk menjadi garam dan terang dunia di tengah-tengah

jemaat yang membutuhkan campur tangan dari gereja tersebut.24

Menurut Abineno bentuk pelayanan perlu dengan perkataan dan perbuatan yang

ditugaskan oleh Kristus kepada anggota-anggota jemaatnya. Mereka harus melayani menurut

pola yang diberikan kepada mereka yaitu pola hidupNya sendiri, pola hidup pejalan (Roma

15:8) dan pola hidup hamba (Filipi 2:7). Maka pelayanan (diakonia) ini bukan pekerjaan

moral, bukan juga sebagai pekerjaan amal tetapi memiliki arti yang lebih dalam lagi, yaitu

partisipasi yang sesungguhnya yang dalamnya menunjukan kepada penderitaan manusia.

Oleh sebab itu diakonia harus bersifat :

1. Diakonia bukan hanya pelayanan tambahan saja dari gereja.

2. Diakonia adalah pelayanan penuh yang ditugaskan oleh Kristus kepada gereja.

3. Diakonia adalah pelayanan kepada semua orang.

22

Midiankhsirait.wordpress.com/2012/01/18/koinonia-marturia-diakonia/ diunduh tanggal 04-Agustus-2014 pukul 21.04 23

Dr. J. L. Ch. Abineno, Djemaat (wujud,peraturan,susunan,pelayanan dan pelayan-pelayannya): Djemaat Jang Mengaku dan Bersaksi, Djakarta,1965, p 21

24Midiankhsirait.wordpress.com/2012/01/18/koinonia-marturia-diakonia/ diunduh tanggal 04-

Agustus-2014 pukul 21.04

9

4. Diakonia bukan hanya bersifat diakonia karikatif, tetapi harus memperhatikan juga

diakonia sosial itu sendiri.

5. Diakonia juga bertugas untuk mendirikan tanda-tanda syalom (kerajaan Allah).25

Dalam kaitan dengan hal-hal tersebut diakonia transformatif (pembebasan) bertujuan

untuk melakukan transformasi dari masyarakat yang tak bisa terhindar dan bagi mereka yang

berusaha melepaskan diri dari sebuah penindasan tersebut. Hal itu yang membuat gereja juga

harus bisa untuk mencerminkan Misi Allah yang membebaskan manusia dari penindasan dan

membuat gereja tidak hanya termanifestikan dengan ibadah dan sakramen saja.26

Diakonia transformatif memiliki tujuan ialah membebaskan para rakyat kecil dari

suatu belenggu strktural yang tidak adil atau suatu bentuk penindasan yang bukan hanya

sebuah diakonia yang hanya berusaha menolong,mencegah dan mengurangi sebab-sebab

terjadinya korban sosial dan penindasan tersebeut. Berkaitan dengan hal pembebasan dengan

perspektif gender gereja juga perlu melakukan transformasi untuk membebaskan dan

berpihak kepada orang-orang yang tertindas dalam hal ini perempuan sehingga ada

kesetaraan gender dan keadilan gender

2.2 Budaya Belis

Budaya belis sangat erat kaitannya dengan ideologi patriarkhi. Istilah Patriarkhi

secara harafiah berarti kekuasaan bapak/patriakh. Mulanya kata ini digunakan untuk

menyebut suatu jenis “keluarga yang dikuasai oleh kaum lak-laki”, yaitu rumah tangga besar

yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pelayan rumah

tangga yang semuanya di bawah kekuasaan sang laki-laki. Sekarang istilah ini digunakan

secara umum untuk menyebut kekuasan laki-laki, suatu hubungan kuasa dengan apa laki-laki

menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai

melalui bermacam-macam cara.27

Konsep belis seharusnya merupakan bentuk penghormatan dari pihak laki-laki

terhadap perempuan. Kearifan lokal dibalik adanya pengenaan belis ini adalah sebagai simbol

atau tanda mata. Khususnya yang berada di Kepulauan Alor belisnya berbentuk gendang

25

Dr. J. L. Ch. Abineno, Djemaat (wujud,peraturan,susunan,pelayanan dan pelayan-pelayannya): Diakonia,Djakarta,1965, p 91-95

26Judith Liem dan JB. Banawiratma (Eds), Diakonia Sebagai Misi Gereja ( Praksis dan Refleksi Diakonia

Transformatif) : Diakonia Transfomatif/Pembebasan, Yogyakarta,2009,p 114-115 27

Kamla Basin, Menggugat Patriakhi : Pengantar tentang persoalan dominasi terhadap kaum perempuan, Yogyakarta-Jakarta, 1996, p1

10

yang disebut “Moko”.28

Budaya belis sudah melekat dalam adat istiadat yang ada di

Kepulauan Alor dan terus menerus dijalankan sampai saat ini. Awalnya belis yang berupa

moko ini sebagai tanda penghormatan kepada perempuan. Seiring berjalannya waktu telah

berpindah menjadi sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap

perempuan,dikarenakan perempuan sudah tidak mendapatkan tempat yang layak. Perempuan

bisa “dibeli” dengan moko tersebut dan tentu saja dengan biaya mahal yang dilakukan

dengan penawaran-penawaranyang dilakukan oleh keluarga dan tetua-tetua adat setempat.

Dalam melakukan tradisi budaya belis sama sekali tidak ada diskusi yang

mempertimbangkan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan.29

Selain itu dampak

selanjutnya yang harus dialami oleh perempuan, dia selalu menjadi objek kekerasan dari laki-

laki sebagai suaminya. Di samping itu laki-laki akan bebas untuk melakukan banyak hal

termasuk melakukan suatu tindakan kekerasan.

Laki-laki selalu mendapatkan posisi yang pertama dan terutama sehingga membuat

praktek belis ini justru menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Budaya juga yang

menanamkan bahwa istri ialah hak milik dari suami. Lewat “belis” dan budaya jujur sebagai

harga untuk membeli perempuan sehingga setelah pernikahan dianggap wajar bila laki-laki

boleh melakukan apa saja terhadap perempuan yang menjadi miliknya. Budaya juga ikut

berperan menganggap segala bentuk tindakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga

atau keluarga merupakan masalah keluarga yang tidak boleh diketahui oleh orang luar.

2.3 Ketidakadilan Gender

Gender merupakan kontruksi budaya yang dijumpai hampir di setiap budaya yang ada

diIndonesia yang membuat adanya pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan.

Konstruksi gender memposisikan laki-laki harus bersifat kuat dan agresif sehingga laki-laki

yang harus berperan secara utuh dalam sektor publik sedangkan pada perempuan selalu

dipandang memiliki kesabaran dan kelembutan yang membuat perempuan memilki peran

hanya untuk bekerja di rumah, dengan mengasuh anak dan mengurus kebutuhan rumah

tangga. Hal ini yang membuat lingkup kehidupan dari perempuan hanya terbatas pada

sektor domestik semata. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang

tidak melahirkan ketidakadilan dari gender, tetapi menjadi masalah justru karena adanya

28

Vn Montolalu (ed), Sejarah dan Budaya Kepulauan Alor. Mas Kawin (BELIS) “Moko”, Alor. 2012, p 80 29

Ebenhaizer Nuban Timo (ed), Rote Punya Cerita : Kawin belis dan Kawin gereja, p83

11

ketidakadilan jender yang ditimbulkan pemasalahan itu yang harus dirasakan terkhususnya

kaum perempuan misalnya:

1. Marginalisasi perempuan, yaitu menyisihkan atau meminggirkan hak-hak dan posisi

perempuan. Berarti bahwa perempuan sulit mendapatkan kesempatan untuk menduduki

posisi yang lebih menguntungkan (termarginalkan) karena sudah didominasi oleh laki-laki

yang fungsinya ialah sebagai pencari nafkah tersebut.30

2. Subordinasi Perempuan. Perempuan selalu disubordinasi di bawah laki-laki dianggap

rendah sehingga dalam setiap pengambilan keputusan kedudukan perempuan tidak pada

posisi yang setara dengan laki-laki. Dalam budaya belis laki-laki selalu mendapatkan posisi

yang terutama dan selalu menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi karena

menganggap perempuan hanya berperan sebagai hak milik dari laki-laki.31

3. Stereotip Jenis Kelamin. Perempuan diberikan stereotip sebagai seseorang memiliki sifat

lemah lembut dan penyabar sehingga tugasnya ialah sebagai yang mengurus kehidupan

rumah tangga. Perempuan memliki peran hanya pada sektor domestik. Disamping itu laki-

laki justru selalu diberikan label sebagai yang pencari nafkah yang bisa untuk menghidupi

kehidupan keluarga dibanding dengan perempuan.32

4. Beban kerja lebih berat. Perempuan harus bekerja lebih banyak daripada laki-laki karena

di samping harus mengurus rumah tangga kebanyakan perempuan juga memilki peranan di

luar rumah (publik) untuk mencari nafkah. Oleh karena itu memilki kerja yang lebih

banyak(double) dibanding dengan laki-laki.33

5. Kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan yang harus dialami oleh perempuan bukan

secara fisik saja tetapi secara psikis, sosial dan spritual jika apa yang dilakukan oleh

perempuan tidak berkenan dengan kemauan laki-laki/ suami maka perempuan bisa

mendapatkan berbagai macam kekerasan yang harus ditanggungnya.34

Berbicara tentang kekerasan maka tentu saja tidak terlepas dari kekerasan pada

perempuan yang selalu menjadi korbannya. Pada hampir semua budaya selalu diajarkan agar

perempuan merahasiakan persoalan keluarganya dari orang lain karena dianggap “tabu”. Jika

30

Achmad Muthalin, Bias Gender dalam Pendidikan: Ketidakadilan Gender, Surakarta, p 32-41 31

Achmad Muthalin, Bias Gender dalam Pendidikan: Ketidakadilan Gender, Surakarta, p 32-41 32

Achmad Muthalin, Bias Gender dalam Pendidikan: Ketidakadilan Gender, Surakarta, p 32-41 33

Achmad Muthalin, Bias Gender dalam Pendidikan: Ketidakadilan Gender, Surakarta, p 32-41 34

Achmad Muthalin, Bias Gender dalam Pendidikan: Ketidakadilan Gender, Surakarta, p 32-41

12

rahasia itu sampai bocor kepada orang lain mengakibatkan perempuan akan mengalami

kekerasan. Oleh karena itu pada umumnya perempuan akan memilih diam dan

menyembunyikan persoalan yang dihadapinya.

Kekerasan mengandung pengertian, objek yang dikenai kekerasan menjadi “ tidak

berdaya” atau yang tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali.Dalam konteks ini

perempuan tidak dapat mengadakan perlawanan sama sekali. Kekerasan-kekerasan tersebut

di antaranya ialah:

1. Kekerasan Fisik, kekerasan yang dapat mengakibatkan pada tindakan fisik yang dapat

dirasakan akibatnya oleh korban dan dapat dilihat oleh siapa saja misalnya, pemukulan,

penganiyaan dan sebagainya.35

2. Kekerasan Non Fisik (Psikis), ialah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan

psikis berat pada seseoarang danyang bisa merasakannya ialah korban itu sendiri dan

tindakan yang dilakukan langsung menyinggung pada perasaan atau hati nurani seseorang.

Misalnya,penghinaan, merendahkan dan melukai hati istri,melarang istri bergaul, akan

menceraikan dan sebagainya.36

3. Kekerasan Ekonomi, kekerasan yang dilakukan dengan tidak memberikan nafkah yang

baik kepada istri sehingga istri merasa ditindas misalnya, tidak menafkahi istri dan

membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasi oleh suami.37

4. Kekerasan Spiritual,kekerasan yang dilakukan dengan tidak turut campur tangan dalam

permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dalam hal ini gereja yang belum bisa turut hadir

dan peduli dengan keadaan perempuan yang mengalami kekerasan karena belis tersebut.

5. Kekerasan Seksual, kekerasan yang harus dialami oleh perempuan karena adanya

pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau disetujui oleh istri

dan juga disebabkan karena adanya pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya.38

35

Moerti Hadiati Soeroso, S.H., M.H, Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam perspektif Yuridis-Viktimologiis): Pengertian tindakan kekerasan,Jakarta p 80-82 36

Moerti Hadiati Soeroso, S.H., M.H, Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam perspektif Yuridis-Viktimologiis): Pengertian tindakan kekerasan,Jakarta p 80-82 37

Moerti Hadiati Soeroso, S.H., M.H, Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam perspektif Yuridis-Viktimologiis): Bentuk-bentuk tindak kekerasan secara umum,Jakarta p 80-82

13

6. Kekerasan Sosial, kekerasan yang dialami oleh perempuan yang didapatkan dari

lingkungan sekitarnya misalnya perempuan mengalami kekerasan dan diketahui oleh lingkup

sosial tentunya akan menjadi perbincangan di mana-mana sehingga sangatlah tabu jika

masalah keluarga dan kekerasan tersebut sampai diketahui oleh lingkungan sekitar.

Oleh karena itu “kesetaraan gender” adalah suatu keadaan yang perlu diperjuangkan

di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang

sama untuk mewujudkan secara penuh hak asasi manusia dan potensinya bagi keutuhan dan

kelangsungan rumah tangga secara proporsional.39

Tetapi melihat kasus yang ada maka

kesetaraan gender belum bisa secara penuh dirasakan oleh kaum perempuan,hal ini karena

adanya pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan serta konstruksi budaya yang

membuat perempuan semakin menjadi tersubordinasi di hadapan laki-laki dan

termarginalisasi dalam kehidupan publik.

38

Moerti Hadiati Soeroso, S.H., M.H, Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam perspektif Yuridis-Viktimologiis): Bentuk-bentuk tindak kekerasan secara umum,Jakarta p 80-82 39

Moerti Hadiati Soeroso, S.H., M.H, Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam perspesktif Yuridis- Viktimologis): Pengertian Tindak Kekerasan,Jakarta, p 58-66

14

BAGIAN III

Hasil Penelitian Dan Analisis

Pada bagian ini akan diungkapkan hasil penelitian tentang Sikap Gereja Terhadap Perempuan

Alor Yang Mengalami Kekerasan Setelah DiBelis Di Jemaat GMIT Pola Tribuana Kalabahi

yang akan dijelaskan dalam beberapa bagian yaitu:

1. Peta Kabupaten Alor

2. Gambar GMIT POLA Kalabahi

15

3. Gambaran Umum GMIT Pola Tribuana Kalabahi

GMIT Pola Tribuana di Kalabahi sudah berusia 103 tahun. GMIT Pola di Kalabahi

sudah mengalami banyak perubahan baik dari struktur organisasi sampai kepada bentuk

bangunannya. Jumlah jemaat mencapai 5.539 jiwa yang terbagi dalam 7 gugus membuat

gereja ini memilki kapasitas jemaat yang terbesar yang ada di kabupaten Alor. Penulis

memilih gereja ini karena jumlah kapasitas jemaat yang besar dan merupakan gereja tertua

yang ada di Kabupaten Alor disamping itu banyak warga jemaat khususnya perempuan yang

mengalami kekerasan karena belis yang merupakan warga jemaat GMIT Pola tetapi belum

ada tindakan yang ditunjukan oleh pihak gereja dalam menangangi kasus tersebut.

Pertanyaannya adalah bagaimana wujud tindakan dari gereja terhadap perempuan yang

menjadi korban kekerasan karena belis ini? Hasil penelitian akan diungkapan sebagai berikut:

3.1.Tindakan Dari Gereja Terhadap Perempuan Yang Menjadi Korban Kekerasan

Karena Belis

Sampai sejauh ini secara struktural gereja sudah menjalankan tugasnya dengan

memberikan penanganan kepada para perempuan yang mengalami kekerasan karena belis

yakni dengan pelayanan pastoral, pembinaan serta pendampingan. Gereja sudah membentuk

badan yakni komisi perempuan untuk secara langsung untuk menangani kasus ini tetapi

wadah yang sudah disiapkan oleh gereja tidak berjalan dengan baik serta tidak efisien.40

Faktanya bahwa tidak semua warga jemaat khususnya perempuan yang mengalami

kekerasan mau untuk mengungkapkan permasalahan mereka kepada orang lain. Hal ini

karena rasa malu dan masih memegang kekuatan adat yang tinggi. Sekalipun masalah

disampaikan pada gereja maka pihak gereja juga mengalami kesulitan untuk mengetahui

berapa jumlah orang yakni perempuan yang mengalami kekerasan karena belis ini.41

Salah

seorang majelis jemaat perempuan juga mengatakan bahwa adat belis yang dipegang oleh

masyarakat Alor memilki kekuatan yang bernilai tinggi sehingga jika perempuan mengalami

kekerasan dalam rumah tangganya maka dia tidak akan berani menceritakan kepada orang

lain karena menganggap bahwa hal itu adalah “tabu”. Jika sampai didengarkan oleh orang

40

Data didapat dari hasil diskusi bersama majelis jemaat GMIT Pola Tribuana Kalabahi, pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2015, pukul 15.00 WITA 41

Hasil wawancara dengan salah seorang majelis jemaat perempuan GMIT Pola Tribuana Kalabahai,pada hari Sabtu tanggal 10 Januari, pukul 10.00 WITA

16

lain maka perempuan yang mengalami kekerasan memilih untuk menutup rapat-rapat apapun

yang dirasakan karena merasa hal itulah yang paling aman.42

Salah seorang warga jemaat yang mengalami kekerasan mengungkapkan bahwa

kekerasan yang dia alami selama ini belum mendapatkan tindakan dari gereja dikarenakan hal

pertama yang didapati ialah pihak gereja hanya memberikan pendampingan untuk dirinya

sendiri tanpa mau menghadirkan suami dan setelah itu akan mempersilahkanya pulang untuk

meminta maaf kepada suami. Dalam hal ini seorang pendeta kembali menegaskan bahwa

pihak gereja sudah berupaya untuk memberikan dan menjalankan tugasnya dengan baik yaitu

memberikan pendampingan serta konseling pastoral kepada salah satu pasangan yang

kemungkinan besar mengalami kekerasan sehingga apabila gereja menyuruh perempuan

untuk kembali dan meminta maaf kepada suami maka itu adalah bukti upaya dari gereja.43

Beberapa pernyataan di atas yang dapat dianalisis adalah masih dipegangnya budaya

patriakhal dalam lingkup gereja sehingga kekerasan yang dialami oleh perempuan belum

menjadi hal terpenting karena menganggap bahwa kekerasan yang terjadimerupakan hal

biasa. Langkah-langkah yang diambil oleh gereja tidak serta merta dapat membantu

perempuan untuk keluar dari permasalahnya. Gereja hanya mampu memberikan penanganan

awal tanpa mau mengetahui apa yang sebenarnya dialami oleh perempuan.

Pandangan dari gereja yang masih memandang bahwa laki-laki harusnya memilki posisi

utama lebih kuat dibandingkan dengan perempuan sehingga jika perempuan mengalami

kekerasan maka hal itu disebabkan karena adanya adat belis yang masih dipegang. Selain itu

disebabkan karena adanya rasa malu dari perempuan untuk mau menceritakan

permasalahannya kepada orang lain yang membuat posisi perempuan semakin menjadi tidak

anggap dalam lingkup gereja. Oleh karena itu kekerasan yang alami oleh perempuan adalah:

1. Kekerasan Fisik, kekerasan yang dapat mengakibatkan pada tindakan fisik yang dapat

dirasakan akibatnya oleh korban dan dapat dilihat oleh siapa saja misalnya, pemukulan,

penganiyaan dan sebagainya.44

2. Kekerasan Non Fisik (Psikis), ialah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan

psikis berat pada seseoarang danyang bisa merasakannya ialah korban itu sendiri dan

42

Data didapat dari hasil diskusi bersama majelis jemaat. pendeta GMIT Pola Tribuana Kalabahi dan warga jemaat yang mengalami kekerasan pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2015, pukul 15.00 WITA 43

Data didapat dari hasil diskusi bersama majelis jemaat GMIT Pola Tribuana Kalabah, pendeta dan warga jemaat yang mengalami kekerasan pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2015, pukul 15.00 WITA 44

Ibid

17

tindakan yang dilakukan langsung menyinggung pada perasaan atau hati nurani seseorang.

Misalnya,penghinaan, merendahkan dan melukai hati istri,melarang istri bergaul, akan

menceraikan dan sebagainya.45

3. Kekerasan Spiritual,kekerasan yang dilakukan dengan tidak turut campur tangan dalam

permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dalam hal ini gereja yang belum bisa turut hadir

dan peduli dengan keadaan perempuan yang mengalami kekerasan karena belis tersebut.46

Seperti yang dikatakan oleh Midiankh Sirait, gereja harusnya mampu hadir dan

menjalankan tugas gerejanya secara baik yakni; Secara Koinonia, Gereja hadir sebagai

Koinonia ialah tubuh Kristus. Di dalam tubuh Kristus juga semua orang menjadi satu, dan

satu didalam semua tubuh Kristus ( 1Kor 12: 26). Secara Marturia, Gereja hadir untuk dapat

memberitakan dan menyaksikan berita keselamatan kepada semua makhluk. Pemberitaan

dan kesaksian itu harus dilakukan oleh orang percaya baik secara individu maupun sebagai

persekutuan.

Secara Diakonia, Gereja hadir untuk memberikan pelayanannya kepada semua orang

oleh karena pemberitaan dan kesaksian tidaklah selalu dilaksanankan dengan kata-kata tetapi

dengan perbuatan atau pelayanan diakonia. Pelayanan diakonia juga mencakup upaya

pemahaman akar penyebab keprihatianan sosial sekaligus mengembangkan prakarsa

pemberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak kepada orang-orang

mengalami ketertindasan yang ada ditengah-tengah gereja itu. 47

Khususnya pada kekerasan

yang dialami oleh perempuan sebagai korban dari belis tersebut.

Melihat pandangan di atas maka gereja belum secara nampak menjalankan tri tugas

gerejanya secara baik karena memiliki pandangan bahwa posisi laki-laki yang terutama dari

perempuan. Pelayanan-pelayanan kesaksian dilakukan belum mencakup kepada semua aspek

yang mengakibatkan berita keselamatan dan pembebasan yang harusnya dirasakan oleh

semua indvidu belum dirasakan secara merata dan belum memenuhi kebutuhan hidup yang

layak kepada perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan karena belis tersebut.

Berdasarkan fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masih belum adanya

tindakan nyata yang dilakukan oleh gereja dalam menangangi kasus kekerasan karena belis

ini dikarenakan keberpihakan pihak gereja kepada laki-laki, dan tak berpihak pada

perempuan sebagai korban. Menurut Abineno dikatakan bahwa gereja harusnya hadir untuk

45

Ibid 46

Ibid 47

Ibid

18

memberikan pelayananya kepada semua orang oleh karena pemberitaan dan kesaksian

tidaklah selalu dengan kata-kata tetapi dengan perbuatan dan pelayanan diakonia.48

3.2. Perempuan Alor Yang Dibelis Rentan Untuk Mengalami Kekerasan

Belis memilki kekuatan yang bernilai tinggi dan menjadi tolak ukur dalam adat

masyarakat Alor untuk meminang seorang perempuan. Jika tanpa belis maka dirasa kurang

lengkap dan tidak memililki nilai adat sama sekali. Belis yang digunakan oleh masyarakat

Alor berupa sebuah Moko.

Faktanya bahwa belis digunakan sebagai senjata kaum laki-laki untuk melakukan

tindakan kekerasan kepada perempuan yang sudah sah menjadi isterinya. Dikarenakan laki-

laki beranggapan bahwa perempuan itu sudah dibayarkan dengan harga belis yang mahal

sehingga apapun yang akan dialakukan adalah hal yang wajar serta menganggap bahwa

perempuan itu layaknya sebagai sebuah barang yang pantas diperjualbelikan dengan harga

sebuah belis berupa Moko tersebut.

Menurut salah seorang perempuan yang mengalami kekerasan mengungkapkan

bahwa hal yang dilakukan dan biasanya terjadi adalah kekerasan secara verbal yakni dengan

mengeluarkan kata-kata kasar dan bahkan caci maki kepada perempuan, misalnya saja “ lu itu

sudah saya belis jadi lu punya kerja tu dalam rumah” jika sampai membantah maka yang

dilakukan adalah pasti mendapatkan pukulan. Dikatakan bahwa jika hal kekerasan ini

disampaikan kepada orang tuanya justru orang tua akan menasehati anaknya agar lebih taat

lagi dengan suami karena kekerasan itu dilakukan pasti karena isteri yang dinilai tidak patuh

dengan suami. Hal inilah yang membuat perempuan akan mendapatkan penekanan yang luar

biasa.49

.

Dalam wawancara dengan salah satu majelis jemaat perempuan dikatakan bahwa

angka kekerasan perempuan karena belis dilakukan dengan berbagai motif yang bisa saja

terjadi dalam setiap rumah tangga tetapi yang lebih jelas terlihat adalah kekerasan secara

ekonomi mengapa demikian? Sering suami sebagai pencari nafkah akan sulit ditemui

isterinya karena mengangggap bahwa dialah yang mencari nafkah maka hasil jerih payah

yang didapatkan harus dinikmati sendiri. Dia tidak memberi nafkah pada isteri dan anak-

48

Ibid,. 49

Hasil wawancara dengan salah seoarang warga jemaat yang mengalami kekerasan karena belis, pada hari Selasa tanggal 12 Januari 2015, pukul 12. 00 WITA

19

anaknya. Sehingga yang dapat dilakukan isteri adalah berusaha mencari nafkahnya sendiri

untuk membiayai kehidupan keluarga.50

Seperti dikatakan oleh salah seorang pendeta perempuan dalam jemaat ini perempuan

akan menjadi objek yang kuat untuk dikenakan kekerasan karena adanya penyalahgunaan

dari belis itu sendiri. Gereja tentu saja sudah berupaya untuk mengatasi hal kekerasan ini

tetapi menurutnya kelemahan terbesar yang dialami fokus gereja bukan kepada kasus ini

tetapi lebih kepada pelayanan mimbar sehingga wujud kesaksian dari gereja dan pelayanan

mengatasi kekerasan tidak dapat dirasakan oleh warga jemaat yang mengalami kekerasan.

Selain itu hampir seluruh bagian dalam komisi dalam gereja dominannya dipegang

oleh kaum laki-laki yang membuat kasus kekerasan ini jika dibicarakan pasti akan

dikesampingkan. Menurut sebagian jemaat mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan

oleh suami kepada isterinya adalah hal wajar yang akan ditemui dalam setiap rumah tangga.

Kenyataan seperti ini membuat gereja susah untuk peduli dengan keadaan kaum perempuan

yang mengalami kekerasan.51

Dalam diskusi ini oleh salah seorang majelis jemaat laki-laki, mengungkapkan bahwa

kekerasan yang dialami perempuan karena belis adalah hal yang menurutnya biasa-biasa saja

dan laki-laki melakukan tindakan tersebut pasti karena ada sebabnya misalnya isterinya yang

tidak patuh dan lain sebagainya. Tindakan itu dilakukan pasti hanya sebatas memarahi karena

pada kenyataannya laki-laki dalam keluarga memiliki peranan yang utama sehingga apapun

yang dikatakan suaminya akan dipatuhi oleh isteri. Maka bukan hal yang harus dibesar-

besarkan apabila hanya diperlakukan seperti itu dan kemudian dikatakan itu adalah sebuah

kekerasan52

Melihat data yang didapat maka dapat dianalisis kekerasan karena belis selalu dipakai

sebagai alat oleh suaminya yang menganggap bahwa kekerasan yang terjadi adalah wujud

dari teguran kepada isteri yang tidak taat kepada suaminya. Laki-laki akan menelantarkan

isterinya serta anak-anaknya karena memiliki pandangan bahwa dialah yang bertugas mencari

nafkah sehingga hasil yang diperoleh dapat dinikmati diri sendirinya. Selain itu gereja belum

memilki fokus untuk mempertimbangkan dan memperhatikan masalah kekerasan yang ada

50

Hasil wawancara dengan warga jemaat yang mengalami kekerasan, pada hari Selasa tanggal 12 Januari 2015, pukul 12.00 WITA 51

Hasil wawancara dengan pendeta perempuan di Jemaat GMIT Pola Tribuana Kalabahi, pada Hari Minggu Tanggal 11 Januari Pukul 10.00 WITA 52

Data didapat dari hasil diskusi bersama majelis jemaat. pendeta GMIT Pola Tribuana Kalabahi dan warga jemaat yang mengalami kekerasan pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2015, pukul 15.00 WITA

20

dalam lingkup pelayanannya maka yang terjadi kasus kekerasan ini akan terus berlanjut

karena tidak mendapatkan tindakan yang baik dari pihak gereja.

Dikatakan juga bahwa masalah kekerasan ini jika dibahas dalam lingkup pelayanan

gereja maka yang diperoleh adalah masalah ini tidak menjadi hal terpenting yang dibahas

karena berpandangan bahwa kekerasan yang dilakukan adalah sudah sepantasnya dilakukan

oleh suaminya kepada isterinya dan hal tersebut adalah masalah rumah tangga yang hampir

ditemui dalam setiap rumah tangga.

Sebagai dikatakan oleh Muthalin bahwa perempuan akan mengalami marginalisasi,

artinya menyisihkan atau memingirkan hak-hak dan posisi perempuan. Maka yang terjadi

perempuan tidak menduduki posisi yang lebih baik karena laki-laki selalu yang dianggap

terutama.53

Seharusnya antara laki-laki dan perempuan tidak ada laki perbedaan karena sudah

adanya kesetaraan gender baik itu dia laki-laki dan perempuan. Gereja juga harus bisa

memainkan perannya dengan baik. Seperti dikatakan Abineno bahwa diakonia harus bersifat :

1. Diakonia bukan hanya pelayanan tambahan saja dari gereja.

2. Diakonia adalah pelayanan penuh yang ditugaskan oleh Kristus kepada gereja.

3. Diakonia adalah pelayanan kepada semua orang.

4. Diakonia bukan hanya bersifat diakonia karikatif, tetapi harus memperhatikan juga

diakonia sosial itu sendiri.

5. Diakonia juga bertugas untuk mendirikan tanda-tanda syalom (kerajaan Allah).54

Tugas gereja yang seharusnya menjalankan misi dari Allah tidak dijalankan secara baik,

gereja belum mampu mempertimbangkan masalah kekerasan ini sebagai yang utama di

samping pelayan-pelayanan yang dilakukan dalam lingkup berjemaat. Diakonia dari gereja

yang harusnya melakukan kesaksian di tengah-tengah jemaat tidak dirasakan oleh semua

jemaat. Maka yang ditemukan ialah masih banyaknya tindakan kekerasan yang harus dialami

oleh banyak perempuan tetapi tidak mendapatkan tindakan yang berarti dari pihak gereja.

Penyalahgunaan belis yang dipegang oleh masyarakat Alor yakni perempuan telah

dijadikan seperti sebuah barang yang bisa dengan mudah dibeli sesuai dengan harga yang

telah disepakati. Disamping itu yang terjadi jika laki-laki telah mendapatkan seorang

perempuan maka akan dengan mudah melakukan tindakan kekerasan. Melihat konsep belis

53

Ibid 54Dr. J. L. Ch. Abineno, Djemaat (wujud,peraturan,susunan,pelayanan dan pelayan-

pelayannya): Diakonia,Djakarta,1965, p 91-95

21

yang sebenarnya menurut Montolalu, sebagai bentuk penghormatan dari laki-laki terhadap

perempuan.55

Kenyataannya konsep belis ini sudah bergeser dan digantikan dengan hasil

perjualbelikan perempuan kepada pihak laki-laki sesuai dengan harga yang telah disepakati

dalam prosesi adat.

Akibatnya belis tentu saja masih membuat jiwa perempuan menjadi terancam karena

secara langsung laki-laki akan menggunakan belis ini untuk melakukan kekerasan kepada

perempuan. Selain itu pandangan bahwa laki-laki memilki peran utama dibanding perempuan

membuat laki-laki akan bersikap lebih bebas kepada perempuan dan menganggap bahwa

perempuan hanya sebagai “barang”nya yang bisa dibelis dengan harga sebuah moko yang

telah dibayarkan.

Fakta ini semakin membuktikan bahwa di dalam masyarakat Alor kekerasan karena

belis itu akan terus terjadi jika fungsi dari belis itu tidak dijalankan dengan baik dan pastinya

yang akan rentan mengalami kekerasan dan penekanan luar biasa yakni pada perempuan.

Belum lagi ada steroetip yang dibuat antara laki-laki dan perempuan yaitu menganggap

bahwa laki-laki selalu menjadi yang terutama dan perempuan dianggap paling lemah karena

dia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa adanya laki-laki. Hal ini semakin menunjukan adanya

ketidakadilan gender yang ada.

3.3. Kekerasan Merupakan Dampak Dari Belis Yang Telah Diterima

Kekerasan yang harus dialami oleh perempuan ruang lingkupnya ada dalam rumah

tangga tidak terlepas dari budaya yang dipegang di mana orang itu berada.56

Dalam wawancara dengan pendeta GMIT Pola Tribuana dikatakan bahwa, kekerasan

itu sudah menjadi hal biasa yang ada di tengah-tengah masyarakat Alor. Banyak didapati

dalam rumah tangga suami akan dengan gampangnya memaki-maki isteri jika apa yang

diperintahkan tidak dilakukan sesuai dengan keinginanya. Ada juga ditemui kasus bahwa

suami akan dengan mudahnya memukul isteri ditengah-tengah umum dan katanya adalah hal

yang wajar jika suami bersikap seperti itu kepada isterinya.57

Hal semacam ini terjadi karena

adanya penyalahgunaan dari belis ini sehingga laki-laki akan ringan tangan untuk melakukan

tindakan kekerasan, baik fisik dan verbal kepada perempuan. Di samping itu adanya

pelabelan bahwa laki-laki yang memegang kendali dalam rumah tangga dialah yang mencari

55

Ibid 56

Ibid 57

Hasil wawancara dengan pendeta jemaat GMIT Pola Tribuana Kalabahi, pada Hari Minggu Tanggal 11 Januari pukul 12.00 WITA

22

nafkah sehingga dengan “besar kepala” dia akan mudah melakukan tindakan kekerasan

terhadap perempuan yang diberi nafkah.58

Dikatakan juga oleh salah seorang tetua adat bahwa, kekerasan yang dialami

perempuan oleh karena belis pasti disebabkan isteri yang tidak bisa patuh pada suaminya.

Tidak bisa menjadikan belis sebagai penyebab timbulnya sebuah kekerasan. Memang sudah

sepantasnya suami menegur atau memarahi isterinya karena laki-laki dalam keluarga memilki

posisi tertinggi yang tidak bisa digantikan. Harusnya perempuan patuh dan setia dengan

suaminya karena kemarahan dari suaminya adalah wujud sayang yang ditunjukan.59

Menurut salah seorang perempuan yang mengalami kekerasan mengungkapkan

bahwa kekerasan yang paling sering dialaminya adalah kekerasan secara fisik dan kekerasan

secara seksual disebabkan sikap suami yang terkadang menuduh dirinya tidak patuh dan tidak

bisa melayani suami dengan baik sehingga dengan mudahnya suami akan melakukan

pemukulan kepada dirinya. Selain itu penderitaan yang harus dialaminya adalah menerima

kekerasan secara seksual, jikalau dia tidak menuruti keinginan suaminya sebagai akibatnya

dia akan mendapatkan penyiksaan yang luar biasa.

Sekalipun masalah ini diceritakan kepada orang tuanya orang tua tidak bisa berbuat

banyak karena menurut mereka dia sudah dibelis oleh suaminya. Masalah-masalah yang ada

dalam keluarga harus diselesaikan terlebih dulu dengan suaminya dan memerintahkannya

untuk tetap sabar dan setia dengan suami sekalipun harus mendapatkan penyiksaan seperti

itu. Oleh sebab itu setiap kekerasan yang dialaminya dia memilih untuk tetap diam dan tidak

mau menceritakan kepada orang lain karena takut akan mendapatkan respon yang sama. Dia

juga mendapatkan ancaman dari suaminya jika berani menceritakan masalah ini kepada orang

lain.60

Hal ini merupakan kekerasan yag bersifat sosial, artinya membatasi relasi perempuan

dengan orang lain.

Berdasarkan data yang ada dapat dianalisis bahwa setiap kekerasan yang terjadi

karena belis adalah dianggap hal yang biasa-biasa saja karena dalam setiap rumah tangga tiap

masalah pasti ada cara penyelesaiannya. Cara penyelesaian secara kekerasan yang dilakukan

oleh suami kepada isterinya adalah merupakan hal yang wajar, karena dalam setiap rumah

tangga suami akan memegang peranan yang lebih tinggi. Apapun yang akan dilakukan oleh

suami maka isteri wajib untuk mematuhinya.

58

Data didapat dari hasil diskusi bersama majelis jemaat GMIT Pola Tribuana Kalabahi, pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2015, pukul 15.00 WITA 59

Hasil wawancara dengan salah satu tetua adat, pada hari jumat Tanggal 16 Januari pukul 16.00 WITA 60

Hasil wawancara dengan salah seorang perempuan yang mengalami kekerasan, Tanggal 17 Januari Pukul 10.00 WITA

23

Respon yang diberikan oleh gereja pada kenyataanya tidak bisa menolong

perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan. Dari data yang didapat gereja hanya

sekedar tahu akan adanya kekerasan dari suami kepada isteri. Gereja lakukan adalah lebih

memilih melakukan pendampingan ala kadarnya tanpa mau tahu sakitnya pergumulan yang

sedang dihadapi oleh jemaatnya khususnya perempuan-perempuan yang mengalami

kekerasan ini.

Melihat akan kenyataan diatas maka menurut Abineno gereja seharusnya bisa

mencerminkan Misi Allah yang membebaskan manusia dari penindasan dan membuat gereja

tidak hanya termanifestikan dengan ibadah dan sakramen saja. Jika dikaitakan dengan

masalah yang ada maka dapat dikatakan gereja belum dapat mencerminkan akan Misi Allah

sebab pandangan dari gereja yang masih berfokus pada hal-hal yang lain misalkan khotbah,

ibadah dan sakramen. Hal ini yang membuat pandangan gereja tertutup dengan adanya

masalah lain berupa kekerasan yang tengah mendera dan hadir dalam pergumulan jemaatnya

sehingga rasa pembebasan untuk keluar dari lingkaran kekerasan tidak dapat dinikmati oleh

kaum perempuan yang sedang mengalami ketertindasan luar biasa.

Berdasarkan fakta diatas menurut Soeroso bahwa kekerasan mengandung pengertian

bahwa objek yangdikenai kekerasan yang membuat menjadi tidak berdaya atau yang tidak

mempunyai kekuatan sama sekali.61

Artinya bahwa perempuan akan menjadi objek dari laki-

laki untuk melakukan sebuah tindakan kekerasan dan perempuan selalu dianggap sebagai

mahkluk lemah.Kesimpulan yang diperoleh jika perempuan mendapatkan kekerasan maka

laki-laki akan beranggapan perempuan itu tidak akan banyak berbuat apa-apa dan akan patuh

dengan suaminya karena dianggap suami yang memilki peranan tertinggi.

3.4. Gereja Seharusnya Hadir Sebagai Lembaga Untuk Menyuarakan Aspirasi

Perempuan Bukan Untuk Menindas Perempuan

Gereja mempunyai arti “ milik kepunyaan Tuhan”, namun juga merupakan kata yang

dipakai untuk menerjemahkan sebuah istilah dari Perjanjian Baru, yakni ekklesia, yang

berarti “paguyuban” atau “perkumpulan.62

Gereja juga memiliki tugas dan panggilan untuk

61

Ibid, 62

Ibid

24

melindungi mereka yang tertindas dan miskin, sekaligus juga mempunyai tugas untuk

mempertahankan keutuhan keluarga. 63

Menurut salah seorang pendeta jemaat mengatakan bahwa gereja sudah menyiapkan

wadah pelayanan untuk mendengarkan setiap perempuan yang akan datang dengan berbagai

macam pergumulannya. Gereja juga sudah berupaya untuk melakukan tindakan

pendampingan kepada setiap warga jemaatnya yang mengalami kekerasan. Disamping itu

gereja mengambil peran untuk melakukan perkunjungan yang sudah dilakukan oleh pendeta

dan para majelisnya.64

Hal yang berbeda disampaikan oleh salah seorang majelis perempuan yang

mengatakan bahwa permasalahan kekerasan karena belis ini belum menjadi pembicaraan

utama dalam gereja karena fokus gereja bukan kepada kasus kekerasan ini, gereja lebih

dominannya kepada hal-hal lain dalam gereja dan menjalankan program-program yang ada

dalam gereja. Sekalipun ada beberapa pendeta perempuan dan beberapa majelis perempuan

tetapi tidak banyak membantu oleh karena posisi utama dalam gereja dipimpin oleh kaum

laki-laki. Keadaan ini yang membuat kasus kekerasan dianggap seperti hal biasa yang dengan

mudahnya diselesaikan begitu saja tanpa adanya campur tangan dari gereja. Semuanya lebih

berfokus pada rutinitas ibadah yang dijalankan tanpa memikirkan wujud kesaksian apa yang

harus dilakukan oleh gereja dalam menanggpi kasus ini.65

Seperti yang dikatakan oleh seorang perempuan yang mengalami kekerasan bahwa

hal yang membuatnya tertutup dan tidak memberanikan diri datang untuk menceritakan

permasalahanya kepada pihak gereja, karena dia beranggapan respon yang diberikan gereja

akan lebih menyudutkan perempuan. Perempuan akan dianggap bersalah sebagai sumber

kekerasan nyatanya justru perempuanlah yang menjadi objek kekerasan kaum laki-laki.

Gereja biasanya berdiam diri tanpa mau peduli dengan keadaan perempuan. Dikatakan juga

bahwa dirinya tidak merasakan wujud gereja sebagai garam dan terang dunia ditengah-tengah

kehidupannya, karena sikap gereja tidak begitu berarti baginya bahkan tidak memberikan

sebuah tindakan yang mampu membuat dirinya terbebas dari masalah kekerasan ini.66

63

Ibid 64

Wawancara Via Telepon dengan salah satu pendeta jemaat GMIT Pola Kalabahi,Tanggal 24 Februari 2015 Pukul 19.00 WIB 65

Hasil wawancara via telepon dengan salah seorang majelis perempuan, Tanggal 25 Februari Pukul 16.00 WIB 66

Hasil wawancara dengan salah seorang perempuan yang mengalami kekerasan, Tanggal 17 Januari Pukul 10.00 WITA

25

Kaitan dengan fakta diatas, menurut Midiankh Sirait gereja seharusnya memenuhi

kebutuhan hidup yang layak kepada orang-orang mengalami ketertindasan yang ada

ditengah-tengah gereja. Jika gereja sudah bisa menghadirkan diakonia yang baik maka gereja

bisa untuk menjadi garam dan terang dunia di tengah-tengah jemaat yang membutuhkan

campur tangan dari gereja. Melihat dari data diatas maka dapat di analisis penulis bahwa

kehadiran gereja belum seutuhnya menjalankan diakonia ditengah-tengah kehidupan

jemaatnya.Seharusnya kehadiran gereja untuk melihat dan bahkan mendengarkan penindasan

berupa kekerasan yang dialami oleh anggota jemaatnya, tetapi kenyataanya kehadiran gereja

hanya sebagai sebuah rutinitas dengan menjalankan ibadah-ibadah tanpa mau menjalankan

wujud kesaksiannya ditengah-tengah jemaatnya.

Oleh sebab itu seharusnya gereja hadir untuk menyuarakan aspirasi perempuan dan

mendengarkan pergumulan dari rasa sakit yang dialami oleh perempuan tetapi justru

terkadang gereja hadir sebagai lembaga yang paling menindas perempuan. Diikarenakan

tindakan dari gereja yang belum bisa untuk memberikan sebuah tindakan nyata untuk kaum

perempuan dijemaatnya yang sedang dan bahkan mengalami kekerasan karena belis. Gereja

menjadi tidak peduli dan beranggapan hal itu adalah yang biasa-biasa saja. Dikatakan juga

bahwa perempuan tidak memiliki tempat yang baik ditengah-tengah masyarakat karena

diangap paling lemah serta ada kecenderungan tergantunganya perempuan kepada laki-laki

yang membuat perempuan semakin menjadi tidak berdaya dan dijadikan objek untuk

tindakan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki.

3.3 RANGKUMAN

Berdasarkan dengan data di atas maka dapat disimpulkan bahwa hal yang

menyebabkan mengapa belum ada tindakan dari gereja terhadap perempuan yang menjadi

korban belis dikarenakan sikap tertutup dari gereja untuk mau peduli dengan jemaatnya yang

mengalami tindakan kekerasan selain itu sikap gereja yang masih memilki pandangan bahwa

kekerasan yang terjadi adalah hal yang biasa yang sepertinya terjadi hampir dalam setiap

rumah tangga sehingga bukan hal yang serius untuk diperdebatkan. Peranan laki-laki yang

tinggi dalam kehidupan masyarakat Alor yang membuat kekerasan seakan tertutup dan tidak

mendapatkan sorotan utama dari pihak gereja, kalaupun ada gereja hanya berusaha

menjalankan pedampingan sewajaranya tanpa mau menghadirkan laki-laki sebagai tokoh

utama dalam tindakan kekerasan ini.

26

Kekerasan karena belis yakni perlakuan kasar yang dilakukan suami kepada isterinya

seperti memarahi, membentak, memukul dianggap sebagai hal yang biasa sehingga fokus

gereja tidak pada kasus kekerasan ini. Gereja lebih berfokus pada rutinitas ibadah-ibadah

yang ada dalam gereja, persembahan dan pembangunan-pembangunan yang sedang

dijalankan atau yang dalam perencanaan

Wadah yang disiapkan pun tidak berjalan dengan baik karena tindakan gereja yang

bersikap acuh tak acuh dalam menanggapi masalah ini. Kenyataannya sudah banyak

perempuan yang mengalami kekerasan karena belis dengan berbagai motif kekerasan tetapi

yang bisa dilakukan gereja hanya berdiam diri tanpa mau mengambil sebuah tindakan nyata.

Seharusnya wujud kesaksian dari gereja yang harusnya hadir untuk membebaskan jemaatnya

dari berbagai macam penindasan dan memberikan sebuah pembebasan tidak mampu

dilakukan karena hal ini bukan yang menjadi fokus utama.

Dapat disimpulkan jika ada warga jemaat yang mengalami kekerasan yang bisa

dilakukan gereja ialah melalui media konseling pastoral dan pendampingan. Itu semua masih

dalam aras teologis .Walaupun demikian gereja perlu menunjukan tindakan yang nyata dalam

menangangi kasus ini. Sehingga aksi nyata dari gereja dapat dirasakan oleh kaum perempuan

yang mengalami kekerasan karena belis.

3.4 REFLEKSI TEOLOGI

Menurut Perjanjian Baru, yang disampaikan dalam Markus 10: 6-8 :

Sebab pada awal dunia Allah menjadikan mereka laki-laki maupun perempuan, sebab

laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga

keduanya menjadi satu daging. Demikan mereka bukan lagi dua melainkan satu.

Melihat dari firman di atas maka harusnya perkawinan adalah suatu kemitraan sejajar

antara laki-laki dan perempuan. Sekarang yang ada kini perbedaan gender lebih mengacu

pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang dibuat melalui proses sosial dan budaya

yang panjang.67

Hal ini juga diungkapkan dalam kitab Kolose 3: 18 :

Hai isteri-isteri tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya dalam Tuhan.

Maksud dari ayat ini adalah perempuan harus setia dan taat kepada suami karena suami

adalah kepala keluarga yang hadir sebagai penopang dan pelindung untuk perempuan. Suami

harus mampu menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga dengan baik sehingga dapat

67

Ibid

27

menunjukan wujud dari keluarga kristen yang diinginkan oleh Yesus Kristus. Isteri akan

mampu untuk menunjukan ketaatannya kepada suami jikalau suami dapat menunjukan citra

kepala keluarga kristen yang baik. Melihat kenyataan yang ada sesuai dengan kasus ini

adalah suami tidak menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga dengan baik, suami

melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Suami juga tidak mengakui

adanya kesetaran sehingga akibatnya yang dilakukan kepada perempuan adalah sebuah

tindakan kekerasan

Dalam ayat ini terlihat dengan jelas Alkitab pun lebih mendominasikan

keberpihakannya kepada laki-laki sehingga jika ayat ini dikaitkan dengan kasus kekerasan

yang dialami oleh perempuan di jemaat GMIT Pola Kalabahi maka yang bisa dilakukan oleh

para perempuan ini adalah hanya bisa setia dan taat kepada suaminya karena sudah jelas

tertulis dalam Alkitab. Posisi laki-laki akan semakin tinggi dengan adanya teks Alkitab yang

berkata demikian. Oleh sebab itu saya memahami ayat ini dengan sebuah pemahaman yang

baru bahwa seharusnya lewat ayat ini hendak memberikan gambaran bahwa “tunduk” bukan

berarti harus mengikuti semua kemauan dari suami dalam hal ini rela untuk mendapatkan

sebuah tindakan kekerasan tetapi memberikan gambaran bahwa seharusnya adfanya relasi

dan hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan seperti relasi yang berlaku antara

manusia dan Tuhan tanpa memadangan siapapun orang itu.

Kenyataan posisi antara laki-laki dan perempuan harusnya menjadi mitra yang sejajar

dihadapan Tuhan karena Tuhan sudah datang menebus segala dosa manusia, Ia yang telah

datang untuk memberikan pembebasan bagi setiap orang yang mengalami ketertindasan,

penganiyaan dan sebagainya. Seperti yang tertulis dalan Kejadian 1:27-28:

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah

diciptakanNya dia laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka. Allah memberkati

mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak;

penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dilaut dan burung-burung

di udara dan atas segala binatang yang merayap bumi”.

Ayat ini menunjukan bahwa antara laki-laki dan perempuan sama dihadapan Tuhan

karena Ia menciptakan sesuai dengan gambar dan rupaNya dan Ia memerintakan kepada

manusia untuk hadir di bumi untuk menjaga dan melestarikan segala sesuatu yang telah di

cipatkannya bukan untuk “menguasainya” artinya bahwa Allah memberikan wewenangnya

kepada manusia agar mampu merawat semua yang telah di ciptakannya.

Selain itu Ia juga telah datang dan tidak memandang baik itu dia laki-laki dan

perempuan karena semuanya sama dihadapaNya. KedatanganNya untuk memberitakan kabar

28

keselamatan kepada semua manusia yang percaya kepadaNya, tetapi melihat akan kasus ini

maka gereja seharusnya menekan Misi Allah untuk memberitakan kabar keselamatan dan

pembebasan kepada semua yang percaya tidak mampu menjalankan panggilannya dengan

baik. Seperti yang ada dalam kitab Galatia 3: 28 :

Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang

merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam

Kristus Yesus.

Ayat ini semakin menegaskan bahwa Tuhan telah datang dan Ia telah melakukan

penebusan kepada semua oran, Ia tidak melakukan perbedaan baik itu laki maupun

perempuan karena semuanya adalah tetap satu didalam Tuhan. Ia juga menginginkan adanya

saling menopang antara laki-laki dan perempuan sehingga dapat tercipta relasi yang baik

antara manusia dengan Tuhan.

Gereja seharusnya hadir untuk menyuarakan berbagai macam pergumulan yang

dihadapi oleh jemaatnya dan bagaimanapun keadannya, karena gereja dipanggil bukan untuk

satu orang saja tetapi gereja dipanggil dan hadir ditengah-tenggah kehidupan umat Tuhan.

Jika gereja tidak mampu menjalankan panggilan dan menunjukan tindakan pembebasan

kepada kaum yang lemah yakni perempuan maka Misi pembebasan dan keselamatan Allah

belum ada ditengah-tengah umatnya.

Gereja hadir untuk merangkul semua orang baik itu laki-laki dan perempuan tanpa

membedakan satu dengan yang lainya karena keduanya adalah mitra yang sejajar dihadapan

Allah. Gereja harus mampu menentukan sikapnya bahwa segala macam bentuk kekerasan

karena belis harus ditangani dan diselesaikan secara bersama tanpa merugikan satu pihak.

Belis pun tidak mungkin dihilangkan karena sudah terwarisi secara turun temurun.

Seharusnya lewat kasus ini gereja mampu untuk memberikan kesaksiannya ditengah-tengah

umatnya,dan mampu mengantikan pandangan konsep belis yang sebenaranya agar

masyarakat yang masih menjalankanya tidak menjadikan belis sebagai yang utama dan

menjadikan perempuan seperti “barang” yang tidak berharga yang dapat diperjualbelikan

begitu saja, dan selanjutnya kekerasan kepada perempuan jangan sampai menjadi korban

belis.

Gereja harus mampu memandang bahwa yang menjadi Kepala Gereja adalah Yesus

Kristus sehingga dalam menanggapi kasus ini gereja harus mampu menghadirkan kasih

29

Kristus ditengah-tengah umatnya sehingga mampu untuk dirasakan oleh umatnya. Seperti

yang dikatakan dalam Galatia 5: 13 :

Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu

mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa,

melainkan layanilah seoarang akan yang lain oleh kasih.

Dalam ayat ini secara langsung sudah memberikan gambaran untuk kasus ini bahwa

kebebasan yang telah Tuhan berikan janganlah digunakan untuk tetap bertahan dalam dosa,

berpihak pada korban kekerasan sehingga wujud pelayanan dan kesaksian oleh karena kasih

dirasakan oleh semua umatnya.

Ayat ini juga secara langsung mengingatkan pada hal-hal buruk yang berkaitan

dengan penyalahgunaan belis karena dikatakan bahwa kemerdekaan dan kebebasan yang

telah Tuhan berikan tidak boleh dipakai untuk hidup dalam dosa. Jika sudah melihat dan

mengetahui bahwa sudah ada penyalahgunaan belis yang merugikan dan menyebabkan satu

pihak yakni perempuan maka seharusnya hal itu dihentikan. Perempuan harus dipandang

sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang dihargai dan dihormati seperti layaknya yang

didapatkan oleh laki-laki.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka peneliti menemukan bahwa hal-hal

yang menyebabkan mengapa belum ada tindakan dari gereja terhadap perempuan yang

menjadi korban belis. Hal itu karena gereja belum menjadikan kasus kekerasan menjadi

masalah yang utama. Gereja masih berfokus kepada hal-hal rutinitas dalam ibadah. Sikap

gereja yang masih menunjukan bahwa kekerasan ini adalah hal biasa yang terjadi dalam

setiap rumah tangga Kristen. Di samping itu masih kuatnya pandangan bahwa posisi terutama

dalam keluarga dipegang oleh laki-laki maka jika laki-laki mengambil sebuah tindakan

kekerasan maka memang sudah seharusnya seperti itu agar perempuan menjadi lebih patuh

dan setia kepada suaminya.

Faktor budaya belis yang masih dipegang oleh masyarakat Alor serta pandangan

patriakhal yang kuat membuat belis tidak mudah dihapuskan karena sudah ada sejak dulu dan

harus terwarisi hingga sekarang. Penyalahgunaan dari belis ini masih kerap terjadi dari kaum

laki-laki yang menggunakan belis ini untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan kepada

30

perempuan. Respon yang diberikan oleh gereja terutama hanya kepada satu pihak saja, yakni

melakukan pastoral kepada perempuan tetapi laki-laki tidak mendapatkan pendampingan

sehingga sepertinya ada kesejangan gender yang ditunjukan oleh gereja dalam memberikan

pendampingan.

Budaya patriakhal yang masih dipegang oleh sebagian besar masyarakan Alor yang

lebih menomorsatukan laki-laki dibandingkan dengan perempuan sehingga perempuan akan

menjadi objek tindakan kekerasan dan penekanan yang luar biasa. Oleh karena itu, lewat

penelitian ini maka peneliti akan mengusulkan beberapa hal kepada GMIT Pola Tribuana

Kalabahi sebagai bentuk tindak lanjut penelitian serta saran kepada GMIT Pola Tribuana

Kalabahi dan para tetua adat yakni sebagai berikut:

a. Untuk Gereja

1. Seharusnya gereja perlu untuk mengadakan diskusi serta sosialiasi yang berkaitan dengan

kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan lewat program dan kegiatan yang diadakan

2. Gereja harus banyak untuk menggali serta memberikan bahan dari teks-teks Alkitab yang

ada hubunganya dengan kesetaraan gender, saling menopang antara laki-laki dan perempuan

yang bisa dibawakan dalam bentuk pertemuan misalanya pertemuan rumah tangga, kaum ibu,

kaum bapak serta ibadah gabungan.

3. Wadah yang telah disiapakan oleh gereja yang dijalankan oleh komisi perempuan perlu

dijalankan serta mulai untuk melakukan pengkadera, kesetaraan gender dan pengkaderan

perempuan untuk menjalankan fungsinya bagi pembebasn perempuan.

4. Pihak gereja baik pendeta dan para majelis harus membuatkan jadwal tetap untuk

melakukan perkunjungan kepada para warga jemaat khususnya kaum perempuan yang,

menjadi korban kekerasan serta keluarganya sehingga hal ini dirasa untuk memberikan aksi

yang nyata bagi warga jemaatnya.

b. Untuk Tetua Adat

1. Baik tetua-tetua adat dan pihak gereja harus melakukan refleksi terhadap dampak negatif

budaya belis untuk memberikan solusi sehingga proses belis yang dilakukan dapat

dimurnikan dari pengaruh negatif dan tindakan manusiawi.

31

2. Perlu diberikan sosialisasi pemahaman kepada para tetua-tetua adat serta keluarga tentang

budaya kesetaran gender antara laki-laki maupun perempuan yang sudah disahkan oleh

pemerintah untuk setiap warga manusia.

c. Untuk Laki-laki dan Perempuan Anggota Jemaat GMIT Pola Kalabahi

a. Perempuan

1. Sadar Gender, Perempuan harus saling bahu memabahu untuk lebih memaknai kesadaran

gender sehingga tidak mengalami kekerasan dan korban dari praktek belis.

2. Pemberdayaan perempuan, Harus meningkatkan mutu pendidikan dan pengetahuan pada

perempuann agar lebih memahami akan kesadaran gender itu.

3. Perempuan tidak melabelkan dirinya seperti yang dilabelkan oleh masyarakat, sepertu

perempuan dipandang lemah dan bekerja hanya dalam sektor domestik.

b. Laki-laki

1. Menghentikan kasus kekerasan kepada perempuan, laki-laki harus memandang perempuan

sebagai mitra kerja Allah yang setara dan tidak memandang perempuan hanya sebagai barang

yang bisa untuk diperjualbelikan dengan harga sebuah belis.

2. Laki-laki harus memahami budaya patriahki bukan sebagai budaya yang membatasi

keberadaan perempuan.

3. Laki-laki dan perempuan memilki hak yang sama tetapi menjalankan kewajiban yang

berbeda

32

Daftar Pustaka

Montolalu, VN. ed. Sejarah dan Budaya Kepulauan Alor. Alor: 2012

Timo, Ebenhaizer I Nuban. ed. Rote Punya Cerita

Florisan, Yosef M. ed. Memperkenalkan Teologi Feminis. Maumere: Penerbit Ledalero,

2002

Natar, Asnath N. ed. Perempuan Indonesia Berteologi Feminis dalam Konteks.

Yogyakarta: Univeristas Kristen Duta Wacana, 2004

Hadikusuma, Hilman, S.H.,Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Penerbit Alumni, 1977

Hadikusuma, Hilman, S. H., Hukum Perkawinan Indonesia.Bandung: Penerbit Mandar

Maju, 1990

Engel, D. J,Metodologi Penelitian Kristen dan Teologi Kristen. Salatiga: Widya Sari

Press, 2005

Natar, Asnath N. Ed. Ketika Perempuan Bertologi.Yogayakarta : Taman Pustaka

Kristen, 2012

Bhasin Kamla. Menggugat Patriakhi: Pengantar tentang Persoalan Dominasi

Terhadap Kaum Perempuan, Yogyakarta-Jakarta,1996

Fakih Mansour, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996

Muthalin Achmad, Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta. Muhamadiyah

University Press.

Irwanto, Ph. D, Focused Group Discussion (FGD) Sebuah Pengantar Praktis. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia,2006

Bahan dalam bentuk Midiankhsirait.wordpress.com/2012/01/18/koinonia-marturia-

diakonia/diunduh tanggal 04-agustus-2014 pukul 21.04

Abineno,Ch,J.L; Djemaat (wujud,peraturan, susunan, pelayanan dan pelayanannya) :

Djemaat sebagai persektuan roh, Djakarta, 1965

Liem Judith, ed. Diakonia Sebagai Misi Gereja (Praksis dan Refleksi Diakonia

Transformatif) : Diakonia Transformatif/ Pembebasan. Yogyakarta, 2009

Soeroso. Hadiati, Moerti, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (dalam perspektif Yuridis-

Viktimologis) : Bentuk-bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga, Jakarta